LOGIN“Ethan, kenapa—”
“Bagus!” potong Leonard, menyela Anastasia. “Keputusan bagus. Itu baru cucuku.”
Leonard menyapu ruangan dengan pandangan puas. Ia menatap Ethan, mengangguk perlahan, lalu tertawa pelan.
Ethan tak menanggapi dengan senyum. Tatapannya tetap lurus pada kakeknya. “Kalau begitu, jangan tunda lagi, Kakek. Segera lakukan operasinya.”
Tawa Leonard terputus. Ia menoleh, napasnya pendek sebelum akhirnya berdehem. “Ya, ya. Pasti akan kulakukan.”
Ethan mengeluarkan ponsel dari sakunya, melirik layar sebentar sebelum kembali menatap Leonard. “Aku akan hubungi dokter pribadi Kakek untuk mengatur jadwal operasinya.”
Leonard mengangguk, perlahan. “Baiklah, baiklah.” Senyumnya kali ini lebih tipis, tertuju pada Isla. Tapi jelas, lega. Cucu yang tadinya sangat keras kepala untuk berpisah, akhirnya memilih bertahan. Isla tetap menjadi bagian dari keluarga Winchester. Itu yang terpenting.
Berjarak tidak jauh dari Ethan, Ivy hanya membalas senyum Leonard dengan anggukan kecil. Tubuhnya tenang, tapi tangan di sisi celana bahannya mengepal diam-diam. Kapan ia sepakat dengan Ethan untuk membatalkan perceraian? Justru pria itu yang menggugat, tapi malah membatalkan sepihak hanya karena syarat yang ia ajukan.
Memang, awalnya Ivy sama sekali tidak menyangka akan jadi begini. Dia tidak bertanya tentang Leonard pada Mara, pun sebaliknya, Mara tidak memberitahu perihal kondisi tetua Winchester itu padanya atau memang masalah ini merupakan rahasia besar yang cuma diketahui oleh anggota keluarga Winchester saja.
Ivy benar-benar tidak menduga hal ini bisa terjadi.
Namun, kalau ini memang keputusan Ethan, silakan saja. Tapi Ivy tidak akan tinggal diam. Karena walau untuk sementara tidak bisa memutus hubungan Isla dengan Ethan, tapi Ivy akan menggunakan kesempatan ini untuk mencari tahu apa yang telah keluarga Winchester lakukan pada Isla dan ibunya.
Hanya dengan begitu baru dia tahu balasan yang pantas diterima keluarga Winchester.
Tepat pada saat Ivy memikirkan hal itu, tatapannya bertabrakan dengan Anastasia. Sekilas, Ivy melihat kilatan berbahaya dari pancaran mata wanita tersebut, sebelum akhirnya hal itu menghilang, digantikan senyuman samar yang terlihat manis.
‘Apa itu …?’ batin Ivy, yakin bahwa di balik senyuman Anastasia, ada kekejaman yang wanita itu sembunyikan.
Anastasia memalingkan wajah, memutus tatapannya dari Ivy. Menyentuh pelan lengan Frederick dan ketika suaminya itu menoleh, mereka saling bertatapan penuh arti.
Gelengan samar nyaris tidak terlihat dari Frederick, memunculkan sesuatu yang lain di kepala Ivy.
Ada sesuatu yang pasangan itu sembunyikan.
Namun, sebelum Ivy bisa memikirkan mengenai hal tersebut lebih jauh, Suara Leonard bergema di telinganya, “Ethan, mulai sekarang, kuharap kau lebih memercayai istrimu daripada berita dan omongan orang lain. Jadilah suami yang mampu melindungi istrimu.”
Ethan tak mengatakan apa pun. Hanya mengangguk sekali, singkat, tanpa ekspresi di wajahnya.
Lalu, Leonard menoleh pada Ivy. Suaranya menurun, lebih rendah, lebih lembut, tapi tetap berwibawa. “Dan Isla, setelah kesalahan yang cucuku perbuat, maukah kau memaafkannya dan membiarkannya memperbaiki kesalahannya itu?”
Menghela napas, Ivy menjawab. “Tentu saja, Kakek. Lagipula, aku tidak bersalah. Jadi, aku akan bertahan dalam pernikahan ini.”
Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan. Ivy bisa melihat Anastasia mengernyit dengan rahang mengeras, tampak tidak suka dengan pernyataannya. Di sisi lain, Frederick dan Ethan hanya menatapnya lekat tanpa ekspresi, entah apa yang ada di pikiran mereka.
Di sisi lain, Leonard tertawa, tampak sangat puas dengan balasan Ivy. “Bagus! Begitu seharusnya.” Dia mengetuk-ngetuk tongkatnya ke lantai, matanya berbinar. “Jangan biarkan bocah bodoh ini lolos dengan mudah.”
“Baik, Kakek.” Ivy mengangguk tanpa ragu-ragu. Benar. Ivy tidak akan membiarkan Ethan lolos begitu saja, terutama setelah semua ketidakadilan yang diterima oleh Isla.
Dan setelah mengubah keputusan seenaknya, ia juga ingin melihat apa yang akan Ethan lakukan dalam pernikahan ini.
Ia menunggu ada tanda-tanda perubahan ekspresi dari Ethan. Entah itu kemarahan, kejengkelan, atau apa pun, tetapi justru mendapati hal sebaliknya. Ethan tetap sama. Dingin. Tidak terbaca, membuat Ivy mendengus kesal.
Setelah pembicaraan itu, Ethan dan Ivy pulang ke kediaman Ethan.
Sepanjang perjalanan pulang, Ethan dan Ivy sama-sama diam. Begitu tiba di mansion, Ivy mengikuti Ethan, memperhatikan setiap sudut yang akan menjadi tempat tinggalnya mulai sekarang.
Tiba-tiba, suara Ivy terdengar berkata, “Apa yang sedang kau rencanakan?”
Ethan menghentikan langkah, lalu berbalik menatap Ivy. “Maksudmu?” suaranya tenang.
“Pernikahan ini, kau tidak menginginkannya. Jadi, kenapa mengubah niatmu?” tuding Ivy. “Jangan katakan hanya karena kau tidak ingin aku mendapatkan uangmu. Hanya orang bodoh yang percaya seorang Ethan Winchester memiliki pikiran sedangkal itu.”
Mata Ethan memicing, menatap Ivy dalam diam. Kemudian, pria itu berbalik dan mendekati wanita yang ia kira adalah istrinya tersebut. “Kau berubah ….”
Kalimat itu membuat Ivy tercekat. Dia menautkan alis. “Omong kosong apa yang kau bicarakan? Jangan mengalihkan topik.”
Di saat ini, sudut bibir Ethan sedikit terangkat. “Karena kalau kau masih sama seperti dulu, kau tahu aku tidak pernah menjelaskan tujuanku pada siapa pun.”
Deg!
Jantung Ivy berdetak keras satu kali. Dia salah langkah, terlalu terburu-buru mencari tahu, menyebabkannya terlihat jauh dari sifat Isla yang sesungguhnya.
Tatapannya kini sepenuhnya berada pada Ivy. “Aku tidak memutuskannya karena terpaksa. Aku ingin memulai hidup yang baru, di tempat di mana tidak ada ekspektasiku sendiri yang menghimpitku setiap hari.”Ivy masih terlihat keberatan dan tidak percaya. Ia merasa curiga, namun tidak punya bukti untuk mengungkapkan apa pun di sini sekarang. Sehingga ia memilih diam, mencoba memahami keputusan sang adik.Lalu ia melirik Adrian yang menurut penilaiannya, terlihat tegang. Orang kepercayaannya itu bahkan sesekali tertangkap basah menatap Isla nyaris tidak berkedip.Sekarang ia menoleh menatap suaminya. Berharap Ethan mengatakan sesuatu. Pria itu malah tersenyum tipis padanya. Tidak mengucapkan apa pun, tapi menenangkannya tanpa berhenti dengan mengusap semakin intens di perut sampingnya.Karena hening yang terasa lebih dari lima menit, seakan semua orang yang duduk melingkari meja makan itu sibuk dengan pikirannya masing-masing, Arthur mengambil alih.Arthur yang seolah memvalidasi kejujuran
“Bukan begitu,” sanggah Adrian. Membalas pelukan erat Isla, sambil mengelus, menelusuri punggung telanjang wanita itu dengan ujung-ujung jemarinya. “Aku hanya ingin kau tetap nyaman. Tapi kalau kau tetap mau tidur dalam keadaan kita yang seperti ini, aku tidak keberatan sama sekali.”Isla menghela napas. Lelah dan pasrah yang tidak karuan. Mencoba memejamkan mata di pelukan pria yang sangat ia dambakan itu.Berselang beberapa menit, ia berhasil menutup mata dan tidur dengan nyaman.Sebelum pagi tiba, Adrian terbangun lebih dulu. Ia memindahkan Isla perlahan dari atas tubuhnya, lalu menyelimuti dengan rapat.Ia berniat mengecup bibir dan kening wanita itu sebelum menyelinap pergi, tapi batal ia lakukan karena tidak ingin membangunkan Isla yang terlihat lelah.“Sampai nanti, Isla.” Ia bergumam pelan, lalu berbalik, melangkah meninggalkan kamar Isla dengan hati-hati.Beberapa jam kemudian.Isla turun ke ruang makan dengan gaun sutra yang tertutup rapat hingga ke leher, menyembunyikan s
Adrian terdiam sejenak. Bukan sedang memikirkan jawaban, namun memastikan bahwa jawabannya tidak memberi efek yang tidak diinginkan terhadap Isla yang rentan.“Ya, aku menikmatinya. Dan kuharap, kau pun begitu.”Isla tidak membalas, ia cuma memberi reaksi dengan semakin menempelkan telinganya ke dada Adrian.Suara detak jantung Adrian yang liar di telinganya menjadi satu-satunya kenyataan yang ia percayai. Bahwa pria itu jujur mengenai apa yang dirasakan—menikmati seks mereka sampai sejauh ini.Mereka terus bergerak. Gerakan Adrian memang pelan, tapi sentakannya sangat dalam, menghadirkan gelombang menuju ke puncak yang kali ini datang dengan perlahan.“Haaaa ...” Isla merintih lembut, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Adrian saat kepuasan itu menjalar pelan namun dalam.Adrian pun tidak lama kemudian menyusul, ia membenamkan wajahnya di rambut Isla, menghirup aromanya, lalu mendekap wanita itu seerat mungkin seolah-olah jika ia melepaskan, Isla akan benar-benar pergi dan tidak
Isla tidak menjawab dengan kata-kata. Ia justru menarik tengkuk Adrian dan menciumnya dengan sisa tenaganya, sebuah jawaban bisu yang penuh kepasrahan. Dengan satu dorongan yang dalam dan mantap, Adrian masuk sepenuhnya. Ia merasakan hambatan fisik yang nyata. Sebuah konfirmasi final atas kemurnian Isla yang sebelumnya hanya ia rasakan lewat ujung jari dan mulutnya. Adrian menggeram pelan saat merasakan sensasi ketat yang luar biasa, seolah tubuh Isla menjepitnya dari segala arah, menolak sekaligus memuja kehadirannya. Isla tersentak, tubuhnya menegang hebat dan kuku-kukunya mencengkeram bahu Adrian hingga meninggalkan bekas. Sekali, dua kali, sampai berkali-kali ia memberi tanda garis kasar memerah di punggung Adrian untuk melampiaskan segalanya. Ia memejamkan mata rapat-rapat saat rasa sakit yang tajam, namun panas menyebar di perut bawahnya. Air mata yang sejak tadi menggenang akhirnya jatuh begitu saja. Tidak. Ini bukan air mata kesedihan, apalagi penyesalan. Lebih tepat jik
Isla terpaku. Tertegun mendapati keberanian Kairos yang sangat kontras dengan keragu-raguan Adrian.Kairos melangkah satu tindak lebih dekat, tidak sampai melewati ambang pintu, menghormati privasi Isla namun tetap terasa mendominasi.“Kau terlihat lelah, Isla,” lanjut Kairos. Ia menyebut namanya tanpa embel-embel apa pun, menciptakan keintiman instan yang membuat Isla merinding. “Keluarga Harrington adalah tempat yang keras. Aku tidak datang untuk menambah bebanmu. Aku datang untuk menawarkan jalan keluar.”Isla menelan ludah. “Jalan keluar?” “Kebebasan. Perlindungan yang tidak mengharuskanmu bersembunyi atau belajar menjadi orang lain ...” Kairos tersenyum tipis, sebuah senyum yang terasa sangat hangat dan dewasa. “Aku mendengar kau banyak belajar mengenai perusahaan. Jika kau bersamaku, kau tidak perlu menggantikan Ivy. Kau cukup menjadi Isla.”Tepat saat itu, Isla melihat siluet di ujung koridor. Adrian.Pria itu berdiri di kegelapan, membeku melihat Kairos berada di depan k
Isla tidak menjawab dengan kata-kata. Ia mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Adrian dengan lapar. Lidahnya menyusup masuk dengan berani, menari liar dengan lidah Adrian yang segera membalas dengan keintiman yang sama.Tubuh mereka menekan erat. Payudara telanjang Isla menempel pada dada Adrian, sementara putingnya yang mengeras bergesekan dengan kain kemeja pria itu, membuatnya mendesah di sela ciuman.“Adrian ...” Isla memutus tautan bibir mereka sejenak, napasnya tersengal dan matanya menggenang karena gairah. “Sentuh aku lagi. Aku masih basah untukmu ... aku ingin merasakan jari-jarimu di dalam diriku lagi, sekarang.”“Isla ...” Adrian menggeram pelan, sisa kendali dirinya terbakar habis. Ia membalikkan tubuh Isla hingga gadis itu terlentang di bawahnya. Selimut yang tersingkap memperlihatkan kulit Isla yang merona di bawah cahaya pagi.Tatapan Adrian menyapu setiap inci tubuh di bawahnya—dari dada yang naik-turun cepat hingga bagian intim yang sudah berkilau karena cairan alami







