Share

Semakin Dekat

Author: Essenick
last update Last Updated: 2025-04-08 22:56:25

"Vero, gue nanti harus ke Bandung sama Bunda." Seorang laki-laki berkata dengan nada sedikit berteriak sambil berjalan cepat menghampiri Vero.

"Harus hari ini?" tanya Vero tanpa mengubah ekspresi wajahnya.

Laki-laki itu mengangguk sambil membereskan barang-barangnya dengan terburu-buru. "Iya, Kakek gue masuk rumah sakit. Kayaknya gue bakal pulang-pergi terus selama beliau dirawat."

Vero hanya mengangguk lagi. Ekspresinya tetap datar saat berkata, "Ya udah, gak apa-apa. Gue bisa nyari sponsor sendiri."

"Loh, jangan!" sergah laki-laki itu cepat. "Sama Dila aja, Ro. Dia kan cewek lo, sekalian tuh PDKT kalian biar cepet jadian. Kasihan sekampus pada gemes," lanjutnya dengan seringai menggoda sambil menggendong tas ranselnya.

Vero mendengus pelan, tapi sebelum sempat membalas, laki-laki itu menepuk punggungnya, seolah ingin meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.

“Loh, kebetulan.”

Suara lain menyela percakapan mereka. Vero spontan menoleh ke arah pintu dan mendapati seorang teman laki-lakinya berdiri di sana, bersamaan dengan Dila yang tampak kebingungan di sampingnya.

"Lo nyari sponsor, ya?" tanya temannya dengan ekspresi datar.

Dila yang awalnya diam langsung memasang wajah sewot begitu menyadari situasinya. "Loh, itu kan tugas lo, Bima! Gue udah susah-susah nyiapin semuanya, tinggal cari sponsor aja lo kabur?" omelnya tajam, tatapannya menantang.

Bima, laki-laki yang baru datang itu, menghela napas berat. "Maaf, kakek gue dirawat, jadi kayanya buat sekarang gue belum bisa ikut cari sponsor," jawabnya dengan nada lebih tenang.

Dila menyipitkan mata, jelas tak puas dengan jawaban itu. "Lah, terus gimana dong?"

"Lo nyari sponsor sama Vero, ya?" Bima menatap Dila penuh harap. "Gue minta tolong banget. Gue juga gak enak ninggalin tanggung jawab gini."

Dila melipat tangan di dada, menghela napas dramatis sebelum akhirnya menoleh ke Vero. Wajahnya yang tadi sebal kini berubah jadi penuh senyum jahil.

"Dih! Gak bilang dari tadi kalo sama Mas Vero," katanya dengan nada sok kesal, lalu menambahkan, "Ya gas atuh, hehe."

Vero hanya menghela napas panjang, sudah menduga kalau ini bakal jadi hari yang panjang.

Dila menatap Vero dengan senyum termanisnya sebelum meletakkan kotak bekalnya di depan Vero. “Kebetulan yang anjay ya, Mas.”

Vero hanya menatapnya sekilas tanpa memberikan jawaban. Tak ingin menunggu lebih lama, Dila pun melangkah pergi, berniat meninggalkan ruangan. Namun, baru beberapa langkah, suara berat menghentikan langkahnya.

“Nanti saya jemput.”

Dila terdiam sejenak, lalu senyumnya semakin merekah. Dengan riang, ia membentuk lingkaran dengan ibu jari dan telunjuknya, lalu berkata, “Oke.”

—•§•—

Mobil Vero melaju perlahan sebelum akhirnya berhenti di depan sebuah gedung perkantoran besar dengan logo perusahaan yang mencolok di bagian atasnya. Gedung itu tampak megah dengan eksterior kaca yang berkilauan diterpa sinar matahari. Vero mematikan mesin mobil dan menoleh ke samping, ke arah Dila yang duduk di kursi penumpang.

“Kita nanti jelaskan tujuan acara, olimpiade, dan rundown acaranya. Kamu bantu saya nanti, ya,” ujar Vero, suaranya terdengar lembut namun tegas, seperti biasa.

Dila langsung mengangguk dengan semangat. “Ok!” sahutnya, hampir terlalu berlebihan.

Dia segera turun dari mobil, mengikuti langkah Vero yang berjalan menuju pintu masuk gedung dengan gaya khasnya—tenang, penuh percaya diri, dan sedikit dingin. Dila mengekori di belakang, tidak bisa menahan senyum kecil yang terus muncul di wajahnya. Bagaimana pun juga, ini pertama kalinya dia pergi berdua dengan Vero dalam situasi formal seperti ini.

Seandainya ada alat pendeteksi jantung, mungkin sekarang sudah berbunyi nyaring, menandakan betapa cepatnya jantung Dila memompa darah. Dia benar-benar memuja momen ini.

Begitu mereka tiba di lobi, seorang resepsionis menyambut dengan ramah. Setelah melakukan konfirmasi janji temu, mereka dipersilakan naik ke lantai atas. Dila melirik Vero sekilas—laki-laki itu tampak begitu fokus dan profesional, sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda gugup.

Sampai di ruang meeting, presentasi pun dimulai. Vero menjelaskan konsep acara mereka dengan tenang dan terstruktur. Nada suaranya begitu stabil, ekspresi wajahnya penuh keyakinan. Bahkan tanpa sadar, Dila ikut terhanyut dalam caranya berbicara.

Ketika tiba gilirannya untuk menambahkan beberapa poin, Dila ikut berbicara dengan percaya diri. Ia menambahkan detail-detail menarik, sedikit bumbu persuasif, dan memainkan nada suaranya dengan antusias.

Beberapa perwakilan perusahaan itu tampak mengangguk, seolah tertarik dengan penjelasan mereka. Dila melirik ke arah Vero sekilas—laki-laki itu tetap dengan ekspresi tenangnya, meskipun Dila tahu dia pasti sedang menganalisis situasi.

Setelah beberapa pertanyaan dan diskusi singkat, mereka akhirnya menutup presentasi dengan profesional. Namun, keputusan final mengenai sponsor masih harus menunggu persetujuan dari pusat.

Tak ingin langsung pergi, Vero mengajak Dila mampir ke kantin di lantai bawah untuk sekadar minum kopi.

“Kayaknya kalau Mas presentasi proyek langsung di-approve, deh,” komentar Dila sembari menyeruput es kopinya.

Vero terkekeh pelan, lalu mengangkat alis. “Gak juga, tadi aja gak langsung approve, kan?”

Dila menggeleng cepat. “Kalau aku baca situasi tadi, kemungkinan besar ACC pusat! Tinggal nunggu formalitas aja,” katanya yakin.

Vero hanya menghela napas, lalu menggelengkan kepala kecil. “Saya ke toilet dulu,” pamitnya sebelum berdiri dan berjalan meninggalkan Dila sendiri di kafetaria.

Dila mengambil ponselnya dan mulai menggulir layar, mengecek notifikasi grup. Namun, baru beberapa detik dia fokus pada ponselnya, seseorang tiba-tiba menarik kursi di depannya dan duduk.

Seorang perempuan dengan pakaian rapi dan blazer gelap. Aura elegannya langsung terasa, tetapi ekspresi wajahnya sama sekali tidak ramah.

“Ngapain kamu di sini?” tanyanya dengan suara ketus.

Dila terkejut sejenak, tetapi dengan cepat menguasai diri. Senyum cerah masih menghiasi wajahnya. “Aku lagi nyari sponsor di sini,” jawabnya dengan riang, mencoba tetap santai meskipun ada perasaan aneh yang mulai muncul di dadanya.

Namun, perempuan itu tidak tersenyum balik. Sebaliknya, dia justru mengernyit, ekspresinya berubah menjadi penuh ketidaksukaan.

“Dari sekian banyak perusahaan, kenapa harus di sini sih?!!” suaranya meninggi, terdengar seperti seseorang yang sedang menahan emosi.

Dila mengerutkan dahi, bingung dengan reaksi itu. “Ha? Kenapa memangnya?”

Perempuan itu menatapnya dengan intens, lalu berbisik dengan nada mengancam. “Cepat keluar dari gedung ini. Jangan lama-lama di sini. Saya gak mau dia tahu hubungan kita.”

Dila terdiam, kepalanya menunduk dalam. Nada bicara tiap kalimat membuatnya terdengar seperti malu memiliki Dila dalam hidupnya.

Darahnya berdesir. Ada sesuatu yang janggal dalam situasi ini.

“Oh… em… i-iya…” jawabnya terbata-bata, meskipun pikirannya masih dipenuhi tanda tanya.

Tanpa berkata lagi, perempuan itu langsung berdiri dan melangkah pergi begitu saja, meninggalkan Dila yang masih duduk di tempatnya—terkejut, bingung, dan bertanya-tanya, kesalahan apa yang sebenarnya baru saja ia lakukan.

Sejurus kemudian, Vero kembali dari toilet dan langsung duduk kembali di hadapan Dila, tanpa menyadari perubahan ekspresi di wajahnya.

“Ada apa?” tanyanya, melihat Dila yang tampak berbeda dari sebelumnya.

Dila hanya menggeleng pelan, menekan rasa penasaran yang semakin membesar di dadanya. “Nggak ada apa-apa.”

Hanya perlu pergi, kan? Selagi dia menurut tak ada yang perlu di khawatirkan.

Dia menatap laki-laki di depannya yang sedang sibuk mengaduk kopinya dengan tenang, seolah dunia berjalan dengan ritme biasa.

“Mas, kita ke perusahaan selanjutnya sekarang aja ya,” ujar Dila, mencoba merayu dengan nada ceria, meskipun jantungnya masih berdetak tak beraturan.

Vero mengangkat alis sekilas, menatapnya dengan ekspresi tenang seperti biasa. “Nggak istirahat dulu? Kita baru aja selesai presentasi. Kamu sudah siap presentasi lagi?” tanyanya, sedikit ragu.

Dila mengangguk cepat, mencoba terlihat meyakinkan. “Aku mau cepat pulang. Mama nggak suka kalau aku pulang kemalaman.”

Sebenarnya, bukan hanya itu alasannya. Dia hanya ingin segera meninggalkan gedung ini—meninggalkan bayangan sosok perempuan tadi yang entah kenapa membuatnya gelisah.

Vero mengamati wajah Dila beberapa detik, seolah sedang menilai apakah dia berkata jujur atau tidak. Namun, akhirnya dia mengangguk mengerti. "Oke. Kita langsung jalan sekarang."

Dila tersenyum kecil, merasa sedikit lega.

Mereka pun beranjak dari kafetaria.

TO BE CONTINUE —

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Presiden BEM Itu Kekasihku   Awal Yang Baik

    Dila duduk dengan semangat di kursi seberang Vero, kedua tangannya sibuk dengan buku menu yang diberikan. Mereka memilih tempat makan yang cukup nyaman—tidak terlalu ramai, tapi juga tidak sepi.“Kita pesan apa?” tanya Dila sambil membolak balik halaman di buku menu itu.Vero menyesap air putihnya sebelum menjawab, “Apa aja yang kamu mau.”Dila menatapnya sebentar, lalu tersenyum puas. “Okey deal.”Gadis itu tersenyum puas kemudian mengatakan pada pelayan pesanannya. Cukup banyak, dia memesan seporsi chicken katsu dengan saus keju, French fries, potato balls dan segelas jus alpukat. Vero sendiri memilih menu yang lebih simpel—nasi dengan ayam panggang dan teh tawar hangat.Vero hanya mengangkat bahu santai. “Selama masih bisa dimakan, terserah.” Gumamnya.Saat makanan tiba, Dila langsung menyerang dengan lahap, sementara Vero menikmati makanannya dengan tenang. Jarang-jarang Dila m

  • Presiden BEM Itu Kekasihku   Sorry.

    “Kelas saya akhiri sampai sini. Terima kasih, selamat siang.”Seorang wanita dengan sepatu hak tinggi melangkah keluar dengan anggun setelah mengucapkan kalimat tersebut. Seluruh mahasiswa di dalam kelas mulai membereskan barang-barang mereka, beberapa mengobrol sebentar sebelum akhirnya beranjak dari tempat duduk.“Terima kasih, Bu,” ujar mereka serempak sebelum dosen benar-benar meninggalkan kelas.Dila merapikan bukunya dengan sedikit lamban. Hari ini dia harus lembur menggantikan hari saat dia keluar bersama Vero untuk mencari sponsor. Jam kerjanya bertambah, dan itu berarti harinya akan terasa lebih panjang dan melelahkan.“La, jadi bareng gue nggak?”Daren, yang sejak tadi duduk di belakangnya, sudah siap dengan tasnya. Dila mengangguk sebagai jawaban, kemudian menggendong tasnya dan mulai mengekor Daren keluar dari kelas.Namun, langkahnya terhenti ketika sebuah suara memang

  • Presiden BEM Itu Kekasihku   Annoying

    Kegiatan mengantar makanan kini terasa lebih menjengkelkan dari sebelumnya. Beberapa kali Dila datang ke ruang ORMAWA, ia selalu melihat gadis yang sama berada di dekat Vero—entah sedang mengobrol atau sekadar duduk bersama. Yang lebih menyebalkan, Vero sama sekali tak terlihat terganggu oleh kehadiran gadis itu.Menyukai pria yang memiliki sikap acuh memang melelahkan. Tidak peduli seberapa sering Dila datang, tidak peduli seberapa banyak perhatian yang ia berikan, sepertinya Vero tetap saja bersikap sama—dingin, tenang, seolah tak ada sesuatu yang bisa benar-benar menyita perhatiannya.Hari ini, saat ia kembali mengantar bekal, pemandangan yang sama kembali terulang. Vero dan gadis itu duduk berdampingan di depan ruang ORMAWA, masing-masing sibuk dengan gadget di tangan mereka tanpa banyak berbicara. Tapi justru keheningan itu yang terasa mengganggu bagi Dila.Merasa tak bisa terus diam saja, Dila akhirnya memberan

  • Presiden BEM Itu Kekasihku   My Mom

    Jam malam tiba, Vero menghentikan mobilnya di depan rumah berwarna putih dengan pagar besi yang tertutup rapat. Cahaya lampu teras menerangi pekarangan yang tampak rapi, menandakan bahwa seseorang di dalam rumah sudah menunggu.Dila menoleh ke arah Vero dan tersenyum kecil sebelum membuka pintu mobil. "Makasih ya, Mas, buat tumpangannya," ujarnya dengan nada sedikit menggoda.Vero hanya mengangguk. "Sama-sama."Dila merapikan barang-barangnya, memastikan tidak ada yang tertinggal, lalu menambahkan dengan semangat, "Lain kali kalau mau cari sponsor ajak aku lagi ya, Mas."Vero meliriknya sekilas, lalu menggeleng dengan ekspresi jengah. "Nggak ah. Kamu tukang makan, uang saya habis buat jajan kamu."Dila terkekeh, tak merasa tersinggung sama sekali. "Sekali-sekali ah, sama calon pacar."Vero memutar matanya, tapi diam-diam i

  • Presiden BEM Itu Kekasihku   Semakin Dekat

    "Vero, gue nanti harus ke Bandung sama Bunda." Seorang laki-laki berkata dengan nada sedikit berteriak sambil berjalan cepat menghampiri Vero."Harus hari ini?" tanya Vero tanpa mengubah ekspresi wajahnya.Laki-laki itu mengangguk sambil membereskan barang-barangnya dengan terburu-buru. "Iya, Kakek gue masuk rumah sakit. Kayaknya gue bakal pulang-pergi terus selama beliau dirawat."Vero hanya mengangguk lagi. Ekspresinya tetap datar saat berkata, "Ya udah, gak apa-apa. Gue bisa nyari sponsor sendiri.""Loh, jangan!" sergah laki-laki itu cepat. "Sama Dila aja, Ro. Dia kan cewek lo, sekalian tuh PDKT kalian biar cepet jadian. Kasihan sekampus pada gemes," lanjutnya dengan seringai menggoda sambil menggendong tas ranselnya.Vero mendengus pelan, tapi sebelum sempat membalas, laki-laki itu menepuk punggungnya, seolah ingin meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.“Loh, kebetulan.”Suara lain menyela percakapan mereka. Vero spontan menoleh ke arah pintu dan mendapati seorang teman laki-

  • Presiden BEM Itu Kekasihku   Who's She?

    Dila duduk di salah satu bangku panjang dekat kantin setelah kelasnya selesai. Makanan yang dia pesan mulai mendingin, tapi perhatiannya masih terpaku pada ponsel. Sesekali, alisnya mengernyit, lalu berubah jadi senyum, kemudian kembali serius—seakan-akan sedang membaca sesuatu yang penting.Akhirnya, apa yang dia tunggu datang juga.Seorang laki-laki dengan wajah datar, tanpa ekspresi antusias maupun bosan, berjalan mendekati mejanya. Seperti biasa, Vero selalu terlihat santai, tapi Dila tahu dia bukan tipe yang akan menyapa lebih dulu.“Hai, Mas Vero.” Dila mengangkat wajahnya, tersenyum lebar seperti biasa.Vero tidak langsung menanggapi. Dia hanya menarik kursi dan duduk di hadapan Dila, menghela napas tipis sebelum akhirnya bertanya, “Ada apa?”Dila menatapnya, kali ini dengan senyum yang lebih manis. “Mau tanya.”Vero menaikkan sebelah alis, bingung.Dila tahu, laki-laki itu pasti bertanya-tanya dalam hati. “Tadi aku antar bekel kamu kan…”Vero memiringkan kepalanya sedikit, dia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status