Presiden BEM Itu Kekasihku

Presiden BEM Itu Kekasihku

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-05-14
Oleh:  EssenickOngoing
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
9Bab
7Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Ardila dikenal di kampus bukan karena dirinya sendiri, melainkan karena ulah sahabatnya. Laura. Laura sering menjodohkannya dengan mahasiswa dari berbagai fakultas. Sebagai sahabat dekat, Laura ingin Dila memiliki seseorang untuk berbagi cerita, apalagi dia sendiri mulai sibuk dengan pacarnya. Namun, Dila bukan yang mudah dirayu. Ia menolak semua kenalan yang Laura perkenalkan, dia ingin menunggu seseorang yang benar-benar sesuai dengan pilihannya. Hingga suatu hari, takdir mempertemukannya dengan seseorang yang berbeda. Presiden BEM kampusnya—dingin, tegas, dan penuh wibawa. Tatapan pertama cukup untuk membuat Dila jatuh hati. Dan untuk pertama kalinya, ia ingin mengejar seseorang. "Cinta dalam diam sudah nggak zaman. Kalau suka sama orang, setidaknya harus temenan."

Lihat lebih banyak

Bab 1

Pandangan pertama

“Sumpah, kalo lo kasih nomor gue lagi, Laura, gue bakar sepatu Converse lo!”

Teriakan itu menggema di lorong fakultas, diiringi suara langkah cepat Dila mengejar Laura yang tertawa sambil lari kencang. Beberapa mahasiswa yang lewat menoleh, bingung—sekaligus terhibur melihat dua gadis itu berkejaran.

“Dila!!!”

Teriakan itu kembali terdengar dari gadis yang sekarang sudah bersembunyi di balik tiang, ngos-ngosan dengan tas ransel di punggungnya.

Laura akhirnya berhenti, menunduk sambil tertawa, lalu menyodorkan layar ponselnya ke Dila yang masih mengejarnya dengan napas memburu.

Tring—

Dila mendengar suara notifikasi ponselnya berbunyi.

Tring—Tring—Tring—

Semakin lama, semakin banyak pesan masuk. Dila mengerutkan keningnya, lalu mengambil ponselnya dengan ekspresi kesal.

“Apa sih? Berisik banget!” gumamnya, marah.

Ketika melihat layarnya, amarahnya langsung meledak.

“LAURA!!!”

Ternyata, si anomali bernama Laura itu sudah seenaknya memberikan nomor Dila ke laki-laki yang katanya “teman.”

Dengan wajah merah padam, Dila menatap tajam ke arah Laura—yang tentu saja sudah bersiap melarikan diri lagi.

“SINI LO!!!”

Laura hanya tertawa sambil berlari menjauh, sesekali menoleh dan melempar ekspresi mengejek.

Dila mengepalkan tangan. Sayangnya, anak menyebalkan itu adalah sahabat terdekatnya.

Tiba-tiba, ponselnya berdering. Melihat nomor tak dikenal, Dila langsung memblokirnya. Sudah bisa ditebak, itu pasti teman Laura yang terlalu agresif ingin mengenalnya—sampai-sampai langsung menelepon.

Namun, belum sempat ia menghela napas, ponselnya kembali berdering. Kali ini, nama ‘Aning’ tertera di layar. Dengan cepat, Dila menggeser tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinganya.

“Halo, Kenapa?”

Alih-alih langsung menjawab, suara dari seberang malah terdengar bercakap dengan orang lain. “Loh, ini loh aku dijawab, Gal.”

Kemudian tiba-tiba, suara lain berteriak dari kejauhan, “Ardila bokem!!! Kurang ajar lo blokir nomor gue, ya?!”

Dila menjauhkan ponselnya dari telinga. “Apaan sih?” tanyanya bingung.

“Lo blokir Galen?

“Hah? Nggak.” Jawabnya kemudian mengecek daftar blokirannya yang ternyata sudah menumpuk banyak.

“Udah, ke Ormawa aja sini.” Suara Aning mengalihkan fokusnya.

“Ngapain?”

“Rapat, buruan.”

“Ya.”

Dila mendesah, menyesali keputusannya menjawab telepon tadi. Dengan malas, ia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju ruang organisasi mahasiswa.

Begitu membuka pintu, suara riuh langsung menyambutnya. Ruangan itu sudah dipenuhi anggota organisasi yang tengah bercanda satu sama lain.

“Nah, ini dia bintangnya!” seru seorang laki-laki berambut short curly crop.

Dila mengerutkan kening. “Ada apa?”

Aning dan Laura, yang duduk di sudut ruangan, hanya menggeleng pelan. Tatapan mereka seolah berkata, Lo bakal kena nih.

“Gue tebak, lo nggak ngesave nomor gue,” tembak Galen dengan nada serius, tatapan permusuhannya tertuju langsung pada Dila.

Dila tak langsung menjawab. Ia malah berpura-pura mengalihkan pandangan ke segala arah. “Tapi gue tahu nomor lo kok,” ujarnya santai.

“Kalau tahu, kenapa lo blokir gue?”

Dila terdiam. “Nggak” bantahnya kemudian Ia buru-buru membuka daftar blokiran di ponselnya, ingin menunjukkan nomor siapa saja yang dia blokir, dan… matilah dia. Ada nomor yang tidak asing di sana.

Gadis itu langsung gelagapan, lalu—dengan cepat—mematikan ponselnya. “Nggak sengaja,” jawabnya penuh harap.

Terdengar helaan napas panjang dari arah Galen, tanda ia sedang menahan emosi. Dila buru-buru menunduk sedikit, memasang ekspresi paling menyedihkan yang bisa ia buat.

“Lo emang minta di sentil nadinya, ya.”

Galen berkata dengan nada geram, yang langsung disambut riuh seluruh isi ruangan.

Dila mengerucutkan bibirnya. “Maaf, Galen…” ujarnya dengan nada sesedih mungkin.

“Tipuan anak kentut itu! Jangan percaya, Galen!” seru Leo, si laki-laki berambut curly yang sedari tadi menahan tawanya melihat Dila terpojokkan.

“Diam lo!” balas Dila sengit.

Leo malah tertawa terbahak-bahak. “Saking semangatnya blokir orang ya, La?”

Dila mendesah, menundukkan kepalanya dengan pasrah.

“Dila menurut ulama,” sela seseorang di tengah ruangan.

“Haram!” sahut yang lain kompak.

Dila menatap sekeliling, mendengus. “Ini udah termasuk pembulian, nggak sih?”

“Bisa-bisanya nomor ketum nggak di-save,” ujar Aning dengan nada menyindir. “Dari bulan berapa dia menjabat, Dila?”

Dila memutar bola matanya. “Emang isinya anak anj semua!” gumamnya pelan. Namun, begitu melihat tatapan tajam dari beberapa arah, gadis itu langsung menunduk kikuk.

“Save nomor gue, Dila. Gue ini orang penting,” kata Galen dengan penuh percaya diri.

Dila menatapnya lekat-lekat, lalu menghela napas panjang.

“Gak pernah semuak ini.”

—•§•—

Seminggu kemudian.

Tiga hotdog, Mbak.

Dila mencatat pesanan dengan teliti. Sudah jadi tugasnya menulis dan menelaah pengeluaran serta pemasukan stand bazar tahun ini.

Saat sedang sibuk dengan catatannya, tiba-tiba matanya menangkap sosok laki-laki yang duduk di salah satu kursi depan stand mereka. Wajahnya serius menatap layar laptop, sesekali menggigit hotdog dengan tenang.

Senyum kecil terukir di wajah Dila. Ia menoleh ke arah temannya yang berdiri tak jauh darinya. “Daren!” panggilnya sambil menatap si pemilik nama.

“Apa?”

Hening sejenak, lalu Dila menunjuk dengan dagunya. “Lo tahu cowok itu nggak?”

“Mana?” Daren mengerutkan kening, penasaran. Jarang-jarang melihat Ardila tertarik dengan seorang laki-laki.

“Itu tuh, yang lagi makan hotdog kita sambil hadap laptop.”

“Oh, Mas Vero?” sahut suara lain sebelum Daren sempat menjawab.

Dila langsung menoleh ke sumber suara. “Lo tahu dari mana namanya Vero?” tanyanya curiga.

Temannya itu menatapnya dengan ekspresi ‘serius lo nanya gitu?’. “Lo nolep apa gimana sih? Dia Presiden BEM, njir.”

Dila makin bingung. Ini dia yang kurang info, atau kurang teman, sih? Masa Presiden BEM aja dia nggak tahu?

“Lo beneran nggak tahu, La?” tanya Daren memastikan.

Dila menggeleng polos. “Nggak…”

Daren hanya bisa menghela napas panjang melihat kelakuan Dila.

Dila masih terus menatap ke arah Vero, matanya berbinar seolah menemukan hal baru yang menarik. “Dia pesen lagi nggak tadi?” tanyanya tiba-tiba.

Daren menatap Dila dengan ekspresi tak percaya. “Lo nanya gue? Gak tahu, Dila, kan yang nerima pesenan lo, dongo!”

Tapi Dila tak mendengarkan. Ia masih sibuk mengamati laki-laki itu. Jadi namanya Vero, ya? Dia terlihat… spesial.

“Bikinin hotdog gih,” titahnya ke Daren tanpa mengalihkan pandangan.

“Dih, enak lo! Bikin sendiri lah.”

Lagi-lagi, Dila tak menjawab. Senyumnya semakin lebar.

Kemudian, tanpa aba-aba, ia berdiri dan berjalan menuju meja tempat Vero duduk. Ia berhenti tepat di depannya, diam cukup lama sampai laki-laki itu akhirnya mengangkat kepalanya.

“Kenapa, Mbak?” tanyanya ramah.

Dila tersenyum, senang mendengar suara laki-laki itu lebih dekat. “Gimana hotdognya, Mas? Enak, nggak?”

Vero melirik hotdog di tangannya, lalu kembali menatap Dila bergantian. “Enak kok, Mbak,” jawabnya sambil tersenyum.

“Mau lagi?” tawar Dila penuh harap.

Vero menggeleng cepat, jelas menolak tawaran yang datang tiba-tiba itu. “Nggak, makasih, Mbak.”

Dila tak kehabisan akal. “Aku boleh duduk sini, Mas?” tanyanya, tanpa menunggu jawaban, ia sudah menarik kursi di samping Vero.

Vero mengernyit. “Nggak jaga stand, Mbak?”

Dila menoleh sekilas ke standnya. Masih sepi, dan Daren sepertinya masih bisa menanganinya sendiri. Ia tersenyum santai.

“Gampang itu. Aku temenin Mas-nya aja di sini, ya?” katanya riang, lalu duduk tepat di samping laki-laki itu.

Dila menatap Vero dengan mata berbinar, seolah laki-laki itu adalah penemuan paling menarik sepanjang hidupnya. Ia menopang dagu dengan kedua tangan, masih tersenyum lebar.

Vero, yang awalnya sibuk dengan laptopnya, mulai merasa sedikit risih. Ia melirik Dila sekilas, lalu mengalihkan pandangannya ke layar, mencoba fokus kembali. Namun, tatapan gadis di sampingnya terasa begitu intens.

“…Mbak, kenapa liatin saya gitu?” akhirnya Vero bertanya, merasa tidak nyaman.

Dila hanya mengedip polos. “Nggak apa-apa. Mas-nya enak dilihat.”

Vero mengerjapkan mata, tak tahu harus merespons seperti apa. Namun, sebelum ia bisa berkata apa-apa...

Dila, woy!!!

Teriakan Daren dari arah stand membuat Dila menoleh dengan malas.

“Apa sih?” balasnya sebal, enggan beranjak.

“Lo ngapain duduk-duduk di situ?! Ini pesenan makin numpuk, goblok!” teriak Daren lagi.

Vero menahan tawa kecil melihat interaksi mereka, sementara Dila mendengus. “Gue kerja rodi di sini!” gerutunya pelan sebelum akhirnya bangkit berdiri.

Sebelum pergi, ia sempat menatap Vero sekali lagi. “Nanti aku ke sini lagi, ya, Mas~” katanya sambil tersenyum jahil.

Vero hanya mengangguk sambil menampilkan senyumnya, sementara Dila berbalik menuju stand dengan langkah santai.

TO BE CONTINUED —

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
9 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status