MasukArdila dikenal di kampus bukan karena dirinya sendiri, melainkan karena ulah sahabatnya. Laura. Laura sering menjodohkannya dengan mahasiswa dari berbagai fakultas. Sebagai sahabat dekat, Laura ingin Dila memiliki seseorang untuk berbagi cerita, apalagi dia sendiri mulai sibuk dengan pacarnya. Namun, Dila bukan yang mudah dirayu. Ia menolak semua kenalan yang Laura perkenalkan, dia ingin menunggu seseorang yang benar-benar sesuai dengan pilihannya. Hingga suatu hari, takdir mempertemukannya dengan seseorang yang berbeda. Presiden BEM kampusnya—dingin, tegas, dan penuh wibawa. Tatapan pertama cukup untuk membuat Dila jatuh hati. Dan untuk pertama kalinya, ia ingin mengejar seseorang. "Cinta dalam diam sudah nggak zaman. Kalau suka sama orang, setidaknya harus temenan."
Lihat lebih banyak“Sumpah, kalo lo kasih nomor gue lagi, Laura, gue bakar sepatu Converse lo!”
Teriakan itu menggema di lorong fakultas, diiringi suara langkah cepat Dila mengejar Laura yang tertawa sambil lari kencang. Beberapa mahasiswa yang lewat menoleh, bingung—sekaligus terhibur melihat dua gadis itu berkejaran.
“Dila!!!”
Teriakan itu kembali terdengar dari gadis yang sekarang sudah bersembunyi di balik tiang, ngos-ngosan dengan tas ransel di punggungnya.
Laura akhirnya berhenti, menunduk sambil tertawa, lalu menyodorkan layar ponselnya ke Dila yang masih mengejarnya dengan napas memburu.
Tring—
Dila mendengar suara notifikasi ponselnya berbunyi.
Tring—Tring—Tring—
Semakin lama, semakin banyak pesan masuk. Dila mengerutkan keningnya, lalu mengambil ponselnya dengan ekspresi kesal.
“Apa sih? Berisik banget!” gumamnya, marah.
Ketika melihat layarnya, amarahnya langsung meledak.
“LAURA!!!”
Ternyata, si anomali bernama Laura itu sudah seenaknya memberikan nomor Dila ke laki-laki yang katanya “teman.”
Dengan wajah merah padam, Dila menatap tajam ke arah Laura—yang tentu saja sudah bersiap melarikan diri lagi.
“SINI LO!!!”
Laura hanya tertawa sambil berlari menjauh, sesekali menoleh dan melempar ekspresi mengejek.
Dila mengepalkan tangan. Sayangnya, anak menyebalkan itu adalah sahabat terdekatnya.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Melihat nomor tak dikenal, Dila langsung memblokirnya. Sudah bisa ditebak, itu pasti teman Laura yang terlalu agresif ingin mengenalnya—sampai-sampai langsung menelepon.
Namun, belum sempat ia menghela napas, ponselnya kembali berdering. Kali ini, nama ‘Aning’ tertera di layar. Dengan cepat, Dila menggeser tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinganya.
“Halo, Kenapa?”
Alih-alih langsung menjawab, suara dari seberang malah terdengar bercakap dengan orang lain. “Loh, ini loh aku dijawab, Gal.”
Kemudian tiba-tiba, suara lain berteriak dari kejauhan, “Ardila bokem!!! Kurang ajar lo blokir nomor gue, ya?!”
Dila menjauhkan ponselnya dari telinga. “Apaan sih?” tanyanya bingung.
“Lo blokir Galen?
“Hah? Nggak.” Jawabnya kemudian mengecek daftar blokirannya yang ternyata sudah menumpuk banyak.
“Udah, ke Ormawa aja sini.” Suara Aning mengalihkan fokusnya.
“Ngapain?”
“Rapat, buruan.”
“Ya.”
Dila mendesah, menyesali keputusannya menjawab telepon tadi. Dengan malas, ia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju ruang organisasi mahasiswa.
Begitu membuka pintu, suara riuh langsung menyambutnya. Ruangan itu sudah dipenuhi anggota organisasi yang tengah bercanda satu sama lain.
“Nah, ini dia bintangnya!” seru seorang laki-laki berambut short curly crop.
Dila mengerutkan kening. “Ada apa?”
Aning dan Laura, yang duduk di sudut ruangan, hanya menggeleng pelan. Tatapan mereka seolah berkata, Lo bakal kena nih.
“Gue tebak, lo nggak ngesave nomor gue,” tembak Galen dengan nada serius, tatapan permusuhannya tertuju langsung pada Dila.
Dila tak langsung menjawab. Ia malah berpura-pura mengalihkan pandangan ke segala arah. “Tapi gue tahu nomor lo kok,” ujarnya santai.
“Kalau tahu, kenapa lo blokir gue?”
Dila terdiam. “Nggak” bantahnya kemudian Ia buru-buru membuka daftar blokiran di ponselnya, ingin menunjukkan nomor siapa saja yang dia blokir, dan… matilah dia. Ada nomor yang tidak asing di sana.
Gadis itu langsung gelagapan, lalu—dengan cepat—mematikan ponselnya. “Nggak sengaja,” jawabnya penuh harap.
Terdengar helaan napas panjang dari arah Galen, tanda ia sedang menahan emosi. Dila buru-buru menunduk sedikit, memasang ekspresi paling menyedihkan yang bisa ia buat.
“Lo emang minta di sentil nadinya, ya.”
Galen berkata dengan nada geram, yang langsung disambut riuh seluruh isi ruangan.
Dila mengerucutkan bibirnya. “Maaf, Galen…” ujarnya dengan nada sesedih mungkin.
“Tipuan anak kentut itu! Jangan percaya, Galen!” seru Leo, si laki-laki berambut curly yang sedari tadi menahan tawanya melihat Dila terpojokkan.
“Diam lo!” balas Dila sengit.
Leo malah tertawa terbahak-bahak. “Saking semangatnya blokir orang ya, La?”
Dila mendesah, menundukkan kepalanya dengan pasrah.
“Dila menurut ulama,” sela seseorang di tengah ruangan.
“Haram!” sahut yang lain kompak.
Dila menatap sekeliling, mendengus. “Ini udah termasuk pembulian, nggak sih?”
“Bisa-bisanya nomor ketum nggak di-save,” ujar Aning dengan nada menyindir. “Dari bulan berapa dia menjabat, Dila?”
Dila memutar bola matanya. “Emang isinya anak anj semua!” gumamnya pelan. Namun, begitu melihat tatapan tajam dari beberapa arah, gadis itu langsung menunduk kikuk.
“Save nomor gue, Dila. Gue ini orang penting,” kata Galen dengan penuh percaya diri.
Dila menatapnya lekat-lekat, lalu menghela napas panjang.
“Gak pernah semuak ini.”
—•§•—
Seminggu kemudian.
“Tiga hotdog, Mbak.”
Dila mencatat pesanan dengan teliti. Sudah jadi tugasnya menulis dan menelaah pengeluaran serta pemasukan stand bazar tahun ini.
Saat sedang sibuk dengan catatannya, tiba-tiba matanya menangkap sosok laki-laki yang duduk di salah satu kursi depan stand mereka. Wajahnya serius menatap layar laptop, sesekali menggigit hotdog dengan tenang.
Senyum kecil terukir di wajah Dila. Ia menoleh ke arah temannya yang berdiri tak jauh darinya. “Daren!” panggilnya sambil menatap si pemilik nama.
“Apa?”
Hening sejenak, lalu Dila menunjuk dengan dagunya. “Lo tahu cowok itu nggak?”
“Mana?” Daren mengerutkan kening, penasaran. Jarang-jarang melihat Ardila tertarik dengan seorang laki-laki.
“Itu tuh, yang lagi makan hotdog kita sambil hadap laptop.”
“Oh, Mas Vero?” sahut suara lain sebelum Daren sempat menjawab.
Dila langsung menoleh ke sumber suara. “Lo tahu dari mana namanya Vero?” tanyanya curiga.
Temannya itu menatapnya dengan ekspresi ‘serius lo nanya gitu?’. “Lo nolep apa gimana sih? Dia Presiden BEM, njir.”
Dila makin bingung. Ini dia yang kurang info, atau kurang teman, sih? Masa Presiden BEM aja dia nggak tahu?
“Lo beneran nggak tahu, La?” tanya Daren memastikan.
Dila menggeleng polos. “Nggak…”
Daren hanya bisa menghela napas panjang melihat kelakuan Dila.
Dila masih terus menatap ke arah Vero, matanya berbinar seolah menemukan hal baru yang menarik. “Dia pesen lagi nggak tadi?” tanyanya tiba-tiba.
Daren menatap Dila dengan ekspresi tak percaya. “Lo nanya gue? Gak tahu, Dila, kan yang nerima pesenan lo, dongo!”
Tapi Dila tak mendengarkan. Ia masih sibuk mengamati laki-laki itu. Jadi namanya Vero, ya? Dia terlihat… spesial.
“Bikinin hotdog gih,” titahnya ke Daren tanpa mengalihkan pandangan.
“Dih, enak lo! Bikin sendiri lah.”
Lagi-lagi, Dila tak menjawab. Senyumnya semakin lebar.
Kemudian, tanpa aba-aba, ia berdiri dan berjalan menuju meja tempat Vero duduk. Ia berhenti tepat di depannya, diam cukup lama sampai laki-laki itu akhirnya mengangkat kepalanya.
“Kenapa, Mbak?” tanyanya ramah.
Dila tersenyum, senang mendengar suara laki-laki itu lebih dekat. “Gimana hotdognya, Mas? Enak, nggak?”
Vero melirik hotdog di tangannya, lalu kembali menatap Dila bergantian. “Enak kok, Mbak,” jawabnya sambil tersenyum.
“Mau lagi?” tawar Dila penuh harap.
Vero menggeleng cepat, jelas menolak tawaran yang datang tiba-tiba itu. “Nggak, makasih, Mbak.”
Dila tak kehabisan akal. “Aku boleh duduk sini, Mas?” tanyanya, tanpa menunggu jawaban, ia sudah menarik kursi di samping Vero.
Vero mengernyit. “Nggak jaga stand, Mbak?”
Dila menoleh sekilas ke standnya. Masih sepi, dan Daren sepertinya masih bisa menanganinya sendiri. Ia tersenyum santai.
“Gampang itu. Aku temenin Mas-nya aja di sini, ya?” katanya riang, lalu duduk tepat di samping laki-laki itu.
Dila menatap Vero dengan mata berbinar, seolah laki-laki itu adalah penemuan paling menarik sepanjang hidupnya. Ia menopang dagu dengan kedua tangan, masih tersenyum lebar.
Vero, yang awalnya sibuk dengan laptopnya, mulai merasa sedikit risih. Ia melirik Dila sekilas, lalu mengalihkan pandangannya ke layar, mencoba fokus kembali. Namun, tatapan gadis di sampingnya terasa begitu intens.
“…Mbak, kenapa liatin saya gitu?” akhirnya Vero bertanya, merasa tidak nyaman.
Dila hanya mengedip polos. “Nggak apa-apa. Mas-nya enak dilihat.”
Vero mengerjapkan mata, tak tahu harus merespons seperti apa. Namun, sebelum ia bisa berkata apa-apa...
“Dila, woy!!!”
Teriakan Daren dari arah stand membuat Dila menoleh dengan malas.
“Apa sih?” balasnya sebal, enggan beranjak.
“Lo ngapain duduk-duduk di situ?! Ini pesenan makin numpuk, goblok!” teriak Daren lagi.
Vero menahan tawa kecil melihat interaksi mereka, sementara Dila mendengus. “Gue kerja rodi di sini!” gerutunya pelan sebelum akhirnya bangkit berdiri.
Sebelum pergi, ia sempat menatap Vero sekali lagi. “Nanti aku ke sini lagi, ya, Mas~” katanya sambil tersenyum jahil.
Vero hanya mengangguk sambil menampilkan senyumnya, sementara Dila berbalik menuju stand dengan langkah santai.
TO BE CONTINUED —
Dila duduk dengan semangat di kursi seberang Vero, kedua tangannya sibuk dengan buku menu yang diberikan. Mereka memilih tempat makan yang cukup nyaman—tidak terlalu ramai, tapi juga tidak sepi.“Kita pesan apa?” tanya Dila sambil membolak balik halaman di buku menu itu.Vero menyesap air putihnya sebelum menjawab, “Apa aja yang kamu mau.”Dila menatapnya sebentar, lalu tersenyum puas. “Okey deal.”Gadis itu tersenyum puas kemudian mengatakan pada pelayan pesanannya. Cukup banyak, dia memesan seporsi chicken katsu dengan saus keju, French fries, potato balls dan segelas jus alpukat. Vero sendiri memilih menu yang lebih simpel—nasi dengan ayam panggang dan teh tawar hangat.Vero hanya mengangkat bahu santai. “Selama masih bisa dimakan, terserah.” Gumamnya.Saat makanan tiba, Dila langsung menyerang dengan lahap, sementara Vero menikmati makanannya dengan tenang. Jarang-jarang Dila m
“Kelas saya akhiri sampai sini. Terima kasih, selamat siang.”Seorang wanita dengan sepatu hak tinggi melangkah keluar dengan anggun setelah mengucapkan kalimat tersebut. Seluruh mahasiswa di dalam kelas mulai membereskan barang-barang mereka, beberapa mengobrol sebentar sebelum akhirnya beranjak dari tempat duduk.“Terima kasih, Bu,” ujar mereka serempak sebelum dosen benar-benar meninggalkan kelas.Dila merapikan bukunya dengan sedikit lamban. Hari ini dia harus lembur menggantikan hari saat dia keluar bersama Vero untuk mencari sponsor. Jam kerjanya bertambah, dan itu berarti harinya akan terasa lebih panjang dan melelahkan.“La, jadi bareng gue nggak?”Daren, yang sejak tadi duduk di belakangnya, sudah siap dengan tasnya. Dila mengangguk sebagai jawaban, kemudian menggendong tasnya dan mulai mengekor Daren keluar dari kelas.Namun, langkahnya terhenti ketika sebuah suara memang
Kegiatan mengantar makanan kini terasa lebih menjengkelkan dari sebelumnya. Beberapa kali Dila datang ke ruang ORMAWA, ia selalu melihat gadis yang sama berada di dekat Vero—entah sedang mengobrol atau sekadar duduk bersama. Yang lebih menyebalkan, Vero sama sekali tak terlihat terganggu oleh kehadiran gadis itu.Menyukai pria yang memiliki sikap acuh memang melelahkan. Tidak peduli seberapa sering Dila datang, tidak peduli seberapa banyak perhatian yang ia berikan, sepertinya Vero tetap saja bersikap sama—dingin, tenang, seolah tak ada sesuatu yang bisa benar-benar menyita perhatiannya.Hari ini, saat ia kembali mengantar bekal, pemandangan yang sama kembali terulang. Vero dan gadis itu duduk berdampingan di depan ruang ORMAWA, masing-masing sibuk dengan gadget di tangan mereka tanpa banyak berbicara. Tapi justru keheningan itu yang terasa mengganggu bagi Dila.Merasa tak bisa terus diam saja, Dila akhirnya memberan
Jam malam tiba, Vero menghentikan mobilnya di depan rumah berwarna putih dengan pagar besi yang tertutup rapat. Cahaya lampu teras menerangi pekarangan yang tampak rapi, menandakan bahwa seseorang di dalam rumah sudah menunggu.Dila menoleh ke arah Vero dan tersenyum kecil sebelum membuka pintu mobil. "Makasih ya, Mas, buat tumpangannya," ujarnya dengan nada sedikit menggoda.Vero hanya mengangguk. "Sama-sama."Dila merapikan barang-barangnya, memastikan tidak ada yang tertinggal, lalu menambahkan dengan semangat, "Lain kali kalau mau cari sponsor ajak aku lagi ya, Mas."Vero meliriknya sekilas, lalu menggeleng dengan ekspresi jengah. "Nggak ah. Kamu tukang makan, uang saya habis buat jajan kamu."Dila terkekeh, tak merasa tersinggung sama sekali. "Sekali-sekali ah, sama calon pacar."Vero memutar matanya, tapi diam-diam i
"Vero, gue nanti harus ke Bandung sama Bunda." Seorang laki-laki berkata dengan nada sedikit berteriak sambil berjalan cepat menghampiri Vero."Harus hari ini?" tanya Vero tanpa mengubah ekspresi wajahnya.Laki-laki itu mengangguk sambil membereskan barang-barangnya dengan terburu-buru. "Iya, Kakek gue masuk rumah sakit. Kayaknya gue bakal pulang-pergi terus selama beliau dirawat."Vero hanya mengangguk lagi. Ekspresinya tetap datar saat berkata, "Ya udah, gak apa-apa. Gue bisa nyari sponsor sendiri.""Loh, jangan!" sergah laki-laki itu cepat. "Sama Dila aja, Ro. Dia kan cewek lo, sekalian tuh PDKT kalian biar cepet jadian. Kasihan sekampus pada gemes," lanjutnya dengan seringai menggoda sambil menggendong tas ranselnya.Vero mendengus pelan, tapi sebelum sempat membalas, laki-laki itu menepuk punggungnya, seolah ingin meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.“Loh, kebetulan.”Suara lain menyela percakapan mereka. Vero spontan menoleh ke arah pintu dan mendapati seorang teman laki-
Dila duduk di salah satu bangku panjang dekat kantin setelah kelasnya selesai. Makanan yang dia pesan mulai mendingin, tapi perhatiannya masih terpaku pada ponsel. Sesekali, alisnya mengernyit, lalu berubah jadi senyum, kemudian kembali serius—seakan-akan sedang membaca sesuatu yang penting.Akhirnya, apa yang dia tunggu datang juga.Seorang laki-laki dengan wajah datar, tanpa ekspresi antusias maupun bosan, berjalan mendekati mejanya. Seperti biasa, Vero selalu terlihat santai, tapi Dila tahu dia bukan tipe yang akan menyapa lebih dulu.“Hai, Mas Vero.” Dila mengangkat wajahnya, tersenyum lebar seperti biasa.Vero tidak langsung menanggapi. Dia hanya menarik kursi dan duduk di hadapan Dila, menghela napas tipis sebelum akhirnya bertanya, “Ada apa?”Dila menatapnya, kali ini dengan senyum yang lebih manis. “Mau tanya.”Vero menaikkan sebelah alis, bingung.Dila tahu, laki-laki itu pasti bertanya-tanya dalam hati. “Tadi aku antar bekel kamu kan…”Vero memiringkan kepalanya sedikit, dia






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen