Share

My Mom

Author: Essenick
last update Last Updated: 2025-04-14 15:14:12

Jam malam tiba, Vero menghentikan mobilnya di depan rumah berwarna putih dengan pagar besi yang tertutup rapat. Cahaya lampu teras menerangi pekarangan yang tampak rapi, menandakan bahwa seseorang di dalam rumah sudah menunggu.

Dila menoleh ke arah Vero dan tersenyum kecil sebelum membuka pintu mobil. "Makasih ya, Mas, buat tumpangannya," ujarnya dengan nada sedikit menggoda.

Vero hanya mengangguk. "Sama-sama."

Dila merapikan barang-barangnya, memastikan tidak ada yang tertinggal, lalu menambahkan dengan semangat, "Lain kali kalau mau cari sponsor ajak aku lagi ya, Mas."

Vero meliriknya sekilas, lalu menggeleng dengan ekspresi jengah. "Nggak ah. Kamu tukang makan, uang saya habis buat jajan kamu."

Dila terkekeh, tak merasa tersinggung sama sekali. "Sekali-sekali ah, sama calon pacar."

Vero memutar matanya, tapi diam-diam ia mengakui satu hal—Dila memang tidak membosankan. Gadis itu selalu bisa mencairkan suasana, berbicara dengan siapa saja, dan beradaptasi dengan mudah. Tapi sepertinya, sifat itu tidak berlaku untuk semua orang.

Tiba-tiba, Vero menatap ke arah pintu rumah. "Kamu nggak izin ibumu?" tanyanya tiba-tiba.

Dila mengernyit bingung. "Hm?"

Melihat ekspresi serius Vero, Dila ikut menoleh ke arah pintu rumahnya. Benar saja, seorang wanita berdiri di sana dengan pakaian yang masih sama seperti yang Dila lihat di perusahaan tadi. Lengannya terlipat di dada, ekspresinya tegas, seolah sedang menunggu sesuatu—atau lebih tepatnya, seseorang.

Dila menghela napas sebelum tersenyum tipis. "Biasalah, Mama sering terlalu khawatir," gumamnya ringan, berusaha menenangkan dirinya sendiri lebih daripada menjelaskan pada Vero.

Vero mengangguk kecil, memahami kekhawatiran seorang ibu terhadap anak gadisnya yang pulang larut malam.

Saat Dila membuka pintu mobil untuk keluar, ia terkejut melihat Vero ikut turun dari kursinya. "Mas, kenapa ikut turun?" tanyanya heran.

Vero mengedikkan bahunya santai. "Gak sopan kalau nggak sapa," jawabnya tenang, seolah itu hal yang sudah seharusnya ia lakukan.

Mereka berjalan bersama menuju rumah, Dila sedikit tertinggal di belakang Vero.

Begitu sampai di depan pintu, wanita yang sejak tadi berdiri di sana tetap tidak bergeming. Tatapannya tajam, dan ekspresinya sulit ditebak.

Vero menghentikan langkahnya begitu berada di depan pintu, memberi sedikit anggukan sopan ke arah wanita yang berdiri di sana. "Selamat malam, Tante," sapanya ramah, suaranya terdengar tenang dan penuh hormat.

Wanita itu menatapnya sejenak, ekspresinya tetap dingin dan sulit ditebak. Ia mengangguk kecil, tapi tidak ada senyum di wajahnya. "Malam," jawabnya singkat, seolah hanya sekadar formalitas.

Dila yang berdiri di sampingnya bisa merasakan udara di sekitarnya berubah sedikit lebih dingin. Mamanya memang sering berperilaku seperti ini terhadap orang asing, tapi entah kenapa kali ini rasanya lebih menusuk.

Vero, yang sepertinya bisa membaca situasi, tidak langsung mundur. Ia justru tetap berdiri tegak, lalu dengan nada sopan dan penuh kehati-hatian, berkata, "Maaf, Tante, anaknya saya ajak pulang malam. Tadi kami sibuk mencari sponsor untuk acara kampus."

Nada suaranya lembut, tanpa nada membela diri ataupun merasa bersalah. Hanya sebuah penjelasan sederhana, tapi cukup untuk membuat Dila ingin bertepuk tangan dalam hati. Lihatlah betapa tenangnya Vero dalam situasi seperti ini.

Namun, wanita di hadapan mereka tidak menunjukkan perubahan sikap yang berarti. Ia tetap menatap Vero dengan ekspresi datar, seolah masih mempertimbangkan sesuatu di dalam kepalanya. Setelah beberapa detik yang terasa lebih panjang dari seharusnya, ia akhirnya menjawab, "Begitu ya. Gak mau mampir dulu?"

Hanya itu. Tidak ada pertanyaan lebih lanjut, tidak ada basa-basi lain.

“Makasih tante, karena sudah malam mungkin lain kali saya mampir tante.”

Ibu Dila hanya mengangguk. Ekspresinya masih tak bersahabat bahkan sampai Vero pamit pulang.

Dila tetap berdiri di tempatnya, memperhatikan Vero yang membuka pintu mobil dan bersiap masuk. Saat tubuhnya hampir sepenuhnya berada di dalam, Dila akhirnya bersuara, suaranya sedikit lebih lirih dari biasanya.

"Sampai ketemu lagi besok, Mas," katanya pelan, tapi cukup jelas untuk didengar.

Vero sempat berhenti sebentar, tangannya masih di pintu mobil. Ia menoleh sekilas ke arah Dila, lalu tersenyum kecil sebelum akhirnya masuk dan menutup pintu.

Mobilnya melaju perlahan, meninggalkan pekarangan rumah Dila. Gadis itu tetap berdiri di tempatnya, menatap lampu belakang mobil Vero yang semakin menjauh, sebelum akhirnya menghilang di tikungan.

Dila dengan segera menoleh ke arah ibunya, menundukkan kepala dalam merasa bersalah. Bahkan hanya dengan tatapan itu mungkin bisa saja Dila terbunuh.

"Sudah lama nunggu, Ma?" tanya Dila santai sambil tersenyum.

Wanita itu tidak membalas senyuman putrinya. Dengan nada tegas yang sedikit mengintimidasi, ia bertanya, "Dari mana saja kamu?"

Dila masih menunjukkan senyumannya. "Dari cari sponsor di dua perusahaan, Ma," jawabnya santai, mencoba mencairkan suasana. "Jadi tadi aku sama Mas Vero, kita presentasi ke perusahaan-perusahaan, dan seru banget! Mas Vero tuh awalnya keliatan serius, tapi ternyata dia asyik juga kalau diajak ngobrol lama-lama…"

Gadis itu menceritakan semuanya tentang hari ini, bahkan juga menceritakan soal Mas Vero-nya yang tiba-tiba mengajak gadis sepertinya mengajukan proposal sponsor hanya berdua.

Ini termasuk kencan gak sih.

—•§•—

Keesokan harinya, di ruang ORMAWA, suasana berjalan seperti biasa. Mahasiswa lalu-lalang dengan urusan masing-masing, beberapa duduk di meja panjang sambil berdiskusi, sementara yang lain sibuk mengetik di laptop. Ruangan itu dipenuhi dengan suara obrolan pelan, suara ketikan, dan sesekali tawa kecil di sudut ruangan.

Namun, bagi Dila, rutinitas paginya tidak akan lengkap tanpa satu hal—mengantarkan bekal untuk Mas Vero-nya.

Ia melangkah masuk dengan santai, membawa kotak makan yang sudah disiapkannya sejak tadi pagi. Kebiasaan ini bukan hanya tentang memastikan Vero makan dengan benar, tapi juga alasan agar ia bisa lebih sering bertemu dan berbicara dengan laki-laki itu.

Seperti yang sudah diduga, Vero masih sibuk dengan pekerjaannya. Ia duduk di kursinya dengan ekspresi serius, matanya fokus pada layar laptop, sementara di meja depannya tergeletak beberapa tumpukan kertas. Dila melangkah mendekat, meletakkan kotak bekal dengan hati-hati di meja. Gerakannya cukup halus, tapi tetap cukup untuk membuat Vero mengangkat kepalanya.

"Bagaimana ibumu?" tanyanya tiba-tiba, tanpa basa-basi.

Dila, yang baru saja hendak duduk di kursi sebelahnya, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Ia mengerjapkan mata sebelum akhirnya tertawa kecil, mencoba terlihat santai. "Gak masalah. Namanya juga ibu-ibu, wajar khawatir," jawabnya sambil mengangkat bahu, seolah itu bukan sesuatu yang perlu dipikirkan terlalu dalam.

Vero mengangguk pelan, ekspresinya tetap tenang seperti biasa. Namun, setelah beberapa detik hening, ia menambahkan dengan nada agak ragu, "Maaf, saya langsung pulang kemarin."

Dila, yang sedang membuka botol minumnya, langsung menoleh. Ia mengedip beberapa kali sebelum akhirnya menyeringai kecil. "Gak dimaafin sih," ucapnya ringan, tapi ada binar jahil di matanya.

Vero menaikkan alis, sedikit bingung dengan respons itu. "Kenapa?"

"Harusnya kamu bawa aku pergi lagi, biar gak dimarahin," seloroh Dila tanpa dosa, menyengir lebar.

Vero menghela napas pelan, menatap gadis itu dengan ekspresi setengah pasrah. "Katanya gak masalah," balasnya santai. "Sekarang malah bilang dimarahin."

Dila tertawa kecil, sedikit canggung karena tertangkap basah oleh Vero yang memang selalu jeli. "Hehe," tawanya pendek, mencoba mengalihkan pembicaraan.

Vero memperhatikannya sebentar, menyipitkan mata seakan meneliti. "Bohong kamu, ya?" tebaknya dengan nada datar, tapi ada sedikit nada menggoda di ujung kalimatnya.

Dila nyengir lebar, menyadari dirinya kepergok. Ia tidak berusaha menyangkal, hanya mengangkat bahu tanpa dosa.

Melihat itu, Vero hanya menggelengkan kepala, ekspresi wajahnya sulit ditebak—antara gemas dan pasrah menghadapi tingkah gadis di depannya. "Kamu ini..." gumamnya pelan, ada sedikit tawa samar di balik nada suaranya.

Dila tertawa pelan, lalu tanpa basa-basi mendorong kotak bekal sedikit lebih dekat ke arah Vero. "Ini bekal buat hari ini, Mas," ujarnya sambil tersenyum. "Kali ini menunya banyak dan sehat. Buatan Mama, jadi harus habis ya."

Vero menatap bekal itu sebentar sebelum mengangguk. "Makasih ya."

Dila masih berdiri di tempatnya, matanya berbinar iseng. "Kalau makanannya kurang buat kamu, nanti makannya sama aku habis kelas. Biar makin enak. Hehe."

Vero hanya tersenyum tipis lalu menggeleng, tahu betul Dila hanya mencari alasan untuk makan bersamanya lagi nanti.

Dila melihat jam tangannya sekilas, menyadari waktunya hampir habis. Ia meraih tasnya, bersiap pergi. "Aku duluan ya, Mas. Ada kelas setelah ini," pamitnya ceria.

Vero hanya mengangguk sambil membuka bekalnya, sementara Dila berbalik dan melangkah pergi. Namun, sebelum benar-benar keluar, ia melirik sebentar ke arah Vero, lalu tersenyum kecil. Ada sesuatu tentang laki-laki itu yang membuatnya betah berada di dekatnya—bahkan dalam interaksi sesederhana ini.

TO BE CONTONUED —

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Presiden BEM Itu Kekasihku   Awal Yang Baik

    Dila duduk dengan semangat di kursi seberang Vero, kedua tangannya sibuk dengan buku menu yang diberikan. Mereka memilih tempat makan yang cukup nyaman—tidak terlalu ramai, tapi juga tidak sepi.“Kita pesan apa?” tanya Dila sambil membolak balik halaman di buku menu itu.Vero menyesap air putihnya sebelum menjawab, “Apa aja yang kamu mau.”Dila menatapnya sebentar, lalu tersenyum puas. “Okey deal.”Gadis itu tersenyum puas kemudian mengatakan pada pelayan pesanannya. Cukup banyak, dia memesan seporsi chicken katsu dengan saus keju, French fries, potato balls dan segelas jus alpukat. Vero sendiri memilih menu yang lebih simpel—nasi dengan ayam panggang dan teh tawar hangat.Vero hanya mengangkat bahu santai. “Selama masih bisa dimakan, terserah.” Gumamnya.Saat makanan tiba, Dila langsung menyerang dengan lahap, sementara Vero menikmati makanannya dengan tenang. Jarang-jarang Dila m

  • Presiden BEM Itu Kekasihku   Sorry.

    “Kelas saya akhiri sampai sini. Terima kasih, selamat siang.”Seorang wanita dengan sepatu hak tinggi melangkah keluar dengan anggun setelah mengucapkan kalimat tersebut. Seluruh mahasiswa di dalam kelas mulai membereskan barang-barang mereka, beberapa mengobrol sebentar sebelum akhirnya beranjak dari tempat duduk.“Terima kasih, Bu,” ujar mereka serempak sebelum dosen benar-benar meninggalkan kelas.Dila merapikan bukunya dengan sedikit lamban. Hari ini dia harus lembur menggantikan hari saat dia keluar bersama Vero untuk mencari sponsor. Jam kerjanya bertambah, dan itu berarti harinya akan terasa lebih panjang dan melelahkan.“La, jadi bareng gue nggak?”Daren, yang sejak tadi duduk di belakangnya, sudah siap dengan tasnya. Dila mengangguk sebagai jawaban, kemudian menggendong tasnya dan mulai mengekor Daren keluar dari kelas.Namun, langkahnya terhenti ketika sebuah suara memang

  • Presiden BEM Itu Kekasihku   Annoying

    Kegiatan mengantar makanan kini terasa lebih menjengkelkan dari sebelumnya. Beberapa kali Dila datang ke ruang ORMAWA, ia selalu melihat gadis yang sama berada di dekat Vero—entah sedang mengobrol atau sekadar duduk bersama. Yang lebih menyebalkan, Vero sama sekali tak terlihat terganggu oleh kehadiran gadis itu.Menyukai pria yang memiliki sikap acuh memang melelahkan. Tidak peduli seberapa sering Dila datang, tidak peduli seberapa banyak perhatian yang ia berikan, sepertinya Vero tetap saja bersikap sama—dingin, tenang, seolah tak ada sesuatu yang bisa benar-benar menyita perhatiannya.Hari ini, saat ia kembali mengantar bekal, pemandangan yang sama kembali terulang. Vero dan gadis itu duduk berdampingan di depan ruang ORMAWA, masing-masing sibuk dengan gadget di tangan mereka tanpa banyak berbicara. Tapi justru keheningan itu yang terasa mengganggu bagi Dila.Merasa tak bisa terus diam saja, Dila akhirnya memberan

  • Presiden BEM Itu Kekasihku   My Mom

    Jam malam tiba, Vero menghentikan mobilnya di depan rumah berwarna putih dengan pagar besi yang tertutup rapat. Cahaya lampu teras menerangi pekarangan yang tampak rapi, menandakan bahwa seseorang di dalam rumah sudah menunggu.Dila menoleh ke arah Vero dan tersenyum kecil sebelum membuka pintu mobil. "Makasih ya, Mas, buat tumpangannya," ujarnya dengan nada sedikit menggoda.Vero hanya mengangguk. "Sama-sama."Dila merapikan barang-barangnya, memastikan tidak ada yang tertinggal, lalu menambahkan dengan semangat, "Lain kali kalau mau cari sponsor ajak aku lagi ya, Mas."Vero meliriknya sekilas, lalu menggeleng dengan ekspresi jengah. "Nggak ah. Kamu tukang makan, uang saya habis buat jajan kamu."Dila terkekeh, tak merasa tersinggung sama sekali. "Sekali-sekali ah, sama calon pacar."Vero memutar matanya, tapi diam-diam i

  • Presiden BEM Itu Kekasihku   Semakin Dekat

    "Vero, gue nanti harus ke Bandung sama Bunda." Seorang laki-laki berkata dengan nada sedikit berteriak sambil berjalan cepat menghampiri Vero."Harus hari ini?" tanya Vero tanpa mengubah ekspresi wajahnya.Laki-laki itu mengangguk sambil membereskan barang-barangnya dengan terburu-buru. "Iya, Kakek gue masuk rumah sakit. Kayaknya gue bakal pulang-pergi terus selama beliau dirawat."Vero hanya mengangguk lagi. Ekspresinya tetap datar saat berkata, "Ya udah, gak apa-apa. Gue bisa nyari sponsor sendiri.""Loh, jangan!" sergah laki-laki itu cepat. "Sama Dila aja, Ro. Dia kan cewek lo, sekalian tuh PDKT kalian biar cepet jadian. Kasihan sekampus pada gemes," lanjutnya dengan seringai menggoda sambil menggendong tas ranselnya.Vero mendengus pelan, tapi sebelum sempat membalas, laki-laki itu menepuk punggungnya, seolah ingin meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.“Loh, kebetulan.”Suara lain menyela percakapan mereka. Vero spontan menoleh ke arah pintu dan mendapati seorang teman laki-

  • Presiden BEM Itu Kekasihku   Who's She?

    Dila duduk di salah satu bangku panjang dekat kantin setelah kelasnya selesai. Makanan yang dia pesan mulai mendingin, tapi perhatiannya masih terpaku pada ponsel. Sesekali, alisnya mengernyit, lalu berubah jadi senyum, kemudian kembali serius—seakan-akan sedang membaca sesuatu yang penting.Akhirnya, apa yang dia tunggu datang juga.Seorang laki-laki dengan wajah datar, tanpa ekspresi antusias maupun bosan, berjalan mendekati mejanya. Seperti biasa, Vero selalu terlihat santai, tapi Dila tahu dia bukan tipe yang akan menyapa lebih dulu.“Hai, Mas Vero.” Dila mengangkat wajahnya, tersenyum lebar seperti biasa.Vero tidak langsung menanggapi. Dia hanya menarik kursi dan duduk di hadapan Dila, menghela napas tipis sebelum akhirnya bertanya, “Ada apa?”Dila menatapnya, kali ini dengan senyum yang lebih manis. “Mau tanya.”Vero menaikkan sebelah alis, bingung.Dila tahu, laki-laki itu pasti bertanya-tanya dalam hati. “Tadi aku antar bekel kamu kan…”Vero memiringkan kepalanya sedikit, dia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status