“Kau pikir, dia mengenalmu?” Ada nada mencemooh dipertanyaan yang baru dilontarkan oleh Randy. “Kau hanya menghalangi jalannya.”
Avenna mendengkus pelan. Malas meladeninya. Tapi matanya masih menjurus ke arah pria yang sekarang sudah masuk ke dalam mobil sedan hitam yang segera melaju. Tidak mungkin! Gumam Avenna. Walau nada suara, bahkan wanginya sama. Tapi, pria bayarannya, seorang mahasiswa, auranya pun hangat, sorot matanya sama-sama tajam tapi penuh kelembutan. Tidak seperti pria itu. Dingin, mengerikan. Bukan! Pasti bukan dia! Lagipula, Pria dengan gaya seperti dia tadi. Tidak mungkin menurunkan marwahnya hanya demi menjadi seorang pria bayaran untuk dirinya. Avenna menggeleng kuat. Menyakinkan diri, pria itu tak mungkin pria yang sudah menghangatkan rajangnya selama setahun ini. Tettt!!! Suara klakson membuat Avenna terlonjak kaget. Dia mengepalkan kedua tangannya, geram. “Masuk!” Suara Randy lantang. “Iya, iya! Aku masuk!” Ia langsung menyipitkan matanya melihat Randy yang entah sejak kapan sudah masuk ke dalam mobil mereka. Dengan wajah kesal, Ia menarik napas dan berjalan cepat ke arah tempat duduk depan. Tak lama, mobil itu melaju meninggalkan bandara itu. *** “Wandy sedang mengandung.” Randy mengatakan hal itu lagi. Tujuannya hanya mengingatkan tapi membuat Avenna jengah. “Aku belum kena demensia. Jadi tak perlu mengulanginya lagi. Aku tahu dia hamil. Orang tak kenal dia juga tahu dia hamil karena tangannya dari tadi tidak beranjak dari perutnya.” Avenna mendengkus. Baru juga mereka melewati pintu utama kediaman mereka. Randy sudah berkata hal yang membuat Avenna naik darah. Wendy merangkul tangan Randy dengan lembut dan intim, gerakan yang tampak sekali ingin dia pamerkan. Cih! Mana mungkin aku cemburu dengan hal itu. “Kakak, mungkin Kak Avenna merasa aku ….” Wendy mengatakannya lembut dan mendayu. “Yap!” Avenna memotong membuat Wendy sedikit kaget hingga matanya membulat.“Kalian memang menggangguku. Aku sudah nyaman di sini sendirian selama tiga tahun dan kalian datang.” Berdiri di tengah terik matahari tadi membuat kepalanya sakit atau memang karena emosinya yang tak bisa dia kontrol sejak melihat pasangan selingkuh ini. Dan karenanya, Avenna tak tertarik bermain drama dengan Wendy sekarang. “Avenna!” Suara Randy meninggi. Tentu ingin menegur sikap istrinya ini yang menurutnya tak bersopan santun. “Ya! Ya! Ya! Kenapa sih harus teriak. Aku di sini, masih belum tuli juga. Katakan? Kau ingin apa tadi?” Tanya Avenna dengan wajah malasnya. Randy menarik napasnya dalam, tanda dia sudah tersulut emosinya. Tangan Wendy dengan lembut menekan dada pria itu, mencoba menenangkannya. . “Aku ingin Wendy tinggal di kamar utama agar dia nyaman selama kehamilannya di sini.” “Tidak!” Avenna menjawab singkat. Membuat dua orang di depannya langsung mengerutkan dahinya. Tak percaya penolakan spontan Avenna. “Tidak boleh.” Randy mengerutkan dahinya. 3 tahun ternyata waktu yang cukup membuat orang sangat berubah. Dulu sepertinya Avenna adalah gadis yang penurut dan mudah dimanipulasi. Tapi sekarang …. “Apa maksudmu tidak? Ini rumahku. Terserah aku ingin berikan kamar utama pada siapa?” Kilah Randy mencoba menahan emosinya. “Ini rumahmu. Tapi selama tiga tahun ini aku yang mengurusnya. Ada 5 kamar lain yang ada disini. Dia boleh tinggal di yang mana saja, asalkan jangan di kamar utama.” Avenna membayangkan bagaimana adegan Randy dan Wendy bergumul di tempat tidur yang memang dia pesan khusus untuknya, juga dia tata sesuai seleranya. Seketika, perutnya bergejolak, semakin mual saja. Tapi dia coba tetap bertahan. “Lagipula kamar utama ada di lantai atas. Itu beresiko untuk ibu hamil. Dan untukku juga.” Avenna tersenyum manis, cenderung mengejek. “Resiko untukmu juga?” Wendy mengerutkan dahinya dalam-dalam. Dia wajar, tapi Avenna? “Ya. Mana tahu kau mau memainkan drama. Di mana kau menjatuhkan dirimu dari tangga, tapi aku yang dituduh?” Avenna melirik ke wanita seperti benalu, lengket sekali pada inangnya. Avenna ingat sebelum mereka pergi ke luar negeri dulu. Beberapa kali Wendy memfitnahnya hanya demi perhatian. Jadi, dia harus mengantisipasinya. “Kau!” Wendy menahan amarahnya yang sudah hampir meledak. “Jangan marah. Ibu hamil tak boleh marah.” Avenna kembali tersenyum mengejek. “Ave —!” Randy lagi-lagi menaikkan suaranya satu oktaf. “Hah. Kalian belum ada satu jam di rumah ini. Tapi sudah membuatnya begitu ramai. Aku ingin mandi.” Avenna merasa tak peduli hingga memutar matanya. Bahkan dia tak menatap mata Randy yang sudah berapi-api. “Pilihlah kamar kalian yang cocok, tak perlu sungkan. Anggap saja rumah sendiri. Ok?” Avenna menepuk pundak Randy beberapa kali. Menerbangkan senyumannya sebelum dia melenggang ringan. Meninggalkan dua orang yang tampak bingung menghadapi wanita itu. Bukankah rumah ini memang rumahnya? Gumam Randy dalam hati. *** Begitu pintu kamar tertutup, Avenna nyaris berlari menuju meja kerjanya. Jemarinya gemetar saat membuka kunci ponselnya, menepis sisa emosi yang masih membekas dari pertemuan tak terduga tadi. "Leander Steele..." desisnya pelan. Namanya berdengung di kepalanya, seolah memaksa Avenna untuk menggali lebih dalam, meski dirinya sendiri belum yakin kenapa ia begitu terusik. Dia mulai mengetik nama itu ke dalam mesin pencarian. Enter. Deretan hasil mulai bermunculan, tapi tak satu pun memuaskannya. Artikel-artikel penuh jargon korporat: “Analis Keamanan Termuda.” “Pendiri L.S. Consortium.” “Konsultan Bayangan untuk Proyek Rahasia Negara.” tapi tak satu pun foto jelas. Hanya siluet. Atau potret dari jauh yang nyaris tak bisa dikenali. Bahkan satu artikel hanya menampilkan punggung pria itu di sebuah ruang konferensi, gelap, buram, tanpa wajah. Avenna mengerutkan kening dalam. "Apa-apaan ini..." bisiknya. Ketidakpuasan menyelimuti hatinya. Tak butuh waktu lama, ia membuka kontak rahasianya dan mengetuk nomor dengan inisial R. Nada sambung hanya beberapa detik terdengar sebelum tersambung. "Ya?" suara di seberang terdengar waspada. "Aku butuh bantuan," kata Avenna cepat. "Cari tahu segalanya tentang pria bernama Leander Steele. Posisi, relasi, jaringan, semua. Dan aku butuh fotonya. Jelas. Tanpa bayangan, tanpa siluet, tanpa blur." "Berbahaya?" "Mungkin. Lagipula, kalau ini mudah, aku tak akan meneleponmu. Potong saja dari tabunganku." Hening sejenak. Lalu suara itu menjawab, "Butuh waktu. Dia bukan tipe orang yang muncul di pesta amal atau majalah bisnis." "Aku bisa tunggu. Tapi jangan terlalu lama. Kirim semua yang kau dapat ke email rahasiaku." Tanpa menunggu balasan lagi, Avenna menutup sambungan. Ia menatap ponselnya yang kembali ke layar utama, napasnya sedikit memburu. Pikirannya masih membentur-bentur fakta bahwa pria itu muncul begitu saja di hidupnya, dengan aura dingin yang terlalu familiar sekaligus asing di waktu bersamaan. Ia bersandar ke kursinya, menatap langit-langit kamar yang remang. Lalu tersenyum tipis dan bergumam, "Leander Steele. Kita lihat seberapa misteriusnya dirimu?"Ia segera membuka laptop yang memang dia bawa di ranselnya dan menghubungkan flash drive itu segera. "Bukankah kita ingin menghancurkannya?" tanya Avenna langsung saja. Ia melihat pergerakan Raina yang tidak sesuai rencana. Kenapa terlihat Raina malah seolah ingin mengaktifkannya? "Ya, tapi aku hanya..." Raina terdiam sesaat, mencari port untuk menyambungkannya. "Aku hanya ingin menghancurkannya secara keseluruhan dari laptopku. Kakak tidak akan mengerti." "Oh, baiklah.” Avenna menyipitkan matanya kala Raina membuka isi Flash Drive itu. Benar sekali, di sana tertulis Laviathan. “Benar ini dia!” Gadis itu langsung membukanya. “Raina! maaf, ponselku lupa dicas, jadi lowbat dan aku pinjam port USB-mu untuk mengisi daya. Aku ingin mengirimkan pesan pada Leander bahwa kita sudah menemukannya." Avenna tanpa persetujuan menyambungkan kabel datanya ke port USB laptop Raina, dia juga menunjukkan ponselnya, menampilkan layar chat online-nya. Raina tersenyum miring lalu mengangguk. Denga
Keheningan hutan pinus kini hanya diisi oleh lengkingan pilu yang teredam dari balik kaca. Kematian mereka tidak datang dengan drama, melainkan dengan kelelahan yang mematikan. Wajah-wajah yang tadi penuh arogansi kini memucat, terdistorsi oleh sesak napas yang tak terlihat. Gandrio masih berdiri, tangannya mencengkeram rahang, batuk keras, menatap keluar dengan mata penuh kobaran kebencian. Para tetua yang lain sudah ambruk, tubuh mereka kejang-kejang di lantai baja. Bagi Leander dan Varnell, pemandangan itu terasa seperti tontonan yang harus mereka saksikan, sebuah akhir yang harus disajikan. Varnell tersenyum puas, menyeka sudut matanya seolah ada debu yang masuk. "Tontonan yang membosankan. Mereka mati terlalu cepat," desisnya, suaranya tajam. Leander tidak menjawab. Matanya yang dingin menatap Gandrio yang terus terbatuk. Kepuasan itu hanya sekejap, karena di balik dinding kaca yang tak tertembus itu, ada bayangan masa lalu yang terbunuh, dan ada pula masa depan yang harus dia
BEBERAPA JAM SEBELUM RENCANA PEMUSNAHAN DI HUTAN PINUS, TORONTO. Ruang pertemuan di kediaman Leander dipenuhi oleh ketegangan yang memadat, kaku, dan dingin. Udara terasa tipis, seolah setiap napas yang diambil adalah pertaruhan. Varnell masih duduk di seberang, mengulum cerutu sebelum cerutu itu dia jejalkan ke asbak di depannya. "Jadi, lebih baik kita memancing mereka semua." Suara berat Varnell memecah keheningan kembali, matanya menyapu wajah setiap orang, menilai reaksi mereka. Ia baru saja menjelaskan siapa saja yang menjadi target utama mereka, Gandrio dan para sesepuh keluarga Ramdone juga Vazinni. Avenna, dengan dahinya berkerut dalam, menyuarakan keraguannya. "Mereka tidak mungkin semudah itu masuk perangkap." Pikirannya berpacu, mencari celah dalam rencana yang terdengar terlalu sederhana. Ia tahu musuh mereka licik dan cerdas. "Karena itu, pancingannya harus meyakinkan," Leander menyambung, suaranya tenang, tetapi penuh otoritas. Matanya yang tajam menatap kosong ke
Gandrio tersenyum remeh. "Tenang saja, orang pertama yang akan aku kendalikan adalah dirimu. Kau akan lupa dengan segalanya, dan aku akan membuatmu menjadi keturunanku yang baru." Gandrio dan keenam pria itu langsung masuk, menyerbu ke dalam ruangan itu seperti semut yang menemukan gula. Mereka bersemangat, mata mereka hanya melihat pada kotak yang berisi teknologi yang selama ini mereka buru. Hanya Varnell yang tetap tinggal di luar, bersama dengan Leander dan beberapa penjaganya. Pria itu melirik ke arah Leander, menaikkan kedua alisnya. Seolah berkata, 'Giliranmu.' Setelah itu, Leander yang tadinya terlihat sangat lemah, seketika berdiri tegak. Wajahnya masih pucat, tetapi langkahnya tegas. Aura dingin dan mematikan darinya kembali muncul, seolah ia tak pernah terluka. Meskipun darah membasahi tangannya, dia seolah tidak merasakan apa-apa. Dengan gerakan mantap, dia segera menekan tombol merah yang mencolok di dekat pintu utama. Dan seketika, dinding kaca anti peluru turun dar
"Akhirnya kalian datang juga." Suara melengking Gandrio penuh keceriaan, bergema di antara pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi. Kehadirannya seperti badai yang membawa kekuasaan dan kengerian. Dia mengulurkan tangannya, menjabat satu per satu enam pria yang baru saja tiba. Mereka bergerak dalam formasi, aura kekuasaan yang kental menyelimuti setiap langkah mereka. Hawa dingin pagi seolah tak mampu menembus mantel mahal yang mereka kenakan. Leander berdiri di sana, mengamati mereka. Dua pria adalah anggota keluarganya, keturunan Vazinni yang paling setia pada Gandrio. Empat lainnya adalah tetua dari keluarga Ramdone, yang selama ini menjadi sekutu terdekat klan mereka dalam perburuan gila ini. Mereka semua memancarkan aura arogansi yang sama, seolah dunia berada di bawah telapak tangan mereka, dan kehadiran Leander hanya sekadar formalitas yang tak berarti. "Akhirnya kau mendapatkannya juga. Aku bahkan sudah ingin merelakannya karena aku rasa kita sulit untuk mendapatkannya," kat
Gandrio menyeringai, senyumnya seperti retakan di wajah yang sudah tua, seolah dia menikmati setiap detik penderitaan Leander. Dia berjalan mendekati pria yang seharusnya dia panggil cucu. Setiap langkahnya terasa seperti gemuruh petir yang mendekat, menggetarkan tanah di bawah kaki Leander. "Bahkan putraku sendiri bisa aku bunuh," desisnya, suaranya seperti bisikan iblis, "kenapa tidak dengan wanita yang bukan siapa-siapa?!" Kata-kata itu menghantam Leander seperti palu godam, menghancurkan sisa-sisa akal sehatnya. Wajahnya langsung merah padam, urat di pelipisnya menonjol, dan matanya penuh dengan kebencian yang membara. Amarahnya menguasai dirinya, seperti api yang melahap habis semua yang ada di jalannya. Tanpa berpikir panjang, dia melangkah cepat, tangannya terangkat, ingin mencengkeram leher Gandrio yang keriput dan penuh dosa. Duarr! Suara tembakan memecah keheningan, menggetarkan pohon-pohon pinus hingga daunnya berguguran. Leander langsung merasakan sesuatu yang panas, l