Home / Romansa / Pria Bayaranku Ternyata Penguasa No. 1 / Bab 2. Suara itu ... wangi itu!

Share

Bab 2. Suara itu ... wangi itu!

Author: C.K.A Axio
last update Huling Na-update: 2025-06-17 10:30:31

“Selamat datang, Suamiku!”

Suara Avenna terdengar tercekat, seolah terperangkap antara ironi dan kepura-puraan. Senyumnya, jika bisa disebut senyum, tampak begitu kaku dan asing di wajahnya yang biasanya ekspresif. Seperti hasil latihan di depan cermin berulang kali yang gagal terasa alami.

“Atau… senang bertemu denganmu, Suamiku?” gumamnya lagi, kali ini dengan nada penuh keraguan.

Ia berbicara kepada udara, tetapi headset di telinganya menyambungkan kata-kata itu kepada Lula, sahabatnya yang sudah mengenalnya lebih dari separuh hidup.

“Aku yakin wajahmu sekarang seperti orang yang menahan BAB,” tawa Lula meledak dari seberang, menyentak udara panas di pelataran bandara.

Avenna mendengkus, malas. Wajahnya yang tadi berbinar penuh pura-pura kini kembali pada ekspresi aslinya—kesal, letih, dan ingin pulang.

“Mana yang lebih baik?” tanyanya, gusar. “Yang terdengar ramah tapi tidak terlalu berlebihan.”

“Hah, mana aku tahu? Dia suamimu. Lagi pula, kenapa kau juga yang harus jemput? Memangnya keluarga Randy tidak punya supir?!”

“Teman tak berguna,” geram Avenna. Ia menendang kecil aspal di bawahnya, gerakan spontan untuk melampiaskan kesal yang tak bisa ditumpahkan ke siapa pun. “Entahlah. Keluarganya seperti berkomplot. Katanya biar kami saling ‘mengenal kembali’. Seolah tiga tahun pisah benua itu sudah sangat hebat.”

“Dia suamimu...”

“Ya, ya, ya... jangan ingatkan.” Avenna mendesis pelan, seakan kata ‘suami’ itu menimbulkan alergi di lidahnya. Terasa gatal dan menyengat parah.

“Ngomong-ngomong... dia pulang dengan wanita itu?” Lula kini lebih serius. Nada suaranya turun satu oktaf, curiga.

Avenna menarik napas panjang. Pandangannya menatap kosong ke kejauhan, menyapu kerumunan penumpang yang baru keluar dari pintu kedatangan.

“Entahlah. Mungkin saja,” acuh Avenna.

Hidung Avenna mengerut seolah terasa asam. Saat umur 18 tahun, dia ‘terpaksa’ menikahi Randy Hazelton. Terpaksa karena Avenna sama sekali tidak memiliki perasaan pada pria yang saat itu berumur 27 tahun. Dia menyetujuinya sebagai bentuk ‘Balas Budi’ untuk keluarga Hazelton yang sudah menampungnya dari panti asuhan.

Dan … sama dengan Avenna, Randy pun terpaksa melakukannya karena jika tidak, dia tak akan mendapatkan warisan keluarga Hazelton yang terkenal. Karenanya, setelah menikahinya, mereka bahkan tidak pernah berduaan dalam satu ruangan. Lalu, setelah 1 tahun pernikahan, Randy pindah ke luar negeri bersama wanita yang berhasil merayu hatinya dan menetap di sana selama 3 tahun.

Tapi, entah apa yang membuat pria itu pulang sekarang. Padahal Avenna sudah hidup senang menjadi Nyonya Muda Hazelton.

“Mungkin saja?” Suara Lula meninggi. “Kalau benar dia bawa wanita itu, terus kau mau apa?”

Hening. Avenna menutup mulutnya, membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara seperti kabut yang enggan menguap.

“Aku akan mengantar mereka pulang,” ucapnya akhirnya. Datar, tetapi cukup jelas untuk menunjukkan betapa ia tak peduli.

“Tinggal empat bulan lagi. Lalu perceraian itu akan segera terjadi. Semua selesai.” Avenna mengesap udara. Perjanjian pernikahan mereka hanya 4 tahun.

Avenna mengerjapkan matanya.

Jangan-jangan! Dia pulang untuk ini!

Entah kenapa lonjakan dopamin naik begitu saja membanjiri otaknya.

Lula tidak sempat menjawab. Di ujung mata, Avenna menangkap sosok yang familiar. Tubuh jangkung, langkah percaya diri, wajah... yang masih terlalu tampan untuk seorang pengkhianat.

“Sudah. Dia datang.”

“Ave—”

Panggilan Lula terputus seiring Avenna menutup sambungan. Ia berdiri lebih tegak, menyesuaikan postur dan menarik napas dalam-dalam. Ini bukan sambutan karena cinta. Ini adalah peran dan ia sudah lama menjadi aktris yang cukup baik untuk bermain tanpa naskah.

Laki-laki itu — Randy Hazelton — masih seperti dulu. Wibawa terpancar dari tiap langkahnya, seakan dunia ini adalah panggung yang hanya memutarnya sebagai pusat perhatian. Setelan jas kasual tak bisa menyembunyikan statusnya sebagai pewaris imperium Hazelton. Mewah, berkelas, Memesona, tapi bukan untuk Avenna.

Avenna hampir membuka mulut, ingin melontarkan kalimat basa-basi yang sudah ia susun di kepala.

Namun langkahnya terhenti.

Ada sosok lain yang tak jauh mengekor di belakangn Randy. Seorang wanita bergaun putih dengan potongan mewah dan terlalu banyak detail untuk disebut sederhana. Dia berjalan dengan hati-hati, bahkan sengaja menaruh tangan di perutnya, sebuah gerakan kecil yang menyampaikan pesan besar, aku sedang hamil.

Avenna menarik napas pelan. Tentu saja. Kenapa dia harus kaget?

“Pelakor datang juga,” gumamnya nyaris tak terdengar.

Randy merentangkan tangan kanannya, dan Wendy dengan manja langsung menggenggamnya. Mereka tampak seperti pasangan sempurna dari kartu ucapan, kecuali kenyataan bahwa Randy masih bersuami-istri dengan wanita yang berdiri beberapa meter di hadapan mereka.

Avenna menelan rasa mual di tenggorokannya dan kembali memasang senyum. Senyum yang lebih lebar, lebih hangat, lebih... menjijikkan.

“Selamat datang, eh… Randy dan Wendy!”

Hah … Betapa lega rasanya karena tidak perlu menyebut kata ‘suami’.

Randy mendekat, wajahnya datar, seolah pertemuan ini adalah formalitas semata.

“Wendy sedang hamil. Jadi tolong jangan membuatnya emosi,” katanya, langsung, tanpa basa-basi.

Wendy di sampingnya tampak lemah, matanya sendu, bibirnya menekuk seolah menanggung beban dunia. Akting kelas atas.

“Oh, tentu. Bahkan kalau dia ingin menggantikan posisiku di acara keluarga pun, silakan. Aku tidak keberatan,” Avenna menjawab dengan nada ceria yang begitu palsu, sampai-sampai ia sendiri hampir tertawa mendengarnya.

“Jangan bercanda,” Randy menyipitkan mata.

“Siapa yang bercanda?” balas Avenna manis tapi tentu mengganggu Randy.

“Kau tahu aku harus pergi denganmu.” Randy seolah ogah untuk mengakuinya tapi terpaksa melakukannya.

“Yah, kau sendiri yang mengatakannya, ‘kan? ‘HARUS’ pergi denganku. Nanti jangan ada yang memutarbalikkan fakta bahwa aku yang merengek ingin pergi denganmu.” Avenna menekankan kata harus dengan senyum paling canggung yang pernah ia pakai. Bahkan wajahnya terasa pegal menahannya.

Wendy yang tadinya berwajah manis seketika bermuka masam sebelum dia mencucurkan bibirnya, lalu menoleh pelan ke Randy, lalu mengaduh manja. “Kak Randy, di sini panas… aku pusing…”

Dia kira dia akan terlihat imut seperti itu? Julid Avenna dalam hati.

Avenna mengangguk. Seharusnya dia memang menjadi gadis selingkuhan yang lemah, lembut, dan teraniaya.

“Ayo, masuklah,” Randy membukakan pintu mobil untuknya dengan lembut, seolah Wendy adalah porselen rapuh yang tak boleh retak.

Pintu ditutup. Sunyi sesaat mengisi ruang antara Avenna dan Randy.

“Mana sopirnya?” tanya Randy dingin.

“Tidak ada. Ibumu menyuruhku menjemputmu sendiri. Katanya biar aku ‘berkontribusi’ setelah tiga tahun menumpang hidup padamu,” Avenna menjawab, menyeringai sinis. “Jadi, Tuan Hazelton, silakan naik. Tapi jangan harap aku mau membukakan pintu.”

Ia berbalik, membuka pintu sisi pengemudi tapi tangan Randy tiba-tiba menutupnya kembali.

Avenna menoleh cepat. “Apa lagi?”

“Kau masih semenyebalkan yang aku ingat,” gumam Randy, tak menatapnya. Ia mengulurkan tangan. “Kunci. Aku yang menyetir.”

Avenna mendecak pelan.

“Silakan.” Ia melemparkan kunci ke arah Randy tanpa menatap, lalu berjalan memutar ingin menuju kursi penumpang bagian depan.

Tapi baru saja langkahnya menjejak. Suara kerumunan orang membuat seluruh perhatian jatuh pada sosok yang sekarang bagaikan spotlight di sana. Tentu saja, Avenna berpaling menatapnya.

Ia menyipitkan matanya, menghalau sinar matahari yang menyilaukan sosok yang sejurus terlihat tepat mengarah ke arahnya. Avenna membesarkan matanya saat siluet itu menjadi jelas.

Sosok pria dengan tinggi mungkin lebih dari 190 cm, dengan wajah nyaris sempurna, tidak … sudah sangat sempurna, berdiri tepat di depannya, hanya beberapa langkah yang memisahkan mereka.

Wanita itu menahan napasnya saat sorot mata hitam kelam itu tertuju padanya. Sorot mata yang tajam dan dalam, yang seolah tidak mengizinkan siapa pun melakukan gerakan apa pun, bahkan untuk menelan ludah. Bibirnya yang merah dan juga tercetak sempurna.

Pria ini mahakarya.

Dan entah kenapa, untuk sesaat, Avenna merasa terjebak akan pesonanya. Tidak! Dia mungkin punya simpanan, tapi dia bukan wanita murahan. Jadi … ini luar biasa.

“Tuan Leander Steele! Apa yang membuat Anda pulang sekarang?” seorang wartawan yang sedari tadi mengejarnya akhirnya berhasil menyodorkan mic di depannya.

Pria itu melirik wartawan itu sejenak sebelum matanya kembali jatuh pada Avenna yang seketika menelan ludahnya. Ekor mata Avenna menangkap tatapan curiga dari Randy yang tersirat. Ia menggeleng pelan, tanda tak mengerti.

“Karena seorang wanita,” ucap pria itu dengan suara yang membuat Avenna semakin membeku. Apalagi sorot matanya menghujam dirinya.

Kenapa pandangannya begitu? Memangnya mereka saling kenal? Pikir Avenna lagi.

Tapi sedetik setelah mengatakannya, pria itu membuang pandangnya tajam.

“Minggir!” serunya dingin.

“Ha?” Avenna sedikit kaget akan sentakan itu.

Tapi sebelum dia bisa mencerna. Tangannya ditarik paksa oleh Randy. Membuatnya tergeser dari jalanan itu.

Pria itu kembali melangkah anggun bak seekor singa. Saat dia melewati Avenna, sejurus aroma Cedar dan Cendana ditiup angin menyentuh saraf hidungnya.

Membuat Avenna membesarkan matanya dan menoleh cepat ke arah sosok yang meninggalkannya tanpa melihat ke belakang.

Suara itu … wangi itu …

Dia?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (6)
goodnovel comment avatar
Sweet Candy🍭
ya ampun Randy judes ya sama istrinya. sdngkan Wendy manja bgt
goodnovel comment avatar
Sweet Candy🍭
ada apa Randy tiba2 balik yaaa . padahal udah punya cwe lain
goodnovel comment avatar
Sweet Candy🍭
oh ya ampun, ngapain nikah yaaa.. kalau sama2 slengkiii
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Pria Bayaranku Ternyata Penguasa No. 1   Bab 87. Musuh dalam selimut.

    Ia segera membuka laptop yang memang dia bawa di ranselnya dan menghubungkan flash drive itu segera. "Bukankah kita ingin menghancurkannya?" tanya Avenna langsung saja. Ia melihat pergerakan Raina yang tidak sesuai rencana. Kenapa terlihat Raina malah seolah ingin mengaktifkannya? "Ya, tapi aku hanya..." Raina terdiam sesaat, mencari port untuk menyambungkannya. "Aku hanya ingin menghancurkannya secara keseluruhan dari laptopku. Kakak tidak akan mengerti." "Oh, baiklah.” Avenna menyipitkan matanya kala Raina membuka isi Flash Drive itu. Benar sekali, di sana tertulis Laviathan. “Benar ini dia!” Gadis itu langsung membukanya. “Raina! maaf, ponselku lupa dicas, jadi lowbat dan aku pinjam port USB-mu untuk mengisi daya. Aku ingin mengirimkan pesan pada Leander bahwa kita sudah menemukannya." Avenna tanpa persetujuan menyambungkan kabel datanya ke port USB laptop Raina, dia juga menunjukkan ponselnya, menampilkan layar chat online-nya. Raina tersenyum miring lalu mengangguk. Denga

  • Pria Bayaranku Ternyata Penguasa No. 1   Bab 86. Akhirnya Menemukannya!

    Keheningan hutan pinus kini hanya diisi oleh lengkingan pilu yang teredam dari balik kaca. Kematian mereka tidak datang dengan drama, melainkan dengan kelelahan yang mematikan. Wajah-wajah yang tadi penuh arogansi kini memucat, terdistorsi oleh sesak napas yang tak terlihat. Gandrio masih berdiri, tangannya mencengkeram rahang, batuk keras, menatap keluar dengan mata penuh kobaran kebencian. Para tetua yang lain sudah ambruk, tubuh mereka kejang-kejang di lantai baja. Bagi Leander dan Varnell, pemandangan itu terasa seperti tontonan yang harus mereka saksikan, sebuah akhir yang harus disajikan. Varnell tersenyum puas, menyeka sudut matanya seolah ada debu yang masuk. "Tontonan yang membosankan. Mereka mati terlalu cepat," desisnya, suaranya tajam. Leander tidak menjawab. Matanya yang dingin menatap Gandrio yang terus terbatuk. Kepuasan itu hanya sekejap, karena di balik dinding kaca yang tak tertembus itu, ada bayangan masa lalu yang terbunuh, dan ada pula masa depan yang harus dia

  • Pria Bayaranku Ternyata Penguasa No. 1   Bab 85. Flashback : Pengaturan Rencana.

    BEBERAPA JAM SEBELUM RENCANA PEMUSNAHAN DI HUTAN PINUS, TORONTO. Ruang pertemuan di kediaman Leander dipenuhi oleh ketegangan yang memadat, kaku, dan dingin. Udara terasa tipis, seolah setiap napas yang diambil adalah pertaruhan. Varnell masih duduk di seberang, mengulum cerutu sebelum cerutu itu dia jejalkan ke asbak di depannya. "Jadi, lebih baik kita memancing mereka semua." Suara berat Varnell memecah keheningan kembali, matanya menyapu wajah setiap orang, menilai reaksi mereka. Ia baru saja menjelaskan siapa saja yang menjadi target utama mereka, Gandrio dan para sesepuh keluarga Ramdone juga Vazinni. Avenna, dengan dahinya berkerut dalam, menyuarakan keraguannya. "Mereka tidak mungkin semudah itu masuk perangkap." Pikirannya berpacu, mencari celah dalam rencana yang terdengar terlalu sederhana. Ia tahu musuh mereka licik dan cerdas. "Karena itu, pancingannya harus meyakinkan," Leander menyambung, suaranya tenang, tetapi penuh otoritas. Matanya yang tajam menatap kosong ke

  • Pria Bayaranku Ternyata Penguasa No. 1   Bab 84. Kepuasan yang mereka impikan.

    Gandrio tersenyum remeh. "Tenang saja, orang pertama yang akan aku kendalikan adalah dirimu. Kau akan lupa dengan segalanya, dan aku akan membuatmu menjadi keturunanku yang baru." Gandrio dan keenam pria itu langsung masuk, menyerbu ke dalam ruangan itu seperti semut yang menemukan gula. Mereka bersemangat, mata mereka hanya melihat pada kotak yang berisi teknologi yang selama ini mereka buru. Hanya Varnell yang tetap tinggal di luar, bersama dengan Leander dan beberapa penjaganya. Pria itu melirik ke arah Leander, menaikkan kedua alisnya. Seolah berkata, 'Giliranmu.' Setelah itu, Leander yang tadinya terlihat sangat lemah, seketika berdiri tegak. Wajahnya masih pucat, tetapi langkahnya tegas. Aura dingin dan mematikan darinya kembali muncul, seolah ia tak pernah terluka. Meskipun darah membasahi tangannya, dia seolah tidak merasakan apa-apa. Dengan gerakan mantap, dia segera menekan tombol merah yang mencolok di dekat pintu utama. Dan seketika, dinding kaca anti peluru turun dar

  • Pria Bayaranku Ternyata Penguasa No. 1   Bab 83. Seharusnya aku yang menjadi pemimpin

    "Akhirnya kalian datang juga." Suara melengking Gandrio penuh keceriaan, bergema di antara pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi. Kehadirannya seperti badai yang membawa kekuasaan dan kengerian. Dia mengulurkan tangannya, menjabat satu per satu enam pria yang baru saja tiba. Mereka bergerak dalam formasi, aura kekuasaan yang kental menyelimuti setiap langkah mereka. Hawa dingin pagi seolah tak mampu menembus mantel mahal yang mereka kenakan. Leander berdiri di sana, mengamati mereka. Dua pria adalah anggota keluarganya, keturunan Vazinni yang paling setia pada Gandrio. Empat lainnya adalah tetua dari keluarga Ramdone, yang selama ini menjadi sekutu terdekat klan mereka dalam perburuan gila ini. Mereka semua memancarkan aura arogansi yang sama, seolah dunia berada di bawah telapak tangan mereka, dan kehadiran Leander hanya sekadar formalitas yang tak berarti. "Akhirnya kau mendapatkannya juga. Aku bahkan sudah ingin merelakannya karena aku rasa kita sulit untuk mendapatkannya," kat

  • Pria Bayaranku Ternyata Penguasa No. 1   Bab 82. Pengkhianatan yang kental.

    Gandrio menyeringai, senyumnya seperti retakan di wajah yang sudah tua, seolah dia menikmati setiap detik penderitaan Leander. Dia berjalan mendekati pria yang seharusnya dia panggil cucu. Setiap langkahnya terasa seperti gemuruh petir yang mendekat, menggetarkan tanah di bawah kaki Leander. "Bahkan putraku sendiri bisa aku bunuh," desisnya, suaranya seperti bisikan iblis, "kenapa tidak dengan wanita yang bukan siapa-siapa?!" Kata-kata itu menghantam Leander seperti palu godam, menghancurkan sisa-sisa akal sehatnya. Wajahnya langsung merah padam, urat di pelipisnya menonjol, dan matanya penuh dengan kebencian yang membara. Amarahnya menguasai dirinya, seperti api yang melahap habis semua yang ada di jalannya. Tanpa berpikir panjang, dia melangkah cepat, tangannya terangkat, ingin mencengkeram leher Gandrio yang keriput dan penuh dosa. Duarr! Suara tembakan memecah keheningan, menggetarkan pohon-pohon pinus hingga daunnya berguguran. Leander langsung merasakan sesuatu yang panas, l

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status