“Selamat datang, Suamiku!”
Suara Avenna terdengar tercekat, seolah terperangkap antara ironi dan kepura-puraan. Senyumnya, jika bisa disebut senyum, tampak begitu kaku dan asing di wajahnya yang biasanya ekspresif. Seperti hasil latihan di depan cermin berulang kali yang gagal terasa alami. “Atau… senang bertemu denganmu, Suamiku?” gumamnya lagi, kali ini dengan nada penuh keraguan. Ia berbicara kepada udara, tetapi headset di telinganya menyambungkan kata-kata itu kepada Lula, sahabatnya yang sudah mengenalnya lebih dari separuh hidup. “Aku yakin wajahmu sekarang seperti orang yang menahan BAB,” tawa Lula meledak dari seberang, menyentak udara panas di pelataran bandara. Avenna mendengkus, malas. Wajahnya yang tadi berbinar penuh pura-pura kini kembali pada ekspresi aslinya—kesal, letih, dan ingin pulang. “Mana yang lebih baik?” tanyanya, gusar. “Yang terdengar ramah tapi tidak terlalu berlebihan.” “Hah, mana aku tahu? Dia suamimu. Lagi pula, kenapa kau juga yang harus jemput? Memangnya keluarga Randy tidak punya supir?!” “Teman tak berguna,” geram Avenna. Ia menendang kecil aspal di bawahnya, gerakan spontan untuk melampiaskan kesal yang tak bisa ditumpahkan ke siapa pun. “Entahlah. Keluarganya seperti berkomplot. Katanya biar kami saling ‘mengenal kembali’. Seolah tiga tahun pisah benua itu sudah sangat hebat.” “Dia suamimu...” “Ya, ya, ya... jangan ingatkan.” Avenna mendesis pelan, seakan kata ‘suami’ itu menimbulkan alergi di lidahnya. Terasa gatal dan menyengat parah. “Ngomong-ngomong... dia pulang dengan wanita itu?” Lula kini lebih serius. Nada suaranya turun satu oktaf, curiga. Avenna menarik napas panjang. Pandangannya menatap kosong ke kejauhan, menyapu kerumunan penumpang yang baru keluar dari pintu kedatangan. “Entahlah. Mungkin saja,” acuh Avenna. Hidung Avenna mengerut seolah terasa asam. Saat umur 18 tahun, dia ‘terpaksa’ menikahi Randy Hazelton. Terpaksa karena Avenna sama sekali tidak memiliki perasaan pada pria yang saat itu berumur 27 tahun. Dia menyetujuinya sebagai bentuk ‘Balas Budi’ untuk keluarga Hazelton yang sudah menampungnya dari panti asuhan. Dan … sama dengan Avenna, Randy pun terpaksa melakukannya karena jika tidak, dia tak akan mendapatkan warisan keluarga Hazelton yang terkenal. Karenanya, setelah menikahinya, mereka bahkan tidak pernah berduaan dalam satu ruangan. Lalu, setelah 1 tahun pernikahan, Randy pindah ke luar negeri bersama wanita yang berhasil merayu hatinya dan menetap di sana selama 3 tahun. Tapi, entah apa yang membuat pria itu pulang sekarang. Padahal Avenna sudah hidup senang menjadi Nyonya Muda Hazelton. “Mungkin saja?” Suara Lula meninggi. “Kalau benar dia bawa wanita itu, terus kau mau apa?” Hening. Avenna menutup mulutnya, membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara seperti kabut yang enggan menguap. “Aku akan mengantar mereka pulang,” ucapnya akhirnya. Datar, tetapi cukup jelas untuk menunjukkan betapa ia tak peduli. “Tinggal tiga bulan lagi. Lalu perceraian itu akan segera terjadi. Semua selesai.” Avenna mengesap udara. Perjanjian pernikahan mereka hanya 4 tahun. Avenna mengerjapkan matanya. Jangan-jangan! Dia pulang untuk ini! Entah kenapa lonjakan dopamin naik begitu saja membanjiri otaknya. Lula tidak sempat menjawab. Di ujung mata, Avenna menangkap sosok yang familiar. Tubuh jangkung, langkah percaya diri, wajah... yang masih terlalu tampan untuk seorang pengkhianat. “Sudah. Dia datang.” “Ave—” Panggilan Lula terputus seiring Avenna menutup sambungan. Ia berdiri lebih tegak, menyesuaikan postur dan menarik napas dalam-dalam. Ini bukan sambutan karena cinta. Ini adalah peran dan ia sudah lama menjadi aktris yang cukup baik untuk bermain tanpa naskah. Laki-laki itu — Randy Hazelton — masih seperti dulu. Wibawa terpancar dari tiap langkahnya, seakan dunia ini adalah panggung yang hanya memutarnya sebagai pusat perhatian. Setelan jas kasual tak bisa menyembunyikan statusnya sebagai pewaris imperium Hazelton. Mewah, berkelas, Memesona, tapi bukan untuk Avenna. Avenna hampir membuka mulut, ingin melontarkan kalimat basa-basi yang sudah ia susun di kepala. Namun langkahnya terhenti. Ada sosok lain yang tak jauh mengekor di belakangn Randy. Seorang wanita bergaun putih dengan potongan mewah dan terlalu banyak detail untuk disebut sederhana. Dia berjalan dengan hati-hati, bahkan sengaja menaruh tangan di perutnya, sebuah gerakan kecil yang menyampaikan pesan besar, aku sedang hamil. Avenna menarik napas pelan. Tentu saja. Kenapa dia harus kaget? “Pelakor datang juga,” gumamnya nyaris tak terdengar. Randy merentangkan tangan kanannya, dan Wendy dengan manja langsung menggenggamnya. Mereka tampak seperti pasangan sempurna dari kartu ucapan, kecuali kenyataan bahwa Randy masih bersuami-istri dengan wanita yang berdiri beberapa meter di hadapan mereka. Avenna menelan rasa mual di tenggorokannya dan kembali memasang senyum. Senyum yang lebih lebar, lebih hangat, lebih... menjijikkan. “Selamat datang, eh… Randy dan Wendy!” Hah … Betapa lega rasanya karena tidak perlu menyebut kata ‘suami’. Randy mendekat, wajahnya datar, seolah pertemuan ini adalah formalitas semata. “Wendy sedang hamil. Jadi tolong jangan membuatnya emosi,” katanya, langsung, tanpa basa-basi. Wendy di sampingnya tampak lemah, matanya sendu, bibirnya menekuk seolah menanggung beban dunia. Akting kelas atas. “Oh, tentu. Bahkan kalau dia ingin menggantikan posisiku di acara keluarga pun, silakan. Aku tidak keberatan,” Avenna menjawab dengan nada ceria yang begitu palsu, sampai-sampai ia sendiri hampir tertawa mendengarnya. “Jangan bercanda,” Randy menyipitkan mata. “Siapa yang bercanda?” balas Avenna manis tapi tentu mengganggu Randy. “Kau tahu aku harus pergi denganmu.” Randy seolah ogah untuk mengakuinya tapi terpaksa melakukannya. “Yah, kau sendiri yang mengatakannya, ‘kan? ‘HARUS’ pergi denganku. Nanti jangan ada yang memutarbalikkan fakta bahwa aku yang merengek ingin pergi denganmu.” Avenna menekankan kata harus dengan senyum paling canggung yang pernah ia pakai. Bahkan wajahnya terasa pegal menahannya. Wendy yang tadinya berwajah manis seketika bermuka masam sebelum dia mencucurkan bibirnya, lalu menoleh pelan ke Randy, lalu mengaduh manja. “Kak Randy, di sini panas… aku pusing…” Dia kira dia akan terlihat imut seperti itu? Julid Avenna dalam hati. Avenna mengangguk. Seharusnya dia memang menjadi gadis selingkuhan yang lemah, lembut, dan teraniaya. “Ayo, masuklah,” Randy membukakan pintu mobil untuknya dengan lembut, seolah Wendy adalah porselen rapuh yang tak boleh retak. Pintu ditutup. Sunyi sesaat mengisi ruang antara Avenna dan Randy. “Mana sopirnya?” tanya Randy dingin. “Tidak ada. Ibumu menyuruhku menjemputmu sendiri. Katanya biar aku ‘berkontribusi’ setelah tiga tahun menumpang hidup padamu,” Avenna menjawab, menyeringai sinis. “Jadi, Tuan Hazelton, silakan naik. Tapi jangan harap aku mau membukakan pintu.” Ia berbalik, membuka pintu sisi pengemudi tapi tangan Randy tiba-tiba menutupnya kembali. Avenna menoleh cepat. “Apa lagi?” “Kau masih semenyebalkan yang aku ingat,” gumam Randy, tak menatapnya. Ia mengulurkan tangan. “Kunci. Aku yang menyetir.” Avenna mendecak pelan. “Silakan.” Ia melemparkan kunci ke arah Randy tanpa menatap, lalu berjalan memutar ingin menuju kursi penumpang bagian depan. Tapi baru saja langkahnya menjejak. Suara kerumunan orang membuat seluruh perhatian jatuh pada sosok yang sekarang bagaikan spotlight di sana. Tentu saja, Avenna berpaling menatapnya. Ia menyipitkan matanya, menghalau sinar matahari yang menyilaukan sosok yang sejurus terlihat tepat mengarah ke arahnya. Avenna membesarkan matanya saat siluet itu menjadi jelas. Sosok pria dengan tinggi mungkin lebih dari 190 cm, dengan wajah nyaris sempurna, tidak … sudah sangat sempurna, berdiri tepat di depannya, hanya beberapa langkah yang memisahkan mereka. Wanita itu menahan napasnya saat sorot mata hitam kelam itu tertuju padanya. Sorot mata yang tajam dan dalam, yang seolah tidak mengizinkan siapa pun melakukan gerakan apa pun, bahkan untuk menelan ludah. Bibirnya yang merah dan juga tercetak sempurna. Pria ini mahakarya. Dan entah kenapa, untuk sesaat, Avenna merasa terjebak akan pesonanya. Tidak! Dia mungkin punya simpanan, tapi dia bukan wanita murahan. Jadi … ini luar biasa. “Tuan Leander Steele! Apa yang membuat Anda pulang sekarang?” seorang wartawan yang sedari tadi mengejarnya akhirnya berhasil menyodorkan mic di depannya. Pria itu melirik wartawan itu sejenak sebelum matanya kembali jatuh pada Avenna yang seketika menelan ludahnya. Ekor mata Avenna menangkap tatapan curiga dari Randy yang tersirat. Ia menggeleng pelan, tanda tak mengerti. “Karena seorang wanita,” ucap pria itu dengan suara yang membuat Avenna semakin membeku. Apalagi sorot matanya menghujam dirinya. Kenapa pandangannya begitu? Memangnya mereka saling kenal? Pikir Avenna lagi. Tapi sedetik setelah mengatakannya, pria itu membuang pandangnya tajam. “Minggir!” serunya dingin. “Ha?” Avenna sedikit kaget akan sentakan itu. Tapi sebelum dia bisa mencerna. Tangannya ditarik paksa oleh Randy. Membuatnya tergeser dari jalanan itu. Pria itu kembali melangkah anggun bak seekor singa. Saat dia melewati Avenna, sejurus aroma Cedar dan Cendana ditiup angin menyentuh saraf hidungnya. Membuat Avenna membesarkan matanya dan menoleh cepat ke arah sosok yang meninggalkannya tanpa melihat ke belakang. Suara itu … wangi itu … Dia?“Tuan Leander, silakan Anda untuk makan di meja kami.” Tuan Romero mengundang pria yang masih menjadi sorot utama di pesta itu. “Dengan senang hati.” Leander berjalan beriringan dengan Tuan Romero. Ketika dia sampai di meja yang khusus diduduki oleh keluarga inti. Tanpa ragu dia langsung duduk di sebelah Avenna – tempat yang seharusnya di duduki olah Tuan Romero. “Eh, Tuan ….” Romero sedikit merasa bimbang saat sorot mata Leander terlihat tajam ke arahnya. Ingin menegur tapi dia juga punya kepentingan sendiri dengan Leander, sehingga dia tidak bisa menyinggung pria ini sekarang. Avenna sendiri kaget ketika melihat sosok pria itu tiba-tiba duduk di sebelahnya. Dia sampai menegakkan tubuhnya. Kikuk. Seharusnya dia diapit oleh Randy dan Kakeknya, tapi sekarang, dia malah diapit oleh dua orang pria, dan wangi kayu Cendana bertarung dengan wangi Licorice di hidungnya. Randy sendiri menegangkan rahangnya. Entah kenapa sikap pria ini begitu mengusiknya. Jelas sekali dia mengincar
Avenna turun dengan gaun Merahnya yang elegan. Matanya menyipit melihat dua manusia yang tampak saling berbicara di ruang tengah. Sekilas terlihat Randy seperti sedang menenangkan Wandy yang sepertinya tak ingin di tinggal oleh kekasihnya itu. Rengekan manja terbaca dari wajahnya. “Hmm? Sudah siap?” Suara Avenna memecah pembicaraan mereka. Randy dan Wendy selaras menatap ke arahnya. Ada keterkejutan di sorot mata Randy tapi wajah Wendy menjadi muram. “Kenapa?” Tanya Avenna risih dengan tatapan mereka berdua. “Wendy ingin ikut? Bawa saja dia.” Wajah Wendy langsung sedikit sumringah. Memandang Randy yang terkejut dengan pernyataan Avenna. Apakah wanita ini sama sekali tidak punya rasa bersaing dengan Wendy? “Kakak ….” Suara Wendy merayu. “Tidak bisa. Jika Kakek tahu aku bersamamu sebelum bercerai ….” Randy tampak sulit memilih. “Nanti juga Kakek akan tahu. Kelahiran bayi kalian tak mungkin bisa diundur 4 bulan, ‘kan? Jadi … ya, dia akan tahu.” Avenna mengatakannya sa
“Kau pikir, dia mengenalmu?” Ada nada mencemooh dipertanyaan yang baru dilontarkan oleh Randy. “Kau hanya menghalangi jalannya.” Avenna mendengkus pelan. Malas meladeninya. Tapi matanya masih menjurus ke arah pria yang sekarang sudah masuk ke dalam mobil sedan hitam yang segera melaju. Tidak mungkin! Gumam Avenna. Walau nada suara, bahkan wanginya sama. Tapi, pria bayarannya, seorang mahasiswa, auranya pun hangat, sorot matanya sama-sama tajam tapi penuh kelembutan. Tidak seperti pria itu. Dingin, mengerikan. Bukan! Pasti bukan dia! Lagipula, Pria dengan gaya seperti dia tadi. Tidak mungkin menurunkan marwahnya hanya demi menjadi seorang pria bayaran untuk dirinya. Avenna menggeleng kuat. Menyakinkan diri, pria itu tak mungkin pria yang sudah menghangatkan rajangnya selama setahun ini. Tettt!!! Suara klakson membuat Avenna terlonjak kaget. Dia mengepalkan kedua tangannya, geram. “Masuk!” Suara Randy lantang. “Iya, iya! Aku masuk!” Ia langsung menyipitkan matanya melihat
“Selamat datang, Suamiku!” Suara Avenna terdengar tercekat, seolah terperangkap antara ironi dan kepura-puraan. Senyumnya, jika bisa disebut senyum, tampak begitu kaku dan asing di wajahnya yang biasanya ekspresif. Seperti hasil latihan di depan cermin berulang kali yang gagal terasa alami. “Atau… senang bertemu denganmu, Suamiku?” gumamnya lagi, kali ini dengan nada penuh keraguan. Ia berbicara kepada udara, tetapi headset di telinganya menyambungkan kata-kata itu kepada Lula, sahabatnya yang sudah mengenalnya lebih dari separuh hidup. “Aku yakin wajahmu sekarang seperti orang yang menahan BAB,” tawa Lula meledak dari seberang, menyentak udara panas di pelataran bandara. Avenna mendengkus, malas. Wajahnya yang tadi berbinar penuh pura-pura kini kembali pada ekspresi aslinya—kesal, letih, dan ingin pulang. “Mana yang lebih baik?” tanyanya, gusar. “Yang terdengar ramah tapi tidak terlalu berlebihan.” “Hah, mana aku tahu? Dia suamimu. Lagi pula, kenapa kau juga yang harus
"Apa kita bisa melakukannya sekali lagi? Aku tidak mau rugi. Aku sudah membayarmu mahal, bukan?” Avenna mengucapkannya dengan suara rendah, nyaris seperti bisikan yang mengalir pelan dari bibir yang masih basah, sensual. Jemarinya mengukir perlahan di sepanjang garis otot pria yang menjadi sandaran tubuhnya, keras, kokoh, dan terasa hangat di bawah kulitnya. Pria itu hanya melirik, dan senyum kecil muncul di ujung bibirnya. Bukan senyum ramah, tapi senyum yang tahu betul bagaimana caranya menyalakan kembali bara di tubuh wanita yang tengah bersandar padanya. “Baiklah,” ucapnya, tenang. “Kita lakukan.” Dengan satu gerakan luwes, pria itu membalikkan tubuhnya, kini hampir menindih Avenna. Napasnya hangat, matanya pekat seperti malam yang tak mengenal cahaya. Ia menunduk, bersiap membenamkan ciumannya ke leher jenjang wanita itu. Tapi Avenna menahan dadanya, mendorong sedikit, memaksa mata mereka bertemu. Avenna selalu suka sorot mata hitam yang sekelam malam itu. “Sudah ha