Diadopsi. Dijodohkan. Dipaksa menikahi pria yang mencintai wanita lain. Avenna tak menangis. Tak mengamuk. Dia hanya tersenyum dan menjalani peran sebagai Nyonya Hazelton yang anggun, tak tersentuh, seolah kebal pada luka. Hingga malam itu datang. Malam di mana seorang pria bayaran bertopeng merenggut kendalinya. Membisikkan dosa di balik ciuman, menyulut bara dalam tiap sentuhan, dan menyeretnya ke dunia yang tak pernah ia kenal, penuh napas panas, erangan tertahan, dan bisikan yang merusak logika. "Kau yakin… ingin lepas dariku?" Suara baritonnya merayap di telinga Avenna, menelusup ke tulang belakangnya seperti racun manis yang mematikan. "Yah, yah, aku rasa begitu." Suaranya bergetar. Tapi tubuhnya sudah menyerah sejak jemari pria itu menekan pinggangnya, mengukir ingatan yang tak bisa ia hapus. "Kau bohong," bisiknya. Napasnya membakar kulit leher Avenna. "Karena hanya aku yang tahu… bagaimana membuatmu lupa siapa dirimu, dan hanya mengenal namaku dalam teriakanmu, dalam tubuhmu, dalam setiap detak jantungmu." Satu gigitan. Satu desah. Dan seluruh kendali Avenna runtuh. Tapi yang tak ia tahu… Pria itu bukan sekadar pemuas sesaat.
Lihat lebih banyak"Apa kita bisa melakukannya sekali lagi? Aku tidak mau rugi. Aku sudah membayarmu mahal, bukan?”
Avenna mengucapkannya dengan suara rendah, nyaris seperti bisikan yang mengalir pelan dari bibir yang masih basah, sensual. Jemarinya mengukir perlahan di sepanjang garis otot pria yang menjadi sandaran tubuhnya, keras, kokoh, dan terasa hangat di bawah kulitnya. Pria itu hanya melirik, dan senyum kecil muncul di ujung bibirnya. Bukan senyum ramah, tapi senyum yang tahu betul bagaimana caranya menyalakan kembali bara di tubuh wanita yang tengah bersandar padanya. “Baiklah,” ucapnya, tenang. “Kita lakukan.” Dengan satu gerakan luwes, pria itu membalikkan tubuhnya, kini hampir menindih Avenna. Napasnya hangat, matanya pekat seperti malam yang tak mengenal cahaya. Ia menunduk, bersiap membenamkan ciumannya ke leher jenjang wanita itu. Tapi Avenna menahan dadanya, mendorong sedikit, memaksa mata mereka bertemu. Avenna selalu suka sorot mata hitam yang sekelam malam itu. “Sudah hampir satu tahun... tapi aku bahkan belum tahu bagaimana wajahmu.” Ucapannya pelan, tapi jelas. Tangannya terangkat, hendak menjangkau topeng hitam yang selalu menutupi wajah pria itu setiap kali mereka bertemu. Tapi belum sempat menyentuh, tangan besar itu menggenggam pergelangan tangannya—lembut, tapi kuat. Hangat. “Kita sudah sepakat, Nona. Aku tidak ingin identitasku terbuka.” Senyumnya seperti biasa, manis dengan sentuhan rahasia. Ada sesuatu di baliknya yang selalu membuat Avenna lupa diri—tapi malam ini, tidak. “Tapi—” “Yang perlu kau tahu,” potongnya, “bukan siapa aku. Tapi bagaimana caraku membuatmu lupa siapa dirimu sendiri.” Dan sebelum ia bisa menjawab, pria itu langsung menunduk dan mengecup bahunya. Lembut, dalam, membuat tubuh Avenna bergidik ringan, menggeliat pelan. Kringg! Nada dering ponsel tiba-tiba membelah keheningan yang membara. Memutus sejenak desir gelora malam itu. “Sebentar!” Avenna mendorongnya menjauh. “Tunggu dulu.” Pria itu hanya diam. Ia menyandarkan diri kembali ke bantal dengan ekspresi kecewa yang disembunyikan setengah hati, tatapan frustasi. Tangannya mengusap bibirnya sendiri, seolah menghapus jejak keintiman yang belum selesai. Ugh! Begitu saja sudah menggoda, gumam Avenna. Kringg! Nada itu kembali meraung. Avenna menatap layar. Sebuah nama terpampang. Helen. Hatinya langsung mengejang. Jarang sekali Helen menelepon, terlebih larut malam seperti ini. Ada sesuatu. Sesuatu yang penting. Ia menggeser layar dan menjawab. “Ya, Helen? Ada apa malam begini?” Belum sempat Helen menjawab panjang, Avenna tersentak. Pria di sampingnya sudah kembali menciumi sisi lehernya, dan untuk sesaat, ia masih berusaha menahan erangan. Namun... “Apa?! Pria brengsek itu pulang?! Besok!” Pekiknya nyaring, membuat pria itu berhenti dan menegakkan badan. Avenna langsung turun dari ranjang, bergerak panik. Ia mulai memunguti pakaiannya yang berceceran, sebagian bahkan tergulung di bawah meja. “Aku pulang sekarang,” katanya tanpa menunggu balasan. Pria itu hanya memperhatikan. Diam. Matanya mengawasi tiap gerak cepat wanita itu, setiap kali tangannya menarik kain, mengenakan pakaian , menyisir rambut dengan jari. Panik. Terburu-buru. Terjingkat ke kamar mandi. Tak seperti biasanya. Tiga puluh menit kemudian, Avenna keluar dari kamar mandi. Gaunnya sudah rapi, meski rambutnya masih belum sepenuhnya tertata. Matanya bertemu dengan mata pria itu, yang kini telah mengenakan celana panjang, tetapi bagian atas tubuhnya masih dia biarkan terbuka, menampilkan proporsi yang tak pantas disebut milik pria biasa. Semua orang pasti akan setuju, bahwa pria ini lebih cocok menjadi seorang model dari pada pria bayaran. Tapi … dia sendiri yang mengaku dia tidak bisa berpose dan harus mendapatkan uang cepat demi kuliahnya. “Aku harus pulang.” Pria itu bangkit. “Tapi... kau akan rugi?” Suara itu datar, tapi tidak kehilangan tajamnya. Dia berjalan perlahan seperti singa yang sudah menentukan mangsanya. Melihat itu saja, Avenna langsung tak bisa bernapas. “Ya, aku tahu,” Avenna menjawab. Ia menatap pria itu sekilas yang sekarang sudah ada di depannya. Auranya, wanginya, kemaskulinan yang menggelitik sisi kewanitaannya. “Tapi aku tidak bisa tinggal. Bukan malam ini. Dan bukan lagi setelah malam ini.” “Apa maksudmu?” “Kita tidak bisa bertemu lagi,” ucapnya tegas. “Malam ini... adalah yang terakhir. Suamiku akan pulang. Dan dia akan menetap.” Dia berkata seolah semua itu tak berdampak, tapi dalam hatinya ada gejolak yang sulit diredam. Kata-kata itu terasa seperti pisau yang ia tancapkan sendiri ke dadanya. Tentu saja, kehangatan pria ini sudah menemani malam-malamnya. “Selamanya?” Avenna mengangguk. “Ya. Selamanya.” Hening menggantung. Tapi tatapan pria itu sulit untuk dia baca. Antara tak rela, tak percaya tapi juga marah yang tersimpan. Untuk apa marah? Tanya Avenna dalam hati. Dari awal hubungan mereka hanya sebatas bisnis belaka, bukan? Ia membuka tas kecilnya, menarik sebuah kartu ATM yang selama ini disimpan untuk alasan yang tak ia pahami juga. Ia mengulurkannya. “Ini. Lebih dari seratus ribu dolar. Cukup untuk biaya kuliahmu. Aku harap, kau berhenti menjual tubuhmu. Belajar lah yang serius dan jadi orang sukses ya!” Pria itu tak langsung mengambilnya. “Kau kasihan padaku?” “Tidak.” Avenna menggeleng. “Kau tahu itu. Aku hanya... sudah selesai. Dan kupikir kau juga harus mulai sesuatu yang baru.” Avenna menyodorkan kartu itu kembali. Tepatnya menjejalkannya pada tangan pria itu. “PIN-nya bulan dan tahun di mana Kita bertemu. Kau pasti ingat.” Senyuman manis itu tersungging indah di bibir tipis Avenna. Setelah itu, ia berjalan terburu menggapai pintu. Tak membiarkan pria itu membantah atau memberikan jawaban. “Tapi... Nona...” “You’re welcome.” Avenna melempar senyuman terakhir. “Dan pastikan kita tidak bertemu lagi. Percayalah, aku akan merindukanmu!” Ceklek. Pintu tertutup. Sunyi menyergap. Pria itu menatap kartu ATM di tangannya. Jemarinya mengepal perlahan, membengkokkan kartu itu dengan mudah. Lalu, tanpa berkata apa pun, ia melangkah ke tepi ranjang, meraih topeng yang menutupi wajahnya, dan melemparkannya begitu saja ke atas kasur yang berantakan, hasil mahakarya mereka berdua beberapa jam yang lalu. Wajah di balik topeng itu kini terlihat, luar biasa tampan, tegas, dengan rahang yang menegang dan mata yang menyala. Ia meraih ponsel. Menekan cepat satu nomor. “Lakukan sesuatu untukku. Cari tahu siapa suami Avenna. Kapan dan di mana dia akan kembali.” “Siap, Tuan,” suara di seberang menjawab cepat. Hening menggambang di sekitar. “Dan … umumkan kedatanganku kembali bersamaan dengan kedatangan pria itu.” “Eh? Benarkah Anda … tapi?” “Kau berani mempertanyakan keputusanku?” Suara itu dingin bahkan membuat pria di ujung telepon itu seketika ciut. “Maaf Tuan, Saya akan laksanakan.” Tut … tut … tut … Nada pemutusan panggilan terdengar nyaring. Lalu, pria itu menatap pintu sekali lagi, seolah bisa menembusnya, menembus malam dan menembus semua batas yang tadi dikatakan wanita itu. Dengan suara rendah yang dingin seperti besi, ia bergumam, “Ingin berpisah, hah? Mimpi saja. Karena aku tidak akan pernah melepaskanmu, Vena ….” Gumaman itu beriringan dengan senyuman yang menyeringai licik. “Tidak lagi.”“Kenapa?” tanya Avenna tidak sabaran. “Salah satu dari mereka menghubungi Aku. Dia mengatakan bahwa dia bersedia untuk membantu memberikan sampel DNA-nya, tapi dengan satu syarat, Dia ingin bertemu terlebih dahulu dengan Anda.”Avenna terdiam. Dia sedikit ragu untuk menjawab.“Kapan?” tanya Avenna lagi. Melirik pria yang hanya bisa lihat punggungnya saja.“Dua hari lagi,” jawab R segera. Suaranya terdengar sangat bersemangat. Tentu saja, ini adalah hasil yang sangat dia harapkan setelah bertahun-tahun menjalankan misi ini.Avenna sedikit tersentak. Dua hari lagi, itu terlalu cepat menurutnya. Avenna memang punya rencana untuk meninggalkan kehidupannya di sini setelah perceraian. Tapi, dia akan melakukannya sekitar 2 minggu lagi. Dan … dua hari itu ….Ia kembali melihat ke arah punggung pria yang masih terlihat bergeming dari posisinya. Entah kenapa ada perasaan tak nyaman yang menyeruak di dadanya. Seperti rasa tak rela. Tetapi, dia sendiri tak tahu kenapa perasaan itu menyebar di d
“Hanya kebetulan.” Pria itu menjawabnya dengan sangat tenang sembari kembali menyeruput mienya. Kerutan dalam langsung menghiasi wajah Avenna. Awalnya dia berharap mendapatkan jawaban seperti, “Aku sudah mengenalmu sebelumnya lalu ingin dekat denganmu hingga rela menjadi pria bayaranmu.” Atau sebuah alasan romantis yang lainnya. Tapi jawabannya …. “Hanya kebetulan?! Bagaimana bisa menjadi pria bayaran hanya karena kebetulan?” Avenna merasa sama sekali tidak puas dan tidak terima, bahkan merasa sedikit frustasi. Tapi karena dia agak kaget, suaranya sedikit melengking yang membuatnya langsung menutup mulutnya. Jadi pertemuan mereka memang hanya sebuah ketidaksengajaan. “Tapi bagaimana bisa kau datang dengan topengmu itu? Kau menyiapkannya juga dengan tidak sengaja?!” Sambungnya sewot. Leander tidak langsung menjawab. Dengan santainya kembali mengelap bibirnya lalu memandang Avenna yang sekarang tampak kesal. Kesal kenapa? Avenna sendiri tidak tahu. “Sebelum bertemu denganmu. Aku ti
Avenna menggigit bibirnya sambil terus merasakan genggaman erat di tangannya. Pria di sampingnya tampak cukup sumringah walau masih terkesan datar. Di dalam lift itu hanya ada mereka dua.“Eh, soal tadi ….” Avenna merasa dia harus menjelaskan kenapa dia mengatakan bahwa Leander adalah pengganti Randy.Dia tentu saja tidak punya pemikiran untuk menikah lagi sekarang. Baru saja dia keluar dari ikatan yang sudah menjeratnya selama 4 tahun ini. Tentu dia tidak ingin cepat-cepat kembali terikat dengan seorang pria. Ia mengatakan hal itu hanya agar Randy tidak mengganggu dirinya dan juga Leander.Tapi, kata-kata itu tidak bisa lagi dia lanjutkan ketika tiba-tiba saja Leander mendorong tubuhnya hingga bersandar pada dinding lift, dan hanya beberapa detik kemudian, bibirnya sudah dilumat pelan oleh pria superior ini.Awalnya Avenna kewalahan. Degup jantungnya melonjak, entah karena keterkejutan, atau karena ciuman itu. Entah sejak kapan pula, setiap sentuhan bibir Leander selalu berhasil meng
“Randy … aku rasa lebih baik kau cepat pergi dari sini.” Masih pagi. Avenna tidak ingin ada huru-hara. Lebih baik menghindari konflik. Sedangkan, Leander mendengar itu memberikan kesan bahwa Avenna malah ingin melindungi Randy. Hal itu membuat gejolak hatinya semakin panas. Dan apa yang ditakutkan oleh Avenna terjadi juga. Pria itu tiba-tiba menarik daun pintu sehingga terbuka lebar, menunjukkan sosoknya dengan wajah sama sekali tak ramah. Randy tentunya syok dengan hal ini. Bukan karena dia ketahuan menjelekkan Leander di belakangnya. Tapi, karena dia bertanya-tanya, apa yang dilakukan pria ini, sepagi ini, di tempat istrinya? Jangan-jangan …. Avenna juga sama syoknya. Dia sampai menarik napas dan geleng-geleng kepala, wajahnya tampak pasrah. Apa yang harus aku katakan pada Randy tentang keberadaan pria ini? Dia pasti sudah curiga. Padahal aku sudah jelas-jelas mengkode Leander. Dan masa hanya karena Randy menjelekannya, Leander langsung marah? “Kenapa dia ada di sin
Avenna sedikit meringkuk, mencari kehangatan yang terasa menyentuh punggungnya semalaman. Tapi, saat tangan kekar itu melingkar di tubuhnya, Avenna membuka matanya lebar-lebar. Awalnya, dia hampir tersentak, tapi ketika menoleh ke arah si empunya lengan, dia terdiam. Dia kaget, karena ini pertama kalinya dia bangun pagi satu ranjang dengan seorang pria, selama ini, walau mereka tidur bersama. Avenna selalu memastikan tidak akan tertidur lebih dari dua jam. Dia memastikan untuk tidak menginap bersama pria ini agar tidak ada masalah di kemudian hari. Karena itu, dia menjadi sedikit panik. Tapi, setelah otaknya bisa memproses semuanya. Dia baru bisa memperhatikan pria itu dengan tenang. Wajahnya jauh dari kesan dingin, malah terlihat tentram dan tenang. Avenna tersenyum tipis. Pemandangannya indah di pagi ini. “Selamat pagi.” Avenna berbisik kecil. Bukan untuk membangunkan pria di sisinya, hanya ingin menyapanya pelan. “Kenapa kau bisa begitu tampan?” gumamnya lagi menyusuri batang
“Kenapa kau terus memandangiku seperti itu? Layar TV-nya di sana.” Avenna sedikit melirik tajam pada pria di sisinya. Avenna memutuskan untuk menonton beberapa film yang belum sempat dia tonton dan Leander seperti biasanya selalu mengikuti apa pun yang dilakukan oleh Avenna. “Kau nikmati tontonanmu, aku menikmati tontonanku,” jawabnya singkat yang langsung membuat Avenna menarik napasnya. Kenapa dengan pria ini, sih? “Jangan begitu, aku tidak bisa konsentrasi melihatnya jika terus kau pandangi seperti itu! Lihat ke depan.” Avenna mendorong pipi Leander agar dia mengalihkan pandangannya, tapi pria itu malah menangkap tangannya, dengan satu hentakan menarik tubuhnya hingga akhirnya Avenna mendarat dalam pelukan pria itu, bersandar di dadanya yang tegap. Avenna terdiam. Dia bisa mendengar dengan jelas degup jantung pria itu, terdengar cukup kencang tapi teratus. Suara napasnya yang halus berkolaborasi dengan hangat tubuhnya membuat suasana yang menenangkan. Avenna bahkan tidak
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen