Hampa. Satu kata yang Jane rasakan adalah hampa. Pandangannya mengedar, agak bergidik ketika merasakan hawa dingin menyapa kulitnya. Tatapannya tertuju pada hujan serta gemuruh langin yang belum juga reda dari esok hari. “Kenapa harus hujan,” gumamnya sembari menghela nafas. Jane menundukkan kepalanya, menaikkan selimut untuk menutupi pundak yang telah dbaluk dengan switer tebal milik Vincent. Ketukan air yang terdengar dari balkon cukup nyaring, mengisi kekosongan ruangan yang memang sengaja Jane tempati sebagai tempat istirahatnya hari ini. Sebelum esok ia kembali bekerja. “Aku, bahkan tidak merasakan kesedihan sedikit pun,” ucap Jane lagi. Senyuman terukir sebentar, sebelum kekosongan itu kembali melanda. Tak ada siapapun di tempat itu, hanya dirinya yang berdiri di depan jendela. Sampai kemudian langkah kaki menggema di ruangan lain dan geseran pintu terdengar dengan munculnya seorang pria dengan rambut setengah basah. Vincent datang dengan satu kantung makanan yang ia leta
“Jangan lupa mampir kembali,” ucap seorang gadis berponiyang tengah melayani kafe di balik meja kasir. Senyuman mengembang di wajahnya yang nampak tirus. Jane sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan tampilan kopi yang disediakan di kafe tersebut, namun pelayanan yang diberikan memberikan kesan tersendiri bagi para pengunjung. “Jane?” Suara yang nampak familiar, membuat Jane yang tadinya fokus pada beberapa laporan di tabletnya kini beralih fokus. Suara bicang di sekitar membuatnya sadar jika ia sedari tadi tak terlalu memperhatian apa yang terjadi di sekitarnya. Sampai kemudian panggilan itu ia terima. Shopia, wanita itu berdiri di sampingnya dengan satu gelas kopi di tangan. Alis kanan Jane terangkat, menatap bingung pada wanita yang dulu pernah hampir merebut kekasihnya atau bisa juga dikatakan wanita yang merusak hubungannya dengan Vincent. Mendapatkan tatapan datar dari Jane, Shopia hanya tersenyum kecil. Tanpa tahu malu, ia malah duduk di kursi depan Jane. “Aku tidak menya
Jane hanya diam, memandang sesuatu yang sungguh baru kali ini ia lihat dalam hampair tiga puluh tahun hidupnya. Jam menunjukkan pukul enam sore hari ketika datang dan secara kebetulan itu adalah jam di mana waktu besuk dibuka. Ayahnya datang, masih dengan wajah yang nampak arogan. Namun, ia tidak buta jika ada duka yang menyelimutinya. Ia tidak bisa berbohong jika rasa kehilangan itu juga ia rasakan, meskipun sudah ia simpan dengan sangat rapat dan baik dari siapapun. Kini, di depannya, sang ayah tengah menikmati makan siang yang ia buatkan di kafe Vincent. Momen langka yang bahkan dulu tidak pernah sudi ia bayangkan akan terjadi di dalam hidupnya. “Apa makanannya enak, Paman?” tanya Vincent. Ayah Jane yang mendengarnya mendongak. Mata sayu yang menunjukkan jika umur priaitu sudah tidak muda lagi. “Ya, sangat enak. Apa kau seorang koki?” tanya ayah Jane sebelum kembali menikmati makananya dengan lahap. Vincent yang mendengarnya terkekeh kecil. Ujung matanya melirik Jane yang namp
Keputusan besar yang sebenarnya sudah sejak lama ingin Jane lakukan adalah keluar dari agensi. Selain karena ia memang sudah memiliki tujuan lain dalam hidupnya Jane kira sudah cukup baginya membantu Thomas dalam mengelola agensi. Banyak team yang memahami konsep yang Jane berikan meskipun beberapa di antaranya terasa begitu ketat dan memberatkan banyak pihak. Thomas menghela nafas, pandangannya yang tadinya hanya fokus pada layar komputer kini tertuju pada Jane. Ia mendongak dan kembali, wajah Jane yang sungguh menjengkelkan menyambutnya. Wanita itu tengah berdiri di samping sofa dengan pakaian merah cerah yang sungguh menyakiti mata, ia heran mengapa Jane memilih baju semacam itu. Apakah ia menunjukkan perlawaan, pikir Thomas dengan konyolnya. Namun, ia sendiri juga tidak heran lantaran apa yang dilakukan Jane buka sesuatu yang baru. Wanita itu kerap datang dengan tuntutan tak masuk akal serta pakaian yang menunjukkan jika ia tengah serius dengan ucapannya. “Aku sungguh akan kelu
“Kenapa melamun?” Jane tersentak ketika sebuah suara mengalun tepat di dekat telinganya. Vincent dengan senyuman manis memberikan pelukan hangat pada sang kekasih yang nampak tak terlalu bersemangat malam itu. Entah hanya perasaan Vincent atau memang Jane seperti itu setelah mendengar pembicaraan kedua orang di lift beberapa saat lalu. “Aku—” “Apa perlu kita membicarakan ulang tentang anak?” Jane terdiam ketika ucapannya terpotong dengan kata-kata Vincent. Tatapan mereka bertemu. Namun, tak lama wanita itu memilih kembali menghadap langit malam yang nampak sunyi di depan sana. “Yaaa, namun kini tidak.” Vincent terkekeh dan kembali mengeratkan pelukannya. “Jangan terlalu dipikirkan. “ Jane tak menjawab ucapan itu, ia hanya menghela nafas pelan dan menganggukkan kepalanya. Udara malam semakin dingin, begitu pula apa yang tengah dirasakan oleh Jane. Biarpun belum siap, secara jujur Jane sebenarnya sangat menantikan saat dirinya memiliki anak di masa depan, namun entah kapan akan t
Tumpukan barang-barang sudah memenuhi ruang tamu apartemen Jane. Beberapa barang lain yang kemungkinan tidak akan dibawa juga sudah terbungkus lapisan plastik. Tak ada yang tersisa, dipastikan semuanya tetap rapi dan tidak berdebu karena Jane membencinya. Sejujurnya ia tengah memikirkan rencana apa yang akan ia lakukan setelah liburan panjang, kembali bekerja di perusahaan agensi Thomas atau memilih untuk mencari pekerjaan lain yang mungkin sesuai dengan passionnya. Sebagai seseorang yang telah memiliki nama, wanita itu tak terlalu ambil pusing tentang pekerjaan. Menghela nafas pelan setelah selesai dengan acara berkemas, Jane merebahkan tubuhnya di pinggir karpet. Memiringkan tubuh dan menatap dua koper besar yang akan ia bawa yang kini teronggok di ujung ruangan. Tak Pandangan yang tadinya hanya tertuju pada benda mati kini teralihkan pada sosok pria yang selalu menemaninya. Selalu ada untuknya dan kini bahkan rela meminta izin untuk menyelesaikan tugas akhir dari jarak jauh. Se
Pukul dua siang, mereka sampai di penginapan. Jane melihat sekitar, menghela nafas ketika suasana di ruangan itu tidak banyak berubah. Meskipun di beberapa bagian terdapat debu yang menempel. Lampu gantung di ruang makan, salah satu hal yang menarik perhatiannya lantaran benda itu pernah ia beli untuk hadiah ibu Vincent. Jane juga tidak melewatkan sebuah bunga hidup yang terlihat nampak terawatdi tralis jendela. Bunga-bunga yang kini sayangnya belum berbunga itu adalah tumbuhan kesayangan Maya. Jane masih ingat betul bagaimana perempuan baya itu sangat semangat menjelaskan jenis bunga dan cara menanamnya dengan media air. Pandangan Jane kini tertuju ke luar jendela dapur, di tangan kanannya segelas air putih yang telah berhasil menghalau dahaga sudah di tegak setengah. Grep Jane tersentak namun tak memberikan respon yang berarti. Hanya menyentuh kulit sang pria yang terasa kasar. “Kenapa diam saja, hmm? Ada masalah?” Jane memalingkan wajahnya, menadapati tatapan penasaran dari Vi
“Kami mengenalnya dan kebetulan kafe ini miliknya,” ucap seorang wnaita berseragam yang nampak memandang secarik kertas di tangan. Suasa kafe tak terlalu ramai hari ini lantaran gerimis di pagi buta. Suasana masih cukup dingin untuk berkatifitas di luar. Meskipun demikian kafe wajib buka sesuai dengan jamnya, tak ada alasan untuk menunda meskipun sang bos tidak ada di tempat. Pandangan wanita yang tadi datang merambah sekitar. Beberapa orang nampak berlalu lalang di dalam kafe yang terlihat sangat menarik di mata. Di antara bangunan yang berjejer di tepian pantai yang tenang itu, bangunan kafe yang menurutnya memang sangat menarik. Ia tersenyum kecil ketika menyadari siapa yang mungkin mendekorasinya. Sementara itu, si pegawai kafe nampak melirik kecil pada wanita yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri, ia kemudian kembali memandang pada sebuah foto yang tentu saja baginya sangat tidak asing. Itu foto Vincent, pria yang tak lain adalah bosnya dan juga pemilik salah stau pengin