Sore hari yang terik, tidak diduga pria yang baru diketahui Jane bernama Kevin itu benar-benar datang ke pesisir. Pakaiannya nampak rapi, Jane bisa melihat aura karismatik menguar dari pria itu. Namun, yang membedakan adalah struktur wajahnya yang memang lebih ke barat-baratan.Pria itu nampak kalem, bahkan lebih kalem dari pada apa yang Jane duga sebelumnya. Tak ada raut marah, yang ditemukan Jane adalah kerinduan pada sang putra yang barang kali telah lama tidak bertemu.Leo, anak kecil itu terlihat nyaman dipelukan ayahnya yang belum mengeluarkan suara apapun ketika datang. Anak kecil itu sepertinya juga tahu betul siapa orang tau aslinya. Sementara itu, Lusi nampak membuang muka, duduk di single sofa yang berada dekat dengannya.“Jadi—apakah kau akan tetap disini? Jika iya, aku akan membawa Leo bersamaku,” ucap pria matang itu dengan mantap.Pandangan mata Lusi nampak memicing, namun bibirnya tidak mengatakan apapun.“Kau tak keberatan jika anakmu dibawa ayahnya?” tanya Jane, men
‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana.Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent.‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’“Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?”Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya.‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat.“Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang.Terdengar helaian nafas di seberang sana.‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara ru
‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana. Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent. ‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’ “Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?” Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya. ‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat. “Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang. Terdengar helaian nafas di seberang sana. ‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara rumah tangga ku pada orang asing,’ saut laki-laki itu. Jane kembali melihat sekitar, kafe nampak sibuk dan ia tak menemukan akan adanya gangguan untuk hal ini. “Na
Jane adalah seorang wanita karir yang tahun ini menginjak usia 27 tahun. Sebuah umur matang dengan kehidupan yang bisa dibilang gemilang. Wajahnya yang molek, postur tubuhnya yang semampai membuat wanita itu menjadikan model sebagai profesinya. Wajahnya tirus dengan hidung bangir dipadukan dengan mata monoloidnya yang cantik, membuatnya sering dibilang terlalu sempurna untuk menjadi manusia. Namun, apakah pandangan orang lain selalu membuatnya di atas awan?Ternyata tidak. Sejujurnya wanita itu mengalami masalah besar sejak tiga tahun terakhir. Ia situasi yang membuatnya tak nyaman. Kondisinya diperburuk dengan jadwalnya yang memang cukup padat. Jane adalah bintang yang paling terang untuk agensi hiburan yang menaunginya. Selain tampil di pemotretan majalan dan catwalk, Jane juga sering digaet brand-brand mewah. Thomas, sebagai pemilik agensi tentu selalu memberikan treatment terbaik untuk modelnya tersebut dan salah satunya adalah merekomendasikan seorang psikiater kenalannya.
Setelah dua hari dari pemberian saran dari sang psikiater, Jane kembali ke jadwal rutinnya yang padat dan menguras tenaga. Hari ini menjadi pengawas beberapa kelas modeling di agensi dan juga juri— itupun jika sempat dan ia mau. Bukan rahasia umum jika Jane mendapatkan perlakuan istimewa dari sang pemilik agensi. Thomas terlalu percaya padanya dan tak jarang membuat Jane berlaku sesuka hati hingga sering membuat dongkol staf dan pelatih lainnya. Jane mengenal dirinya sendiri bahkan lebih baik dari siapapun. Itulah poin kenapa ia tak terlalu memusingkan pendapat orang lain. Ia seperti membentengi diri dari pengaruh siapapun setelah trauma berkepanjangan yang pernah ia terima di masa lalu. “Jane, jika penilaianmu mematok tingkat sempurna, pelatihan ini akan berakhir sia-sia. Mereka perlu berlatih lagi untuk bisa mencapai level yang sama dengan apa yang kau inginkan,” keluh wanita yang kini nampak murung. Namanya Dona, salah satu pelatih senior di agensi itu.Hampir dua bulan ia melati
Hari masih terlalu pagi untuk sebuah kabar berita yang tak terlalu penting mengganggu hari Jane. Wanita itu menatap tak berminat pada barisan kata clickbait yang nampak panas dan menggoda untuk siapa saja yang haus akan gosip murahan. Disertai sebuah gambar blur wajah dua orang. Kabar itu berhembus hanya karena pakaian yang dikenakan mirip dengan miliknya yang bahkan dirinya sendiri tidak tahu di mana dan kapan memakai pakaian yang ditunjukkan ke dalam berita infotainment pagi. Ia dan pria yang digosipkan dengannya hari ini memang saling mengenal di masa lalu. Meskipun tidak sampai menjalin hubungan. Tapi Jane sendiri tak ingin banyak orang tahu jika mereka saling mengenal atau mengkonfirmasi pada media karena itu sama halnya dengan bunuh diri.“Beberapa orang menelepon dan menanyakan tentang kebenaran berita,” ucap Lucas. Pemuda itu membawa dua buah gelas dengan aroma kopi yang pekat. Satu untuk Jane dan satu lagi untuknya. Sebuah rutinitas yang ia lakukan semenjak kerja dengan wa
“Jadi kau menolaknya?” Tanya Jasmine. Jane tak perlu menjawab pertanyaan itu lantaran sudah terlalu jelas jawabannya. Pandangannya fokus pada pemandangan di luar kereta, suara gesekan mesin yang terdengar sangat nyaring namun tak membuat suasana kereta teredam. Ini adalah pengalaman kabur paling mengesankan yang mungkin akan menghancurkan karirnya. Namun siapa yang akan peduli, jika Jane dikeluarkan dari perusahaan hiburan tempat ia bernaung saat ini, maka ada kontrak lain yang tengah menunggunya untuk ditandatangani dan untuk Jasmine, wanita itu terlampau nekat dan bahkan ia memang berencana membangkang pada ibunya. “Lagi pula apa pria itu tidak tahu siapa dirimu, kenapa berani sekali menawarimu hal semacam itu,” gerutu Jasmine.“Yeah, semua laki-laki memang sama saja.”Kekehan Jasmine terdengar tapi masih kurang nyaring ketimbang pembicaraan segerombolan wanita-wanita tua yang duduk di kursi belakang mereka. Dua wanita yang memiliki pekerjaan sebagai seorang model itu tengah
Mereka sampai pukul lima sore dengan keadaan langit yang menguning. Beberapa anak berlarian di pinggir pantai yang tampak bersih dan indah. Jane menghela nafas setelah sampai di pekarangan penginapan yang kata si supir adalah tempat yang mereka tuju. Jasmine masih terlihat ngantuk, namun wanita itu tetap memutar lensanya ketika melihat bunga-bunga indah di pekarangan penginapan. “Orang-orang mengira kita adalah dua orang mahasiswi yang tengah melakukan study tour jika kau tetap seperti itu,” ucap Jane sembari meletakkan kopernya. Ia kemudian duduk di salah atau kursi yang ada di sana. Ketika ia mencoba membuka ponsel, ternyata tidak ada jaringan internet di tempat itu. Sesuatu yang kelewat bagus. Secara otomatis keberadaannya tidak akan terlacak.“Di sini tidak ada jaringan.”“Ah, benarkah.” Jasmine membuka ponselnya. “Kau benar.” Jane hampir saja menarik satu batang rokok di saku tasnya. Namun hal itu ia urungkan ketika mendengar suara berisik dari dalam rumah. Jasmine juga segera