Share

BAB 8

Author: vee
last update Last Updated: 2023-07-11 22:30:24

Menjadi model atau apapun yang berkaitan dengan bidikan kamera, tidak semenyenangkan yang orang lain bayangkan. Bahkan untuk mereka yang setiap hari hilir mudik di layar televisi, pekerjaan ini tidak seindah apa yang terpampang di depan kamera. 

Banyak orang bicara dalam sebuah siaran televisi atau podcast, tentang bagaimana rasanya menjadi seorang yang menjadi pusat perhatian. Jane kira, orang-orang yang bicara tentang rumitnya hidup di tengah dunia hiburan adalah orang yang terlampau berani, Jane masih sering kali ketakutan untuk berbicara pada dunia jika dirinya tidak sesempurna yang mereka pikirkan di depan kamera. Apa yang ada di depan kamera, tidak selalu sama dengan apa yang ada di belakang kamera. Banyak rules yang sebenarnya harus dipelajari terlebih dahulu.  

Meskipun begitu, masih banyak orang berlomba-lomba melakukan segala hal untuk bisa masuk industri hiburan, bukan masalah, mereka akan tahu bagaimana industri itu berjalan ketika sudah masuk dan menjalani. Seberapa gelap lorong yang akan mereka lewati dan Jane sudah melakukan hampir segalanya dan menukarnya dengan masa mudanya untuk mencapai itu, hingga hari ini. 

Pujian, kepopuleran, harta, Jane kira hal itu sungguh sangat berharga untuk dirinya. Ia pernah merasakan tak bisa makan dan harus menjadikan tubuhnya sebagai sebuah alat pertukaran untuk dapat uang. Sesuatu kegelapan masa lalu yang sebenarnya sangat ingin ia hapus dari ingatannya. 

Jika yang dilihat orang lain adalah gemerlap dunia, kemungkinan akan berbeda jika memakai kacamata Jane sebagai seorang bintang. Dunia hiburan, kelewat pekat. 

Jane sering melihat beberapa rekannya mencari peruntungan dari mengejar cinta suami orang atau paling sering juga bagaimana pria mendekati wanita yang lebih kaya untuk mendapatkan ketenaran. Kelihatannya memang seperti cerita yang sering ditayangkan di acara gosip pagi murahan yang cukup memuakkan, sayangnya amat digemari para kaum pengangguran.

Realita kehidupan artis jauh lebih gelap, jauh lebih pekat dari perkiraan siapapun. 

"Aku kembali bertemu denganmu di pagi yang bahkan belum tercium." 

Sebuah suara membuat Jane tersentak dari lamunannya. Ia menoleh dan yang ditemukan adalah Vincent yang berjalan ke arahnya. Pria itu memakai jaket tebal namun anehnya celana yang dikenakan hanya sebatas lutut.  

"Kau bisa balik badan dan pergi.”

Vincent berdehem.

Akhirnya mereka hanya diam dengan posisi duduk bersisian. Jane sempat melirik Vincent yang nampak tenang dengan dirinya sendiri. Namun tak lama, pria itu mengeluarkan sebatang rokok dari saku celana.

“Kau mau coba?” tanyanya.  

Jane mendengus dan ketika ujung jarinya hampir menyentuh rokok itu, Vincent menariknya kembali dan menatap wanita di sampingnya dengan penuh tanda tanya.

“Kau tak akan sembuh jika terus mengkonsumsi benda ini,” ucapnya.

Jane terkekeh. Pandangannya kembali ke arah laut ketika angin mulai terasa dingin di kulit yang bahkan sudah terlapisi jaket.

“Bukankah kau yang menawariku.”

Vincent berdehem, Jane kira pria itu akan membakar rokok itu. Namun yang dilakukan kini adalah melempar barang kecil itu ke tempat sampah yang ada di sana. 

“Tidak, aku hanya bercanda,” ucapnya kemudian dengan membenahi posisi duduknya menjadi lebih nyaman. 

“Kau kira lucu?”

“Kau terlalu serius.”

Setelahnya, mereka ditelan keheningan. Jane juga hanya ingin menikmati apa yang ada di depan. Langit mulai menguning dan sebentar lagi pagi akan datang. Banyak hal akan terjadi jika pagi menjelang, biasanya ketika ia di kota. Tapi ketika ia hanya di tempat sepi seperti ini—Jane rasa ia bisa melakukan apapun sebagai dirinya sendiri, bukan seorang model yang sibuk. 

“Kau—insomnia?”

Wanita itu menoleh, ia terlihat biasa saja, seakan suasana kesal yang dirasakan menghilang ketika bertemu pandangan dengan retina coklat milik pria itu.

“Ya, sesuatu yang biasa terjadi.”

“Itukan alasan kau kemari?"

Jane tak langsung menjawab. Suasana menjadi agak aneh ketika Vincent terlihat menunggu jawaban. Ada kilasan balik tentang beberapa hari lalu ketika Jane mendapatkan teguran langsung dari wanita bernama Naomi lantaran ia pergi dengan Vincent. Konyol memang.

Tapi itu bukan sesuatu yang mampu membuat Jane takut dan sebagainya, Jane hanya merasa—aneh. Baru kali itu dirinya mendapatkan teguran dari wanita yang menurutnya jauh di bawah dirinya. 

"Kau tahu, jika menjadi sibuk kadang kala membuatmu ingin rehat," ucap Jane dengan pandangan yang masih fokus ke depan. 

Vincent mengangguk kecil, seakan faham dengan hal itu. Pria itu juga sibuk, hanya saja jenis kesibukan mereka berbeda dan Vincent tak pernah berpikir untuk istirahat. Ia terlalu mencintai pekerjaannya sebagai pemilik kafe. Kemungkin karena memiliki banyak kesempatan untuk memperhatikan orang lain yang menjadi pelanggannya atau orang-orang yang sedang berlalu lalang di sekitar kafe 

“Apa yang kau pikirkan ketika memilih mimpi itu?” tanya Vincent sembari memandang Jane. 

“Apalagi selain uang, tidak ada yang ku inginkan selain memiliki uang.”

“Hanya itu? pantas kau merasa kini menginginkan untuk istirahat.”

Suara deburan ombak semakin bising ketika matahari sudah semakin terlihat, suasana di pantai masih cukup sunyi. 

“Apakah sudah menjadi kebiasaanmu, selalu menebak tanpa dasar?" Tanya Jane dengan sinis. 

Vincent terkekeh, ia masih tak mengalihkan perhatian dari Jane, wanita itu bahkan harus memicingkan mata lantaran merasa tak nyaman.

“Entahlah, kau—hanya orang —oh, maksudku salah satu orang yang mudah untuk dibaca.”

Jane mendengus, tangannya mengelus pasir yang ada di bawahnya, matanya memejam keika merasakan seakan pasir itu hidup dan berbicara tentang ketenangan padanya.

“Aku—tidak tahu dengan orang-orang sepertimu. “

Ucapan Vincent yang tiba-tiba itu membuat Jane membuka mata, menatap pria yang kini beralih meliha laut dengan pandangan menerawang.

“Orang-orang sepertimu selalu menginginkan posisi atas dan posisi pertama dalam sebuah ujian. Kemudian ketika kau merasakan seberapa tidak menyenangkan posisi itu. Kau pergi seakan-akan tak memiliki tanggung jawab sama sekali,” ucapnya. 

Jane merasa hatinya seperti dipalu mendengarkan kata-kata itu. Sungguh, pria itu—dia bukan orang biasa, pikir Jane. 

“Kekuasaan, ketenaran, uang. Bukankah kau sama saja menjual dirimu dengan iblis? Ah, itu terdengar mengerikan bukan? Apa kau pernah membayangkan jika dirimu jatuh?”

Jane menegakkan kepala, dengan nafas pelan.

“Bukankah ini sesuatu yang tidak seharusnya ku bicarakan dengan orang asing? Lagi pula apapun itu, apakah kau memiliki hak untuk berkomentar, apa—"

“Kenapa tidak, semua orang boleh berkomentar apapun disini. Aku hanya berbicara tentang opiniku."

Jane menghela nafas. Pandangannya beralih ke kanan ketika mendengar segerombolan anak-anak yang nampaknya sudah mulai mencari kerang. Oh, orang-orang di daerah pantai memiliki pekerjaan pengrajin dan cindera mata yang seringkali menjadi tujuan para penjual manik-manik laut. Meskipun hal itu tidak terlalu menguntungkan menurut Jane. 

“Lalu aku harus apa?” 

“Ucapanmu bukankah terdengar selalu putus asa?”

Jane kembali berdecak. Ia menoleh dan pandangannya terpaku pada Vincent yang juga tengah memandangnya dengan senyuman. Jane rasa, ia mungkin agak gila lantaran mengagumi senyuman tersebut.

Pemuda itu, terlampau sok tahu tentang apa yang dia alami dan apa yang tengah dia lakukan, entah bagaimana Jane malah kehilangan kata-kata. 

“Kau sudah terpelosok pada impian masa lalu, sesuatu yang sungguh kau idamkan, bukan? Itu mungkin terdengar sesuatu yang mewah. Tapi sesuatu yang buruk akan selalu terjadi dan apa yang ingin kau lakukan terhadap ini adalah perasaan yang kini kau rasakan."

Pria itu menggosok hidung mancung dengan punggung tangan kanannya pelan. Senyuman pemuda itu tak menghilang.

“Lakukan saja, jalani saja, dan nikmati apa yang terjadi hari ini. Kesulitan selalu ada dan selalu tumbuh seiring dengan hari-hari yang akan kau jalani kedepannya.”

“Kau—terdengar banyak bicara dan bisakah berhenti memberikan kesimpulan,” ucapan Jane dan mengehela nafas, pandangannya teralih pada Vincent yang nampak menyimpan senyuman menyebalkannya. 

"Dan bisalah kau menyimpan semua advice mu untuk orang lain saja? kau—selain terdengar sok tahu juga agak aneh mengatakan hal itu padaku."

Bukannya tersinggung Vincent malah terawa. 

Sialnya, Jane tidak bisa mengalihkan perhatian dari tawa pria itu. Tawa itu, membuat hati Jane yang lama tak tersentuh itu sedikit menghangat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pria Menyebalkan Itu Penawarku   BAB 89

    ‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana. Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent. ‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’ “Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?” Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya. ‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat. “Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang. Terdengar helaian nafas di seberang sana. ‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara rumah tangga ku pada orang asing,’ saut laki-laki itu. Jane kembali melihat sekitar, kafe nampak sibuk dan ia tak menemukan akan adanya gangguan untuk hal ini. “Na

  • Pria Menyebalkan Itu Penawarku   BAB 89

    ‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana.Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent.‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’“Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?”Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya.‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat.“Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang.Terdengar helaian nafas di seberang sana.‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara ru

  • Pria Menyebalkan Itu Penawarku   BAB 90

    Sore hari yang terik, tidak diduga pria yang baru diketahui Jane bernama Kevin itu benar-benar datang ke pesisir. Pakaiannya nampak rapi, Jane bisa melihat aura karismatik menguar dari pria itu. Namun, yang membedakan adalah struktur wajahnya yang memang lebih ke barat-baratan.Pria itu nampak kalem, bahkan lebih kalem dari pada apa yang Jane duga sebelumnya. Tak ada raut marah, yang ditemukan Jane adalah kerinduan pada sang putra yang barang kali telah lama tidak bertemu.Leo, anak kecil itu terlihat nyaman dipelukan ayahnya yang belum mengeluarkan suara apapun ketika datang. Anak kecil itu sepertinya juga tahu betul siapa orang tau aslinya. Sementara itu, Lusi nampak membuang muka, duduk di single sofa yang berada dekat dengannya.“Jadi—apakah kau akan tetap disini? Jika iya, aku akan membawa Leo bersamaku,” ucap pria matang itu dengan mantap.Pandangan mata Lusi nampak memicing, namun bibirnya tidak mengatakan apapun.“Kau tak keberatan jika anakmu dibawa ayahnya?” tanya Jane, men

  • Pria Menyebalkan Itu Penawarku   BAB 89

    ‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana. Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent. ‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’ “Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?” Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya. ‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat. “Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang. Terdengar helaian nafas di seberang sana. ‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara rumah tangga ku pada orang asing,’ saut laki-laki itu. Jane kembali melihat sekitar, kafe nampak sibuk dan ia tak menemukan akan adanya gangguan untuk hal ini. “Nam

  • Pria Menyebalkan Itu Penawarku   BAB 88

    ‘Lusi? Aku seperti tidak asing dengan nama itu,’ ucap Lilibet di seberang. Jane kini tengah berada di halaman belakang penginapan. Ia sudah cukup muak dengan apa yang dilakukan Lusi dengan anaknya. Yeah, Jane cukup paham memang jika ia tak seharunya cemburu dan jengkel dengan bayi kecil yang belum tahu apa-apa itu. Namun, wanita itu juga tak bisa membendung kekesalannya lantaran sang ibu dari bayi itu sangat mengganggu waktu liburannya dengan Vincent. “Bisakah kau tanya pada teman-temanmu di Inggris?” ‘Ya, tunggu sebentar. Memangnnya apa yang terjadi?’ Terdengar suara ketikan di seberang, sepertinya Lilibet benar-benar tengah menanyakan tentang siapa wanita asing itu. “Dia dan anaknya benar-benar mengganggu waktuku dan Vincent. Sejak kedatangannya kemari, wanita itu selalu membawa anaknya kemari dengan alasan jika anaknya tengah mencari Vincent,” keluh Jene. ‘Ah, sepertinya kau memang selalu memiliki banyak rintangan ketika ingin menjalani hubungan dengan Vincent secara biasa,’

  • Pria Menyebalkan Itu Penawarku   BAB 87

    “Aku sering melihat foto kakak,” ucap seorang anak yang Jane temui di dekat pantai hari ini. Sekitar satu jam semenjak Jane memilih untuk berdiam diri di gazebo yang ada di pinggir pantai. Suasana yang masih cukup suram untuk dirinya dan sekitar, membuatnya memilih untuk pergi lebih jauh. Ujung kakinya menyentuh pasir yang lembut, pasir yang terasa nyaman untuk kaki telanjangnya. Beberapa hewan kecil nampak berlarian dengan bebar, tanpa memikirkan tentang apa yang akan terjadi jika mereka keluar dari sarang. Suasan yang tadinya tenang bagi Jane yang masih dilanda kemarahan, harus dirusak dengan kedatangan seorang gadis kecil yang asing baginya. Bajunya kumal dengan beberapa jahitan tak rapi di sekitar lengan. Kancing bajunya juga taksama antara satu dengan lainnya. Jane masih terdiam, memperhatikan si bocah cilik yang kini tengah bercoleteh tentang dirinya yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan juga teman-temannya yang sering menjahili dirinya. “Apakah—kau takut ketika teman-t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status