Menjadi model atau apapun yang berkaitan dengan bidikan kamera, tidak semenyenangkan yang orang lain bayangkan. Bahkan untuk mereka yang setiap hari hilir mudik di layar televisi, pekerjaan ini tidak seindah apa yang terpampang di depan kamera.
Banyak orang bicara dalam sebuah siaran televisi atau podcast, tentang bagaimana rasanya menjadi seorang yang menjadi pusat perhatian. Jane kira, orang-orang yang bicara tentang rumitnya hidup di tengah dunia hiburan adalah orang yang terlampau berani, Jane masih sering kali ketakutan untuk berbicara pada dunia jika dirinya tidak sesempurna yang mereka pikirkan di depan kamera. Apa yang ada di depan kamera, tidak selalu sama dengan apa yang ada di belakang kamera. Banyak rules yang sebenarnya harus dipelajari terlebih dahulu.
Meskipun begitu, masih banyak orang berlomba-lomba melakukan segala hal untuk bisa masuk industri hiburan, bukan masalah, mereka akan tahu bagaimana industri itu berjalan ketika sudah masuk dan menjalani. Seberapa gelap lorong yang akan mereka lewati dan Jane sudah melakukan hampir segalanya dan menukarnya dengan masa mudanya untuk mencapai itu, hingga hari ini.
Pujian, kepopuleran, harta, Jane kira hal itu sungguh sangat berharga untuk dirinya. Ia pernah merasakan tak bisa makan dan harus menjadikan tubuhnya sebagai sebuah alat pertukaran untuk dapat uang. Sesuatu kegelapan masa lalu yang sebenarnya sangat ingin ia hapus dari ingatannya.
Jika yang dilihat orang lain adalah gemerlap dunia, kemungkinan akan berbeda jika memakai kacamata Jane sebagai seorang bintang. Dunia hiburan, kelewat pekat.
Jane sering melihat beberapa rekannya mencari peruntungan dari mengejar cinta suami orang atau paling sering juga bagaimana pria mendekati wanita yang lebih kaya untuk mendapatkan ketenaran. Kelihatannya memang seperti cerita yang sering ditayangkan di acara gosip pagi murahan yang cukup memuakkan, sayangnya amat digemari para kaum pengangguran.
Realita kehidupan artis jauh lebih gelap, jauh lebih pekat dari perkiraan siapapun.
"Aku kembali bertemu denganmu di pagi yang bahkan belum tercium."
Sebuah suara membuat Jane tersentak dari lamunannya. Ia menoleh dan yang ditemukan adalah Vincent yang berjalan ke arahnya. Pria itu memakai jaket tebal namun anehnya celana yang dikenakan hanya sebatas lutut.
"Kau bisa balik badan dan pergi.”
Vincent berdehem.
Akhirnya mereka hanya diam dengan posisi duduk bersisian. Jane sempat melirik Vincent yang nampak tenang dengan dirinya sendiri. Namun tak lama, pria itu mengeluarkan sebatang rokok dari saku celana.
“Kau mau coba?” tanyanya.
Jane mendengus dan ketika ujung jarinya hampir menyentuh rokok itu, Vincent menariknya kembali dan menatap wanita di sampingnya dengan penuh tanda tanya.
“Kau tak akan sembuh jika terus mengkonsumsi benda ini,” ucapnya.
Jane terkekeh. Pandangannya kembali ke arah laut ketika angin mulai terasa dingin di kulit yang bahkan sudah terlapisi jaket.
“Bukankah kau yang menawariku.”
Vincent berdehem, Jane kira pria itu akan membakar rokok itu. Namun yang dilakukan kini adalah melempar barang kecil itu ke tempat sampah yang ada di sana.
“Tidak, aku hanya bercanda,” ucapnya kemudian dengan membenahi posisi duduknya menjadi lebih nyaman.
“Kau kira lucu?”
“Kau terlalu serius.”
Setelahnya, mereka ditelan keheningan. Jane juga hanya ingin menikmati apa yang ada di depan. Langit mulai menguning dan sebentar lagi pagi akan datang. Banyak hal akan terjadi jika pagi menjelang, biasanya ketika ia di kota. Tapi ketika ia hanya di tempat sepi seperti ini—Jane rasa ia bisa melakukan apapun sebagai dirinya sendiri, bukan seorang model yang sibuk.
“Kau—insomnia?”
Wanita itu menoleh, ia terlihat biasa saja, seakan suasana kesal yang dirasakan menghilang ketika bertemu pandangan dengan retina coklat milik pria itu.
“Ya, sesuatu yang biasa terjadi.”
“Itukan alasan kau kemari?"
Jane tak langsung menjawab. Suasana menjadi agak aneh ketika Vincent terlihat menunggu jawaban. Ada kilasan balik tentang beberapa hari lalu ketika Jane mendapatkan teguran langsung dari wanita bernama Naomi lantaran ia pergi dengan Vincent. Konyol memang.
Tapi itu bukan sesuatu yang mampu membuat Jane takut dan sebagainya, Jane hanya merasa—aneh. Baru kali itu dirinya mendapatkan teguran dari wanita yang menurutnya jauh di bawah dirinya.
"Kau tahu, jika menjadi sibuk kadang kala membuatmu ingin rehat," ucap Jane dengan pandangan yang masih fokus ke depan.
Vincent mengangguk kecil, seakan faham dengan hal itu. Pria itu juga sibuk, hanya saja jenis kesibukan mereka berbeda dan Vincent tak pernah berpikir untuk istirahat. Ia terlalu mencintai pekerjaannya sebagai pemilik kafe. Kemungkin karena memiliki banyak kesempatan untuk memperhatikan orang lain yang menjadi pelanggannya atau orang-orang yang sedang berlalu lalang di sekitar kafe
“Apa yang kau pikirkan ketika memilih mimpi itu?” tanya Vincent sembari memandang Jane.
“Apalagi selain uang, tidak ada yang ku inginkan selain memiliki uang.”
“Hanya itu? pantas kau merasa kini menginginkan untuk istirahat.”
Suara deburan ombak semakin bising ketika matahari sudah semakin terlihat, suasana di pantai masih cukup sunyi.
“Apakah sudah menjadi kebiasaanmu, selalu menebak tanpa dasar?" Tanya Jane dengan sinis.
Vincent terkekeh, ia masih tak mengalihkan perhatian dari Jane, wanita itu bahkan harus memicingkan mata lantaran merasa tak nyaman.
“Entahlah, kau—hanya orang —oh, maksudku salah satu orang yang mudah untuk dibaca.”
Jane mendengus, tangannya mengelus pasir yang ada di bawahnya, matanya memejam keika merasakan seakan pasir itu hidup dan berbicara tentang ketenangan padanya.
“Aku—tidak tahu dengan orang-orang sepertimu. “
Ucapan Vincent yang tiba-tiba itu membuat Jane membuka mata, menatap pria yang kini beralih meliha laut dengan pandangan menerawang.
“Orang-orang sepertimu selalu menginginkan posisi atas dan posisi pertama dalam sebuah ujian. Kemudian ketika kau merasakan seberapa tidak menyenangkan posisi itu. Kau pergi seakan-akan tak memiliki tanggung jawab sama sekali,” ucapnya.
Jane merasa hatinya seperti dipalu mendengarkan kata-kata itu. Sungguh, pria itu—dia bukan orang biasa, pikir Jane.
“Kekuasaan, ketenaran, uang. Bukankah kau sama saja menjual dirimu dengan iblis? Ah, itu terdengar mengerikan bukan? Apa kau pernah membayangkan jika dirimu jatuh?”
Jane menegakkan kepala, dengan nafas pelan.
“Bukankah ini sesuatu yang tidak seharusnya ku bicarakan dengan orang asing? Lagi pula apapun itu, apakah kau memiliki hak untuk berkomentar, apa—"
“Kenapa tidak, semua orang boleh berkomentar apapun disini. Aku hanya berbicara tentang opiniku."
Jane menghela nafas. Pandangannya beralih ke kanan ketika mendengar segerombolan anak-anak yang nampaknya sudah mulai mencari kerang. Oh, orang-orang di daerah pantai memiliki pekerjaan pengrajin dan cindera mata yang seringkali menjadi tujuan para penjual manik-manik laut. Meskipun hal itu tidak terlalu menguntungkan menurut Jane.
“Lalu aku harus apa?”
“Ucapanmu bukankah terdengar selalu putus asa?”
Jane kembali berdecak. Ia menoleh dan pandangannya terpaku pada Vincent yang juga tengah memandangnya dengan senyuman. Jane rasa, ia mungkin agak gila lantaran mengagumi senyuman tersebut.
Pemuda itu, terlampau sok tahu tentang apa yang dia alami dan apa yang tengah dia lakukan, entah bagaimana Jane malah kehilangan kata-kata.
“Kau sudah terpelosok pada impian masa lalu, sesuatu yang sungguh kau idamkan, bukan? Itu mungkin terdengar sesuatu yang mewah. Tapi sesuatu yang buruk akan selalu terjadi dan apa yang ingin kau lakukan terhadap ini adalah perasaan yang kini kau rasakan."
Pria itu menggosok hidung mancung dengan punggung tangan kanannya pelan. Senyuman pemuda itu tak menghilang.
“Lakukan saja, jalani saja, dan nikmati apa yang terjadi hari ini. Kesulitan selalu ada dan selalu tumbuh seiring dengan hari-hari yang akan kau jalani kedepannya.”
“Kau—terdengar banyak bicara dan bisakah berhenti memberikan kesimpulan,” ucapan Jane dan mengehela nafas, pandangannya teralih pada Vincent yang nampak menyimpan senyuman menyebalkannya.
"Dan bisalah kau menyimpan semua advice mu untuk orang lain saja? kau—selain terdengar sok tahu juga agak aneh mengatakan hal itu padaku."
Bukannya tersinggung Vincent malah terawa.
Sialnya, Jane tidak bisa mengalihkan perhatian dari tawa pria itu. Tawa itu, membuat hati Jane yang lama tak tersentuh itu sedikit menghangat.
Sore hari tidak terlalu bagus seperti biasanya. Jane dan Jasmine berjalan di area sekitar penginapan. Sebenarnya kegiatan yang mereka lalui di tempat itu memang hanya dua hal, menikmati suasana pantai dan berbelanja. Namun kali ini dan dari kemarin, mereka tidak pergi ke pasar atau tempat aksesoris sama sekali. Selain karena bahan makanan yang masih melimpah, dua wanita itu ingin menghabiskan waktunya untuk bersantai benar-benar menikmati suasana sekitar yang masih segar, jauh berbeda dengan tempat tinggal mereka di kota. Suara tali tambang yang sengaja nelayan pasang untuk menangkap ikan membuat Jane mengalihkan perhatian. Sekumpulan laki-laki dewasa dengan topi bundar menarik tambang bersama-sama, sebelum disauti dengan suara gemuruh kegembiraan lantaran jaring mereka memberikan hasil yang lumayan. Jane ikut tersenyum tanpa sadar ketika melihat salah satu diantara mereka nampak melompat-lompat kecil dengan ucapan syukur yang tak terputus. Jasmine melihat kawannya dengan heran.
Ketika masih di usia sekolah dulu, Jane sering melihat ayah dan ibunya bertengkar. Sebagai anak kecil, tentu hal semacam itu terdengar menyeramkan. Terlebih ketika ayahnya sudah mulai melempar barang-barang rumah ke ibunya. Beberapa kali, ia melihat ibunya terlihat memar di bagian wajah dan juga tubuh lainnya. Ibunya sering menangis ketika malam hari tanpa sepengetahuan ayahnya dan saat itu Jane masih belum tahu sebenarnya apa yang terjadi terhadap keluarganya sampai kemudian ia masuk usia remaja. Tidak bisa dikatakan remaja sebenarnya, karena masa ia baru saja keluar dari sekolah dasar gratis yang ada di kawasan kumuh. Jane yang bahkan belum memahami apa yang terjadi di lingkungan dengan baik, secara mengejutkan menjadi pelampiasan kemarahan ibunya. Mungkin terdengar aneh ketika Jane menjadi pelampiasan ibunya yang telah memendam amarah itu sejak lama. Jane tidak habis pikir bagaimana sang ibu memukulnya sama seperti ayahnya memukul ibunya.“Kau anak pembawa sial! seharusnya kau t
“Dia hanya kelelahan." “Apa? Jane bahkan hanya berkeliling dan tidak melakukan kegiatan apapun. Bagaimana bisa kau bilang jika dia hanya kelelahan?” “Jika kau tak percaya padaku, kau bisa membawanya ke kota untuk dirujuk.” Percakapan itu terdengar di telinga Jane. Dengan pelan, Jane mengerjakan matanya. Buram, putih dan abu-abu sebelum kemudian sedikit demi sedikit semua menjadi terlihat lebih jelas. Lampu kamar? Kamarnya di penginapan. Lalu pandangannya beralih pada lampu tidur kecil yang memang selalu ada di dekat kasurnya. Ia menoleh ketika merasakan elusan pelan ia terima di punggung tangan. “Kau sudah sadar?” Kenapa—pertanyaan sederhana itu terdengar menenangkan. Bagaimana bisa pertanyaan sederhana seperti itu terasa hangat seperti duduk di dekat tungku api di musim dingin. Vincent, pemuda itu menggenggam tangannya erat, namun hal itu membuat Jane segera menarik tangannya hingga terlepas. Bersentuhan intens dengan orang lain cukup menakutkan untuknya. Selama ini ia
Jika berbicara tentang masa lalu Jane bingung harus memulainya dari mana. Dari yang pahit atau yang paling pahit, kah? Wanita itu sering berpikir jika sebenarnya tidak akan ada yang tertarik dengan sebuah kisah kelam. Namun, siapa yang menduga jika ternyata kisah sedih bisa mendongkrak seseorang untuk lebih bersimpati. Jujur Jane tak membutuhkan hal semacam itu. Ia mungkin akan menceritakan sedikit tentang masa lalunya, bukan untuk dikasihani. Namun, hanya untuk pengingat bahwa kupu-kupu cantik pun pernah direndahkan lantaran dulunya hanya seekor ulat menjijikkan. Saat itu umur Jane masih dua belas tahun. Jane tinggal di sebuah kawasan kumuh. Suasana di daerah itu selalu terlihat mendung dan murung. Lingkungan terpinggirkan dan barangkali dilupakan oleh orang-orang berkuasa. Daerah yang penuh timbunan sampah yang mana ternyata memiliki banyak manusia yang mendiaminya.Jane tidak pernah menginginkan dirinya dilahirkan di situasi yang cukup bisa dikatakan buruk. Sebagai anak, ia ti
"Aku mendengar kau sakit oleh karena itu langsung terbang kemari meskipun tidak bisa lama-lama disini. Dia jam lagi aku harus kembali ke kota.”Jane menghela nafas dan mengangguk. Tatapannya tertuju pada pot bunga kecil yang ada di tengah meja. “Kau kenal Vincent?”Lilibet yang tadinya hendak minum lemon teanya harus tertunda saat ia mendengar nama seseorang yang tak asing baginya. Dahinya mengkerut sebelum kemudian terkekeh. “Wah, kau sudah bertemu dengn pria itu? ya, dia temanku.”“Jadi penginapan ini milik ibunya? miliknya?”Lilibet mengangguk. “Yap, secara tidak langsung memang milik Vinct. Aku penasaran bagaimana kalian bisa bertemu, maksudku pria itu cukup cuek terhadap wanita.”Jane mengedikkan bahunya.“Pertemuan yang tidak berkesan, aku berkunjung ke kafe miliknya dan yeah pertemuan yang tidak disengaja lainnya terjadi.”“Sayang sekali, ku kira kau bertemu dengnnya dengan cara yang romantis, mungkin.”“Dia sudah memiliki calon istri.”“Wow, benarkah? Aku merasa kau terliha
Naomi, tahun ini wanita itu berumur dua puluh lima tahun dan sejak tiga tahun lalu mendapatkan tugas untuk bekerja di sebuah klinik kesehatan yang bertempat di sebuah pelosok.Tempat itu, jujur bukan tempat yang selama ini ia impikan ketika memilih terjun di dunia kesehatan. Naomi benar-benar menyesal ketika surat tawaran kerja ia tandatangani tanpa pikir panjang lantaran terlalu tenggelam dalam euforia kelulusan dengan predikat bagus. Penyesalan benar dirasakan. Kawasan pantai itu sebenarnya tidak buruk sama sekali, bisa dikatakan indah dan masih asri, belum banyak orang-orang luar ke sana. Sayangnya bagi Naomi yang sejak bayi sudah menikmati kecepatan teknologi, hidup di tempat itu adalah neraka baginya. Jaringan internet dan komunikasi cukup buruk, ditambah penduduk di area itu cukup sensitif dengan pendatang. Sampai beberapa bulan kemudian ia bertugas, barulah Naomi merasakan kenyaman di pesisir tempat ia bekerja. "Nona, bisakah Anda datang ke rumah saya—" Naomi yang saat itu
“Jadi kau tertarik padanya?”Vincent yang tadi sempat berniat meninjau pendapatan kafe memilih untuk mengurungkan niatnya. Pandangan matanya kembali pada Jeremy yang nampak berpikir. Ia memang baru saja menceritakan pada Jeremy apa yang dirasakan pada wanita asing yang bahkan belum sebulan ia kenal. “Apa kau pikir aku tertarik padanya?”Jeremy berdecak. “Sangat terlihat dari caramu menceritakan tentang Jane, kau terlihat konyol. Maksudku, sadar tidak jika ini pertama kalinya kau menceritakan soal wanita padaku?”Vincent tertegun, ia baru menyadarinya. Tentu saja dirinya belum pernah bercerita tentang wanita manapun lantaran selama ini, ia disibukkan dengan perkembangan kafe. “Oy, sadar tidak jika selama ini kau juga tidak penah menceritakan apapun tentang Naomi,” kata Jeremy mencoba memancing reaksi apa yang ditunjukkan kawannya dan ternyata sesuai dengan ekpektasinya. Vincent terlihat bingung. “Kenapa aku harus menceritakan tentang Naomi, bukankah ia juga menghabiskan banyak wak
“Jadi sebenarnya apa yang membuat Jane sering terserang panik?” tanya Vincent. Pertanyaan itu kemungkinan terdengar lancang mengingat hubungan mereka tidak terlalu dekat. Jasmine yang tadi duduk di samping Jane yang masih tertidur setelah lelah menangis menghela nafas dan beranjak. Temannya itu memang sering terserang demam jika paiknya kambuh. "Sebaiknya kita keluar,” ucap wanita itu dan Vincent mengangguk. Ia melirik Jane yang masih terlelap sebelum keluar kamar mengikuti Jasmine. Vincent duduk di sofa tepat di depan Jasmine. Pria itu memperhatikan sekitar. Melihat apa yang kurang dan apa yang perlu diperbaiki dari penginapan milik ibunya itu.“Aku cukup terkejut ketika tahu kau pemilik penginapan ini.”Vincent menggaruk pelipisnya dan terkekeh.“Masih milik ibuku, terlalu dini untuk mengakui. Aku hanya bertugas membenarkan beberapa hal jika ada kerusakan. Kau bisa mengatakan padaku jika ada sesuatu yang bermasalah disini.”Jasmine mengangguk. Ujung matanya memperhatikan Vincen