Share

Bab 2-Seorang Dokter

Sekarang, tahun 2021.

Mataku menatap layar laptop tanpa berkedip. Tertera kata “selamat” dan “lulus” di sana. Dengan cepat aku beranjak dari duduk lantas berlari ke arah ruang tengah di mana orang tuaku berada.

“Mama! Papa! El lulus SBMPTN!” teriakku dengan girang sambil berjoget-joget.

Kupikir Mama dan Papa akan sama senangnya denganku, minimal mengulas senyum bangga. Namun, respon mereka yang terdiam dengan raut bingung membuatku langsung menghentikan gerakan badan yang masih berjoget ria.

“Kamu lulus di pilihan pertama atau kedua?” tanya Papa, kini raut wajahnya tampak serius.

Mataku mengerjap saat mendengar pertanyaan Papa yang satu itu, kemudian cengiran lebar terpampang di wajahku. “El lupa belum cek lulus di pilihan berapa.” Perkataanku membuat Mama dan Papa menggeleng heran. Masih mempertahankan cengiran di wajah, aku berlari menuju kamar untuk mengecek di pilihan berapa aku lolos, kemudian kembali berlari ke ruang tengah menghadap Mama dan Papa. “El, lulus di pilihan kedua, program studi Ilmu Sejarah.”

Mama dan Papa melotot usai mendengar perkataanku. “Ilmu Sejarah?!” pekik mereka secara bersamaan.

Aku menggaruk leher yang cukup gatal, efek belum mandi seharian. “Iya,” cicitku.

Papa menghela napas. “Kamu mengambil pilihan kedua Ilmu Sejarah tapi tidak memberitahu Papa atau Mama? Papa kira kamu mengambil program studi Manajemen untuk pilihan kedua.”

Mama yang berada di sebelah Papa mengangguk, kemudian beralih menatapku dengan sorot tajamnya. “Lagian, kok bisa kamu ambil Ilmu Sejarah padahal tahu sendiri waktu kelas sepuluh dulu nilai sejarahmu paling rendah di kelas?”

Aku langsung bungkam usai mendengar pertanyaan Mama yang satu itu. Benar juga, mengapa aku mengambil program studi yang ada bau-bau sejarahnya padahal aku tidak terlalu menyukai sejarah? Namun, karena sudah terlanjur diterima, maka aku pun akan berusaha untuk meyakinkan orang tuaku agar diperbolehkan kuliah di program studi tersebut. Aku malas kalau harus belajar lagi dan mengikuti tes masuk perguruan tinggi lagi.

“Waktu itu Mama sama Papa bilang terserah El mau ambil apa buat pilihan kedua, ya udah deh El ambil Ilmu Sejarah. Mama benar sih kalau dulu nilai sejarah El rendah, tapi sekarang El udah suka sama sejarah kok. Jadi nggak masalah kan kuliah di program studi itu?” ujarku panjang-lebar. Wow, aku takjub dengan diriku yang bisa berbohong selancar ini.

Mama dan Papa saling pandang selama beberapa detik, kemudian kulihat raut pasrah di wajah kedua orang tuaku. “Ya sudah, terserah kamu saja,” ucap Papa pada akhirnya.

Aku mengulas senyum senang. Masih dengan perasaan gembira, aku berlari-lari memasuki kamar untuk pamer ke kenalanku yang lain kalau aku sudah diterima di perguruan tinggi.

***

Virus corona yang menyerang sejak tahun 2020 membuat aktivitas sehari-hari cukup menyulitkan, terutama bagiku yang tidak suka memakai masker. Rasanya sesak dan gerah. Namun, apa boleh buat, itu sudah aturan resmi dan untuk meminimalisir penularan virus juga.

Aku membenarkan letak masker di wajah lantas melangkah memasuki kedai kopi yang selalu kukunjungi dalam tiga tahun belakangan ini. Seperti biasa, aku memesan americano lantas beranjak duduk di salah satu kursi. Pandangan mataku mengendar, menatap seisi kedai kopi yang tidak banyak berubah setelah tiga tahun berlalu. Namun, ada satu hal yang selalu kuharapkan setiap berkunjung ke kedai kopi ini yaitu bertemu kembali dengan pria tampan itu. Sayang seribu kali sayang, harapanku tidak pernah terkabulkan, bahkan tidak ada satupun yang mengingat sosok pria tampan itu. Atau jangan-jangan tebakanku tiga tahun lalu benar bahwa aku hanya berhalusinasi?

Sedang asyik-asyiknya melamun, aku dikejutkan dengan suara dari dering ponsel. Mendengkus singkat, aku lantas mengangkat panggilan.

“Apa lo?!” seruku kesal kepada Vino, sepupuku yang umurnya satu tahun lebih tua dariku.

“Galak amat lo! Kalau ada orang telepon tuh salam dulu,” ujar Vino dari seberang sana, terdengar sok bijak.

“Cepat lo mau ngomong apa, gue lagi nggak mau basa-basi.”

“Bantuin gue, please.”

Aku mengernyit saat mendengar suara Vino yang tampak begitu memohon. “Bantuin apa? Ngerjain tugas kuliah? Maaf aja ya, kita beda program studi.”

“Bukan, bukan itu. Bantuin gue sekarang, El, gue lagi di rumah sakit habis kecelakaan. Terus—”

What?! Kecelakaan?! Gue kabarin Tante Wanda sekarang,” ucapku dan dengan tergesa mencari nomor Mama Vino.

“Eh! Jangan!” cegat Vino, terdengar panik. “Gue bakal diomel kalau Mama tahu gue kecelakaan.”

Aku terdiam sejenak untuk berpikir. Setelah paham dengan situasinya, aku pun berdecak heran. “Lo pasti kecelakaan gara-gara kebut-kebutan lagi di jalan?” tebakku.

“Iya sih,” lirih Vino dari seberang sana.

Aku mendengkus. “Lo butuh bantuan apa?”

“Tolong bawain beberapa baju gue. Stok baju gue menipis terus gue nggak sempat balik ke rumah, kondisi juga lagi kayak gini.”

“Loh, lo lagi nggak di rumah? Berarti sekarang posisi lo di luar kota?”

“Hm. Gue kan udah kuliah tatap muka mulai semester ini, program studi gue udah blended learning,” jelas Vino.

Aku mengangguk-angguk. “Kalau gitu gue ke sana besok.” Sebagai sepupu yang baik hati, aku harus membantunya bukan? Apalagi aku dan Vino sama-sama anak tunggal, jadilah kami sering mengandalkan satu sama lain.

“Oke. Thank you sister!”

Setelah berucap terima kasih, Vino langsung menutup panggilan. Aku melotot kesal dibuatnya.

***

Aku melangkah keluar dari gerbong kereta, kemudian berjalan keluar dari area stasiun untuk memesan ojek online. Hari ini aku benar-benar akan mengunjungi Vino yang tengah dirawat di rumah sakit. Dikarenakan sepupuku berkuliah di luar kota, jadilah aku harus menaiki kereta untuk sampai di sana. Sebenarnya kami berkuliah di kampus yang sama hanya saja berbeda program studi, karena itulah dia sudah mulai kuliah tatap muka tetapi aku belum.

Ojek online yang kutumpangi memasuki area sebuah rumah sakit besar. Setelah beranjak turun dan membayar kepada sang driver, aku melangkah memasuki area rumah sakit sambil membuka ponsel untuk mengecek keberadaan kamar rawat Vino. Sampai di ruang rawat inap yang sesuai dengan milik Vino, aku pun membuka pintu dan melangkah masuk.

Terlihat sepupuku tengah asyik memainkan game online di ponselnya. Melihat hal tersebut membuatku geram. Sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku. Dengan langkah cepat aku mendekat ke arah Vino lantas memukul kepalanya dengan tasku.

“Aduh!” kejut Vino sambil mengusap kepalanya. Ia hendak mengeluarkan kata-kata kotor, namun saat melihat bahwa akulah yang datang, mulutnya langsung tertutup dan senyum manis terukir di sana. “Eh, Elisa yang cantik udah datang.”

“Nih, barang yang lo minta,” tuturku lantas meletakkan tas besar berisi baju-baju milik Vino. Pandanganku kembali tertuju pada Vino yang mendapatkan luka lecet di wajahnya, bahkan bagian tangan dan kakinya diperban. “Luka lo parah?”

“Nggak tahu, kata dokter hasilnya bakal dikasih tahu hari ini. Eh, lo jadi wali gue ya, El? Entar nemuin dokternya.”

Sebenarnya aku kesal disuruh-suruh. Aku ingin kembali melayangkan pukulan ke kepala Vino. Namun, mengingat kondisi lelaki itu sedang tidak baik-baik saja, aku pun mengurungkan niat.

“Nemuin dokternya jam berapa?”

Tepat usai aku bertanya, muncullah seorang perawat yang memasuki kamar Vino. Perawat itu menatapku sekilas lantas beralih menatap Vino. “Apakah wali pasien sudah datang?”

Vino mengalihkan pandangan dari layar ponsel lantas menunjukku. “Itu wali saya.”

Perawat itu beralih menatapku. “Kalau begitu silakan ikut saya untuk menemui dokter.”

Aku mengangguk patuh. Sebelum keluar dari ruang rawat inap Vino, aku melayangkan tatapan tajam ke arahnya yang dibalas raut tak peduli dari Vino.

Perawat itu mengetuk pintu yang kuyakini adalah ruangan dari sang dokter. Setelah dipersilakan untuk masuk, kami pun melangkah memasuki ruangan itu. Saat itulah bola mataku membesar menatap dokter yang berada di hadapanku. Pandanganku terfokuskan pada netra cokelat terang milik sang dokter.

“Silakan duduk,” ucap dokter itu sambil menunjuk kursi di depannya.

Suara itu. Aku yakin itu suara yang sama dengan pria tampan yang kutemui di kedai kopi tiga tahun lalu. Meskipun suara dari sang dokter tak terdengar begitu jelas karena terhalang masker, namun aku benar-benar yakin kalau itu suara yang sama.

Pintu ruangan ditutup oleh sang perawat disusul dengan kepergian sang perawat. Kini hanya ada aku dan dokter itu. Aku beranjak duduk di depan dokter itu dengan mata yang menyorot lekat ke arahnya.

“Anda wali dari pasien Alvino Atmaja. Benar begitu?”

Aku mengangguk-angguk. Suaranya yang kembali memasuki indra pendengaranku membuat jantungku berdegup kencang dengan pandangan mata yang tak dapat teralihkan dari sosok dokter itu. Entah bagaimana aku bisa seyakin ini bahwa dia pasti pria yang sama dengan pemilik kedai kopi.

Sang dokter mulai menjelaskan kondisi Vino, namun aku tak peduli karena saat ini fokusku tertuju pada sosoknya. Kuamati wajahnya yang tertutup masker. Alis tebalnya, bulu mata lentiknya, dan yang paling mencolok adalah bola mata cokelat terangnya.

“ ... dengan kondisi tersebut, Alvino dapat dipulangkan besok.”

Aku membuyarkan lamunan saat menyadari sang dokter telah selesai berbicara. “Ah, ya, terima kasih,” ucapku kaku.

Dokter itu beranjak dari duduk dan mempersilakanku untuk keluar dari ruangannya. Aku turut berdiri dan kini posisi kami berhadapan. Tiba-tiba ide gila terpikirkan olehku. Aku ingin membuktikan bahwa diriku tidak berhalusinasi tiga tahun lalu dan bahwa sosok pria tampan itu benar-benar ada.

Dengan gerakan cepat tanganku terangkat lantas menarik turun masker yang dikenakan dokter itu. Masker terlepas dari wajahnya dan dapat kulihat sorot kaget dari sang dokter. Namun, aku tak peduli karena yang jelas aku lebih terkejut saat ini. Persis di hadapanku, berdiri sosok pria tampan itu, sosok yang sama dengan pemilik kedai kopi yang kulihat tiga tahun lalu.

“Anda pemilik kedai kopi di Jalan Merdeka kan? Saya yakin pernah melihat anda tiga tahun lalu. Jadi, anda juga seorang dokter?” serbuku dengan pertanyaan. Rasa penasaranku begitu besar saat ini.

Dapat kulihat bola mata dokter itu membulat sempurna. “Bagaimana bisa kamu ... ” Dia menghentikan ucapannya, memandangku dengan bola mata yang bergerak gelisah.

Aku tersenyum dari balik maskerku. “Jadi saya tidak sedang berhalusinasi,” ujarku, entah dokter itu mengerti atau tidak. “Saya sempat menanyakan keberadaan Pak Dokter ke beberapa karyawan di kedai kopi itu, tapi tidak ada yang mengetahui, bahkan mereka mengaku tidak pernah bertemu dengan Pak Dokter.”

Mulutku terbuka hendak kembali berujar, namun hal yang tak terduga terjadi setelahnya. Dokter itu meraih wajahku dengan kedua tangannya. Sontak, aku menahan napas karena terkejut.

Netra cokelat terang milik dokter itu menyorot tajam tepat ke dalam netra hitam pekatku. “Tatap mata saya dan lupakan semuanya.”

Beberapa detik kami terdiam dalam posisi yang sama, kemudian dokter itu menjauhkan tangannya dari wajahku lantas berjalan cepat keluar ruangan. Sedangkan aku terdiam di tempat dengan kening berkerut. Apa yang dimaksud oleh dokter itu? Apa pula maksudnya melupakan semuanya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status