Share

Bab 3-Bukan Manusia

Aku berusaha untuk memejamkan mata, namun hasilnya nihil. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Setelah menjenguk Vino di rumah sakit tadi, aku langsung kembali ke rumah dan tiba sekitar jam tujuh malam. Aku yang sudah kelelahan langsung membaringkan tubuh di atas kasur. Kupikir setelahnya akan mudah bagiku untuk tidur, tetapi ternyata tidak. Pikiranku terus berkelana ke kejadian aneh mengenai pria tampan itu, pemilik kedai kopi yang ternyata seorang dokter juga.

Suatu hal yang normal memang untuk memiliki pekerjaan lebih dari satu, bisa saja pria tampan itu memiliki pekerjaan utama sebagai dokter dan pekerjaan sampingannya mengelola kedai kopi. Namun, yang membuatku bingung setengah mati hingga menuduh diriku sendiri gila adalah karena tidak ada satupun orang yang mengingat sosok pria itu. Tadi sebelum pergi dari ruang rawat inap Vino, aku menyempatkan diri menemui perawat untuk menanyakan keberadaan dokter itu. Namun, hal yang mengejutkan kembali kudengar. Tidak ada dokter seperti yang kusebutkan. Lagi-lagi, aku merasa berhalusinasi. Padahal dengan jelas aku mendengar suaranya, bahkan tangannya yang menyentuh wajahku masih dapat kurasakan. Atau aku benar-benar sudah gila?

***

Cahaya matahari yang menyelip dari sela-sela gorden membuat kedua mataku terbuka karena silau. Aku menguap lantas merentangkan kedua tangan. Saat menatap ke arah jam dinding di kamar, betapa terkejutnya aku ternyata sudah jam sepuluh. Astaga, tidak pernah aku bangun sesiang ini. Pasti semuanya gara-gara susah tidur tadi malam.

Ponsel yang berdering dan menunjukkan nama “Papa” membuatku bergegas meraih ponsel lantas mengangkat panggilan.

“Halo, Pa,” sapaku dengan suara serak khas baru bangun tidur.

“El, Papa mau minta tolong,” ujar Papa dari seberang sana. Intonasi bicaranya terdengar gusar.

Dengan sigap aku bangkit dari atas ranjang. “Minta tolong apa, Pa?”

“Tolong ambilkan map berwarna merah yang ada di atas meja kerja Papa. Tadi Papa lupa tidak membawanya, padahal isi map itu penting untuk rapat sebentar lagi.”

“Oke, Pa. El ke sana sekarang.”

Aku bergegas memasuki kamar mandi untuk membasuh wajah dan menggosok gigi, kemudian berlari kembali ke kamar untuk berganti pakaian. Mendengar kalau map itu cukup penting dan mendesak, aku pun berlari menuju ruang kerja Papa lantas mengambil map yang dimaksud.

Tanganku bergerak cepat untuk memesan ojek online. Sambil menanti ojek online, aku memakai masker untuk menutupi setengah wajahku. Ketika motor dari driver ojek online terlihat, aku langsung bergegas menaikinya.

Hanya membutuhkan waktu sekitar setengah jam untuk sampai di perusahaan tempat Papa bekerja. Biasanya tidak sampai setengah jam jika berangkat pagi-pagi sekali, tetapi jika sudah siang seperti ini maka jalanan akan macet dan menyebabkan lebih lama sampai ke perusahaan tempat Papa bekerja.

Setelah membayar driver ojek online, aku memasuki lobi di perusahaan lantas duduk di salah satu kursi yang berada di sana. Aku mengirim pesan kepada Papa untuk memberi kabar kalau aku sudah sampai. Selesai mengirim pesan, kepalaku mendongak hendak mengamati sekeliling. Tiba-tiba saja bola mataku menangkap pandang sosok pria berjas yang tengah diikuti oleh beberapa orang di belakangnya. Ketika sosok pria berjas itu menurunkan maskernya sambil berbicara kepada orang di dekatnya, seketika aku langsung melotot. Pria tampan itu lagi? Bagaimana bisa?

“El, sudah sampai ternyata.”

Suara dari Papa membuatku beralih memandangnya. “Pa, itu siapa?” tanyaku sambil menunjuk ke arah pria tampan itu.

“Yang lagi ngomong sambil nurunin maskernya?”

“Iya,” sahutku tak sabar.

“Oh, itu CEO di sini. Dia atasan Papa.”

Aku mematung di tempat dengan tubuh kaku. Tak berselang lama kepalaku mulai terasa pening memikirkan semua keanehan ini. Pemilik kedai kopi, dokter, CEO, lalu setelah itu apa lagi? Apakah setelahnya orang-orang juga tidak akan mengingat sosok itu?

***

Aku jatuh sakit, demam selama berhari-hari. Keanehan itu kembali terjadi. Esoknya aku menanyakan Papa mengenai CEO di perusahaannya, lebih tepatnya menanyakan ciri-ciri dari pria tampan itu. Namun, hasilnya sama. Papa berkata tidak ada CEO yang seperti itu di perusahaannya. Bahkan, Papa merasa tidak pernah melihat karyawan yang seperti aku sebutkan.

Kepalaku berdenyut nyeri setiap memikirkan keanehan itu. Mengapa hanya aku yang dapat mengingat sosok pria tampan itu? Siapa sebenarnya sosok pria tampan itu? Bagaimana mungkin dia memiliki pekerjaan yang begitu banyak? Apa tujuannya? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus berkelebat di kepalaku hingga membuatku kembali jatuh sakit.

“El.”

Suara Mama yang terdengar diikuti dengan sosoknya yang memasuki kamarku membuat lamunanku buyar. Aku beranjak duduk di atas kasur dengan punggung menyandar ke sandaran ranjang. “Kenapa, Ma?”

Mama meletakkan nampan dengan semangkuk bubur ke hadapanku. “Makan dulu. Besok kamu harus ke kampus kan? Jadi cepatlah sehat.”

Aku mendengkus. Benar juga, besok aku harus mengunjungi kampus untuk mencetak kartu tanda mahasiswa atau KTM. Sebenarnya sangat malas kalau harus ke sana, tetapi mau bagaimana lagi, aku pun membutuhkan KTM untuk beberapa keperluan.

Aku mulai menyuap bubur ke dalam mulut, kemudian menelannya dengan malas. Suhu tubuhku masih tinggi saat ini dan lidahku terasa pahit untuk mencecap makanan. Namun, apa boleh buat, aku harus makan agar bisa lekas sembuh. Dan yang terpenting sepertinya aku harus melupakan sosok pria tampan itu mulai sekarang agar hidupku bisa lebih tenang. Satu hal yang saat ini kuharapkan adalah tidak bertemu dengannya lagi.

***

Sepatu putih yang aku kenakan menginjakkan kaki di kampus. Terlihat beberapa mahasiswa baru berlalu-lalang dengan jarak aman. Masker yang mereka kenakan membuatku kesulitan untuk mengenali wajah mereka, termasuk mencari teman sekelasku yang baru beberapa hari lalu berkenalan melalui W******p.

Menghela napas karena tak kunjung menemukan sosok kenalanku, pada akhirnya aku memutuskan untuk langsung menuju gedung program studiku. Info yang beredar menyatakan bahwa mahasiswa baru harus mengambil KTM ke dosen pembimbing akademik masing-masing, jadilah kini aku tengah menuju ruangan dosen pembimbing akademikku.

Terlihat sebuah ruangan yang bertuliskan Rendy Mahardika. Ada beberapa mahasiswa yang mengantre di sana untuk mengambil KTM. Aku pun turut mengantre dengan sabar.

Giliranku tiba. Aku menghadap dosen tersebut lantas menyerahkan beberapa berkas yang harus ditunjukkan. Kulihat dosenku itu memeriksa satu per satu berkas dengan kepala menunduk. Meskipun dia tengah menunduk dan wajahnya tertutup masker, namun dapat kutebak kalau dia tampan. Tidak hanya aku yang berspekulasi seperti itu, namun beberapa mahasiswa yang tadi berbisik-bisik di dekatku pun mengakui hal itu.

“Bukti pembayaran UKT-mu?” ujar dosenku sambil mengangkat kepalanya.

Detik itulah aku langsung terpaku di tempat dengan mata membulat. Napasku tertahan selama beberapa detik ketika melihat netra cokelat terang yang tidak asing di mataku. Dan suara itu, aku yakin suara yang sama dengan sosok pria tampan itu.

Aku menelan ludah ketika satu kesimpulan tercetak di kepalaku. Jadi pria tampan itu ternyata dosen pembimbing akademikku? Astaga, rasanya aku nyaris pingsan mengetahui banyaknya profesi yang dia ambil dalam waktu singkat. Aku tidak ingin jatuh sakit hingga nyaris gila kalau-kalau tidak ada satupun orang yang mengingat sosoknya setelah ini.

“Elisa. Kamu mendengar saya?” panggil pria tampan itu.

Mataku menyorot tajam. Aku tidak mau mati penasaran, jadi hari ini juga aku harus mendapatkan kejelasan akan sosok pria itu. Tanganku terangkat lantas menurunkan masker yang kukenakan. “Bapak ingat saya?”

Dapat kulihat bola mata dosenku membesar selama beberapa detik, kemudian kembali normal seperti semula. “Tidak. Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”

“Apa maksud dari perkataan Bapak saat di rumah sakit? Saat itu Bapak meminta saya untuk melupakan semuanya. Melupakan apa?” tanyaku balik. Sejujurnya aku nyaris gugup saat melihat kilat tajam di netra cokelat terang Pak Rendy. Namun, sekuat tenaga aku berusaha untuk berani.

Hal yang tak kuduga terjadi. Pak Rendy berdiri dari duduknya. “Ikut saya,” ujarnya lantas melangkah keluar ruangan, meninggalkan tanda tanya di antara banyaknya mahasiswa yang masih mengantre di sana.

Aku menurut lantas mengikuti langkah Pak Rendy menuju tangga darurat. Kami berdua berdiri berhadapan dengan pandangan yang tak lepas satu sama lain. Aku menatap Pak Rendy dengan sorot penuh selidik.

“Siapa sebenarnya Pak Rendy?” tanyaku tanpa berbasa-basi.

“Saya dosen kamu.”

Jawabannya membuatku mendengkus kesal. Ternyata dia tidak mau mengaku? Dengan nekat aku berjinjit lantas menurunkan masker yang dia kenakan. Mulut Pak Rendy terbuka seperti hendak mengeluarkan kalimat protes, namun aku lebih dulu berujar, “Bapak pasti tahu bukan itu yang saya maksud. Tiga tahun lalu Bapak seorang pemilik kedai kopi. Tahun ini saya lihat Bapak sebagai dokter, CEO di perusahaan Papa saya, dan sekarang dosen saya. Ini tidak masuk akal, apalagi semua orang tidak ada yang mengingat Bapak.” Baru kusadari ternyata aku berbicara dengan menggebu hingga napasku terdengar memburu. Aku kembali mengulang pertanyaan sebelumnya, “Jadi, siapa sebenarnya Pak Rendy?”

Wajah tampan di hadapanku tampak datar, namun dapat kulihat bola matanya menunjukkan riak kaget selama beberapa detik. Pak Rendy bungkam, dia mengamati wajahku dengan bola mata yang bergerak-gerak seolah tengah mencari sesuatu.

“Apa Bapak bukan manusia?” Entah bagaimana satu kesimpulan itu tercetak di otakku.

Menatap cukup lama bola mataku, Pak Rendy lantas mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia mengerutkan keningnya sebelum kembali menatapku. “Bagaimana bisa kamu mengingat saya?”

“Apakah seharusnya saya tidak bisa mengingat Bapak?” tanyaku balik.

“Bagaimana bisa hal itu tidak mempan di kamu?” lirih Pak Rendy. Lebih tepatnya seperti bertanya kepada dirinya sendiri.

Sejujurnya aku sangat bingung dengan semua ini hingga rasanya kepalaku kembali berdenyut nyeri. Aku bingung ini adalah kenyataan atau ilusi. Apalagi saat kuamati dengan seksama, wajah tampan Pak Rendy tidak berubah sedikitpun setelah tiga tahun berlalu. Tidak ada kerutan, malah terlihat semakin tampan dan segar. Spekulasiku beberapa saat yang lalu yang menanyakan bahwa dia bukan manusia muncul kembali di kepalaku.

Tiba-tiba satu ide gila terbesit di kepalaku. “Kalau Pak Rendy tidak bisa menjawab pertanyaan saya tidak apa-apa. Cukup tangkap tubuh saya.”

“Apa maksud—”

Sebelum Pak Rendy menyelesaikan kalimatnya, aku sudah lebih dulu memundurkan tubuhku, kemudian melempar tubuhku sendiri ke belakang. Aku memejamkan mata saat merasakan tubuhku mulai melayang jatuh dari atas tangga. Di detik kesekian kurasakan ada tangan yang meraih pinggangku. Kedua mataku terbuka dan betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa tubuhku melayang dalam gendongan Pak Rendy. Mataku membulat sempurna karena terkejut dan napasku tertahan selama beberapa detik saat menyadari tubuh kami melayang di udara. Namun, tak berselang lama aku mengulas senyum penuh kemenangan. “Jadi tebakan saya benar. Pak Rendy bukan manusia.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status