Share

Bab 1-Pria Tampan

Suatu hari di tahun 2018.

“Sialan!” umpatku dengan kepala mendongak, menatap langit terang di atas sana.

Bagaimana bisa nilai sejarahku yang paling rendah di kelas? Padahal aku rajin belajar setiap mau ulangan. Walaupun belajarku H-1 ulangan, tetapi tetap saja belajar. Justru teman-teman lelakiku yang tidak belajar sama sekali malah mendapatkan nilai yang lebih tinggi dariku. Namun, sekali lagi, mengapa nilaiku yang paling rendah?

Aku melajukan motor saat lampu lalu lintas berubah hijau. Menyetir sambil berpikir, akhirnya aku memutuskan untuk mampir ke sebuah kedai kopi. Aku butuh menenangkan diri sebelum mendapatkan amukan dari orang tuaku. Menurutku sesuatu yang berkafein seperti kopi dapat merangsang produksi hormon endorfinku. Aku tahu kalau diriku sok tahu padahal bukan anak IPA yang belajar Biologi. Ngomong-ngomong soal orang tua, aku harus bersiap-siap diomel nantinya karena orang tuaku merupakan sosok yang gila nilai dan pemerhati akademik anaknya.

Memarkirkan motor di area tempat parkir, melepaskan helm, kemudian beranjak turun dari atas motor. Aku melangkah dengan wajah masam ke arah pintu masuk. Sedang berjalan dengan tenang, tiba-tiba saja ada segerombol lelaki yang menyalip langkahku, mendesak dan menabrakku hingga tubuhku terhuyung ke belakang. 

“Aaaa!!!” teriakku dengan mata terpejam erat, bersiap untuk jatuh di atas tanah. Namun, tubuhku justru terasa melayang. 

Perlahan aku membuka kedua mata. Hal pertama yang tertangkap oleh indra penglihatanku adalah iris cokelat terang dari seorang pria. Aku menahan napas dengan bola mata membesar. Apakah aku bermimpi? Bagaimana bisa pria yang setampan malaikat—oke, aku belum pernah melihat malaikat—tengah menatapku dengan jarak yang begitu dekat?

“Kamu tidak apa-apa?”

Suara berat nan seksi memasuki indra pendengaranku. Tersadar dari keterpanaan, aku mengangguk-angguk lantas bergegas untuk melepaskan diri dari rengkuhannya. Oh my God! Barusan pinggangku direngkuh oleh pria tampan!

“Uhm … terima kasih. Saya permisi,” ucapku dengan cepat, kemudian berlari-lari kecil memasuki kedai kopi. 

Sambil mengantre untuk memesan, diam-diam aku melirik ke arah pria tadi. Dia memang pria tertampan yang pernah kutemui.Walaupun umurnya terlihat seperti akhir dua puluhan, namun wajahnya tidak tampak tua sama sekali, dan kesan maskulinnya sangat terasa. Bukannya aku menyukai pria tua, tetapi pria itu sungguh menarik perhatianku. 

Pria itu terlihat berbicara dengan salah satu karyawan yang ada di sana. Entah apa yang mereka bicarakan, namun raut wajahnya terlihat begitu serius. Wajah pria itu tampak tegas, alisnya tebal, dan mata tajamnya yang beriris cokelat terang sungguh menambah poin plus. Badannya tinggi, postur tubuhnya tegap, dan ototnya tercetak jelas di balik kaos pendek yang dia kenakan. Astaga, sepertinya aku sudah gila. Tidak pernah aku mengamati orang asing sampai sedetail ini.

Sedang asyik-asyiknya mengamati, tiba-tiba saja pria itu melirik ke samping yang otomatis membuat pandangan kami bertemu. Seolah ada magnet di mata pria itu, aku tak dapat mengalihkan pandangan darinya. Kami bertatapan selama beberapa detik hingga pria itu memutus kontak mata lebih dulu.

“Mau pesan apa?” 

“Americano satu,” ucapku masih dengan memandang ke arah pria itu. Biarlah kalau aku dicap sebagai gadis SMA yang aneh dan tak tahu malu karena memandangi orang asing terus-menurus, bahkan aku yakin kalau mataku tidak berkedip.

Terdengar pria tampan itu memanggil karyawan yang lain. Samar-samar aku dapat mendengar percakapan mereka.

“Jangan lupa stok kopinya,” ucap pria tampan itu.

“Oke, Bos,” sahut karyawan tersebut.

Aku mengangguk-angguk saat mendapatkan satu kesimpulan di kepalaku. Pria itu pasti pemilik cafe ini. Sudah diputuskan, aku akan ke tempat ini setiap hari.

***

“ELISA!!!”

Teriakan Mama menggema hingga seolah mampu menggetarkan seisi rumah. Aku mengambil langkah seribu untuk berlari memasuki kamar lantas menguncinya. Baru saja aku menunjukkan nilai ulangan sejarah. Sebagai anak yang jujur, aku juga memberitahu kalau nilaiku yang paling rendah di kelas. Langsung saja Mama mendidih dengan mata yang melotot tanda akan mengamuk, kemudian di detik selanjutnya teriakan terdengar.

“Mengapa kamu tidak pernah mendengarkan Mama untuk belajar dengan serius? Kamu sudah SMA dan sebentar lagi akan naik ke kelas sebelas, mau jadi apa kalau nilaimu jelek melulu?” omel Mama dari balik pintu kamarku.

Aku duduk di atas kasur sambil memeluk lutut. Bibirku mengerucut usai mendengar ucapan Mama. Omelan Mama selalu berhasil menusukku tepat ke jantung.

“Kamu mau kuliah kan?” tanya Mama.

Aku terdiam mendengar pertanyaan yang satu itu.

“Jawab Mama, El!”

“Mau, Ma!” sahutku dengan cepat.

“Bagus. Kalau begitu tingkatkan nilai kamu. Awas saja kalau kelas sebelas dan dua belas nanti Mama melihat nilaimu jelek!” seru Mama, terdengar menggebu-gebu.

Masih dengan bibir mengerucut, aku memilih untuk mengangguk-angguk walaupun Mama tak melihatnya. 

“Jawab Mama, Elisa! Kalau tidak uang sangumu akan Mama potong!” ancam Mama.

Mendengar kata uang sangu yang akan dipotong, sontak aku berdiri dari kasur dan berlari menuju pintu kamar, kemudian membukanya dengan cepat. “Siap! Ma! Jangan potong uang sangu El!” ucapku sambil memberi gestur hormat.

Mama berdecak heran, dia geleng-geleng kepala melihatku.

***

Terjadi lagi. Beberapa hari usai diomel oleh Mama dengan ancaman uang sanguku yang akan dipotong, hari ini aku kembali mendapatkan hasil nilai ulangan yang rendah. Memang bukan yang terendah di kelas, tetapi berada di bawah kriteria ketuntasan minimum.

Aku menelan ludah dengan susah payah sembari menatap hasil ulangan geografi yang menunjukkan angka lima diikuti bulatan seperti telur di sebelahnya. Nilai ulangan kali ini lebih parah dari nilai ulangan sejarah. Ingin kutenggelam ke rawa-rawa detik ini juga.

“Nilai lo berapa, El?” tanya Amel, teman sebangkuku.

“Seratus,” jawabku. “Tapi dikurangi lima puluh.”

Amel tertawa kencang mendengar ucapanku. “Gue kira beneran seratus. Ada-ada aja lo, makanya belajar kayak gue,” sombongnya dengan tangan terangkat menunjukkan hasil ulangan miliknya yang berangka sembilan puluh. 

Aku mendengkus kesal, memilih untuk tidak menanggapinya. 

“Ya elah, jangan marah. Gue traktir lo hari ini deh buat ngerayain nilai gue yang bagus. Mau nggak?” tawar Amel.

Mendengar kata traktir membuat mataku berbinar seketika. “Mau! Tapi gue yang milih tempatnya ya?”

“Oke.”

Aku tersenyum senang, mulai membayangkan tempat yang akan kukunjungi. Tentu saja kedai kopi waktu itu. Semoga saja aku bisa bertemu kembali dengan sang pria tampan. Ah, aku sudah tidak sabar. 

Selama pembelajaran jam terakhir berlangsung, aku tidak berhenti mengulas senyum. Kepalaku terbayang-bayang dengan sosok pria tampan beriris cokelat, seorang pemilik kedai kopi yang kudatangi waktu itu. Sebenarnya aku belum ke sana lagi sejak hari itu. Alasannya? Sibuk belajar karena tuntutan Mama. Namun, hasilnya nilaiku tetap saja jelek, mungkin otakku memang sudah dirancang terbatas sejak aku lahir, jadi tidak bisa berpikir yang berat-berat. Perlu diketahui kalau soal ulangan di sekolahku berat-berat.

“Yuk, lo ikutin motor gue dari belakang ya?” ujarku pada Amel yang dibalas anggukan oleh gadis itu.

Aku mulai menyalakan kendaraan. Motorku mulai melaju membelah jalan raya yang padat di sore hari. Polusi udara tidak kuhiraukan, bunyi klakson dari kendaraan lain kuabaikan, dan mata yang kelilipan debu kubiarkan. Semua itu karena rasa bahagia yang meningkat pesat. Tentu saja aku bahagia, siapa yang tidak senang saat akan bertemu dengan seorang pria tampan? Dengan memandangnya saja pasti bisa membuat hari-hariku berubah cerah, seperti mentari yang memancar terang sore hari ini.

Motorku terparkir mulus di area tempat parkir kedai kopi. Aku beranjak turun dan melangkah menuju pintu kedai kopi dengan tergesa. 

“Woi! Tungguin gue!”

Langkahku langsung terhenti saat mendengar suara seseorang. Menoleh ke belakang, aku baru menyadari ada sosok Amel yang datang bersamaku. “Cepat! Lambat amat lo!”

Amel memberengut, namun gadis itu tidak menghiraukanku. Usai melepas helm, dia malah asyik merapikan rambut dengan mengaca pada spion motor. Parahnya, dia malah menggunakan kaca spion motorku hingga dibengkokkkan. Sudah dibuat bengkok, tidak dikembalikan seperti sebelumnya pula. Menyebalkan sekali, untung teman.

“Yuk,” ajak Amel lantas berjalan di sebelahku. “El, kenapa lo milih kedai kopi? Sejak kapan lo suka ngopi kayak bapak-bapak?”

“Dih! Nggak cuma bapak-bapak yang doyan ngopi kali! Anak-anak muda zaman now juga banyak yang penikmat kopi. Gue adalah salah satunya,” tunjukku ke arah diri sendiri.

Amel mencebikkan bibirnya dan aku meresponnya dengan tertawa. Ketika memasuki kedai kopi, pandanganku langsung mengedar untuk mencari sosok pria tampan yang jujur saja tak pernah berhenti terbayang-bayang di kepalaku.

“Saya pesan americano satu,” ucapku dengan pandangan masih terfokus ke arah lain. 

“Saya juga, samain aja,” ujar Amel di sebelahku.

Tak kunjung menemukan sosok pria tampan itu, aku memberanikan diri untuk bertanya kepada karyawan yang ada di depanku. “Maaf, mau nanya. Bos kalian nggak datang hari ini?”

“Bos kami?” beo karyawan itu.

Aku mengangguk. “Ya. Laki-laki yang tinggi itu loh.”

Karyawan itu mengernyit usai mendengar ucapanku. “Bos kami bukan laki-laki, tapi perempuan.”

“Hah?” kejutku dengan mata membulat.

“Bos kami perempuan, pemilik kedai kopi ini. Beliau sudah lama tidak hadir ke sini, sedang sibuk di luar negeri sejak tahun lalu.”

Mataku mengerjap dengan raut bingung yang terpampang di wajahku. Belum menyerah, aku kembali bertanya, “Anda ingat tidak dengan laki-laki tampan yang tinggi, matanya cokelat, dan beberapa hari yang lalu ngomong sama salah satu karyawan di sini?”

Karyawan itu terdiam sejenak. “Tidak ada laki-laki seperti itu yang pernah berkunjung ke sini.”

Sontak, aku terdiam kaku di tempat. Ini aneh. Waktu itu aku tidak sedang berhalusinasi bukan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status