"Kenapa cuma minta private party? Kakak malu kawin sana duda cerai dua kali?" Ejek suara itu yang seketika membuat Andina menghela napas panjang.
"Atau mungkin malu nikah sama lelaki pengangguran?" Belum sempat menjawab, Tamara sudah kembali menyerangnya lagi. Andina membalikkan badan, melangkah mendekati Tamara yang nampak menatapnya dengan tatapan mengejek. Mata Andina tertuju pada perut sang adik. Masih nampak rata, belum nampak kalau Tamara tengah berbadan dua. "Apapun itu setidaknya aku tidak menikah karena hamil lebih dulu, hamil di luar nikah. Jadi kenapa harus malu?" Bisa Andina lihat wajah cantik bersalut makeup Tamara terkejut. Sorot mata mengejek tadi berubah jadi sorot benci menahan marah. "Aku tidak harus merendahkan diriku di sentuh lelaki yang milik orang lain agar dinikahi. Dimana salahnya?" Ujar Andina menyerang balik sang adik. "Ka-u ...." Tamara mengeram, tangannya mengepal kuat. "Apa?" Tantang Andina tak takut. Dia sudah lelah mengalah dan berdiam diri. "Harusnya kamu sadar diri, Kak! Lihat penampilanmu! Norak! Cupu! Kampungan! Jangan sa--." "STOP!" Potong Andina keras. "Apakah tujuan hidupmu hanya untuk mengusikku? Perlu aku tekankan aku tidak pernah mengusik atau menganggu urusan pribadimu. Jadi tolong hentikan mulutmu sebelum kesabaranku habis!" Bukannya takut, Tamara malah tertawa dengan nada mengejek. Ia melipat dua tangan di dada, melayangkan tatapan merendahkan ke arah sang kakak. "Kamu berani mengancamku? Siapa kamu? Kamu pikir dengan menikah dengan lelaki pengangguran itu, lantas kamu punya power untuk melawanku?" Tanyanya dengan nada sombong. "Kamu memang masuk jadi anggota keluarga Narendra, tapi lihat siapa suami kamu? Apa yang bisa kamu banggakan dari laki-laki model om Bram begitu?" "Kamu tidak banyak tahu, jadi tidak perlu banyak bicara!" Sanggah Andina yang sudah berada di batas kesabaran. "Oh membela calon suami? Ti--." "Perlu aku ingatkan kamu sedang hamil, jadi tolong jaga ucapan dan kelakuanmu. Sekarang bisa pergi dari sini?" Potong Andina berusaha tetap berpikir jernih. Ia harus menjauhi konflik dengan adiknya ini. Sudah beberapa kali mereka berkonflik. Semuanya tidak memberikan keuntungan dan keadilan apapun bagi Andina tak peduli Tamaralah yang memulai duluan. Mata Tamara membulat, ia tertawa sumbang dengan ekspresi yang sangat menyebalkan. Dan tanpa berkata-kata lagi, ia melangkah keluar meninggalkan Andina dalam ruangan itu. Sepeninggal Tamara, Andina hanya bisa menghela napas panjang berkali-kali. Tak peduli siapa pengantin laki-lakinya, hari ini adalah hari besar Andina. Setelah hari besarnya yang lain terenggut dan ia hanya mendapatkan luka dan rasa malu, Andina tidak ingin mengacaukan hari ini! Tidak sama sekali! "Oma lihat Tamara keluar dari sini, apalagi yang dia lakukan, An?" Andina terkejut, bisa dia lihat neneknya sudah muncul dari depan pintu kamar. Andina tersenyum kecut, sebenarnya tanpa harus bertanya, neneknya sudah tahu apa jawaban dari pertanyaannya barusan. "Apa lagi memang, Oma? Oma kayak nggak kenal aja sama cucu Oma yang satu itu." Oma menganggukkan kepala. Terlihat sekali bahwa dia tidak ingin memperpanjang masalah. Ia segera menghampiri Andina, menempuk lembut pundak Andina sambil tersenyum simpul. "Akhirnya hari ini kamu menikah, An. Terimakasih sudah menerima pinangan Eyang Mar. Kamu benar-benar anak yang baik." Puji Oma tulus. "Bukankah aku tidak punya pilihan lain selain menerimanya, Oma?" Tanya Andina sarkas, ia lantas tertawa lirih, rasanya tidak adil memang, tapi bisa apa? Oma hanya tersenyum, ia menggenggam tangan Andina lalu membawanya melangkah keluar. Tidak ada acara di hotel, semua persiapan hanya dari rumah. Pemberkatan di gereja dan perayaan untuk kedua belah pihak keluarga di salah satu vila milik keluarga Narendra. "Oma bisa pastikan kamu tidak akan pernah menyesal, An. Kamu akan bahagia." Bisik Oma sembari membawa Andina menuruni anak tangga. "Oma tentu tidak lupa dengan taruhan yang Oma tempo lalu janjikan, bukan?" Tanya Andina mengingatkan. "Tentu tidak!" Tegas Oma mantap. "Kebun teh di Karanganyar akan jatuh ke tanganmu, An. Dan tidak akan ada lagi perjodohan yang akan Oma paksakan padamu, dengan siapapun itu. Apakah itu belum cukup?" *** "Anak ayah cantik sekali." Desis Hendra dengan mata berkaca-kaca. "Benarkah? Bukankah hanya Tamara anak ayah yang paling cantik?" Sengaja Andina menyindir, meskipun sebenarnya ini bukan waktu yang tepat. Hendra tersenyum getir, ia membaca sorot mata terluka yang Andina tujukan padanya. Hendra tahu semua ini tidak adil, tapi dia bisa apa? Dia berada di bawa tekanan ibu dan istrinya! "Kamu cantik, An! Sangat cantik seperti almarhumah bundamu." Mendengar nama itu disebut, mata Andina memanas. Bayangan wajah cantik dalam foto yang selalu dia pandangi sebelum tidur kembali berkelebat. Apakah di atas sana mamanya bahagia? "Sudah saatnya, An!" Bisik Hendra yang seketika menghilangkan bayangan cantik itu dari pikiran Andina. Andina mengangguk, ia mencengkeram kuat buket bunga dalam genggamannya. Satu tangannya ia tautkan pada lengan Hendra. Ian menghela napas panjang, mulai melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan sakral itu. Benarkah Andina akan bahagia setelah ini? Perlahan Andina melangkah beriringan dengan langkah kaki sang ayah. Dadanya bergemuruh. Ada perasaan haru dan pedih yang bergejolak menjadi satu. Entah bagaimana Andina mendiskripsikan, yang jelas hari ini jantungnya berdebar-debar dua kali lebih cepat dalam setiap waktu. Ketika mereka masuk ke dalam ruangan penuh dengan bunga, Andina menundukkan wajah. Ia sama sekali tidak berani menatap apapun kecuali gaun yang bergerak seiring langkah kakinya beradu. "Nah Bram, Ayah titip anak gadis Ayah, ya?" Ucap Hendra yang membuat air mata Andina rasanya ingin tumpah. "Jangan khawatir, Ayah ... Bram janji akan jaga Andina seperti Ayah jaga dia selama ini." Suara itu terdengar begitu tenang dan mantab. Andina sedikit terkejut ketika tangannya diraih oleh Hendra, digenggam sesaat lalu kemudian disatukan dengan tangan itu. Saat inilah Andina mengangkat wajahnya, menatap sosok itu dari balik veil yang menutupi kepala sampai depan dada. Bram nampak gagah seperti biasa dengan setelan jas yang membukus tubuh. Dia sudah terbiasa dengan pakaian itu, namun entah mengapa untuk hari ini, pesona lelaki itu nampak lain. Wajahnya yang biasanya selalu bersih, hari ini nampak bersih dan bersinar. Entah hanya Andina yang merasa seperti itu atau bagaimana, namun inilah yang dia lihat detik ini. "Sudah siap, An?""Caesar bobok?"Andina yang baru saja meletakkan Caesar di dalam box bayi, seketika menoleh ke sumber suara. Senyum Andina merekah tatkala sosok itu melangkah masuk dengan begitu perlahan. Tamara melongok ke dalam box, tersenyum lebar sembari memperhatikan Caesar dengan saksama. Entah mengapa, melihat wajah gembira dan senyum merekah itu, hati Andina benar-benar terasa bahagia dan begitu damai. "Duh ganteng banget keponakan tante." desisnya lirih sembari berpegangan pada tepian box. "Celine kemana? Kok nggak dibawa?" tanya Andina ketika sadar adiknya itu hanya datang seorang diri. Tamara menoleh, ia menghela napas panjang sembari menyodorkan paper bag yang dibawanya. "Tengokin bayi ngajak bocil? Alamat bakalan ada huru-hara, Kak!" desisnya dengan wajah cemberut. Andina menerima paper bag dari sang adik. Nama yang tercetak di sana adalah sebuah patisserie kenamaan favorit mereka. "Jadi ini para busui mau tea time nih?" tanyanya sembari melirik Tamara. "Exactly! Pas banget nih C
"Loh Bram, ngapain di sini?"Bram dan Hendra menoleh, nampak Roy melangkah dengan santai menghampiri mereka. Di tangan Roy, ada satu kantong plastik besar yang entah apa isinya. Bram menatap lelaki itu dengan gemas, rasanya kalau tidak ada papa mertuanya di sini, sudah Bram pukuli lelaki satu ini. "Kamu nggak nungguin bini, Bram?" tanyanya masih dengan sangat santai. Bram melotot, ia mengusap wajahnya dengan kasar laku menatap tajam ke arah Roy. "Aku di sini ini ngapain sih, Roy? Lagi sabung ayam gitu?" jawab Bram sekenanya. Ia tengah risau, gelisah dan sangat khawatir tetapi cecurut yang sialnya menjadi orang kepercayaan Bram ini malah membuatnya gemas. "Ya enggak, maksudku kenapa kamu nggak nungguin di dalem? Nah di dalem Andina sama siapa?" tanyanya sembari meletakkan kantong plastik di kursi, Roy segera menjabat tangan Hendra dengan sopan. "Kamu mau aku pingsan di dalem terus nambahin kerjaan dokternya?" tanya Bram dengan sorot mata tajam. Mendengar itu, diluar dugaan Roy t
“Sakit?”Bram menatap Andina dengan penuh rasa khawatir, sejak beberapa jam yang lalu, Andina sudah merasakan mulas dan sensasi nyeri di perut. Bahkan kini mereka sudah berada di rumah sakit sekarang, bersiap di kamar VVIP yang sudah Bram pesan jauh-jauh hari.“Lumayanlah, Mas.” jawab Andina sembari tersenyum, ia masih berusaha tenang, meskipun mulas itu makin teratur.“Operasi aja gimana? Biar aku bi—““Eh, nggak mau!”Andina segera menarik tangan Bram yang hendak melangkah menuju pintu, ia memaksa suaminya kembali duduk di sofa yang ada di dalam ruangan.“Kenapa nggak mau sih? Aku takut kamu kenapa-napa, Sayang!” wajah Bram sudah begitu panik, bisa Andina lihat sorot itu nampak gusar.“Dokter bilang semua baik, nggak ada indikasi serius jadi aku pengen lahiran normal aja, Mas.” tegas Andina tanpa melepaskan tangan Bram yang ia genggam.“Aku nggak tega liat kamu kesakitan, An. Udah deh kita operasi aja.”Kembali Andina menggeleng. Mendengar cerita Tamara perihal efek-efek yang dia ra
"Pelan-pelan, Sayang!"Andina tersenyum, semenjak dia hamil, Bram benar-benar memperlakukan dia dengan begitu lembut. Semua yang Andina mau selalu dituruti tanpa perlu waktu lama. Andina yang sehari-hari sudah diratukan oleh Bram, kini makin dimanjakan dengan sangat ugal-ugalan! "Agenda hari ini kamu ada jadwal manicure, creambath sama kita cari perlengkapan bayi!"Bukan salah Andina kalau ia lantas terkekeh, kepalanya mendongak, menatap Bram yang masih berdiri dan nampak bersiap membantu Andina berdiri. "Sejak kapan owner perusahaan ternama, resto ternama jadi aspri aku?" goda Andina yang membuat Bram ikut terkekeh. "Lah kamu baru tahu kalau the real bos dari owner perusahaan ternama itu kamu? Dan jangan lupa ini!" Bram jongkok di depan Andina, mengelus dan mengecup perut Andina yang menyembul. Andina tersenyum, ia mengusap lembut kepala Bram, merapikan rambut lelaki itu dengan tangan tanpa mengalihkan pandangan. "Makasih bikin aku jadi perempuan yang paling beruntung di dunia,
Dua bulan kemudian .... "Eh Kak? Kamu nggak apa-apa?"Tamara seketika panik ketika tubuh kakaknya hampir saja terhuyung jatuh kalau tidak berpegangan pada meja ganti popok Celine. Wajah Andina memang pucat, namun tadi dia masih lincah, dan kini. "Tam ... ini kok tiba-tiba aku pusing banget, ya? Tolongin dong." Mata Andina terpejam, satu tangannya memijat pelipis perlahan. Tamara tak banyak bicara, ia segera meletakan botol lotion milik celine dan memapah kakaknya yang nampak payah itu. Mereka sudah hampir dekat ke sofa menyusui yang ada di kamar Tamara ketika tubuh Andina melemas dan ambruk ke bawah, Tamara langsung menahan tubuh itu sebelum mencium lantai, sekuat tenaga ia membantu kakaknya sampai ke sofa, lalu berteriak-teriak panik sembari membetulkan posisi Andina. "PA ... PAPA! TOLONGIN KAKAK PINGSAN, PA!" teriak Tamara panik, ia lupa kalau Celine tengah tertidur pulas di dalam box. Untung saja bayi itu tidak terbangun, Tamara mengusap-usap hidung Andina dengan minyak telon
"Eh ngapain?"Andina kontan mendorong Bram yang hendak ikut masuk ke kamar mandi. Mata lelaki itu membulat, menatap Andina dengan tatapan protes. Andina pun membalas tatapan itu, ia masih berdiri di depan pintu kamar mandi dan menutup akses lelaki itu masuk ke dalam. "Mau ikut!" jawab Bram persis seperti anak kecil. "Nggak ada ikut! Tungguin luar!" tegas Andina yang segera masuk dan menutup pintu kamar mandi. Sejenak Andina bersandar di balik pintu. Jantungnya berdegup kencang. Sebenarnya ia belum ada tanda-tanda hamil, telat haid pun baru seminggu dan Bram sudah begitu bernafsu untuk tahu hasil 'kerja keras' mereka selama liburan di Jepang.Andina segera melangkah menuju kloset, ia sudah mempersiapkan semuanya. Testpack sudah berada di tangan dan kalau boleh jujur, Andina sangat takut saat ini. Bagaimana kalau hasilnya tidak sesuai harapan? Bagaimana kalau dia mengecewakan? "Nggak akan tahu kalau nggak dicoba!" gumam Andina lirih lalu meletakkan benda itu di wastafel. Ia segera
Sandra menghentikan kakinya begitu masuk ke dalam ruangan. Matanya menyapu para hadirin yang datang. Bisa dia lihat ada Hendra, Mursiyati, Mariani bahkan ayah dari mendiang Theresa pun turut hadir.Mendadak jantungnya berdegup dua kali lebih cepat, seumur hidup, setelah pembunuhan itu dia lakukan, Sandra belum pernah setakut ini. Bulu kuduk Sandra mendadak meremang, ia bahkan melonjak terkejut ketika polwan yang mengawalnya mencolek bahu Sandra dan memberinya kode untuk melangkah masuk.Dengan kepala tertunduk, Sandra melangkah menuju tempat yang sudah disediakan untuknya. Pengacara yang Sandra pilih, sudah hadir dan duduk di sana. Namun Sandra tahu betul bahwa dia tidak boleh berharap banyak pada hari ini. Memang apa yang dia harapkan? Bisa bebas seperti puluhan tahun yang lalu? Mustahil!Sandra duduk di kursi, ia masih belum berani mengangkat wajah sampai kemudian pengacaranya menyenggol lengan Sandra dengan siku.“Bu ... Ibu nggak apa-apa?”***“Hari ini, kan?”Baru saja Bram henda
"Ada apa?" Mereka sudah di lounge bandara sekarang, Bram nampak memasukkan ponsel ke dalam tas, ia baru saja selesai menerima telepon, entah dari siapa, Andina tidak tahu. "Sidang putusan untuk kasus pembunuhan mama digelar tiga hari lagi, Sayang."Mata Andina membulat, ia menghela napas lalu menganggukkan kepala perlahan. Melihat itu nampak kening Bram berkerut, ia menatap istrinya dengan tatapan tidak percaya. "Kamu nggak pengen aku ba--""Aku nggak pengen dateng ke persidangan itu. Aku udah nggak pengen liat mukanya lagi. Aku cuma pengen denger kabar kalo dia dapet hukuman seberat-beratnya, Mas." potong suara itu lirih. Bram segera menjatuhkan diri di sofa yang ada tepat di sebelah Andina duduk. Ia meraih tangan Andina, meremas tangan itu dengan begitu lembut. "Dia tidak akan bisa mengelak lagi, Sayang. Tidak ada yang bisa membantunya lolos kali ini." gumam Bram dengan nada mantap. Andina tersenyum, ingin rasanya ia menghapus wajah dan semua kenangan akan kehidupan Andina yan
"Papa tunggu sini, ya?"Tamara menoleh, ia melayangkan tatapan protes itu ke arah Hendra. "Loh, kan Papa aku minta nemenin." gumam Tamara merajuk. Hendra menghela napas panjang, ia melangkah mendekati Tamara, mengusap lembut puncak kepala anak bungsunya itu dengan penuh kasih sayang. "Ini kan papa temenin, Tam. Cuma kalau untuk sampai ke dalam, papa nggak sanggup. Papa nggak bisa liat wajah laki-laki yang udah mengkhianati dan menyakiti hati anak papa sampai sedalam ini." ucap Hendra lirih, "Lagipun, kalian harus membahas banyak hal di dalam, yang itu diluar kewenangan papa untuk tahu. Jadi papa tunggu di sini, ya? Bicarakan baik-baik dengan kepala dingin."Tamara mendengus, mau bagaimana lagi? Yang dikatakan Hendra ada benarnya! Tamara harus masuk dan duduk membahas banyak hal perihal masa depan anak mereka. "Baiklah kalau begitu. Papa tunggu, ya? Aku masuk ke dalam dulu."Hendra mengangguk pelan, ia tersenyum dan menatap Tamara yang melangkah masuk ke dalam. Sepeninggal Tamara,