"Ya Tuhan!" pekik mama Lila dan Nada bersamaan saat melihat Vale yang masih terbaring di lantai, sementara Ramon tengah mencium pecahan gelas untuk mengetahui minuman apa yang Vale tenggak sebelumnya.
"Kamu memasukkan sesuatu ke dalam minumannya kan?" tebak Ramon dengan sangat tepat. Zevanya semakin ketakutan karenanya, entah berapa lama yang akan ia habiskan di dalam penjara karena telah menghilangkan nyawa seseorang.
"A ... Aku hanya memberinya obat tidur," jawab Zevanya dengan parau karena isakannya.
"Kamu memberi obat tidur pada pria setua ini? Itu sama saja kamu mengirimnya ke alam lain kalau saja dosisnya tidak tepat!" geram Ramon.
"Astaga, Vanya. Ini bisa saja masuk ke dalam pembunuhan berencana!" sungut mama Lila.
"Tuhan ... Kamu sudah menjadi seorang pembunuh, Vanya!" timpal Nada. Apalagi yang Nada sukai selain melihat Zevanya menderita.
"Aku hanya ingin mengulur waktu berhubungan intim dengannya. Aku belum siap." Zevanya membela dirinya sendiri.
"Mau apapun alasannya, tetap saja kamu sudah menjadi penyebab kematian suamimu! Dasar pembunuh!"
"Kalian semua diam!" raung Ramon, dan kedua wanita itu pun terdiam. Ramon melangkah mendekati Zevanya hingga berdiri menjulang di depannya,
"Jadi, kalian belum melakukannya?" tanyanya. Zevanya tahu betul apa maksud dari pertanyaan Ramon itu, ia menggeleng pelan sebagai jawabannya.
"Kalau begitu, jangan sampai berita kematian Vale keluar dari kamar ini!" tegas Ramon, kening mama Lila pun mengkerut bingung,
"Apa maksudmu, Ramon?"
"Aku tidak mau apa yang sudah kita lakukan hingga sejauh ini tidak membuahkan hasil, Ma! Kita sudah berhasil mendapatkan Vale beserta keuntungan yang menyertainya melalui pernikahan ini. Kalau berita kematian Vale menyebar sekarang sementara pria itu belum menanamkan benihnya ke rahim Vanya, maka kita tidak akan mendapatkan sepeserpun harta Vale. Hartanya bisa dipastikan akan jatuh pada keponakannya! Apa itu yang Mama inginkan?"
"Sekarang pun pria itu sudah mati, Ramon! Bagaimana bisa orang yang sudah mati melakukan hubungan suami istri? Tidak akan bisa! Mau seberapa lama pun kamu menyimpan mayatnya!"
"Tentu saja aku tahu itu, Ma! Kita hanya harus mencari pria pengganti yang memiliki ciri khusus seperti Vale!"
"Maksudmu, kamu akan meminta pria asing itu melakukan one night stand dengan Vanya?"
"Tepat seperti itu."
"Aku tidak mau!" tolak Zevanya mentah-mentah. Melakukan dengan pria yang menjadi suaminya saja ia tidak mau, apalagi dengan pria asing.
"Oh ya kamu harus melakukannya Vanya! Pilihannya hanya itu, atau kita bisa mengumumkan kematian Vale sekarang akibat minum obat tidur tanpa resep dokter. Kamu tahu kan apa yang akan terjadi padamu nantinya?"
Masuk penjara. Zevanya sudah tahu jawabannya.
"Apa tidak ada opsi lainnya?"
"Tidak ada! Kamu tinggal pilih, melakukannya dengan pria lain atau masuk penjara?"
"Lebih baik aku masuk penjara, daripada melakukannya dengan pria yang bukan suamiku!"
Zevanya melangkah mundur di setiap langkah maju Ramon, pria berbadan besar itu seolah mendominasinya, "Pikirkan Papamu! Kamu mau aku menghentikan biaya pengobatanya? Satu saja alat penunjang hidupnya dicabut, kamu bisa mengucapkan salam perpisahan padanya untuk selamanya," desisnya.
"Jangan!" cegah Zevanya. Papanya satu-satunya keluarga yang peduli padanya, di saat yang lainnya menganggap Zevanya seolah tidak pernah ada.
"Kalau begitu menurutlah! Setelah kamu melahirkan pewaris Vale, aku akan membebaskanmu pergi kemanapun kamu mau!"
"Apa kamu tidak puas hanya dengan menghilangkan nyawa suamimu, dan sekarang kamu mau menghilangkan nyawa Papa juga karena keegoisanmu itu?" tanya Nada dengan dongkol.
"Ta ... Tapi, siapa pria itu?" tanya Zevanya, ia tidak memiliki pilihan lain selain menuruti keinginan Ramon.
"Kamu tunggu di sini, aku akan mencarinya!" seru Ramon sebelum melangkah keluar.
"Gila! Berhenti, Ramon! Mama tidak setuju! Mama tidak mau kamu masuk penjara!"
"Selama tidak ada satupun dari kita yang membuka mulut, semua akan aman," jelas Ramon tanpa menghentikan langkahnya.
Setelah menunggu selama tiga jam, akhirnya Ramon menghubunginya. Kakak tirinya itu mengirimkan lokasi yang harus Zevanya datangi seorang diri, karena mama Lila dan Nada terlalu takut untuk menemaninya.
Sesampainya di lokasi, Zevanya menatap ragu rumah tua yang berada di depannya. Entah rumah siapa yang Ramon gunakan untuk melancarkan niatnya itu.
Ramon memintanya masuk ke dalam kamar yang gelap, dimana sudah terdapat seorang pria tanpa busana yang terikat di atas ranjang dengan kedua tangan dan kaki yang terlentang lebar. Meski tidak terlihat jelas karena minimnya cahaya, Zevanya menutup wajahnya seraya memekik pelan, karena baru pertama kali ia melihat tubuh polos seorang pria secara langsung. Ia baru akan balik badan ketika Ramon menahannya,
"Lakukan, jangan buang waktu!" perintahnya.
"Siapa kalian? Lepaskan saya! Apa kalian mau cari mati? Saya akan membunuh kalian semua!" raung pria itu membuat Zevanya kembali tersentak dan bertambah takut lagi.
"Si ... Siapa pria itu?" tanyanya.
"Tidak penting siapa pria itu. Lakukan saja!" jawab Ramon sambil mendorong Zevanya masuk lalu mengunci pintunya, sontak saja Zevanya semakin panik karenanya,
"Ramon buka! Aku takut!" teriaknya sambil menggedur pintu.
"Lakukan! Ingat konsekuensinya kalau kamu gagal!"
Merasa Ramon tidak akan membuka pintunya selama Zevanya belum berhasil melakukannya, Zevanya pun memberanikan diri mendekati pria yang terus memberontak di atas tempat tidur itu, dengan umpatan dan juga ancaman yang terus keluar dari mulut pria itu.
Mata biru pria itu berbinar marah di dalam kegelapan, sebiru mata Vale. Ramon benar-benar mencari pria yang memiliki ciri khusus seperti Vale, tidak banyak pria bermata biru langit seperti itu. Mungkin supaya tidak ada yang curiga dengan anak yang akan Zevanya lahirkan nanti. Dengan mata Zevanya yang juga berwarna biru, akan sangat mencurigakan kalau anak mereka nantinya memiliki netra dengan warna lain. Ya, lebih baik meminimalisir kecurigaan orang lain mengenai pewaris Vale.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya pria itu saat Zevanya menanggalkan pakaiannya.
"Maaf, aku harus melakukannya," jawab Zevanya, ia tidak berani menatap wajah pria itu.
Sebelumnya, Zevanya memang sama sekali belum pernah melakukannya, tapi ia pernah menonton film dewasa, dan tahu kalau hubungan itu tidak bisa dilakukan kalau milik sang pria tidak berdiri tegang. Jadi ia pun memberanikan diri untuk menyentuh bagian pribadi pria itu,
"Sial! Beraninya kau menyentuh saya! Jauhkan tangan kotormu itu!" raung pria itu dengan suara berat, dan sialnya milik pria itu tidak juga menengang, seolah tidak mau bekerjasama dengannya.
"Apa kau kira aku akan membiarkan benihku tertanam di rahim wanita murahan sepertimu? Siapa yang mengirimmu, sialan?" geram pria itu seolah dapat membaca arah pikiran Zevanya.
Lelah karena usahanya tidak berhasil membuat tegang milik pria asing itu, Zevanya pun mengambil ponselnya untuk mengirim pesan singkat pada Ramon dan menjelaskan semuanya. Sepertinya Ramon sudah mengantisipasinya, karena tidak lama kemudian pintu terbuka dan Zevanya buru-buru menutupi tubuhnya dengan selimut.
Ramon melangkah masuk dengan dua buah gelas di tangannya. Satu gelas ia serahkan pada Zevanya, dan gelas satunya lagi ia letakkan di bawah mulut pria itu lalu memaksanya meminumnya hingga habis.
"Bangsat kalian! Saya akan mengirim kalian semua ke neraka!" raung pria itu lagi.
"Sebentar lagi pria itu akan memintanya sendiri padamu. Dan kamu, segera habiskan minumanmu!" perintah Ramon, dan tanpa ragu lagi Zevanya pun menghabiskan minumannya, ia merasakan gairahnya memuncak tidak lama kemudian, pun demikian dengan pria asing itu, hingga apa yang seharusnya tidak terjadi di antara mereka berdua pada akhirnya terjadi juga.
Malam itu, Zevanya menyerahkan mahkotanya pada pria asing.
Mata Reynard tak pernah lepas dari kobaran api yang melahap sebuah bangunan tua di salah satu pondok berburu dengan seluruh keluarga tiri Evelyn, beserta dengan pengikut mereka berada di dalamnya, hingga bangunan tua itu rata dengan tanah. "Aman, Tuan. Apa anda mau pulang sekarang?" tanya Marco yang baru saja berdiri tepat di sisi Reynard setelah memastikan target mereka juga sudah menjadi debu. "turunkan beritanya besok, beserta dengan daftar kejahatan mereka!" tegas Reynard. Ia akan membersihkan sepenuhnya nama Evelyn dari spekulasi yang mulai beredar kalau istri tercintanya itu telah membunuh Vale. Rupanya Ramon telah meminta salah satu anak buahnya yang masih setia padanya untuk menyebarkan rumor itu. Dan sekarang berita picisan itu mulai menyebar luas di berbagai media, dan sudah bisa dipastikan banyaknya ujaran kebencian yang ditujukan pada Evelyn, dan ucapan simpati pada Reynard karena telah menjadi target wanita itu selanjutnya. "Mengenai konferensi pers ... " "Adakan
"Sepertinya aku belum bisa pulang ke rumah sekarang. Aku mau menyelesaikan semua masalah yang disebabkan keluarga tirimu itu," desah Reynard.Evelyn memindahkan ponselnya ke lengan dan telinga krinya saat akan membuka handle pintu kamar Abercio. Ia memastikan Abercio benar telah terbuai ke alam mimpinya lebih dulu sebelum memadamkan lampu dan menutup kembali pintu kamar putranya itu. Hari ini, dua malam sudah Reynard tidak pulang akibat masalah itu. 'Aku ingin menuntaskan hingga ke akar-akarnya demi masa depan kita yang tenang!' tegas Reynard sebelum pergi bersama dengan Marco."Tidak apa-apa, Sayang. Aku mengerti," balas Evelyn setengah berbisik, ia takut suaranya akan mengganggu tidur Abercio.Malam ini, Evelyn memutuskan tidur dengan Abercio untuk melepaskan kerinduannya pada Abercio. Sejak Reynard memasukkannya ke dalam penjara, Evelyn sudah tidak pernah tidur dengan putranya itu lagi."Maafkan aku, karena masalah ini bulan madu kita jadi harus dipersingkat.""Rey, aku sungguh ti
Reynard mengacak rambutnya dengan kasar, memperlihatkan seberapa frustasinya ia saat itu. Dan saat matanya terkunci dengan mata Evelyn, bermacam campuran emosi terlihat jelas di sana. Hati Evelyn semakin tak karuan, masalahnya pasti jauh lebih besar dari perkiraannya."Nada hamil, Ly. Anakku ... " aku Reynard dengan suara parau. Ia telah bersiap dengan menerima apa pun bentuk kemarahan dan kekecewaan Evelyn padanya. Namun setelah lama Reynard menunggu reaksi Evelyn, alih-alih meluapkan emosinya, wanita itu malah menghela napas lega,"Syukurlah, aku kira ada masalah besar apa."Sontak saja Reynard luar biasa bingung dibuatnya, ia mengguncang bahu Evelyn untuk menyadarkan istrinya itu,"Ly. Apa yang kamu syukuri? Aku memiliki anak dari wanita lain? Kamu bersyukur dengan berita itu? Atau akan menjadikannya sebagai alibi untuk mengakhiri rumah tangga kita?" cecarnya."Siapa yang memberitahumu kalau Nada sedang mengandung? Marco? Sipir penjara?""Nada, Marco dan Ibu sambungmu tidak berada
Perjalanan Evelyn dan Reynard ke Sopot dan Gdynia tertunda harus setelah Reynard menerima email penting. Setidaknya itulah alasan yang Reynard berikan pada Evelyn, sesaat sebelum pria itu fokus pada layar monitor laptopnya. Sepertinya email itu memang berisi pesan penting. Karena sebelum berangkat Reynard telah menegaskan pada Marco untuk tidak menghubunginya sama sekali, kecuali untuk masalah darurat.Apa sekarang perusahaan Reynard sedang dalam masalah?Entah sudah berapa kali pertanyaan itu terbersit di benak Evelyn hingga dua jam sudah berlalu, dan Evelyn mulai merasa bosan menunggu perhatian Reynard kembali tertuju padanya. Seraya mendesah, Evelyn berdiri dari kursinya. Ia melampirkan long coatnya di sandaran kursi dengan hati-hati, tidak ingin menimbulkan suara sedikit pun yang bisa memecah konsentrasi Reynard.Melalui jendela kamarnya, Evelyn memusatkan perhatiannya pada Laut Baltik, tepatnya pada pelabuhan yang seolah tidak pernah terlihat sepi itu. "Maaf sudah membuatmu me
Gdansk, sebuah kota pelabuhan yang terletak di pantai utara Polandia. Sebuah kota tua yang memiliki arsitektur klasik Eropa terbaik, yang menjadi daya tarik wisatawan mancanegara yang ingin menyelami lebih jauh lagi mengenai sejarah dan kebudayaan Polandia.Hotel yang Evelyn dan Reynard pun terletak tidak jauh dari pelabuhan terbesar Polandia tersebut. Hotel mewah tepi pantai yang berhadapan langsung dengan laut Baltik. Dan kebetulan sekali Evelyn sangat menyukai apa pun yang berbau pantai.Selama Evelyn menatap bermacam kapal yang hilir-mudik di pelabuhan tersebut, Reynard terus merangkul pinggangnya, bersama mereka memandangi kesibukan itu dari balkon kamar mereka."kamu tahu kalau kota ini menjadi salah satu dari Tiga Kota atau yang biasa disebut dengan Tricity, atau dalam bahasa Poland dikenal dengan sebutan Trójmiasto?" tanya Reynard. Ia memiliki kegemaran baru, yaitu mengenalkan dunia baru pada Evelyn."Ya, aku pernah mendengarnya. Hanya saja tidak terlintas sama sekali di dalam
Evelyn pikir, destinasi bulan madunya bersama Reynard akan ke Eropa barat, tapi ternyata pilihan antimainstream Reynard tertuju pada Eropa Tengah. Gdansk Polandia yang menjadi tujuan pertama bulan madu mereka. Memang biasanya Gdansk menjadi destinasi bulan madu yang sangat sempurna untuk pengantin baru yang ingin bersenang-senag dan menikmati masa-masa awal pernikahan mereka. Meski suasananya cenderung terlihat lebih santai dibandingkan dengan Eropa Barat, namun kota Gdansk juga memiliki tempat-tempat wisata yang indah, akomodasi mewah dengan latar bangunan abad ke tujuh belas. Sekarang ini, dengan lengan Reynard yang merangkul pinggangnya, mereka menyusuri jalanan berbatu dan sempit di antara bangunan katedral dan monumen. "Kamu lebih menyukai ketenangan ya?" tebak Evelyn. "Kamu sudah memahami salah satu kebiasaanku, Sayang," jawab Reynard. Lengannya yang melingkar di lengan Evelyn menarik Evelyn saat seseorang yang tengah jalan terburu-buru nyaris menabraknya. "Mudah sekali men