Bunyi keyboard di ruangan kantor terdengar konstan, beradu dengan derik jarum jam yang menggantung tepat di atas papan whiteboard. Ruangan itu cukup ramai, tapi hanya satu suara yang terus mendominasi—suara Chintya, dengan cerita panjang lebarnya tentang film thriller yang ia tonton tadi malam.
“Dan kamu tahu kan, si cowok itu ternyata bukan korban, tapi pelaku utama yang menyamar! Bayangin dong, dari awal kelihatan polos, eh ternyata dia dalangnya! Gila nggak sih twist-nya?”
Chintya terkekeh sendiri, menikmati cerita yang ia ulang berkali-kali dengan penuh semangat. Tapi di meja seberangnya, Sukma duduk dengan pandangan kosong ke layar monitor.
Jari-jarinya diam di atas keyboard, tak mengetik apa-apa. Matanya pun tidak membaca apa yang ada di layar. Sejak pagi, pikirannya melayang entah ke mana.
'Fikri kenapa, ya? Apa dia dalam masalah?’
Pikiran-pikiran itu terus menghantuinya sejak Fikri keluar tanpa penjelasan. Meskipun F
Sukma berdiri di depan meja makan, tengah menata piring dan sendok, sementara suara kunci pintu diputar terdengar dari arah pintu utama. Tak lama, Fikri masuk dengan langkah tenang. Jasnya sudah ia buka dan digantung di lengannya, dasi dilonggarkan, dan lengan kemejanya digulung hingga siku.Sukma menoleh. “Akhirnya pulang juga, aku kira kamu lembur,” ucapnya sambil tersenyum kecil. “Langsung cuci tangan ya, aku udah masak.”Fikri tersenyum, matanya sedikit redup karena kelelahan. Namun begitu melihat Sukma, seolah ada cahaya baru yang menyala. “Iya, tadi ada urusan sebentar jadi pulangnya agak larut.” Ia berjalan ke arah Sukma dan mengecup pelipisnya sekilas. “Maaf ya, dan makasih.”Sukma hanya tersenyum kecil, menunduk. Meski sudah menikah, setiap gestur Fikri masih bisa membuatnya canggung sesaat.Tak lama kemudian, mereka duduk berdua di meja makan. Fikri mencicipi sup jagung buatan Sukma. “Hmm&hel
“Kalau kamu tetap ingin menceraikan Cheryl, kamu akan kehilangan semuanya… dan wanita itu pun akan ikut hancur.”Fikri menarik napas panjang, perkataan ayahnya masih terngiang di kepalanya. Bisa saja ia meninggalkan segalanya—nama Pradina, jabatan, harta, semua. Ia bukan anak kecil yang takut hidup dari nol. Tapi… bagaimana dengan Sukma?Wanita itu bahkan tak tahu bahwa kini hidupnya tengah digenggam dalam permainan kekuasaan dua keluarga kaya. Dia hanya mencintai Fikri dengan jujur. Dan Fikri… tidak sanggup membayangkan jika ayahnya menyentuh hidup Sukma hanya demi sebuah peringatan.“Ayah bilang aku punya pilihan…” gumamnya pelan. “Tapi kenapa aku tahu itu bukan pilihan sebenarnya?”Ia bangkit dari kursi, berjalan pelan menuju jendela besar yang memperlihatkan gedung-gedung tinggi Jakarta. Tangannya mengepal. Dalam bisnis, siapa yang tak tergantikan… akan tetap bertahan, apapun
Bunyi keyboard di ruangan kantor terdengar konstan, beradu dengan derik jarum jam yang menggantung tepat di atas papan whiteboard. Ruangan itu cukup ramai, tapi hanya satu suara yang terus mendominasi—suara Chintya, dengan cerita panjang lebarnya tentang film thriller yang ia tonton tadi malam.“Dan kamu tahu kan, si cowok itu ternyata bukan korban, tapi pelaku utama yang menyamar! Bayangin dong, dari awal kelihatan polos, eh ternyata dia dalangnya! Gila nggak sih twist-nya?”Chintya terkekeh sendiri, menikmati cerita yang ia ulang berkali-kali dengan penuh semangat. Tapi di meja seberangnya, Sukma duduk dengan pandangan kosong ke layar monitor.Jari-jarinya diam di atas keyboard, tak mengetik apa-apa. Matanya pun tidak membaca apa yang ada di layar. Sejak pagi, pikirannya melayang entah ke mana.'Fikri kenapa, ya? Apa dia dalam masalah?’Pikiran-pikiran itu terus menghantuinya sejak Fikri keluar tanpa penjelasan. Meskipun F
Pukul sebelas malam lewat lima belas menit. Lampu-lampu kota Jakarta masih menyala terang, membentuk pemandangan bintang buatan dari jendela lantai dua puluh apartemen. Hujan baru saja reda, menyisakan titik-titik air yang merambat turun dari kaca.Fikri memasukkan kode akses apartemennya dengan pelan. Pintu terbuka tanpa suara. Ia melangkah masuk hati-hati, sengaja tidak menyalakan lampu utama. Hanya cahaya dari lampu lantai dekat pojok ruangan yang menyala redup, cukup untuk membantunya melepas sepatu tanpa tersandung.Namun langkahnya terhenti begitu melihat sosok seseorang di sofa. Duduk bersila dengan selimut menyelimuti bahu, rambutnya dikuncir asal, dan di pangkuannya ada sebuah buku yang terbuka.Sukma. Wanita itu menoleh perlahan, matanya langsung menangkap wajah suaminya yang terkejut.“Kamu belum tidur?” Fikri membuka suara, pelan.Sukma menutup bukunya, lalu berdiri. “Aku nungguin kamu.”“Kamu nunggu
Lampu jalan berganti satu per satu di kaca depan mobil.Langit malam Jakarta tampak biasa saja—riuh, padat, sesak cahaya kota. Tapi bagi Fikri, semuanya terasa terlalu sunyi. Bahkan suara musik yang samar dari radio mobil pun seolah hanya gema kosong di tengah pikirannya yang tak berhenti berisik.Tangan kirinya menggenggam setir, tangan kanan menyentuh pelipisnya yang terasa berdenyut. Sakit kepala itu... bukan karena kelelahan. Tapi karena pertarungan di dalam dirinya sendiri.‘Kamu tidak akan menceraikan Cheryl.’‘Rahasiakan pernikahan itu seumur hidupmu.’‘Jika tidak, Ayah akan bertindak.’Ancaman itu terus mengulang dalam benaknya seperti rekaman rusak. Pikirannya kabur. Kepalanya benar-benar tidak bisa berfikir.Di satu sisi, ia sudah berjanji pada Sukma. Bahwa ia akan menyelesaikan urusan dengan Cheryl. Bahwa semuanya akan selesai, agar mereka bisa melangkah ke depan tanpa bayang-bayang.Namun kenyataan yang ia hadapi barusan… membuat janji itu terasa seperti fatamorgana.“Kala
Suasana ruang kerja itu mencekam.Fikri masih berdiri di hadapan meja sang ayah yang kini terlihat lebih seperti panggung penghakiman.Tatapan dingin pria paruh baya itu tak beranjak dari wajah anaknya.“Kamu yang maksa nikah sama Cheryl,” desisnya keras, “tapi sekarang kamu malah mau cerai?!” Nafasnya memburu, namun kalimatnya tajam. “Kamu tau, perceraian bisa membuat wajah keluarga Pradina tercoreng!”Fikri menghela napas panjang. Wajahnya masih tertunduk, menahan emosi yang menumpuk sejak tadi.“Ayah…” Suaranya pelan, namun mantap. “Aku tahu aku yang salah. Waktu itu aku masih terlalu muda, terlalu percaya. Aku kira… cinta cukup untuk segalanya.”“Bagus kalau kamu sadar,” balas ayahnya cepat. “Tapi sekarang sudah terlambat. Kamu pikir penyesalan bisa memperbaiki semuanya?”Fikri diam. Matanya menatap sang ayah, mencoba memahami… meski rasanya semakin sulit.“Ayah tidak akan pernah setuju kamu bercerai dengan Cheryl.” Nada kalimat itu seperti palu yang menghantam palang terakhir dar