Sukma selalu memimpikan seorang pria, tampan dan mapan sesuai kriteria yang diinginkannya. Beberapa hari kemudian, ia ternyata bertemu dengan pria itu di kehidupan nyata. Betapa bahagianya Sukma, ia mengira pria itu adalah jodohnya. Tapi.... Betapa terkejutnya, saat melihat pria yang terus muncul di mimpinya telah beristri. Terlebih, saat pria itu datang ke hadapan Sukma dan memintanya untuk menjadi istrinya. Cover by Pixabay _ edit by Robiah_art
View More“Aku mau kamu jadi istriku.”
Sukma tersedak minumannya. Tangannya gemetar saat meletakkan gelas. Ia menatap pria di depannya, Fikri Pradina Makarim, dengan dahi berkerut dan mata membelalak.
“Maaf?” tanyanya lirih, berharap ia salah dengar.
Fikri tidak mengulang. Ia hanya menatap lurus, tatapan tajam dengan ekspresi yang tak bisa ditebak—serius, datar, dingin. Tangannya yang tadi menggenggam sendok kini mengepal pelan di atas meja.
“Ini bukan lamaran biasa, Sukma. Aku tidak sedang bercanda. Aku ingin menikahimu.” Suaranya datar, nyaris seperti perintah.
“Aku—kita bahkan belum saling kenal,” jawab Sukma, suara bergetar.
“Kita sudah cukup saling tahu,” katanya, masih tenang. “Dan aku tahu kamu butuh seseorang yang bisa membuat hidupmu lebih tenang.”
Sukma menggeleng. “Aku gak ngerti. Kenapa aku? Kenapa tiba-tiba? Apa karena kita pernah ketemu di taman? Itu bahkan cuma sekali—”
“Karena aku sudah memutuskan,” potong Fikri cepat. “Dan aku bukan tipe yang suka ditolak.”
Sukma terdiam. Ucapan itu bukan sekadar sombong—ada nada ancaman tersembunyi di baliknya. Fikri bukan pria biasa. Dari cara dia berpakaian, berbicara, hingga restoran tempat mereka duduk sekarang, semuanya menunjukkan satu hal: pria ini punya kuasa.
Dan kekuasaan, kadang lebih menakutkan dari kekerasan.
“Aku... aku harus pikir-pikir dulu.”
Fikri menarik napas panjang. “Kamu boleh menolak. Tapi aku harap kamu tahu, beberapa hal akan berubah kalau kamu menolakku. Aku tahu kamu butuh pekerjaanmu. Aku tahu ibumu sedang sakit dan biaya rutin pengobatannya tidak sedikit.”
Nafas Sukma tercekat. Tubuhnya kaku. “Apa maksud kamu?” bisiknya.
Fikri menyandarkan tubuh ke kursi, tersenyum kecil. “Aku cuma bilang... aku bisa membantumu. Tapi semua bantuan punya harga.”
Sukma menatapnya lama. Dalam hatinya, bergemuruh ketakutan. Tapi juga penasaran. Dan di sela ketakutan itu, ada suara kecil berbisik: Kenapa dia memilihku?
Sukma mematung. Ujung jarinya masih menyentuh gelas yang tak lagi dingin. Kepalanya dipenuhi suara berisik yang tak berasal dari restoran—semuanya ada di dalam pikirannya.
Ancaman Fikri tidak dikatakan dengan keras, tapi efeknya menghantam tepat di ulu hati. Ibunya. Rumah sakit. Gaji kecil. Biaya hidup. Semua yang selama ini dia pertahankan dengan susah payah, kini terasa goyah hanya karena satu kalimat pria asing itu.
"Aku tidak berniat menyakitimu, Sukma," lanjut Fikri dengan nada tenang, nyaris menenangkan. "Aku hanya... butuh seseorang di sisiku sekarang."
"Bukannya kamu sudah punya istri," desis Sukma pelan.
Fikri tersenyum tipis. “Kamu benar. Tapi dia tidak di sisiku lagi.”
Ucapan itu membuat Sukma bergidik. Matanya menatap pria itu dalam-dalam. Ingin sekali bertanya—kenapa? Tapi sesuatu dalam diri Sukma mencegahnya. Tatapan Fikri terlalu gelap untuk ditelusuri tanpa bekal keberanian.
“Kamu tahu siapa aku, Sukma?” tanya Fikri tiba-tiba.
Sukma mengerjap. “Kamu... direktur cabang utama perusahaan tempat aku kerja,” gumamnya ragu.
“Lebih dari itu. Aku bisa membuat segalanya mudah... atau sebaliknya.”
Nada itu kembali muncul. Tenang, tapi menekan. Seperti lilitan tali tak kasat mata yang makin lama makin kencang.
Sukma menunduk, mencoba menyusun logika. Ini gila. Ini aneh. Ini—tidak masuk akal. Tapi... wajah ibunya yang sakit tiba-tiba melintas. Suara napas berat sang ibu, tagihan yang makin menumpuk, dan kata-kata dokter yang selalu terdengar lebih mirip ancaman: “Kalau tidak dilanjut, kondisinya bisa memburuk.”
“Apa yang kamu harapkan dari aku?” tanya Sukma, suaranya kecil sekali.
Fikri menatapnya dalam. “Aku hanya ingin kamu selalu ada. Sebagai istriku. Tidak perlu pamer ke publik. Tidak perlu diumumkan ke dunia. Aku akan menikahi kamu secara sah, walau hanya siri. Semua akan aman. Aku tidak akan mengganggu hidupmu. Tapi aku ingin kamu... tetap ada. Hanya itu.”
“Ada... untuk apa?” desaknya, kali ini dengan nada getir.
Pria itu terdiam sesaat. Wajahnya seperti menimbang jawaban. “Untuk membuatku merasa tidak sendirian,” katanya akhirnya. “Dan untuk membuktikan sesuatu pada seseorang.”
Sukma menahan napas, dahinya berkerut saat berpikir keras. Jelas bahwa Fikri sedang terluka. Tapi apa alasan luka itu cukup untuk sampai menjadikannya istri dari pria yang bahkan baru beberapa kali ia temui?
“Jadi aku ini... pembuktian?” bisiknya, antara sedih dan kesal.
Fikri tidak menjawab. Ia hanya menatap Sukma dengan mata yang dalam dan kosong. Tapi dalam kekosongan itu, Sukma melihat sesuatu yang tak bisa dijelaskan: semacam rasa sakit. Semacam dendam. Dan mungkin... kesepian yang begitu pekat.
“Kalau aku setuju... apa yang akan aku dapatkan?” tanya Sukma, lebih karena ingin menguji, bukan karena tergoda.
“Rumah. Hidup mewah. Ibumu akan aku tanggung penuh. Kamu tetap bisa kerja, tetap punya hidupmu sendiri. Dan aku tidak akan menuntut apapun. Aku hanya ingin kamu mengikat pernikahan ini dengan aku.”
“Dan kalau aku menolak?”
Kali ini Fikri tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya tersenyum kecil.
Senyum itu menakutkan. Bukan karena menyeramkan, tapi karena terlalu penuh makna. Terlalu familiar. Seperti senyum orang yang tak suka ditentang.
Malam itu, Sukma duduk di pinggir ranjang kontrakannya yang sempit. Di pangkuannya, masih ada amplop putih dari rumah sakit. Tagihan bulan ini lebih besar dari biasanya. Ibunya membutuhkan terapi tambahan. Dokter bilang itu peluang pemulihan lebih cepat. Tapi biayanya—
“Aku bisa bantu, tapi semua bantuan ada harganya.”
Kata-kata Fikri bergema lagi di telinganya. Ia memejamkan mata, mencoba memikirkan semua kemungkinan. Menikah tanpa cinta? Bahkan tanpa hubungan?
Tapi Fikri bilang ia akan membiarkan Sukma menjalankan hidupnya. Tidak memaksa. Ia hanya menginginkan Sukma selalu ada.
Sukma mengangkat wajahnya ke langit-langit. Air matanya menetes tanpa suara. Ia tidak tahu keputusan seperti apa yang sedang ia hadapi. Tapi satu hal yang ia yakini: hidup tidak akan sama lagi sejak malam itu.
Di luar jendela, lampu jalanan berkedip pelan. Angin malam berembus, menggetarkan daun pintu kayu. Seperti memberi isyarat bahwa pintu hidupnya... sedang digeser paksa.
Sukma tidak tidur malam itu.
Jam di ponselnya sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Tapi matanya tetap menatap langit-langit kamar sempitnya, seperti mencari jawaban di antara retakan semen yang mulai mengelupas. Suara kipas angin berdecit pelan mengisi keheningan, menemani pikirannya yang semakin sesak.
Lamaran.
Sebuah kata yang dulu selalu ia impikan datang dari pria yang dicintai. Tapi kenyataan justru menghadiahkan kata itu dari seorang pria asing, di tengah makan malam mewah, dengan tekanan halus yang membekas hingga ke tulang.
Sukma menatap jari-jarinya yang saling menggenggam. Ujung kukunya sedikit menggurat telapak tangan. Ia sadar sedang gugup. Tapi yang membuatnya lebih takut bukan hanya lamaran itu—melainkan fakta bahwa ia... nyaris tak punya alasan kuat untuk menolak.
Bukan karena cinta. Bukan karena Fikri pria ideal. Tapi karena hidup kadang terlalu keras untuk orang yang tak punya pilihan.
Matahari pagi mengintip malu dari balik gorden tipis vila.Sukma baru saja selesai mengenakan pakaian kasual santai saat Fikri mengetuk pintu kamar.“Aku tunggu di luar ya. Pake sandal yang nyaman,” ucapnya dari balik pintu.Sukma tidak menjawab, tapi mendengar nada Fikri yang terdengar... agak berbeda. Lebih ringan. Tidak sesuram semalam.Beberapa menit kemudian, mereka berkendara hingga sampailah di tempat yang dituju. Kemudian berjalan berdampingan di jalan setapak menuju salah satu restoran terkenal di tepi pulau. Pemandangan laut membentang biru, angin membawa aroma asin yang menyegarkan.“Tempat ini terkenal banget,” kata Fikri pelan saat pelayan mengantar mereka ke meja yang menghadap laut. “Makanan dan view-nya katanya worth banget.”Sukma mengangguk. “Terlihat seperti itu.”Mereka duduk. Pelayan datang membawakan menu.Fikri mempersilakan Sukma memilih dulu.“Pagi ini... kamu terlihat lebih tenang,” ucap Fikri sambil menatapnya.Sukma mengangguk. “Aku mikir semalaman. Dan... a
Malam itu, vila pribadi yang harusnya terasa hangat, justru begitu sunyi. Begitu mereka tiba, Sukma berjalan masuk lebih dulu tanpa menoleh. Fikri menyusul pelan di belakang, menutup pintu vila dengan hati-hati.Langkah Sukma terhenti sejenak di ruang tengah, lalu ia langsung naik ke lantai dua, menuju kamarnya. Fikri berdiri di bawah, ingin bicara—tapi ia menahan diri.Setelah beberapa menit, Sukma keluar dari kamar, turun setengah tangga. Fikri berdiri di bawah, akhirnya memberanikan diri untuk bicara.“Sukma…” ucapnya pelan. “Aku... nggak tahu kenapa Cheryl bisa ada di sini.”Sukma menghentikan langkah. Ia memandang ke bawah, ke arah Fikri. “Aku cuma butuh waktu buat sendiri dulu,” jawabnya singkat.Fikri mengangguk, bibirnya tertahan ingin menjelaskan lebih banyak. Tapi ia tahu, kali ini bukan waktunya. “Baik,” katanya pelan.Sukma kembali naik, langkahnya ringan namun berat di hati. Sementara Fikri mengambil jaket tipis di gantungan, lalu berjalan keluar dari vila menuju taman kec
Langkah kaki Sukma terasa ringan saat menuruni anak tangga villa kayu itu. Langit cerah, angin lembut berhembus, dan suara ombak terdengar seperti musik pengantar tidur. Tapi bukan itu yang membuat langkahnya enteng.Melainkan... dia benar-benar di Maldives. Berdua. Dengan suaminya. Diam-diam.“Padahal aku emang gak mau dirahasiain,” ucap Sukma pelan saat mereka baru tiba siang tadi. “Tapi aku juga belum siap hubungan kita go publik... kalau kamu belum resmi cerai dengan Cheryl.”Fikri menoleh dari balik kacamata hitamnya dan hanya mengangguk. Tidak membantah. Tidak juga berjanji. Tapi tatapan matanya—tenang, seolah mengerti.Mereka menempati salah satu kamar di villa yang menghadap laut. Tempat tidur besar dengan tirai putih lembut, balkon luas dengan kursi malas, dan kamar mandi yang lebih besar dari dapur kontrakan Sukma.Sukma sempat membatin, ‘ya ampun... ini mewah banget. Aku nginep di hotel apa istana?!’Tapi tetap menjaga ekspresinya datar.Sementara Fikri hanya berkata santai
“ASTAGHFIRULLAH! ALLAHUAKBAR!”Sukma bahkan belum sempat duduk, ketika suara jeritan itu membelah ruangan kantor seperti sirene kebakaran. Hampir seluruh karyawan di divisi menoleh dengan ekspresi terkejut.Sukma hanya bisa berdiri diam, satu tangan masih memegang tas, sementara tangan satunya nyaris refleks mencari tempat sembunyi.“Astagaaa... Ma, kamu kenapa?!” Chintya mendekat cepat, suaranya turun jadi berbisik—tapi ekspresinya tetap seperti habis melihat pocong lewat.Karyawan lain juga melirik, beberapa bahkan berbisik-bisik.“Ya ampun, dia makin pucat ya...”“Iya, tuh lingkar matanya... serem amat.”“Udah dua hari kayak gitu, loh.”“Kerjaannya tambah banyak apa karena lembur?”Sukma mengangguk sopan pada rekan kerja lain yang menatapnya penuh kekhawatiran. Ia melangkah menuju meja, meletakkan tas dengan pelan, lalu duduk seolah tidak terjadi apa-apa.Tapi Chintya tidak tinggal diam. Perempuan itu menarik kursi, duduk di sebelahnya dengan sorot mata penuh selidik.“Kamu kenapa?
Sukma sedikit menyesali keputusannya, tapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Malam itu ia dan Fikri sepakat akan tidur sekamar. Seperti suami istri.Ia berdiri cukup lama di depan pintu kamar, menggenggam gagang pintu tanpa benar-benar berniat membukanya. Di dalam sana, ada pria yang beberapa minggu lalu ia tolak mentah-mentah, lalu ia nikahi secara diam-diam, dan kini... harus ia hadapi dalam ruang dan waktu yang lebih sempit dari sebelumnya.Sukma menarik napas, membuka pintu perlahan.Fikri baru saja keluar dari kamar mandi. Rambutnya sedikit basah, kaus tidur telah dikenakan, dan ia sedang menaruh jam tangan serta ponsel ke meja nakas. Pria itu tidak banyak bicara. Bahkan saat menyadari Sukma berdiri canggung di depan pintu, ia hanya mengangguk kecil dan berkata, “masuk, ngapain diem disitu.”Sukma menunduk, masuk, lalu segera mengambil pakaian tidur untuk berganti di kamar mandi. Beberapa menit kemudian, ia keluar dengan piyama longgar dan wajah tanpa riasan.Fikri sudah
Sukma duduk di ujung sofa, tubuhnya kaku.Tatapannya lurus ke arah karpet ruang tengah, tapi pikirannya... kemana-mana.Di sampingnya, Fikri duduk dengan posisi santai tapi tidak terlalu dekat. Jarak mereka... seperti jarak antara dua orang yang harusnya saling terbuka, tapi terlalu banyak luka untuk dilompati begitu saja.Lampu ruang tamu menyala lembut. Sunyi.Terlalu sunyi untuk dua orang yang baru saja pulang dari adegan setengah memalukan di depan kontrakan kecil dan satu saksi hidup bernama Chintya yang hampir membuat seluruh rahasia terbongkar.Sukma menarik napas panjang. ‘Aku gak mau balik. Tapi kalau aku tetap tinggal, bisa-bisa statusku terbongkar. Bisa-bisa semuanya berantakan…’Ia menatap Fikri. Wajah pria itu seperti biasa. Datar. Tapi malam ini... sedikit lebih manusiawi.“Kenapa diam?” tanya Fikri, akhirnya bersuara.Sukma tak menjawab.Fikri menggeser posisi duduknya, lalu menatap lurus ke mata Sukma. “Aku mau ngomong sesuatu.”Sukma masih menatap ke arah bawah.“Aku n
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments