Se connecterSukma selalu memimpikan seorang pria, tampan dan mapan sesuai kriteria yang diinginkannya. Beberapa hari kemudian, ia ternyata bertemu dengan pria itu di kehidupan nyata. Betapa bahagianya Sukma, ia mengira pria itu adalah jodohnya. Tapi.... Betapa terkejutnya, saat melihat pria yang terus muncul di mimpinya telah beristri. Terlebih, saat pria itu datang ke hadapan Sukma dan memintanya untuk menjadi istrinya. Cover by Pixabay _ edit by Robiah_art
Voir plusTania. Selalu saja nama wanita itu yang ia sebut ketika kami bercinta. Nama yang ia racau di setiap lelapnya. Bahkan fotonya masih tersimpan rapi di dompetnya.
Sakit hati? Itu pasti. Hati wanita mana yang tidak akan terluka jika suaminya masih saja memikirkan masa lalunya. Tidak peduli walau kini ia telah menikah. Namun, setiap saat masih saja berhubungan dengan mantan. Bukan mantan karena menurut suamiku jalinan cintanya dengan sang kekasih masih terjalin begitu erat.
Malam ini seperti malam-malam sebelumnya. Tanpa cinta, tanpa rayuan, apalagi cumbuan, dia kembali meminta haknya. Sebagai seorang istri tentu aku tidak berani menolak. Apalagi usia pernikahan kami baru berjalan tiga bulan.
Orang bilang sedang panas-panasnya. Memang benar hasrat Ega, suamiku begitu besar. Namun, lagi-lagi aku harus menelan kepedihan saat mendengar dia mengucap nama Tania.
Amarah yang memuncak membuat aku mendepak tubuhnya. Membuat ia terjengkang dan menatapku tajam. Aku sendiri lekas memunguti pakaian, lantas memakainya.
"Mau ke mana? Kita belum selesai dalam berperang," cekalnya ketika aku hendak beranjak ke kamar mandi. Dadanya terlihat naik turun dengan napas yang memburu.
Kutatap balik mata elang itu. Terasa dingin dan juga mematikan. Sebenarnya nyaliku agak menciut melihatnya. Namun, demi melihat sikap egoisnya aku harus berani.
"Lepas!" kata cukup datar. Aku tidak mau terpancing emosi.
"Kamu ingin sengaja menyiksaku? Berhenti di tengah-tengah permainan," tuduhnya tajam. "Jangan keterlaluan kamu!" Ega menggeram seraya menyentak lenganku kasar. Membuat aku kembali terjatuh duduk di ranjang.
"Kamu yang keterlaluan." Aku menyergah cepat. "Kamu pikir aku ini boneka yang tidak punya perasaan. Kamu menyentuh dan mencumbui aku, tapi otak dan matamu memikirkan Tania. Itu dosa Ega!" makiku mulai tersulut amarah.
Ega sendiri terkekeh mendengarnya. Lelaki yang masih polos itu mulai memunguti pakaiannya. "Kenapa harus marah? Toh kamu tahu aku menikahimu juga karena terpaksa. Jadi terima saja," ejeknya dengan senyuman miring. Sementara tangannya mulai menutupi diri dengan baju.
"Maka dari itu, jangan pernah menyentuhku jika kamu masih memikirkan Tania," putusku tegas.
Lagi-lagi Ega terbahak. Seakan ucapanku adalah lawakan yang sangat lucu baginya. "Siapa kamu berani-beraninya ngatur aku?" Kini tatapan Ega kembali menyorot kebencian.
"Aku istrimu, kenapa?" balasku dengan segenap keberanian yang ada.
"Jangan ngelunjak! Kamu itu tidak lebih dari sekedar pelayanku saja!" Ega menegaskan.
"Tapi, papamu yang menjadikanku nyonya Ega Baskara sekarang," tukasku tidak mau kalah. "Sudahlah! Aku mau mandi dan jangan ganggu aku!" perintahku tegas.
Tanpa membuang waktu lagi, aku gegas menuju kamar mandi dalam kamar.
"Aku belum selesai bicara Mikaaa!"
Tidak kugubris teriakan Ega. Kakiku terus melangkah masuk ke kamar mandi. Mengunci rapat dan lekas masuk ke bilik mandi.
Bibirku membaca niat membersihkan badan dari hadas besar. Walau permainan ini berhenti di tengah jalan. Aku harus tetap berjunub.
Gemercik air dingin yang mengalir dari shower membasahi rambut hingga seluruh tubuh. Sebenarnya ini sudah larut malam. Namun, rasa risih memaksaku lekas membersihkan diri.
Sembari menggosok badan dengan bisa sabun kelebatan berbagai memori melintas di mata. Kenangan saat pertama kalinya aku menginjakkan kaki di rumah ini.
Namaku adalah Mika Thalita. Kata Ibu artinya Gadis kecil yang cerdas dan manis. Aku bekerja sebagai tenaga perawat. Kebetulan aku mendapat tugas untuk merawat mamanya Ega yang terkena stroke.
Berkat ketekunan dan kesabaranku, mamanya Ega bisa sembuh dari sakitnya. Wanita itu sudah mulai bisa melangkahkan kaki. Dan hidup normal seperti biasanya.
Keberhasilanku membuat bahagia hati Bapak Edi Baskara, papa Ega. Selain memberikan banyak bonus, beliau juga memintaku menjadi putrinya. Yaitu dengan menjadikanku istri dari putra semata wayangnya.
Tentu saja aku waktu itu aku menolak. Selain memang tidak saling mencintai, aku dan Ega sama-sama sudah punya pilihan hati masing-masing.
Namun, Bapak Edi dan Ibu Gina, mama Ega, terus membujuk. Di saat yang bersamaan adik kandungku terkena musibah. Dika adikku terjatuh dari motor dan koma. Kami memerlukan biaya yang tidak sedikit dalam waktu yang cepat.
Sementara aku dan keluarga berasal dari keluarga yang sederhana. Ibuku sudah lama menjanda. Dia adalah seorang karyawan pencuci piring di sebuah rumah makan. Gajinya tidak cukup untuk membayar biaya pengobatan Dika.
Begitu juga dengan diriku. Tabungan yang selama ini kusimpan masih belum cukup untuk membayar operasi Dika. Alasan itulah yang membuatku memantapkan hati untuk menerima pinangan dari keluarga Baskara.
Demi menyelamatkan nyawa Dika, aku rela mengorbankan hubungan dengan kekasih hati yang sudah terjalin dari lima tahun lalu. Sampai sekarang Ghani masih belum terima diputus sepihak olehku.
Di sisi lain Ega juga sudah punya tambatan hati sendiri. Tania namanya. Aku pernah beberapa kali bertemu mantan Ega.
Sebelum menikah denganku, Ega pernah beberapa kali membawa gadis itu ke rumah. Kuakui Tania sangat cantik dan menarik. Tubuhnya tinggi semampai dan terlihat begitu dirawat. Berbeda denganku yang memang sedikit tomboi.
Ucapannya halus dengan sikap yang lemah lembut membuat Tania begitu pantas menjadi menantu idaman. Entah alasan apa yang membuat Bapak Edi menjatuhkan pilihannya padaku. Dan kutahu itu menyakiti hati Ega.
Jika di hadapanku Ega tampak begitu dingin dan kaku. Namun, tidak bila di depan kedua orang tuanya. Ega akan menjelma menjadi sosok putra kesayangan yang penurut.
Setelah ditelusuri ternyata Ega hanya putra angkat dari Bapak Edi. Beliau dan sang istri mengadopsi Ega dari panti asuhan sedari kecil. Pantas saja rasanya Bapak Edi terlalu tua untuk menjadi ayah Ega yang masih berusia dua puluh enam tahun. Mungkin karena alasan itulah, walau dia sangat tersiksa dengan perjodohan ini. Akan tetapi, Ega tak kuasa menentang.
Satu bulan menikah dengan Ega, Bapak Edi dan Ibu Gina memutuskan untuk menempati rumah mereka yang ada di Puncak. Keduanya beralasan ingin menghabiskan masa tua di sana. Bapak Edi juga sudah sepenuhnya menyerahkan tingkat bisnisnya pada Ega.
Tidak sadar sudah hampir satu jam aku membersihkan diri. Hawa dingin mulai menyergap juga. Handuk piama kusambar untuk membalut tubuh. Dengan badan yang segar, aku keluar kamar mandi.
Tampak kamar legang, aku membuka pintu. Seprai masih berantakan dengan bantal dan guling yang tercecer di lantai. Sosok Ega tidak tampak batang hidungnya. Sepertinya dia membersihkan badan di kamar mandi bawah. Dan aku tidak peduli.
Usai mengeringkan rambut dengan hair dryer, aku siap merehatkan badan kembali. Tidak ada tanda-tanda Ega akan menyusul. Lagi-lagi aku masa bod*h. Mata yang berat membuatku menarik selimut hingga sebatas leher.
*
Pagi hari seperti biasa, usai menjalankan ibadah dua rakaat, aku gegas ke dapur untuk menyiapkan sarapan dan menyeduh kopi. Asal kalian tahu, kopi ini kubikin untuk diri sendiri. Karena Ega tidak pernah mau dibuatkan olehku.
Ketika tengah menata sarapan di meja makan, Ega datang mendekat. Lelaki yang pada pagi hari ini tampak begitu menawan dengan kemeja putih berdasi senada celana yaitu hitam. Tanganku memindai koper kecil yang ia geret.
"Aku akan pergi ke Bandung selama tiga hari," laporan Ega seakan tahu maksud tatapanku pada kopernya.
"Oh."
Hanya itu saja sahutan yang terlontar dari bibirku. Tanpa memandang wajah Ega, tanganku sibuk memindahkan nasi goreng dari wadah ke piring.
Sikap kaku ini Ega yang mengajarkan. Aku cukup sadar diri dengan keadaan. Namun, sikap dan perangai tidak bersahabat Ega yang membuatku bersikap demikian.
Sepiring nasi goreng kuangsurkan untuk Ega. Seperti biasa, Ega hanya menerima tanpa mau berucap kata terima kasih. Seperti biasa pula, kami makan berdua tanpa suara. Hanya denting sendok yang beradu dengan piring yang mengiringi sarapan ini.
"Aku ke Bandung untuk menikahi Tania."
UHUK
Aku tersedak. Gelas panjang berisi air putih di depan piring, lekas kuraih untuk di tenggak.
"Aku sangat mencintai Tania dan kamu pun tahu itu," lanjut Ega enteng sambil mengaduk-aduk nasi goreng ayam buatanku. "Dan aku juga tidak butuh persetujuanmu," imbuh Ega serius menatapku.
"Kalo begitu cepat ceraikan aku dulu, baru kamu menikahi Tania," putusku tegas.
"Kamu ingin membunuh mamaku?" Mata Elang Ega mulai mengintimidasi.
"Tidak ada pilihan lain! Kamu pikir cuma kamu yang tersiksa dengan pernikahan ini?" balasku mencoba tenang. "Seperti yang kamu tahu aku pun punya kekasih sebelum menikah denganmu.
Ega mendengkus kasar. "Aku tidak suka ditentang, Mika!"
"Coba saja sana kamu nikahi Tania, maka detik ini juga aku telpon papamu." Aku bangkit berdiri, kemudian beranjak pergi.
"Mikaaa!"
Next.
Fikri mengikuti Tuan Aldora menuju sebuah ruang privat kecil di sisi restoran, dindingnya berlapis kayu dengan jendela kaca yang memperlihatkan lampu kota di luar. Pintu tertutup dengan bunyi klik yang terdengar terlalu jelas di telinga Fikri, membuat udara di dalam terasa semakin berat.Tuan Aldora berdiri di depan kursi, melepas jasnya dengan gerakan tenang namun penuh wibawa, lalu duduk. Tangannya menyatukan jari-jari dengan posisi mengatup, mata tajamnya menatap Fikri yang berdiri kaku.“Silakan duduk, Fikri.” Suaranya berat, lebih terdengar seperti perintah daripada ajakan.Fikri menarik napas panjang sebelum duduk di kursi seberang. “Ada yang ingin bicarakan, tuan?” tanyanya, berusaha terdengar tenang meski jantungnya berdetak keras.Tuan Aldora menyandarkan punggung, senyum tipisnya muncul kembali. “Kamu tentu sudah tahu kenapa aku ingin bicara.”Fikri menatap lurus, diam, menunggu kalimat berikutnya.
Meja bundar berlapis kain putih dengan lilin kecil di tengahnya tampak elegan. Namun, suasana di sekitar meja itu justru jauh dari elegan. Sukma duduk kaku di sebelah Fikri, sementara Chintya duduk di hadapan Sukma dengan wajah masih cemberut. Arvan, yang duduk di samping Chintya, justru terlihat paling santai di antara semuanya.“Wah, lihat kita sekarang…” ucap Arvan sambil menatap sekeliling. “Kita mirip kayak… kencan ganda gitu nggak sih?”Kalimat itu langsung membuat tiga pasang mata lainnya memandang ke arahnya. Fikri hanya menghela napas berat, memutar matanya ke arah lain. Sukma yang baru saja mengangkat gelas air mineral, langsung terbatuk kecil karena kaget mendengar pernyataan itu. Sedangkan Chintya tampak siap melempar sendok ke wajah Arvan, kalau saja itu tidak dilarang norma publik.Arvan tampak santai saja, menatap satu per satu mereka dengan senyum jail. “Sayangnya, temen aku yang satu ini—”
Chintya meraih tasnya dengan gerakan cepat ketika jam di dinding menunjukkan waktu pulang kantor.“Akhirnya! Aku nggak tahan kalau harus duduk di sini lima menit lagi,” gerutunya sambil berdiri.Sukma yang masih menatap layar komputernya mendesah. “Chin, aku masih ada laporan yang harus—”“Nggak ada tapi-tapian!” Chintya langsung menarik lengan Sukma. “Aku butuh hiburan. Aku harus netralin emosi aku sekarang juga, sebelum berubah jadi monster di depan umum lagi.”Melihat raut wajah sahabatnya yang benar-benar lelah dan kesal, Sukma menyerah. “Oke, oke. Aku ikut, tapi kamu nggak boleh ngomel-ngomel sepanjang jalan.”Chintya menjawab dengan cengiran miring. “Hmm… nggak janji sih.”Mereka berjalan menyusuri trotoar yang mulai ramai dengan orang pulang kerja. Sukma melirik ke arah Chintya yang wajahnya masih memerah karena menahan kesal. Dalam hati, Sukma mengak
Arvan bersandar santai di dinding lift eksklusif yang mengantarkannya ke lantai paling atas, tempat ruang kerja CEO berada. Wajahnya terlihat sumringah, bahkan tertawa kecil tanpa bisa ditahan setiap kali mengingat kejadian di divisi keuangan beberapa menit lalu.‘Ekspresi Chintya pas lihat aku tadi priceless banget. Kayak baru lihat hantu di siang bolong,’ batinnya, membuat senyumnya semakin lebar.Asisten pribadinya yang berdiri setia di sisi kanan, memegang tablet berisi agenda kerja, menatap dengan ekspresi bingung.“Pak, ada yang lucu?” tanyanya dengan hati-hati.Arvan berdehem, mencoba menghapus senyum dari wajahnya dan kembali ke mode serius khas dirinya. “Nggak ada apa-apa. Fokus ke jadwal kita, ya. Jangan banyak tanya.”Asisten itu mengangguk cepat. “Baik, Pak.”Suara denting lift terdengar, pintu terbuka perlahan. Arvan melangkah keluar dengan gaya percaya diri khas anak k












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
commentaires