Lucas Valentino Armando. Sosok yang sangat tak asing sejak awal kuliah. Teman seperjuangan mengerjakan tugas kampus dan sepermainan. Setahun sebelum bergabung di perusahaan ia mengalami frustasi dan depresi atas keadaan finansialnya yang memburuk yang diperparah dengan ayahnya yang sakit-sakitan. Sebagai anak pertama ia harus banting tulang untuk memenuhi semua keperluan itu.
Mendapati keadaannya yang super miris, sebagai teman aku merasa terketuk untuk membantu. Meski untuk itu harus diperlukan proses yang tidak sebentar karena tidak mudah meyakinkan atasan agar ia diterima di perusahaan. Setelah genap setahun akhirnya atasan luluh dan mau menerima.
Ia adalah sosok pekerja keras yang tak hanya rajin, tapi juga disiplin. Lantaran etos kerjanya yang nyaris mendekati kegilaanku itu, atasan mulai melirik dan perlahan menaikkan posisi di perusahaan ke level yang lebih tinggi. Karena kerja keras dan cerdasnya juga ia hampir menyamaiku. Tidak tanggung-tanggung, jika kehadiranku tidak ada di perusahaan atau aku tidak lagi bekerja di perusahaan, maka aku tak ragu lagi bahwa dialah orang yang sangat tepat untuk menggantikan posisiku.
Namun anehnya, kenapa ia tidak setuju dan tidak mau menandatangani berkas penting itu? Apa masalahnya dan di mana salahnya? Bukankah selama ini ia selalu sejalan denganku? Aku semakin penasaran dengan sikap yang tak kusangka akan seperti ini.
Setiba di kantor aku tidak langsung menemuinya. Sebentar setelah aku tiba di ruangan, Sheily mengabarkan kalau acara rapat terbuka bersama komisaris akan dimulai.
Ruangan berkapasitas 30 orang penuh dengan meja kursi berikut peserta rapat di dalamnya. Semua sudah duduk di tempatnya masing-masing dengan khidmat. Satu dua peserta rapat berbincang-bincang pelan. Sayup-sayup kudengar juga ada yang membahas apa kira-kira yang akan menjadi sorotan komisaris dalam pertemuan yang sakral ini. Sementara dari arah tak jauh dari tempatku duduk, kulihat Lucas yang sibuk sendiri dengan hp dan dokumen di depannya. Kupandangi lekat dari kejauhan berharap ia menoleh kearahku untuk aku beri kode bahwa kita perlu bicara setelah rapat selesai. Namun hasilnya nihil. Sampai bapak komisaris mengetuk pintu dan masuk lalu dimulainya rapat ia masih teguh dengan sikapnya yang sama.
** **
Rapat selesai dalam waktu 30 menit. Inti pembahasan lebih terfokus pada mega proyek yang bakal menguras banyak waktu, pikiran dan energi. Titik terangnya semakin jelas saat Bapak Komisaris menegaskan bahwa jika proyek ini berhasil, seluruh karyawan akan mendapat bonus berkali lipat dari biasanya. Dan khusus untuk pemegang dan pengawal proyek yang bertanggung jawab penuh atas keberhasilan mega proyek ini akan mendapatkan bonus tambahan berupa tawaran posisi prestisius di perusahaan ini yang langsung di bawah komisaris.
Sebelumnya Bapak Komisaris menyampaikan bahwa masa jabatan direktur saat ini akan habis dan dibutuhkan orang yang sangat berkompeten untuk menduduki posisi itu. Dan melalui mega proyek ini, Bapak Komisaris akan menguji siapa saja yang dianggapnya layak untuk memegangnya. Karena ini proyek super besar tentu orang ini sangat berkompeten dan keberhasilannya akan sangat mencerminkan pemimpin perusahaan berikutnya.
Ada 2 kandidat yang dianggap memenuhi kapasitas sebagai pemimpin proyek. 2 orang itu adalah Lucas dan diriku. Apakah sikap Lucas yang mendadak berubah itu ada hubungannya dengan proyek ini? Jika benar, ia pasti sudah mendapat bocoran atas informasi ini. Entahlah aku harus menemuinya agar lebih jelas duduk permasalahannya.
Usai rapat aku berbegas menghampirinya.
“Hey bro, tumben sikapmu dingin gini. Ada apa? Cerita lah,” sapaku dengan kalimat ramah yang menghilangkan suasana tegang.
“Tidak apa-apa. Semua baik-baik saja. Memang ada apa?” Tanyanya polos seakan tidak tahu dengan fakta aktual yang barusan tersaji dan disaksikannya.
“Tidak apa-apa? Baik-baik saja? Bro, sejak kapan keadaan semua ini baik-baik saja jika ada yang tidak beres di berkas yang seharusnya kamu tanda tangani.”
Langsung saja aku ke inti. Kuharap ia mengerti.
“Oh itu. Kau pasti sudah tahu jawabannya.”
“Maksudmu?”
“Apakah paparan dari Bapak Komisaris kau tidak juga paham? Jika aku tanda tangani berkas-berkas itu, itu sama artinya dengan aku menyetujui atas kesempatan yang lebih masuk akal untuk kau memegang mega proyek besar ini. Di sisi lain kamu selalu menguasai di setiap proyek penting di perusahaan ini sehingga namamu selalu diperhitungkan. Berbeda dengan aku yang meski sudah ekstra keras dan gila-gilaan dalam etos kerjaku tapi selalu tidak mendapatkan kesempatan sebaik kau. Ini tidak adil.”
“Ha? Oh Tuhan. Seperti itu kau persoalkan? Okelah jika itu maumu. Tapi ini permintaan Bapak Komisaris yang menilai etos kerja karyawan menurut pandangan beliau. Bukankah namamu juga tadi disebut untuk kandidatnya? Artinya kau juga dilihat dan dipertimbangkan, kawan.”
“Iya benar, namaku menjadi hal yang akhirnya dipertimbangkan. Apalagi etos kerjaku juga kau pernah akui sangat super. Tapi itu berat kawan. Karena kedekatan dan prestasimu di beberapa proyek sebelumnya, Bapak Komisaris pasti lebih memilihmu.”
“Iya.. tapi.. “
Aku semakin gregetan sekaligus heran. Hanya soal itu saja ia sampai tidak mau tanda tangan. Bukankah hal itu akan lebih mempercepat profit perusahaan dan perkembangan bisnis ke depannya nanti?
“Oke, misal aku rela posisi itu kau ambil. Tapi bagaimana dengan Bapak Komisaris kalau memang aku yang ditunjukknya. Apa yang harus aku katakan?”
“Kau tolak saja kawan. Dan minta Bapak Komisaris untuk memberikan posisi penting itu padaku. Kau pasti lebih dari bisa kan?”
Pertanyaan konyolnya itu membuatku bingung keheranan. Untuk beberapa saat aku berusaha mencerna jalan pikirannya. Tak menungguku meresponsnya, ia malah melanjutkan.
“Atau jika kau mau, sebelum Bapak Komisaris itu memutuskan siapa yang akan terpilih, kau hubungi dia dan sampaikan kalau kau tidak mau ambil posisi itu dan mega proyek ini kau rela serahkan padaku.”
“Apa kau sudah gila, kawan?” Aku berubah kesal. Rasanya ingin kutimpuk saja.
“Bapak ibu dan semua tamu undangan. Sebagaimana yang saya sampaikan di depan tadi untuk memberikan keputusan saya atas perkara ini maka,dengan segala kerendahan hati saya, dengan segala pertimbangan yang saya pikirkan matang-matang, dengan segala rasa dan perjalanan yang saya ikhlaskan, memutuskan untuk memberi keputusan Mas David agar kembali mengejar cintanya kepada wanita yang pernah sangat dicintainya, dan wanita yang saking cintanya ke Mas David sampai pernah jatuh sakit berbulan-bulan hanya karena merindu.“Saya ikhlas dan saya tidak apa-apa. Toh semua ini hanya titipan. Soal jodoh urusan Tuhan. Saya merasa yang lebih pantas mendampingi Mas David dalam mengarungi hidup dan bahtera rumah tangga sampai akhir usia adalah wanita itu bukan saya. Maka dari itu mohon keikhlasannya semuanya.“Dan khususnya kepada ayah ibu. Hiks… hiks…. Ini memang sudah jalannya. Maaf selama ini saya tidak terus terang. Tapi yakinlah apa yang kita lepaskan
Entahlah apa maksud Sheily menolah-noleh tadi dengan durasi waktu yang cukup menyita perhatian para audience. Aku tak terlalu peduli. Aku hanya meperhatikan Sheily-ku. Wanita yang sebentar lagi akan menjadi istriku.Setelah Sheily kembali fokus ke apa yang ingin disampaikan, para tamu undangan kembali tertuju perhatiannya ke Sheily.“Bapak ibu sekalian. Izin untuk sedikit bercerita. Cerita ini bukanlah fiktif. Tapi cerita yang berangkat dari kejadian yang sesunggunya.“Cerita itu bermula saat ada seseorang yang diam-diam mencintai seorang lelaki. Sebut saja namanya Eli. Lelaki ini oleh Eli dianggapnya spesial. Saking spesialnya ia menyembunyikan perasaannya itu hingga bertahun-tahun lamanya. Ia gigih untuk tidak mengutarakan kepada siapapun selain kepada buku catatan yang menemaninya di tiap kali ia merindukan, teringat dan tengah merasakan cintanya terhadap lelaki itu. Sebut saja namanya Afi.“Singkat cerita, Afi dijodohkan den
Ya! Ini bukan mimpi di siang bolong atau dalam tidur. Ini sungguhan yang kupastikan beberapa kali dengan kenyataan yang ada sehingga tak perlu lagi menyimpulkan kalau ini mimpi atau sungguhan.Gadis yang dijebak untuk bertunangan denganku tak lain dan tak bukan adalah Sheily. Mengetahui kalau itu Sheily, bagaimana aku tidak bahagia dan menangis haru? Di saat aku melepaskan dan netral sentral-netralnya, tiba-tiba aku dihadirkan dirinya untuk mewujudkan apa yang menjadi harapanku kemarin.Aku memprediksikan semua ini telah dirancang dan direncanakan dengan sedemikiannya oleh satu orang yang dibantu timnya. Orang itu siapa lagi kalau bukan Pak Komisaris yang mungkin diam-diam meriset keadaan kami dan mengambil celah untuk sebuah kejutan yang memang aku harapkan.Lalu kehadiran teman-teman kantor, keluargaku, persiapan gedung ini, modus seseorang yang menjadi donatur biaya pengobatan ayah Sheily, dan semua yang terlibat untuk acara ini adalah bagian dari rencana Pak
Sekali lagi aku terkejut begitu tahu kalau benar-benar dia yang ada di depanku. Lama tak jumpa setelah kejadian itu. Dan selama tak jumpa itu tak terdengar kabar tentangnya olehku. Secepat itukah dia menjalani proses hukuman? Apa ia dan pengacaranya mengajukan banding atas keringan hukuman sehingga hanya setahun?“Hai Lucas. Apa kabar bro? Sudah bebas nih? Kok ada disini Bro?”“Kabar baik bro. Aku tak menyangka kita akan bertemu lagi. Ya aku sudah terbebas dengan segala pertimbangan yang ribet jika aku ceritakan. Yang jelas selama masa hukuman itu ada banyak hal yang kulalui disana. Soal pergulatan batin, introspeksi diri, penyesalan karena telah mengkhianati orang sebaik dirimu, dan lain-lain.“Ya! Aku sangat menyesal Bro. Karena salahku itu aku merasa tidak berhak mendapatkan apa yang dulu aku dapatkan disini. Meski begitu aku tetap berhak untuk mengunjungi tempat ini yang penuh kenangan dan kerinduanku selama di sel. Dan itulah alasan
Alhasil, setelah semua isi pesan ibu Sheily kubaca, hatiku malah dirundung rasa sedih kembali. Sedetik kemudian, kecewa. Lalu, ngilu rasanya.Kalau saja aku mengetahui isi pesannya demikian, tentu lebih baik aku tidak usah membacanya atau langsung menghapusnya saja. Tapi, karena aku sudah bertekad untuk berdamai dan memaafkan semuanya, perlahan rasa tidak mengenakkan itu luntur dan kembali netral.Dalam pesan itu, ibu Sheily mengabarkan berita tunangan Sheily. Sebelumnya beliau meminta maaf padaku yang sebesar-besarnya. Pembicaraan kemarin saat kunjungan ke rumah Sheily terkait niat baikku melamar Sheily juga sudah diceritakan ke Sheily. Sontak Sheily terkejut, bahagia yang bercampur sedih yang teramat.Sheily juga menyesali kenapa semua ini datang terlambat. Tapi bagaimanapun harus ikhlas menerima. Dan ia berharap aku mendapatkan wanita yang lebih baik darinya.Sheily sudah ikhlaskan aku, ia lepaskan dan biarlah kisah perjalanan cinta dalam diamnya selam
Menyadari suasana menuju tidak nyaman aku berpura-pura izin ke belakang. Aku berpura-pura ingin buang air kecil demi menyelamatkan suasana yang kurang nyaman itu.“Adek. Tolong diantar Mas David ya,” pinta Sheily pada adiknya. Yang diperintah menurut dan mengantarkanku ke belakang. Setidaknya upayaku berhasil membuat keadaan jauh lebih baik. Usai dari belakang aku izin untuk pamit.Saat memasuki mobil aku menatap wajah Sheily yang mengantarku sampai halaman rumah. Kutangkap sekilas pancaran wajahnya yang tidak menunjukkan kecurigaan ia sedang menyimpan sesuatu. Ia malah tersenyum dan berterimakasih atas kehadiranku. Aku balik tersenyum padanya lalu, pada ayah ibunya yang melepas kepulanganku dari depan pintu.Keluarga sederhana yang hangat. Rasanya aku seperti berada di rumah sendiri.Di dalam mobil menuju rumah mataku seketika berkaca-kaca. Tak kuasa aku menanggung beban seperti ini. Padahal tinggal sebentar lagi. Padahal kurang selangk