Tak ingin pak Anggara berlama-lama lagi di sana. Telinganya juga panas dengar omelan-omelannya, buru-buru Selena meminta maaf."Maafkan kelalaian saya, Pak.""Lupakan saja. Saya cuma mau meneruskan perintah dari Tuan Collins. Kamu dengar baik-baik kalau bisa catat biar tak lupa. Jangan pula besok-besok ditanya lagi!"Selena mencebik kesal. Benar-benar dibuat sangat dongkol. Kalau bisa mengusirnya sudah dari tadi ia lakukan.Mana pinggang dan perutnya tak mendukung situasinya yang lagi kesal. Sial! Bergeser sedikit saja pinggangnya terasa mau patah saja, perut juga makin tak bisa diajak kompromi. Selena kepayahan bergeser hanya untuk meraih kertas dari sudut mejanya."Minggu pertama bulan depan kamu ada meeting dengan mitra bisnis Collins, menggantikan Tuan Collins dan saya di hall belakang perusahaan. Minggu kedua kamu ada pertemuan makan malam di restoran Collins. Minggu ketiga ..."Apa? Aku cuma sekretaris bukan pimpinan atau wakil pimpinan! Apa dia tidak bisa melihat keadaanku ya
"Riana?" Matanya menatap bergantian layar ponsel dan kotak di hadapannya.Mana mungkin Riana yang mengirimkannya, pikirnya tertawa kecil."Halo, Riana. Bagaimana kabarmu?" tanyanya basa-basi."Baik, kabar kamu gimana, Selena?""Baik juga. Oiya, kamu tidak sedang sibuk, Riana?" tanyanya. Cukup tahu di jam seperti itu, jam-jam sibuk pegawai di perusahaan Wiguna.Sekilas terdengar Riana mendesah berat. "Aku tidak bekerja di perusahaan Wiguna lagi." Suaranya tak bersemangat seperti menyimpan rasa kecewa."Lho, kenapa?" buru Selena kaget.Meski beberapa detik berikutnya, ia merasa tidak perlu mencemaskan Riana keluar dari perusahaan Wiguna. Riana tidak perlu takut hilang pekerjaan. Dia punya keluarga yang kaya raya, bahkan kakaknya Hendra mempunyai perusahaan.Tidak seperti dirinya, yang hanya akan menjadi gembel bila sampai hilang pekerjaan."Tuan Collins mengurangi pegawai di perusahaan Wiguna. Banyak yang di rumahkan, aku salah satunya.""Kenapa? Apa yang sudah terjadi di sana? Peras
Selena menghempas napas kasar. Matanya malas melirik kotak di samping lemari, bibirnya mengerucut tanda kesal."Kenapa harus aku yang mengerjakan semua ini? Bukankah ini tugas Aditya, pria bangsawan itu? Hahk! Ini sudah jadi tanggungjawabnya!" omel Selena beranjak dari duduknya. Mulai melepas lakban penutup kotak dengan sangat kasar. Mulutnya juga tidak berhenti mengomel mengeluarkan tumpukan map dari dalamnya.Selena mendesah berat membawa map-map tersebut ke mejanya. Terpaksa harus sibuk lagi guna memeriksa satu persatu isi map-nya."Dokumen keuangan perusahaan Adiguna Jaya? Sial! Tahu begini bawa laptop tadi."Selena terpaksa mengecek manual. Entah sudah berapa jam ia berkutat dengan tumpukan map tersebut."Kenapa bisa merosot begini?" Selena tidak berhenti melotot melihat grafik perkembangan perusahaan Aditya yang menurun drastis.Hingga larut malam Selena masih saja berkutat.Pikirnya, tak mungkin mengecewakan sang HRD yang telah banyak membantunya selama ini. Sampai ..."Ak
Diusir bak hewan pengganggu saja, Aditya terbelalak kaget. Wajahnya memerah merasa tak dihargai sang Kakek.Paman Grove paham raut wajah Aditya, menepuk pundaknya pelan. Guna menenangkannya yang masih tersulut emosi, sebelum mendorongnya keluar."Tutup pintunya, lalu duduk, Grove," titah Tuan Collins menatap lekat wajahnya.Pria yang kurang akrab dengan Tuan Collins tersebut mengangguk patuh."Katakan padaku, siapa gadis yang membuat Aditya hilang waras begitu?" Baru saja menghenyakkan duduknya, paman Grove berjengit kaget sampai berdiri, di beberapa detik kemudian kembali duduk. Matanya melotot tajam ke Tuan Collins. Setahun ini dia dan Aditya sudah berusaha menutupinya, tapi kenapa Tuan Collins tahu?"Gadis? Maksudnya, Tuan?" tanya paman Grove membuang tebakan pikirannya "Jangan berlagak pikun, Grove! Kalau masih butuh bekerja untuk Aditya!" kecam Tuan Collins langsung membuatnya tak berkutik.'Sial! Apa tadi Aditya sudah mengakuinya kepada Tuan Collins?' batin paman Grove bingu
"Tuan, hampir setahun ini saya bersama orang-orang saya berusaha keras mencari Selena, tapi ..."Paman Grove tertawa getir, sengaja menggantung ucapannya. Berpikir Tuan Collins mungkin lupa atau tak menyimak obrolan mereka diawal. "... kita sudah membicarakan ini diawal tadi, Tuan," lanjutnya tidak bersemangat.Tuan Collins yang tadi menatapnya angkuh lantas mengurai pandangan dari wajah paman Grove. "Itu sebabnya Aditya keluar masuk bar, kafe, warung, pasar dan tempat lainnya, Tuan," jelas paman Grove meneguk salivanya. Kemudian membuang pandangannya. Harusnya Tuan Collins bicara langsung saja dengan Aditya.Paman Grove takut jadi sasaran pelampiasan kemarahan Aditya nantinya. Dia pun dibuat bingung sekarang, harus menuruti perintah Aditya atau patuh pada Tuan Collins. "Apa kamu tahu di mana orang tua gadis itu, Grove? Ahh, lupakan saja. Sekarang panggil Aditya," titahnya berpikir harus bisa menemukan gadis yang mengandung darah daging keluarga Collins.Tidak menunggu lama, Ad
'Astaga, untuk apa Tuan Collins berdiri di belakang pintu?' batinnya mengomel.'Padahal dia bisa duduk menunggu di kursi kebesarannya!'Selena berjalan ke mejanya dengan tangan meremas tali tasnya. Sesekali mengekorkan sudut matanya kepada Tuan Collins yang sibuk memperhatikan buket bunganya di tangannya.'Apa sehebat ini diriku? Pertama masuk kerja setelah cuti panjang, langsung mendapat buket bunga?'"Selena, ini untukmu," ucap Tuan Collins meletakkan buket bunga di atas mejanya.Selena yang berpura-pura sibuk merapikan mejanya, tersentak kaget lantas menolehkan kepala. Beberapa detik terdiam untuk memfokuskan pikirnya.Melihat apa yang dilakukan oleh Tuan Collins, dugaannya tadi seolah benar. Atau ... Tuan Collins menyukai dirinya? Bukankah bunga lambang cinta? Seperti yang di film-film!Tidak! Meski ia sudah memiliki anak tanpa suami, tapi untuk menjalin hubungan dengan pria tua seperti Tuan Collins, itu tidak pernah ada di pikirannya."A-apa ini, Tuan?" tanyanya gugup dan salah
Selena bergeming. Mengikuti gerakan Tuan Collins meletakkan ponselnya, menggerutu.'Anak siapa yang di maksud Tuan Collins? Aditya kah?' batin Selena belum sepenuhnya fokus mencerna.Cepat-cepat Selena langsung menepis pikirannya. Kali ini ingin fokus kalau tak mau salah-salah menjawab lagi."Selena ... Aditya meminta lusa ini kamu pindah ke perusahaan Adiguna Jaya, ya," ujar Tuan Collins tanpa menoleh, masih sibuk memelototi layar ponselnya. "Jadi besok pagi kamu tidak perlu kemariKamu beresin barang-barang mu saja. Besok sore dijemput sopir ke kos mu ya."Kaget, Selena mengurai perlahan pandangannya dari Tuan Collins.Ke perusahaan Adiguna Jaya? Ia tak pernah terpikir akan kembali ke sana.Selena membatu, batang lehernya bergerak turun naik meneguk liurnya kesusahan. 'Aku tidak bisa ke sana!' batinnya menjerit. Tapi tak ada haknya menolak perintah Tuan Collins kecuali ia mau di pecat.Tak kunjung mendengar sahutan Selena, Tuan Collins menoleh. "Bagaimana, Selena?" tanya Tuan Coll
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Selena berpamitan kepada seisi perusahaan. Ia juga tampak tak bersemangat memeluk buket bunga pemberian Aditya.Sampai di kosnya, Selena masih memikirkan obrolannya dengan Tuan Collins tadi."Kenapa harus ke perusahaan Adiguna Jaya?" rutuk Selena membuang napas dengan cara menghempas kuat."Tentu Aditya langsung mengenaliku nanti," gumamnya bingung cara menyamarkan dirinya.Selena beranjak dari duduknya berjalan ke cermin yang menempel di dinding samping meja. Sesaat hanya memandangi dirinya di dalam cermin. Tak ada yang berubah dari dirinya, masih sama dengan beberapa bulan yang lalu. Cuma rambut panjangnya saja yang sudah menyentuh pinggang.Kalau begini siapapun pasti dengan mudah mengenalinya nanti di sana."Ahahh! Aku menemukan ide! Bagaimana kalau rambutnya di keriting?" Ahh, dari dulu ia tidak menyukai rambut keriting. Kesan wajahnya terlihat tua konon.Selena kembali memandangi dirinya, otaknya bekerja keras mencari titik pada tubuhnya-