Drrt... drrt... drrt...
"Hadeh, ini siapa sih yang nelpon? Kagak tau apa gue baru mulai merem?" Kiran menggerutu. Rasanya baru saja ia memejamkan mata setelah mengerjakan jurnal-jurnalnya yang berjibun. Nasibnya sebagai seorang reporter newbie, ya kurang lebih seperti ini. Selalu menjadi anak bawang para seniornya. Dengan mata separuh tertutup Kiran meraba-raba nakas. Mencari ponsel yang selalu ia letakkan di sana.
"Lo kenapa sih bunyi terus handphone. Sabar dikit nape? Udah gue pegang juga." Kiran mengomeli ponsel dalam genggamannya.
"Silau banget mata gue etdah." Dengan mata terpicing, Kiran memindai nama pemanggilnya. Saat melihat nama Pak Jaswin, Kiran sontak terduduk. Pak Jaswin adalah koordinator liputan stasiun televisi di mana dirinya bekerja. Itu artinya ada berita yang harus ia liput
"Selamat malam, Pak. Ada yang bisa saya--"
"Kamu segera ke Apartemen Mutiara Hijau sekarang. Ada peristiwa kebakaran di sana. Sumber yang bisa dipercaya mengatakan bahwa asal api dari apartemen milik Pak Irman Sadikin. Andika dan kru sudah menunggu di sana untuk live report".
"Saya ke sana sekarang, Pak?" Setelah bertanya, Kiran menepuk keningnya sendiri. Pertanyaannya ini tidak memerlukan jawaban. Beginilah kalau orang dibangunkan tiba-tiba. Nyawanya belum terkumpul semua.
Cari mati emang lo, Kiran!
"Nanti saja kalau apinya sudah padam."
Satu... dua... tiga...
Kiran memejamkan mata sambil berhitung. Sebentar lagi Pak Jaswin pasti akan mengamuk.
"Ya sekaranglah! Kamu ini reporter atau bukan hah? Menjadi seorang reporter itu harus responsif kapan pun dan di mana pun!" Teriakan Pak Jaswin membuat telinga Kiran pengeng seketika.
"Baik, Pak. Saya akan segera ke sana!"
"Kalau hasil liputanmu jeblok, berhenti saja kamu menjadi seorang reporter!"
"Baik, Pak. Saya akan segera ke--"
Tut... tut... tut...
Panggilan telah diputus. Kiran melompat dari ranjang. Ia segera menyambar celana cargo dan kaos oblong dari dalam lemari. Tidak lupa ia melapisi kaosnya dengan bomber jaket. Melengkapi penampilannya agar lebih gesit dan ringkas, Kiran mengikat rambutnya menjadi buntut kuda yang kuat.
Selanjutnya ia mencangklong tas ransel yang berisi buku agenda, pena, ponsel, power bank, senter kecil dan sarung tangan karet. Peralatan lainnya seperti kamera, tripod, mic, clip on, lampu dan yang lainnya sudah siap sedia di mobil. Kiran memang selalu double check setiap akan melakukan liputan. Ia tidak mau mengalami gangguan saat di lapangan. Pada saat liputan langsung, seringkali terjadi hal yang tidak terduga di luar masalah teknis.
Setelah yakin semua peralatan tempurnya lengkap, Kiran menarik napas panjang dua kali. Biasanya ia harus melalui drama satu babak terlebih dahulu sebelum berpamitan untuk meliput pada kedua orang tuanya. Beginilah nasib menjadi anak tunggal. Semua perhatian tercurah padanya.
Kiran baru saja memutar panel pintu, saat lampu ruang tamu tiba-tiba menyala. Yah, para pemeran utama drama satu babaknya sudah siap-siap untuk casting. Ayah dan ibunya berdiri bersisian di depan kamar dengan air muka tegang.
Satu... dua... tiga...
"Mau ke mana kamu tengah malam begini, Ki? Mau meliput berita ya?"
Pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban.
Ciara Fedeorova Raffardan. Ibunya yang cantik mempesona tiada tara, telah bersiap-siap mengeluarkan ajian pamungkasnya.
"Iya, Ma. Ada kebakaran di Apartemen Mutiara Hijau."
"Hah kebakaran? Kamu jangan ke sana ya, Nak? Anak Mama cuma satu. Kalau kamu nanti mati sesak napas, Mama jadi nggak punya sekutu lagi untuk melawan papamu."
Nah 'kan, sesuai dengan prediksi BMKG. Mamanya pasti akan menggunakan seribu satu cara untuk menghalanginya bekerja.
"Tenang, Ma. Kiran ini nggak gampang mati. Lha wong Kiran ini anak Mama. Mama 'kan sudah kesohor nasibnya selalu mujur? Setiap ada lucky draw apa pun Mama selalu menang bukan? Noh, liat koleksi payung dan barang pecah belah cantik yang selalu Mama menangkan. Jadi Mama tidak usah khawatir. Kiran pasti mewarisi gen keberuntungan Mama. "
Kiran menepuk dada jumawa. Merayu ibunya ini memang harus dengan gaya hiperbola.
"Ya, sudah. Apa boleh buat. Jalankanlah tugasmu dengan baik. Toh kamu sendiri yang nyari susah sendiri mau menjadi seorang reporter." Ciara mengalah. Suaminya selalu bilang. Jadi orang harus punya integritas dan tanggung jawab. Makanya ia harus berlapang dada membiarkan Kiran bekerja untuk memenuhi tanggung jawabnya.
"Ingat pesan Mama. Selalu ikuti kata hatimu. Tapi bawa juga otakmu." Demi membuat putrinya semangat bekerja, Ciara mencoba memberikan nasehat bijak. Semoga saja nasehatnya nanti berguna.
Kiran nyengir. Beginilah mamanya. Selalu santuy dalam segala situasi dan kondisi.
"Apartemen Mutiara Hijau itu sebagian besar milik para pejabat dan politisi. Logikanya mereka pasti memiliki sistem keamanan yang maksimal. Pesan Papa cuma satu. Jangan mempercayai apapun yang kamu dengar. Tapi telaah apa yang matamu saksikan. Mulut bisa berbohong. Tapi mata tidak."
Bima memberikan nasehat singkat namun berguna bagi Kiran. Walau dulu ia menantang habis-habisan keinginan sang putri yang ingin terjun ke dunia jurnalistik kanal politik karena berbahaya, kini ia mendukungnya. Ia sadar bahwa passion putrinya memang di sana. Yang ia bisa lakukan sekarang adalah mensupportnya.
"Baik, Pa. Menurut atasan Kiran, titik api berasal dari apartemen milik Pak Irman Sadikin. Mereka sekeluarga pindah ke apartemen karena rumah lama mereka sedang direhab," terang Kiran singkat.
"Apalagi pejabat sekelas Irman Sadikin. Sistem keamanannya pasti dua kali lipat dari orang biasa. Jangan gegabah dalam bertindak," pungkas Bima sekali lagi.
"Siap, Pa. Kiran jalan dulu." Kiran menyambar kunci mobil di atas buffet. Tugas berat sudah menantinya. Sejurus kemudian Kiran berada di dalam mobil. Pak Hasan tampak tergopoh-gopoh membuka pintu gerbang. Kiran pun kemudian melesat meninggalkan rumah.
"Aku nggak tenang melihat Kiran bekerja seperti ini, Mas. Aku takut dia kenapa-kenapa nantinya." Ciara masih saja memandangi pintu gerbang yang telah ditutup oleh Pak Hasan.
"Pekerjaan apapun mempunyai resiko, Cia. Kalau memang bencana akan menimpa kita, sedang tidur di rumah pun kita bisa celaka. Kamu ingat tidak peristiwa jatuhnya pesawat terbang di kota Medan pada tanggal 6 September 2005 lalu? Selain 149 penumpang dan awak pesawat yang tewas, ada sekitar 50 orang penduduk sekitar yang ikut menjadi korban. Mereka itu tidak sedang melakukan hal yang berbahaya. Saat itu mereka sedang berjualan, berjalan kaki, makan bahkan ada masih tidur. Itu artinya apa? Bahwa jodoh, maut dan rezeki sudah ada yang mengatur. Paham, Cia?" Bima memberi pemahaman yang paling masuk akal pada sang istri.
"Paham, Mas. Tapi aku tetap ngeri kalau Kiran kerjanya colek-colekkan dengan malaikat maut begini." Cia tetap khawatir.
"Supaya kamu tidak ngeri lagi, kita main kuda-kudaan saja ya? Mas yang jadi kuda atau kamu? Coba pikirkan. Seru bukan?" Bima mencoba mengalihkan kegelisahan istrinya.
"Iya juga ya, Mas? Lagian kalau orang baik pasti akan dilindungi oleh Yang Maha Kuasa." Cia lebih tenang sekarang. Suaminya benar. Semua yang terjadi di dunia ini sudah ada yang mengatur. Termasuk acara main kuda-kudaannya dengan sang suami nanti. Dirinyalah yang mengatur karena posisinya kali ini sebagai joki.
***
Kiran berpegangan erat pada handle mobil, saya laju kendaraan oleng ke kanan dan kiri. Hari ini dirinya dan tim akan melakukan liputan tentang rekontruksi pembunuhan Ryan Pratama. Sejak dua hari lalu dirinya dan tim yang terdiri dari Andika, Mardi, Bang Barry, Bang Husin dan Renny sudah berada di Kalimantan. Pagi ini akan diadakan rekontruksi pembunuhan Ryan oleh dua orang penduduk setempat dan juga Bu Katarina."Kita ini naik mobil atau naik kuda sih, Dik? Tulang gue kayak mencar-mencar dari sendinya karena terpental-pental terus." Kiran meringis. Hujan yang turun semalam telah membuat jalan menjadi licin dan berlumpur. Ditambah kontur tanah yang sulit untuk dilewati, membuat penumpang yang ada di dalam mobil terpental-pental."Ya gimana dong, Ki. Kita 'kan melalui jalan alternatif yang bisa menghemat waktu minimal 40 menit dari jalan normal yang bisa memakan waktu sampai dua jam. Mana kanan kiri jurang lagi. Kalian semua banyak-banyak doa aja." Andika menjawab sembari berkonsentrasi
"Klien saya tidak melakukan seperti apa yang kalian tuduhkan pada. Pak Irman tidak pernah punya hubungan apa pun pada Rani. Apalagi memprovokasi Rani agar mencelakai Bu Yanti. Semua yang dituduhkan tidak benar!" Frans Damanik membantah semua tuduhan yang disangkakan pada kliennya."Benar begitu, Pak Irman?" Demitrio memfokuskan pandangan pada Pak Irman tampak nervous."Maaf, bisa diulangi lagi pertanyaannya?" Pak Irman menggosok-gosok kedua telapak tangannya gugup. Benaknya terus berputar memikirkan jawaban demi jawaban yang harus ia berikan."Apa benar Anda tidak punya hubungan apa pun dengan Rani Permata Sari?" Dengan sabar Demitrio mengulangi pertanyaannya."Benar." Pak Irman menjawab singkat."Anda juga tidak pernah memprovokasi Rani untuk mencelakai Bu Yanti?" lanjut Demitrio lagi."Be--nar, Pak." Pak Irman mulai gugup. Ia berkali-kali melirik pengacara di sampingnya. Ia takut memberi jawaban yang salah."Baik. Kalau pengakuan Anda seperti itu, saya akan memperdengarkan sesuatu."
"Saya tidak tahu apa-apa soal kejahatan Pak Irman, Pak Polisi. Saya ini cuma seorang pembantu. Mana mungkin saya terlibat dengan semua kejahatan beliau. Tolong lepaskan saya!" Bik Hasni langsung berdiri saat melihat kehadiran Demitrio. Perwira polisi yang satu ini memang bolak-balik menanyainya dalam peristiwa tewasnya Bu Yanti beberapa waktu lalu."Saya menahan Ibu bukan karena masalah Pak Ilham. Tapi perihal tewasnya Bu Yanti. Mengapa Ibu malah membahas soal kejahatan Pak Irman? Apa Ibu ikut terlibat dalam kejahatan itu?" sindir Demitrio."Tidak, Pak Polisi. Saya justru tidal tahu apa-apa. Begitu juga soal tewasnya Bu Yanti. Saya ini pengasuhnya sedari kecil. Mana mungkin saya mencelakakan beliau. Yang menjahati Bu Yanti itu Rani dan Lisna bukan? Kenapa jadi yang dituduh!" Bik Hasni panik. Semuanya jadi kacau sekarang."Duduk kembali, Bu. Anda tidak perlu terburu-buru menjelaskan segala sesuatunya. Kita punya waktu yang sangat lama untuk berbincang-bincang." Demitrio mengangkat tan
"Jangan mendorong-dorong saya. Saya bisa jalan sendiri!" Bik Hasni menyikut polisi yang mendorong-dorong bahunya. Matanya liar mengamati sekitar. Ia mencari-cari kehadiran sang putri. Karena tidak menemukan apa yang dicarinya, Bik Hasni mengamuk."Mana Marni?" seru Bik Hasni panik. Ia takut kalau sang putri kenapa-kenapa."Marni berada dalam mobil yang lain. Kalau Anda tidak mau didorong, segera ke dalam mobil!" hardik Demitrio keras. Ramainya warga sekitar yang menonton, membuat mereka tidak leluasa bergerak. Mobil yang dikendarai IPTU Rahman harus membunyikan klakson berulang kali, baru berhasil keluar dari kerumunan."Mengapa Marni tidak ikut di mobil ini saja? Kenapa harus dipisah segala?" Sembari masuk ke dalam mobil, Bik Hasni terus protes."Karena kami ingin mendengarkan keterangan yang valid dari kalian berdua. Makanya kalian berdua harus dipisah. Sekarang duduk yang benar dan jangan banyak tingkah. Paham?" bentak Demitrio lagi.Bik Hasni terdiam. Benaknya berpikir keras untuk
Kiran duduk ngelangut di dalam mobil. Ia terkantuk-kantuk kala menunggu Andika yang tengah membeli gorengan di pinggir jalan. Ditambah suara hujan rintik-rintik yang jatuh di kap mobil, membuat mata Kiran semakin redup. Mereka berdua baru saja pulang meliput berita mantan mentri yang terbukti melakukan korupsi dan gratifikasi. Sedari pagi hingga malam, mereka berdua sibuk memburu berita ini. Wajar jikalau saat ini perut mereka berdua keroncongan. Walau sebenarnya Kiran lebih kepingin tidur saja daripada makan."Sepet banget mata gue elah. Kudu diganjel ini biar tetep fokus gue nyetirnya." Demi membuat matanya melek, Kiran bermain ponsel. Siapa tahu dengan mengscroll-scroll media sosial, kantuknya akan hilang. Kiran terkekeh saat mendapati konten gaya panggung artis dangdut lawas yang naik ke atas alat musik di panggung. Sang biduan menyanyikan lagu Gudang Garam dengan suara lantang."Tadi aja lo lelenggutan ngantuk berat. Sekarang lo malah ngakak patah kayak orang gila. Kagak jelas em
"Ya tapi kenapa tiba-tiba, Om? Kita baru pacaran dalam hitungan bulan. Eh, si Om udah main lamar aja. Apa Om nggak mau kita saling mempelajari karakter masing-masing dulu?" Kiran meriang karena mendadak akan dilamar. Sungguh, setitik debu pun ia tidak menduga akan dilamar dengan cara sat set begini. "Apalagi yang harus kita pelajari, Ki? Karaktermu? Saya sudah mengenalmu sedari dalam kandungan Tante Cia. Selain kedua orang tuamu, mungkin saya adalah orang yang paling memperhatikan tumbuh kembangmu."Kiran menepuk kening. Demitrio benar. Ia memang sudah sebel pada Demitrio sedari kecil. Ia tumbuh besar dengan kehadiran keluarga Atmanegara. Kedua orang tua mereka bersahabat sejak remaja. Ia juga menyaksikan perubahan Demitrio dari seorang remaja tanggung hingga sedewasa sekarang. Mereka berdua terlalu mengenal satu sama lain."Atau jangan... jangan... kamu tidak bersedia saya lamar ya, Ki?""Bersedia dong, Om. Mau dilamar orang gagah perkasa sakti mandraguna begini kok ya nggak mau? Sa