Share

Bab 3 Ke Rumah Aka

Setiap pulang sekolah, Flo selalu nyamperin Cia di kelasnya untuk mengajak pulang bersama. Begitupun siang ini, berdua mereka berjalan keluar dari kelas Cia. Baru beberapa langkah dari pintu kelas, mereka terpaksa berhenti karena mendengar sebuah panggilan. Nampaklah Bu Hanny, ibu guru muda dan cantik yang merupakan wali kelas sekaligus tetangga satu blok di komplek perumahan Cia berjalan anggun mendekat ke arah mereka. Senyum terukir di bibir guru berperangai sabar itu. Bu Hanny tak sendiri, ada seseorang di sampingnya.

“Eh, Tante Han ... eh, Bu Hanny, A-ada apa, Bu?” tanya Cia gugup dengan kalimat belepotan tak karuan. Dahinya sedikit berkerut merasa heran, kenapa tiba–tiba wali kelasnya itu memanggilnya di jam pulang sekolah. Yang semakin membuatnya heran adalah kenapa ada Aka di samping perempuan cantik ini? Cowok itu berdiri diam dan tenang dengan ekspresi seperti biasanya, dingin. Tanpa sapa meski cuma sekedar isyarat saja.

“Kamu mau langsung pulang, Cia?” tanya Bu Hanny lembut.

“Iya, Tante,” jawab Cia cepat. Ups! spontan gadis itu menutup mulutnya begitu menyadari dia salah dengan istilah panggilannya. Bu Hanny tertawa geli, apalagi melihat ekspresi Cia yang sungguh salah tingkah. Aka tetap diam di samping Bu Hanny dengan ekspresi datarnya. Namun, sesungguhnya tatapannya sedikit melembut tak lagi sedingin tadi. Sebenarnya dia hanya sedang berusaha tetap cool karena sesungguhnya dia pun tengah berusaha menahan senyum begitu melihat ekspresi salah tingkah Cia yang salah bicara barusan.

“A-ada yang bisa saya bantu, Bu?” tanya Cia belum bisa menghilangkan kikuknya.  Sedikitpun dia tak berani melirik ke arah Aka, meskipun dia penasaran setengah mati dengan ekspresi yang di tampilkan cowok itu karena kesalahannya tadi. Sesungguhnya dia merasa sangat malu, dan dia nggak mau semakin terbebani rasa malu jika ternyata dan mungkin saja cowok itu tengah menertawakannya dengan sebentuk senyum sinis yang menyakitkan. Aih ... Cia benar– benar nggak mau menderita batin.

“Tante boleh minta tolong, Cia?” kali ini Bu Hanny menyebut dirinya untuk Cia dengan istilah “Tante”, cukup melegakan dan menyenangkan untuk Cia.

“Iya boleh, Tante,” halahhh ... masa bodohlah dengan istilah panggilan Cia ke ibu guru wali kelasnya itu. Gadis itu berusaha santai melepaskan rasa kikuknya, melepaskan jerat intimidasi tatapan dingin dari seorang cowok yang juga berdiri di depannya hingga dia tak berniat mengkoreksi lagi kata panggilannya.

“Tapi, bener kan kamu langsung pulang? Enggak ada mau mampir ada keperluan kemana gitu?” tanya Bu Hanny meyakinkan.

“Iya, saya sama Flo mau langsung pulang kok, memangnya apa Tante yang bisa saya bantu?” Horray ... Cia sudah normal sekarang. Kalimat–kalimatnya sudah bisa terluncur dengan manis bebas hambatan, kayak jalan tol aja bebas hambatan, hehehe ...

“Tante kan mau pinjam buku Aka, buat Om Bram yang mau berangkat dinas ke Bandung. Kebetulan Om Bram berangkat pesawat nanti jam tujuh  malam. Tapi, Tante nggak bisa ambil di rumah Aka sekarang, karena harus ikut bezuk Bu Tanti di rumah sakit bareng guru–guru yang lain. Cia bisa bantu Tante, ke rumah Aka untuk ambil buku itu buat Om Bram? Tolong tante ya, Cia.” Wanita berusia akhir 20-an itu menatap penuh harap ke arah gadis muridnya. Nada suaranya jelas terdengar penuh permohonan. Cia menoleh sejenak ke arah Flo yang sedari tadi diam tak bersuara, berniat meminta pertimbangan. Namun sialnya, gadis itu malah asyik dengan smartphone-nya.

“Saya ... saya ke rumah Aka, Tante?” tanya Cia dengan nada tak yakin, matanya mengerjap tak percaya seolah baru dibangunkan dari tidur lelapnya.

“Iya, bisa kan? Tolong Tante ya, Cia.” Penuh harap Bu Hanny menunggu jawaban Cia. Gadis itu masih galau, belum memberi jawaban kesediaan, memutar bola matanya kesana kemari mempertimbangkan sesuatu, dan akhirnya ... ”Iya deh Tante, bisa kok,” selanjutnya dia menoleh ke arah Flo yang sudah kembali mengantongi ponselnya.

“Flo ...” belum selesai kalimatnya, panggilan Cia terinterupsi suara cempreng itu.

“Oke, kalau begitu aku pulang duluan ya, Cia. Selamat siang Bu Hanny, Aka, dan Cia. Selamat menikmati waktu bersama Pangeran Salju, ya,” pamit Flo dengan nada cerianya. Kemudian gadis itu bergegas lari dengan rambut ikal panjangnya yang melambai indah.

Setelah kepergian Flo, dengan sengaja Cia menoleh ke arah Aka. Dia menemukan senyum tipis di bibir cowok itu. Rona merah sedikit menjalar di pipi Cia. Aka pasti tahu maksud perkataan Flo barusan. "Awas ya Floooo …" geram Cia tanpa kata.

“Baik, kalau begitu. Terima kasih, ya, Cia, Aka. Saya pamit dulu, udah di tunggu guru–guru lain sedari tadi, kalian hati-hati pulangnya. Nanti sampai rumah kasih aja bukunya ke Om Bram atau Eliza ya Cia” pamit Bu Hanny sekaligus berpesan pada Cia. Terdengar suara Cia menjawab pamit barusan, namun tidak terdengar suara yang sama dari cowok yang berdiri di depannya.

“Ayo.” Terdengar suara Aka dan cowok itu sudah berlalu beberapa langkah di depan Cia. Membuat gadis itu segera ikut berjalan dan mempercepat langkahnya berusaha menyamai jalan di samping Aka. Beberapa waktu mereka berjalan bersama tanpa kata, hingga terdengar suara Cia membuka obrolan.

“Kita naik bus kota ya, Ka?” kalimat basa basi itu terlontar penuh pertimbangan.

“Iya, kamu pernah kan naik bus kota?” tanya balik Aka tanpa sedikitpun menoleh ke arah gadis yang berjalan di sampingnya.

“Pernah dong, kan aku juga tiap hari naik bus kota, Ka” jawab Cia, santai tanpa maksud apa–apa.

“Oh iya? Ya kali aja kamu golongan cewek kaya manja yang nggak doyan angkutan umum,” lanjut Aka dengan nada datarnya.

“Eh, aku enggak manja ya, lagian siapa juga yang kaya, itu semua punya orang tua aku kok,” sedikit bernada sewot Cia menjawabnya. Untuk pertama kalinya Aka menoleh ke arah gadis itu dengan seulas senyum yang cukup lebar. Sayang banget ... Cia tidak melihat senyum itu. Karena terlanjur terbelenggu rasa jengkelnya yang tiba-tiba muncul. Seenaknya Aka menyamakan dirinya dengan cewek kaya kebanyakan, dia tahu tentang dirinya aja sepertinya enggak mungkin. Sama seperti dirinya sendiri yang menilai Aka sebagai cowok dengan kehidupan penuh ke-misterius-an.

Baru lims menit mereka berdiri di halte, sebuah bus sudah ada yang berhenti. Kernet yang turun dari bus meneriakkan tujuan dari bus tersebut. Entah sadar ataupun enggak, cowok itu segera menarik tangan Cia menuju masuk ke dalam bus. Gadis itu pun hanya bisa menurut dengan raut wajah bingung. Dia sempat menatap sekilas ke arah tangannya yang berada dalam genggam erat tangan Aka.

Suasana dalam bus penuh sesak, bangku kosong sudah tidak nampak. Bahkan beberapa orang sudah berdiri berderet di jalur tengah bus, tempat jalan kondektur berlalu lalang menarik karcis dari satu penumpang ke penumpang lain.

Aka tidak melepaskan genggaman tangannya, justru dia menarik Cia supaya berdiri lebih mendekat ke arahnya, gadis itu dia posisikan di depannya dengan tangan mereka yang tetap terpaut. Cia yang bingung dengan kondisi bus yang penuh sesak seperti itu cuma menurut saja. Sesungguhnya, dia merasa tidak nyaman. Apalagi, di depannya berdiri seorang lelaki paruh baya berambut gondrong dan bertindik. Jarak berdirinya tak lebih dari 30 sentimeter dari tempat Cia berdiri. Membuat gadis itu bergidik ngeri membayangkan maraknya berita pelecehan seksual di dalam bus yang penuh sesak seperti ini yang kerap menimpa perempuan. Tanpa sadar bahunya sedikit bergidik sebagai reaksi ngeri.

Bus sudah berjalan beberapa saat lalu. Aka sempat memperhatikan gerak tubuh Cia barusan yang jelas merasa tidak nyaman. Tiba–tiba Cia merasa Aka melepaskan genggaman tangannya. Tak berapa lama sebuah tangan menyentuh pundaknya. Cia menoleh dan menemukan wajah Aka di belakangnya yang terlihat cukup dekat. Aka mendekatkan bibirnya di telinga Cia dan membisikkan kata yang cukup di dengar oleh gadis itu.

“Kamu putar badan hadap aku aja,” bisik Aka. Tanpa harus di ulang dua kali, Cia yang sungguh merasa tidak nyaman segera menuruti permintaan Aka. Lebih baik dia melihat Aka daripada melihat penampilan preman orang itu yang membuatnya takut.  Jadilah mereka kini dalam posisi berhadapan dengan jarak hanya beberapa senti. Mendadak Cia merasa resah berdiri begitu dekat dengan Aka seperti ini, ada desir aneh dan detak jantung dag dig dug der yang terpompa keras. "Omaigad! aku kenapa nervous begini ..." rutuk Cia berusaha menenangkan degub jantungnya yang tak bersahabat di kondisi kayak gini.

“Kamu pasti shock, ya?” terdengar lirih suara Aka. Cia sedikit mendongak mencoba memperjelas penangkapan indera dengarnya. Olalaaa ... Aka yang jelas lebih tinggi darinya sedikit menunduk sambil menatapnya. Oh God ... mata ini, hidung mancung ini, bibir ini ... sempurna sekali! Cia tak sanggup mengeluarkan jawabannya.

“Di tanya malah bengong, tak berkedip lagi. Terpesona sama aku?” celetuk Aka membuyarkan banyak kata yang terangkai di otak Cia.

“Eh, enggak. Iya, sedikit,” jawab Cia ambigu, ada semburat merah di pipinya yang gagal dia sembunyikan.

“Sedikit terpesona maksudnya?” lanjut Aka yang niat menggoda, alisnya sedikit terangkat keheranan.

“Idih, GR. Sedikit shock,” ralat Cia dengan cepat.

“Oh.” Cuma itu yang keluar dari bibir Aka. Beberapa saat mereka kembali terdiam.  Cia kembali sibuk dengan fikirannya. Aroma parfum lembut yang Aka pakai memberi sensasi tenang untuknya. Dan, sukses besar, dia menyukai wangi itu. Hingga ketika bus mengerem mendadak, Cia tak berhasil menjaga keseimbangan tubuhnya. Reflek tangannya melepaskan tas yang sedari tadi dia dekap di depan dadanya menjadi pembatas antara dia dan Aka. Dan, kali ini wajahnya sudah tersuruk di dada Aka. Membau dengan nyata parfum lembut itu hingga membuatnya terbuai. Sebuah tangan terasa melingkari punggungnya. Lagi-lagi, benarkah posisi mereka saat ini benar–benar layaknya sepasang kekasih dalam drama Korea? Berpelukan mesra di dalam bus yang penuh sesak. Tiba–tiba pipi Cia kembali memanas membayangkannya, dengan segera dia menarik tubuhnya dari tubuh Aka dan tangan yang melingkari punggungnya-pun terlepas begitu saja.

Bus mulai berjalan lagi. Terdengar kedumel sopir dengan kernet dan kondekturnya. Ternyata dalam kondisi jalanan yang padat merayap itu, sebuah sepeda motor main potong jalan seenaknya. Hingga sopir harus mengerem mendadak menghindari celaka.

“Sori ya, Ka,” ucap Cia lirih tanpa berani mendongakkan wajahnya.

“Aku yang sori, kamu nggak nyaman banget, ya di dalam bus yang sesak gini?”

“Enggak apa-apa kok, cuma dikit nggak nyamannya. Karena bus yang biasa aku tumpangi tidak pernah sepenuh ini.”

“Iya, tadi harusnya nunggu bus yang agak longgar juga ada. Tapi aku khawatir kamu nanti kesorean jadinya.”

Kali ini Cia memberanikan diri mendongakkan wajah cantiknya. Seulas senyum dia pamerkan. Ada rasa tenang yang dia rasakan mendengar Aka cukup peduli dengannya. Di balik sikap dinginnya selama ini, Cia merasakan adanya kepedulian untuknya di hari ini. Aka menatap senyum itu, senyum yang amat cantik dan hanya beberapa senti di hadapannya. Tak bisa di pungkiri, senyum dengan lesung pipi di sebelah kiri itu sangat cantik dan mengagumkan, sungguh!

“Bentar lagi sampai, kok,” Aka berusaha menjaga ekspresinya, senyum tidak tampil di wajahnya saat itu. Meski jika boleh jujur, tak ada bosan matanya menatap pemandangan indah ini dari dekat. Alis tebal yang rapi, bulu mata lentik alami, wajah putih bersih tanpa jerawat sebutir pun dan senyum manis merekah dari bibir merah muda yang selalu nampak basah.

Turun dari bus, mereka berjalan bersama memasuki sebuah gerbang komplek perumahan. Dengan sopan dan ramah, Aka menyapa satpam komplek yang hanya membalasnya dengan lambaian tangan. Mereka terus berjalan, blok pertama sudah terlewat, hingga akhirnya langkah Aka berbelok, masuk di blok kedua. Sama sekali tidak terdengar obrolan di antara mereka. Aka berhenti di sebuah rumah yang tidak terlalu besar, tapi memiliki halaman yang cukup asri. Pemandangan rumput hijau dengan taman mungil berkonsep sederhana cukup indah di pandang mata. Cia menyukai itu. Rumah itu tak berpagar layaknya konsep rumah minimalis modern jaman sekarang, begitupun rumah sebelah–sebelah lainnya, semua tanpa pagar. Cia sempat membandingkan dengan rumah–rumah megah di komplek perumahannya yang semuanya berpagar tinggi. Sungguh nuansa yang sangat berbeda.

Suasana rumah Aka terlihat sepi, tak nampak adanya orang lain di dalam rumah itu. Dan, kembali itu menerbitkan tanda tanya di hatinya. "Memangnya Aka tinggal sendirian? Jadi, dia di kota ini hanya sendiri? Lalu, kemana orang tuanya? Emang dia nggak ngerasa kesepian ya, kalau sendirian begini? Aku aja yang masih bisa ketemu mama sama papa setiap hari meskipun cuma sebentar–sebentar, seringkali merasa kesepian, apalagi kalau benar–benar di rumah sendiri seperti ini?

Beragam fikiran berkecamuk di kepala Cia, sampai–sampai gadis itu tak sadar kalau Aka sudah membuka pintu rumah sedari tadi, sudah masuk ke dalam rumah dan bahkan saat ini cowok itu dalam rangka berbalik menuju pintu karena melihat seorang gadis berdiri mematung dengan tatapan kosong di depan pintu rumahnya.

“Kamu nggak mau masuk ke dalam? Kalau nggak mau ya sudah, tunggu disitu aja dulu. Aku mau makan dan santai–santai sejenak, setelah itu baru aku ambilkan bukunya,” kalimat panjang lebar itu terlontar dengan nada dingin, namun cukup untuk menyadarkan Cia dari kelana fikirnya, kembali menjatuhkannya di kehidupan dunia fana.

*****

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Marwah Cacabila
so sweett...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status