Cia yang tersentak dari lamunan sejenaknya segera mendesah pelan, balik di tatapnya Aka yang tengah memandangnya dengan mimik keheranan.
“Aku masuk ya, Ka,” permisi sopan Cia sekaligus dengan niat menghilangkan kecanggungannya. Tanpa menjawab Aka segera balik badan melangkah masuk di ikuti Cia di belakangnya.
“Langsung ke ruang tengah aja, lumayan ada AC-nya buat ngadem,” ajak Aka tanpa menoleh, terus berjalan lurus. Sedangkan Cia kembali mengekor di belakang Aka menuju ruang tengah sambil sesekali matanya tak lepas mengamati suasana di dalam rumah Aka yang nampak rapi dan sepi.
Pemandangan nyaman ruang tengah yang di maksud Aka tersuguh di hadapan Cia. Sebuah ruangan yang tidak terlalu luas, tapi cukup lengkap perabotnya.
Sebuah karpet tebal berwarna hijau segar, sebuah sofa empuk yang terlihat begitu nikmat untuk duduk bersantai sambil nonton TV, sebuah TV besar berukuran kurang lebih 60 inchi lengkap dengan atribut pendampingnya. Mulai DVD Player, Play Station sampai dengan seperangkat home theatre benar–benar siap untuk memanjakan diri saat bersantai bersama keluarga atau orang terkasih.
Cia senyum–senyum sendiri atas imajinasi otaknya yang sedikit me-liar, hahaha ... hayalan itu berakhir dengan gelengan kepalanya. Di jatuhkannya bobot badannya di hamparan karpet tebal itu dengan punggung dan kepala bersandar pada badan sofa. Kakinya berselonjor santai melemaskan urat dan aliran darahnya. Setelah tadi harus berdiri di dalam bus sekitar dua puluh menit dan berlanjut jalan kaki beberapa meter menuju rumah Aka. Sementara, Aka yang tetap tanpa suara masuk ke salah satu kamar yang kemungkinan besar adalah kamar tidurnya.
Mata Cia sedikit terpejam menikmati dinginnya AC, memainkan irama nafasnya dengan lembut, tarikan demi tarikan. Hingga bunyi “ceklek” suara handle pintu di buka menyapa gendang telinganya. Dia membuka kedua matanya yang terpejam, dan saat itu juga mata indahnya terasa sayang untuk di kedipkan. Aka keluar kamar dengan baju santainya, celana jeans pendek di bawah lutut sedikit, di padu dengan t-shirt santai berwarna putih, perfect! cowok itu terlihat cute dan cool. Baru kali ini Cia menemukan sosok Aka di luar seragam sekolah dan seragam basketnya. Tak heran banyak cewek menggilainya, dan mungkinkah dia juga? Ah, entahlah.
Aka berjalan pelan ke arahnya, “Kamu mau minum apa?” tawarnya dengan nada datar seperti biasa. Untuk kesekian kalinya sindrom bengong menyerang Cia. Gadis itu benar–benar gagal fokus.
“Di tanya malah bengong,” tanpa peduli lagi pada Cia, cowok itu melangkah masuk ke arah dapur. Begitu Aka hilang dari pandangannya, Cia baru tersentak dari bengongnya. Yeah, lagi–lagi dia merasa malu yang teramat sangat. "Tadi Aka bicara apa ya padaku? Emmhh ... kayaknya samar–samar dia sebut soal minuman deh ... " berbekal secuil tangkapan panca inderanya itu, Cia beranjak berdiri kemudian melangkah menuju dapur.
Arghh. Jerit Cia tertahan dengan sedikit berjingkat kaget. Sebuah tangan bersih nan kokoh mengulurkan sekaleng softdrink dingin tepat di depannya. Sambil menenangkan debar jantungnya, Cia menerima softdrink itu. Meneguknya sedikit sekedar pengalihan dari kegugupannya. "Ah gila, kenapa aku jadi banyak gagal fokus gini, ya?" batin Cia mengeluhkan dirinya sendiri yang tiba-tiba menjadi aneh.
“Makasih, ya,” ucap lirih Cia tertuju untuk Aka yang saat itu juga tengah meneguk softdrink dengan tangan kirinya.
“Makanya, jangan hobi bengong, akibatnya jadi gampang kaget kan,” suara datar itu terdengar tak bersahabat. Cia hanya menunduk mendengarnya, sama sekali tak berniat membela diri karena di apa-apain juga yang Aka omong barusan memang benar adanya.
Aka meletakkan kaleng softdrinknya di meja makan, kemudian berlalu menuju kompor dengan sebuah kaleng lain yang sudah terbuka. Cia yang penasaran mengikutinya.
“Ka, kamu mau ngapain?” tanya Cia heran.
“Nyiapin buat makan siang,” jawab Aka singkat.
“Masak maksudnya?” lanjut Cia dengan nada yang lebih keheranan.
“Iya, emang kenapa?”
“Emang kamu bisa masak?”
“Masak begini doang ya bisa, khan simple,” jawaban itu cukup membuat Cia terdiam. Akhirnya Aka menoleh ke arahnya, tumbenan gadis yang tadi udah mulai ceriwis tiba-tiba tak bersuara lagi, mungkin itu yang di batinnya.
“Jangan bilang kamu nggak tahu ini apa?” tanya Aka dengan tatapan menyelidik, sebuah kaleng di tunjukkan tepat di depan gadis itu. Dan, di luar dugaan Cia menganggukkan kepalanya.
“Tuh khan, sarden aja kamu nggak tahu. Pasti kamu juga nggak bisa masak. Iya kan?” Aka yang jadi banyak ngomong secara to the point berkata seperti itu kepada Cia. Masa bodoh dengan efek psikologis yang bisa saja di derita oleh Cia.
“Iya, aku nggak bisa masak,” jawab jujur Cia malu–malu, yang mendapat balasan senyum simpul di bibir Aka.
“Orang kaya memang kebanyakan begitu, segala urusan sampai yang sederhanapun mengandalkan pembantu,” ujar Aka sambil mulai mengaduk–aduk masakannya. Cia diam saja tak memiliki pembelaan apapun. Karena lagi–lagi semua itu benar, bahkan di rumahpun, jika lagi ingin bikin susu dia mengandalkan air termos yang sudah di siapkan oleh Mbak Yun. Semenjak kecil Cia tak pernah di perbolehkan oleh mama mendekati kompor. Meskipun mama sedang sibuk dengan Mbak Yun di dapur memasak sesuatu, maka Cia cukup berdiam diri saja. Menunggui mereka di meja makan jika lagi butuh teman, atau cukup bertapa di dalam kamar sekalian tak menampakkan dirinya.
Cukup lima belas menit sarden olahan Aka sudah di hidangkan, siap di nikmati untuk mendiamkan cacing–cacing di perut yang sudah teriak sedari tadi.
“Makan bareng aku ya, nanti telat makan bisa bikin sakit magh,” nada bicara Aka kali ini terdengar begitu lembut dan penuh perhatian.
"Ahhh ... merdunya suara Aka yang seperti ini, I love it ..." intonasi suara itu cukup sudah untuk membantu Cia kembali tersenyum dan merasa tenang. Jauh dari perasaan terintimidasi bak seorang tersangka seperti beberapa menit yang lalu.
Jarum jam menunjuk angka 15.25.
Cia dan Aka tengah duduk bersantai di atas karpet ruang tengah. Mereka duduk berdampingan, sama-sama menyandarkan punggung dan kepala mereka di badan sofa sambil menikmati acara TV. Tatapan mereka lurus ke depan dan sepertinya mereka sama–sama kehilangan daya kreatifitas dan imajinasi untuk memulai pembicaraan.
“Sepi ya, Ka, kamu tinggal sama siapa?” tanya Cia setelah sekian menit mereka terdiam dan terpenjara di ruang dan waktu yang sama. Cia berusaha memecahkan kebisuan di antara mereka.
“Zona, kakakku,” jawab Aka singkat.
“Oh, emang Kak Zona udah kerja, ya?”
“Iya. Arizona kuliah sambil kerja. Nanti jam sepuluh malam baru pulang.”
“Wah ... hebat, ya.”
“Cowok ya emang harus begitu,” benar–benar sebuah ungkapan yang terasa begitu “Wow” di telinga Cia. Obrolan mereka berlanjut tentang beberapa hal di sekolah.
"Soraya suka banget ya sama kamu," bahas Cia memancing pembicaraan lagi.
Aka mendengus pelan.
"Ratu sejagad itu bikin resek tiap hari, andai aku punya kesaktian tiap kali dia datang maunya langsung ku hilangkan saja," cuit Aka panjang lebar membuat Cia terbahak. Beberapa waktu selanjutnyab obrolan mereka masih berlanjut ke hal-hal santai lainnya.
Setelah kembali terdiam beberapa saat, Cia segera menoleh ke jam tangannya. Sudah jam empat sore lebih.
“Ka, udah sore, aku pulang dulu, ya? Khawatir bukunya udah di tunggu oleh Om Bram.”
“Rumah kamu dekat dengan rumah Bu Hanny?” Aka balik bertanya tanpa mengiyakan kalimat pamit Cia barusan.
“Iya, cuma selisih dua rumah aja,” jawab Cia singkat.
“Oh, pasti rumah kamu besar dan megah juga seperti rumah Bu Hanny.”
“Hehehe ... kalo rumah ortuku bisa jadi iya, kalau rumah aku sendiri belum punya. Kamu dekat banget sama Bu Hanny, pernah datang ke rumahnya, kok kamu bisa tahu rumahnya besar?”
“Pernah sekali ke rumahnya, aku suka sama Bu Hanny.”
Jawaban Aka sempat membuat Cia terbelalak tak percaya. Segera dia menoleh cepat ke arah Aka.
“Aka, kamu?” pertanyaan Cia tak berhasil berlanjut karena Aka segera memotongnya dengan nada datar.
“Jangan mikir yang enggak–enggak, a-ku-CU-MA-kagum! aku suka Bu Hanny karena mengagumi beliau. Sabar, baik, cantik dan pintar,” kalimat itu terucap penuh dengan penekanan kata per kata.
“Eh, gitu ya. Sori ... ” mereka kembali terdiam hingga Cia kembali berucap, “Ka, kamar mandi sebelah mana, kebelet pipis nih daripada nanti bingung di angkutan umum.”
“Pakai aja kamar mandi di kamarku. Kamar mandi luar nggak ada airnya, pipanya lagi rusak,” jawab Aka sambil menunjuk ke arah kamarnya.
Cia bersorak dalam hati, "WOW ... fantastis, aku masuk zona pribadi Aka? Wah … seperti apa ya rupanya?"
Benar saja, ketika Cia masuk ke bilik khusus Pangeran Salju itu, tatap takjubnya tak bisa dia sembunyikan lagi.
Sebuah kamar bernuansa skandinavian paduan putih dan abu–abu yang nampak simple dan maskulin. Sebuah laptop di meja belajar berdampingan dengan sebuah rak mungil berisi deretan rapi buku–buku tebal entah berjudul apa aja. Sebuah bola basket ikut nangkring di rak itu. Seragam karate nyantol manis di dekat lemari pakaian dan sebuah poster bintang sirkuit Valentino Rossy terpajang keren di salah satu bagian dinding. Sebuah gitar mahal tergeletak di atas kasur.
Kamar itu tidak terlalu luas, tapi lumayan lapang karena penataannya yang bagus. Terlihat begitu nyaman dan benar–benar kamar simple khas cowok. Hanya bedanya, biasanya kamar cowok identik dengan berantakan, namun kamar Aka ini sangat kebalikannya. Begitu tersadar dari rasa takjubnya, Cia kembali ke tujuan semula. Bath room!
“Makasih ya, Ka,” ucap tulus Cia begitu keluar dari kamar Aka.
“Kamu udah aku teleponkan taksi,” balas Aka pendek yang menyebabkan dahi Cia berkerut.
“Kenapa? Kan aku bisa naik bus kota aja, Ka,” protes Cia tanpa basa basi lagi.
“Jangan protes. Ini udah sore, nanti kalau ketemu bus penuh sesak lagi kayak tadi gimana? nggak ada yang nemenin juga kan, kalo di ganggu orang jahat gimana?” kalimat panjang terlontar dan kali ini nada khawatir jelas terdengar dari suara Aka. Bahkan di ikuti Aka yang menatap lurus ke arah Cia dengan tatapan yang entah Cia tak bisa mengartikannya.
Oiya, benar juga. Cia merasa ngeri membayangkannya. Dan, apakah ... apakah ... barusan Cia merasa Aka mengkhawatirkannya? senyum sempurna terbentuk di bibir Cia. Dan sejujurnya, senyum yang tampak mengagumkan itu sekali lagi membuat Aka merasa sayang untuk melewatkannya. Ini senyum kedua di hari ini yang berhasil membuatnya gagal untuk tidak merasa kagum, secara setelah satu senyum cantik di dalam bus tadi, beberapa jam yang terlewat bersama gadis teman sekelasnya ini Aka banyak merasa cewek ini bertingkah canggung di dekatnya. Hanya sedikit tersenyum dan itu sama sekali bukanlah senyum cantik seperti saat ini.
“Jadi, udah nggak mau protes lagi?” goda Aka begitu melihat Cia yang sudah bertampang menerima. Gadis itu menggeleng, senyum masih menghiasi bibir merah muda alaminya.
“Makasih ya, Ka.”
Aka hanya mendengus pelan, bertepatan dengan ponsel di sakunya yang berdering.
“Iya pak dengan Aka. Rumah nomor 3. Oh iya, masuk pintu cluster B, rumah nomor 3 dari ujung ya, Pak. Baik–baik, saya segera keluar.” Cia menyimak percakapan Aka barusan.
“Udah datang ya?” tanya Cia
“Iya udah di depan, ayo keluar,” ajak Aka sembari berdiri.
Kali ini mereka keluar rumah dengan berjalan berdampingan.
Begitu sampai di dekat taksi yang berparkir, Aka membukakan pintu taksi untuk Cia. Dan gadis itu masuk dengan mendekap sebuah buku yang akan di pinjam oleh Om Bram. Begitu Cia duduk di bangku taksi dan Aka hendak menutup pintu mobil itu, Cia segera bersuara memanggilnya.
“Ka... ”
Aka mengurungkan gerakannya yang mendorong pintu taksi supaya tertutup.
“Ya.”
“Makasih banyak untuk hari ini.”
“Iya. Udah menjelang petang, kamu langsung pulang, jangan mampir kemana–mana lagi.”
Ooo ... Aka benar – benar mengkhawatirkanku? duhhh ... suara itu terdengar begitu merdu di telinga Cia bagaikan syair Sang Pujangga Cinta. Eee … lahhh. Tanpa sadar dia senyum–senyum dengan mimik muka tak jelas. Aka kembali heran di buatnya dan seperti mengerti apa yang ada di fikiran Cia, cowok itu kembali berucap.
“Aku khawatir bukunya sudah di tunggu–tunggu oleh suami Bu Hanny.”
Arghhh ... gubrakkkk. Cia terhempas dari dunia hayalnya.
“Oh, Eh ... i-iya, aku pulang dulu, ya. Makasih, Ka.”
“Hati–hati, trus nanti kabari aku kalo udah sampai rumah. Udah punya ID chat-ku khan?”
Cia mengangguk, na ... na ... na ... kembali cowok ini sok perhatian, tapi Cia berusaha keras menjaga kesadarannya. Karena di telinganya kini terdengar alarm berisik berbunyi suara Aka.
Makanya jangan hobi bengong, jadi gampang kaget khan akibatnya ...
Arrrggghhh ....
*****
Cia terpekur sendiri dengan malas di tempat duduknya. Posisi bangkunya yang pas dekat jendela dan kebetulan menghadap lapangan basket, membuatnya bisa dengan leluasa memperhatikan polah tingkah cowok–cowok yang saat ini tengah ramai bertanding basket di jam istirahat mereka.Aka salah satu di antaranya, terlihat serius dalam permainannya dan nampaknya sedang ada pertandingan seru melawan kelas sebelah yang tepatnya kelas Flo. Karena di lapangan itu terlihat juga Vandra, Si Cowok Tengil teman sekelas Florida yang sekaligus mantan teman SMP Cia ikut bermain beda team dengan Aka.Cia yang pada dasarnya menyimpan rasa penasaran pada sosok Aka, fokus memperhatikan segala gerak-gerik cowok itu. Apalagi begitu mengetahui sisi kehidupan Aka yang lain sekitar seminggu lalu ketika dia datang ke rumahnya. Rasa penasaran itu berubah menjadi rasa kagum. Dalam sudut pandang Cia, cowok itu begitu mandiri, itulah salah satu alasan yang melatari rasa kagumnya pada Aka.
Dingin AC mobil Vandra di tambah dengan kondisi jalanan yang padat merayap benar–benar menggoda Cia untuk segera memejamkan matanya. Apalagi sebelum mobil jalan tadi, dengan semangatnya Flo sudah menyodorkan puding manis, lanjut dengan obat dan air mineral supaya segera bermanfaat ke fungsi yang sebenarnya, yaitu mereparasi kondisi tubuh Cia. Dalam keadaan sakit begini Cia memang menjadi sangat istimewa. Bahkan sangking istimewanya, mama mempercayakan tetek bengek urusan obat yang harus di minum Cia secara tepat waktu kepada Florida. Dan atas mandat itulah, Flo benar–benar super perhatian dengan menu sekaligus jadwal makan dan jadwal minum obat Cia, 100% mirip tugas seorang artist manager. Benar sekali, seorang Mama Cia sangat tidak mempercayai putrinya untuk urusan seperti ini. Jika obat berada di tangan Cia, yang ada obat–obat itu nggak akan tersentuh sama sekali. Di tambah lagi sudah di pastikan akan terjadi pergeseran menu makan yang menjadi amburadul keluar dari catatan
Matahari menyapa pagi dengan keceriaan sinarnya. Seceria dan secerah hati para manusia yang penuh semangat. Menikmati dan mensyukuri hidup yang di punya saat ini.“Pagi, Mer... ” sapa Cia pada Merlin yang tumben pagi itu sudah duduk manis di bangku mereka dengan diam. Tepatnya bukan duduk manis, tapi duduk tenang penuh konsentrasi pada sebuah komik yang terbuka lebar di mejanya.“Hemh ... ” Merlin hanya menggeram pelan membalas sapaan teman sebangkunya itu. Selanjutnya dia kembali cuek, bahkan menoleh pun tidak.“Gini nih sedihnya punya teman comic addict. Buku baru di tangan, teman pasti di buang,” ceriwis Cia di pagi hari yang tetap saja tak mendapat tanggapan dari Merlin. Akhirnya, daripada di kacangin dapetnya kacang yang nggak bisa di makan, Cia melangkah keluar kelas.Niat awal Cia hendak menuju kelas Flo nyamperin sepupunya itu yang sekarang sedikit jarang bersama semenjak dia lengket dengan Vandra. Tapi belum sa
Jangan ragu untuk membuka jendela rumahmu di pagi hari, maka kamu akan melihat betapa indahnya dunia dan merasakan nikmatnya bersyukur karena masih bisa menarik nafas panjang sampai dengan hari ini ... (hahay, hanya sebuah nasehat dari ibu untukku di hari minggu pagi)*****Saat ini mereka berdua tengah duduk bersama di meja makan rumah Aka.“Beneran kamu nggak apa-apa makan siang cuma beginian?” tanya Aka sambil menyodorkan sandwich roti tawar yang sudah dia oles pakai selai strawberry di bagian dalam di tambah dengan taburan meises coklat di bagian atasnya ke arah Cia yang duduk di dekatnya dengan tatapan keheranan. Meskipun nampak ragu, gadis itu menerima roti yang di sodorkan Aka kepadanya.“Ya nggak apa-apa, emang kenapa? Khawatir aku nggak kenyang, ya?” Cia berucap polos menyuarakan isi hatinya. Dan seloroh simple itu berhasil menerbitkan senyum di bibir Aka. Meskipun cuma sekejap. Cowok itu tidak menjawab, meskipun
Atmosfer baru tercipta di dalam kelas. Sepertinya gundukan salju yang selama ini menebarkan hawa dingin dan mencekam (yaelahhh ... ) sedikit demi sedikit mulai mencair.Meskipun tidak serta merta menjadi seorang yang super duper ramah, Aka sudah mulai menjadi seorang yang “welcome” untuk orang lain terutama teman–teman sekelasnya. Mereka tak segan lagi untuk sekedar menyapa, bergerombol di bangkunya sekedar ngajak ngobrol dengan berbagai topik, bertanya seputar pelajaran, mengajaknya menghabiskan waktu istirahat dengan bermain basket atau sekedar jajan di kantin bareng–bareng dan pokok intinya adalah warga kelas tak enggan lagi mulai memperlakukan Aka sebagaimana teman mereka yang lain, yang bisa lepas leluasa tanpa sungkan dan segan seperti sebelumnya.Dan sekarang pun, ketika bersama teman–temannya Aka tampak lebih sering menampilkan senyum tawanya. Meskipun belum sampai terdengar suara tawa ngakaknya sebagaimana ciri khas cowok
Untuk kali ini Zona masih dengan sabar menunggu Aka melanjutkan kalimatnya. Dia tak berani memaksa seperti obrolan mereka sebelumnya tadi, di biarkannya Aka berfikir sejenak begitu melihat adanya sorot ragu yang terpancar jelas dari mata Aka.“Aku ... aku belum yakin dengan perasaanku, Kak,” akhirnya Aka berhasil menyelesaikan kalimatnya.“Maksudnya, kamu belum benar–benar sayang ke dia?” respon Zona cepat berusaha meyakinkan pengertiannya atas ungkapan Aka barusan.“Sayang, Kak. Aku sayang banget pada Cia, pengin selalu bisa lihat dia, ketemu, ngobrol dan memiliki senyumnya setiap hari setiap saat, tapi ... ” kalimat Aka kembali terpenggal penuh keraguan.“But?”“Tapi, mungkin aku masih sebatas mengaguminya kak, karena dia begitu memiliki banyak hal yang sangat berbeda dengan cewek lainnya, aku masih ngerasa ragu, apakah aku pantas untuknya?”“Kamu takut kehilangan dia
Jam dinding sudah nunjuk pukul 06.30. Zona sudah bersiap di meja makan. Hari ini dia nggak ada kuliah pagi, jadi bisa sedikit bersantai di rumah. Dan pagi ini dia menyiapkan menu sarapan berupa nasi goreng dengan telur mata sapi, semua sudah terhidang siap di meja makan.Biasanya jam segini Aka sudah siap dengan seragam sekolahnya dan duduk di meja makan menungguinya yang sedang mempersiapkan menu sarapan pagi. Ya, cowok itu hanya duduk sambil memperhatikan aksi memasak kakaknya, bukan karena Aka tidak mau membantu, tetapi Zona yang lumayan hobi masak itu sama sekali tidak mau di campuri urusannya ketika celemek sudah nempel di badannya dan dia sudah berdiri di depan kompor. Hihi ... jika sudah seperti itu Aka selalu merasa geli, dia seolah anak kelaparan yang sedang menunggui ibunya yang lagi memasak untuk menyiapkan menu makannya.Lima belas menit berlalu dan Aka belum menyusul Zona di meja makan. Hemhhh ... apakah gara–gara semalam Aka jadi susah tidur dan sek
BAB 12 AKHIRNYA...Pesan sebelum baca bab ini, janganlah kemakan kata judul “Akhirnya”, karena ini bukanlah benar–benar sebuah akhir, dan lagipula ini hanyalah sebuah judul. Selamat membaca …*****Cia sudah pulang di antar oleh Zona beberapa jam yang lalu. Dan meskipun sekarang jam udah nunjuk di angka sepuluh malam lewat, tapi sedikitpun Aka belum berhasil memejamkan matanya. Semakin terpejam semakin bayangan itu muncul. Saat dimana tadi Cia tiba–tiba memeluknya dengan erat, saat dimana dia membelai lembut wajah cantik gadis itu, saat dimana dia menciumnya dan Cia hanya terdiam, saat dimana dia melihat tatapan penuh makna di mata indah Cia yang menyuarakan kerinduan, kekhawatiran, sayang dan mungkin ... cinta. Semua terekam dengan lengkap dalam memori Aka.Ah, sungguhkah dia memiliki perasaan cinta untukku? Apakah bukan