Otak Naima kembali bekerja, ia kembali mengingat pertanyaan-pertanyaan yang mengganggunya sampai tidak bisa tidur semalaman. Ia melirik kearah Sagara yang sedang santai memainkan air dengan sebelah tangannya.
Mungkin ini saat yang tepat untuk menanyakannya.
Naima dengan penuh keberanian memegang lengan Sagara agar menghentikan kegiatannya, lalu memintanya untuk menghadap kearahnya. Walaupun awalnya Sagara terkejut, tapi dia mengikuti gerakan tangan Naima tanpa perlawanan, hingga posisi mereka kini saling berhadap-hadapan di atas batu. Sagara duduk bersila begitupun Naima. Mereka tak mempedulikan jubah bawah mereka yang sudah basah terkena air sungai.
“Maaf jika perilaku saya kurang sopan Pangeran.” Sagara menggelengkan kepala. Ia tak keberatan sama sekali atas perilaku Naima padanya. Ia duduk dengan santai, menunggu perkataan selanjutnya yang keluar dari bibir ranum merekah itu.
“Pangeran, siapa kamu sebenarnya? Kenapa kamu bisa
“Abah ada-ada saja. Aku akan menjadi pemilik gelang ini jika aku membelinyakan Bah?” Kekeh Naima sambil menggeleng-gelengkan kepala. Matanya tidak beralih dari gelang yang ada ditangannya. Ia bisa melihat gelang itu berkilauan dan kembali meredup.Lelaki tua itu menatap Naima dengan penuh arti. Ia yakin, wanita muda yang ada didepannya itu tidak akan langsung percaya dengan ucapannya. Tugasnya sekarang, agar Naima menerima gelang itu.“Apa sudah lapor masalah ini ke kerajaan? Bahaya ini kalau dibiarkan.” Naima kembali menajamkan pendengarannya ketika mendengar kata kerajaan. Ia kembali menyimak obrolan ibu-ibu yang berada disebrangnya sembari mencoba memakai sebelah gelang itu di tangannya.“Iya serem ceu. Teror ini kata si mbahku kayak terjadi waktu puluhan tahun dulu. Waktu si mbahku masih kecil.” Ujar wanita penjual lumur itu dengan menggebu-gebu. “Teror apa ceu?” Wanita penjual lumur itupun mengkode ibu-ibu yang ada didepannya untuk mendekat kearahnya.
“Putri Mayang masih saudara kita. Dia keponakan Ibunda, dia gadis bangsawan terpelajar. Dia cocok mendampingimu menjadi Ratu di Negeri ini. Karena kamu tahu sendiri, peraturan kerajaan yang mengharuskan mu menikah dengan wanita berdarah bangsawan. Dan kamu tidak bisa menikahi sembarang wanita. Apalagi wanita itu bukan dari keturunan bangsawan!” Tutur Ratu Sekar Ayu dengan lembut tapi penuh penekanan.Persetan dengan peraturan kerajaan! Sungut Sagara dalam hati.Jika mengikuti peraturan kerajaan, mungkin cintanya pada Naima harus kandas di tengah jalan karena telah melanggar peraturan dan restu. Tapi bagaimana pun, wanita yang dicintainya itu tetap Naima. Ia harus memperjuangkannya! Ia tak mungkin mengorbankan perasaan dan hidupnya, hidup bersama Mayang Sari, wanita yang tidak dicintainya sama sekali.“Jujur Ayahanda, Ibunda. Ananda tidak menyukai Putri Mayang, apalagi menjadikannya pasangan hidup Ananda. Ananda menyayanginya se
“Abah, kenapa kita tidak mengambil sayuran di kebun biasanya?” Tanya heran Naima seraya mengikuti langkah Abah Arya yang berjalan melewati kebun sayuran yang tidak terlalu luas, tempat biasa mereka memetiknya.“Di kebun satu lagi Nak. Apa kamu tidak bosan makan sayur itu melulu.” Kekeh Abah Arya yang terus berjalan dengan caping kepala yang dibiarkan tersampir dipundaknya.“Oh pantesan Abah melewati kebun sayur yang tadi. Letaknya jauh tidak Bah?”“Sedikit jauh, di ujung jalan setapak ini. Inget yah nanti kalau pulang jalannya lurus! Terus jangan kemana-mana dulu, pokoknya harus langsung pulang ke rumah!”Naima tersenyum dengan mata yang berbinar, ia sangat menyukai keposesifan Abah dan Ibunya. Ia merasa sangat beruntung bertemu mereka, dan mendapatkan kasih sayang yang sebesar ini.“Pasti Abah. Nana nanti langsung pulang. Lagian ini jalan samping kanan kirinya kebun, gak mungkin Nana main dulu
“Yang Mulia Raja Ananta pernah menceritakan pada Ayahku dulu. Bahwa gua itu akan mengeluarkan cahaya terang keemas-emasan pada bulan-bulan tertentu. Lebih tepatnya pada saat bulan purnama koneng. Pintu gua itu akan mengeluarkan cahaya sendiri dalam beberapa menit, sebagai ciri bahwa pintu masuk ke di mensi lain telah terbuka.”“Di mensi lain? Maksud Guru?”“Pangeran, hidup di dunia ini kita saling berdampingan. Ada beberapa di mensi yang tidak bisa kita sambangi dan kita kuasai. Allah menciptakan makhluk, bukan kita saja. Tapi percayalah, semua mahkluk yang Allah ciptakan tugasnya hanya satu yaitu untuk beribadah kepadanya.”Sagara menganggukkan kepala. Rasanya ia tak sabar ingin cepat mengetahui misteri di balik semua ini. Ia ingin mengetahui siapa Naima sebenarnya. Karena bagaimanapun hatinya mulai terpaut pada gadis yang pernah ditolongnya itu. Sedikit demi sedikit ia harus mengetahui asal-usulnya. Penjelasan Guru Yahya yang membuatnya penasaran, malah membuatnya kesal dan kembali
Ratu Sekar Ayu berjalan mondar-mandir di kamar Sagara. Sejak sore tadi ia belum melihat kehadiran anaknya. Ia khawatir bercampur kesal, karena anaknya berpergian keluar istana tanpa berpamitan dengan nya. Cakra, pengawal setianya pun tak mengetahui kepergian putranya. Sagara benar-benar pergi sendiri, tanpa membawa pengawal satu pun.Malam sudah kembali merangkak, tapi kehadiran putranya belum juga datang. Ia berjalan kebelakang Keputren, untuk menunggu putranya disana tanpa ditemani oleh para dayang.Setelah menunggu cukup lama. Ia melihat kedatangan putranya yang jalan mengendap-endap lalu bersembunyi di balik pilar besar menghindari para penjaga, ia berjalan pelan-pelan mengikuti gerakan anaknya yang berjalan kearah lorong belakang.“Pangeran, dari mana saja malam-malam begini baru pulang?” Sagara Langsung menghentikan langkahnya dengan mata melotot kaget. Ia garuk-garuk kepala mencari alasan yang tepat untuk diutarakan kepada Ibunya. Ia pun denga
“Abah pernah mendengar gua yang ada di Bukit Karang? Gua yang dilarang di dekati oleh Raja Ananta dulu?” Abah Arya yang duduk di depan perampian itu pun menolehkan setengah tubuhnya kearah Nyai Ratna yang sedang menyajikan air teh yang masih hangat.“Abah pernah sekilas mendengar larangan itu dulu. Abah tidak tahu letak gua karang itu dimana. Dan abah pun tak berniat untuk mencarinya, Abah memegang teguh perintah yang diucapkan Raja Ananta untuk tidak mendekat kearah gua itu.”“Apa yang Abah dengar?” Tanya Nyai Ratna seraya menyondorkan sepiring singkong rebus yang baru di angkat dari wajan. Abah Arya pun duduk di bale, ia mengambil sepotong singkong dan memakannya.“Abah pernah dengar, jangan pernah mendekati gua itu. Karena gua itu adalah tempat berbatasan. Yang Abah ingat cuma itu saja, selebihnya Abah lupa. Karena kejadian itu berpuluh-puluh tahun lalu.”Nyai Ratna semakin penasaran ketika mendengar ucap
Otak Naima kembali bekerja, ia kembali mengingat pertanyaan-pertanyaan yang mengganggunya sampai tidak bisa tidur semalaman. Ia melirik kearah Sagara yang sedang santai memainkan air dengan sebelah tangannya.Mungkin ini saat yang tepat untuk menanyakannya.Naima dengan penuh keberanian memegang lengan Sagara agar menghentikan kegiatannya, lalu memintanya untuk menghadap kearahnya. Walaupun awalnya Sagara terkejut, tapi dia mengikuti gerakan tangan Naima tanpa perlawanan, hingga posisi mereka kini saling berhadap-hadapan di atas batu. Sagara duduk bersila begitupun Naima. Mereka tak mempedulikan jubah bawah mereka yang sudah basah terkena air sungai.“Maaf jika perilaku saya kurang sopan Pangeran.” Sagara menggelengkan kepala. Ia tak keberatan sama sekali atas perilaku Naima padanya. Ia duduk dengan santai, menunggu perkataan selanjutnya yang keluar dari bibir ranum merekah itu.“Pangeran, siapa kamu sebenarnya? Kenapa kamu bisa
“Apa selama ini kamu tidak pernah mendengar nama Pangeran Sagara? Mustahil, jika kamu tidak pernah mengenalnya. Orang yang tinggal Negeri ini sudah tahu siapa dia.” Naima menggelengkan kepala seraya mengunyah singkong rebus. Jujur ia tidak tahu sama sekali tentang Sagara. Ia bingung kenapa orang sangat mengenalnya.“Selama Nana tinggal di dunia, baru malam tadi Nana tahu Pangeran Sagara Bu.” Nyai Ratna membelalakkan mata. Ia menatap dalam kearah wajah Naima yang menatapnya dengan wajah serius tanpa ada kebohongan.“Nak sebenarnya kamu berasal darimana?” Untuk pertama kalinya Nyai Ratna menanyakan asal-usul Naima. Benaknya langsung dipenuhi banyak praduga tentang Naima yang harus ia pecahkan, dan jawabannya ada di mulut anak angkatnya sendiri.“Aku berasal dari Ci Jangkar Bu.” Dan kini ia yang dibuat bingung oleh jawaban Naima. Ci Jangkar? Setahunya di Negerinya ini tidak ada satu kampung pun yang namanya Ci Jangkar
Ketika masuk ke dalam ruang tengah, Naima tertegun melihat lelaki yang duduk tegap di depan abahnya. Lelaki itu sangat tampan dan memesona dengan iket yang melingkar dikepalanya. Baru pertama kali ini ia melihat wajah lelaki yang nyaris sempurna. Ternyata wajah di balik tudung kepala itu sangat mempesona.Sadar dengan kehadiran orang lain di tempat itu, Sagara menolehkan kepalanya ke samping. Ia pun diam mematung ketika tatapan matanya bertemu dengan mata jernih naima yang sedang menatapnya, ia tak mampu lama memandang mata itu. Ia langsung mengalihkannya dengan wajah yang sedikit memanas. Untung saja cahaya di ruang itu mampu menyamarkan wajah merah di pipinya.Naima kembali menundukkan pandangannya, ia meletakkan teko di tengah-tengah mereka lalu memundurkan sedikit tubuhnya ke belakang.“Nak, Pangeran ini yang membawamu kesini untuk Abah obati. Dia yang menolong mu!” ujar Abah Arya sembari tersenyum. Naima membulatkan mata menatap sebentar kearah