Hari pertamanya sebagai barista di kedai kopi yang disiapkan oleh Clara, kakak tirinya untuknya setelah dia menyelesaikan pelatihannya beberapa waktu yang lalu sepertinya berjalan cukup lancar. Maksudnya hampir tidak ada pengunjung yang datang ke kedai kopi dengan nama Raymond, yang sengaja dia pilih karena terdengar mirip dengan Almond (perhatikan suku kata belakangnya, begitu mirip bukan?).
Memang sebaiknya dia tidak berharap banyak di hari pertama, bukan begitu?
"Selamat datang. Ingin pesan apa?"
Sambil mengelap tumpukan cangkir yang baru saja selesai dia bersihkan itu, dia kembali menghela napas panjang. Kalau saja ada pria dewasa dengan tampang dingin dan seksi yang datang ke sini, mungkin dia akan langsung memberikan nomor teleponnya sekarang juga.
"Café macchiato satu dan croissantnya satu."
Dia segera menoleh ke arah pemilik suara tersebut, yang mengarahkan pandangannya dari buku menu ke arah Nora, kasir kedai kopi yang juga sahabatnya sejak sekolah. Seorang pria dewasa yang menurut dugaannya kira-kira berusia mendekati akhir dua puluhan, memakai setelan formal jas berwarna biru tua dan putih, dengan dasi yang senada dengan jasnya. Jam tangan yang dipakainya semakin mempertegas bentuk tangannya yang terlihat kokoh. Juga bentuk wajahnya yang kokoh. Matanya yang sipit dan tajam, bentuk hidungnya yang mancung, bibirnya yang tipis, dan alisnya yang tebal namun rapi itu benar-benar menyempurnakan penampilannya.
Singkatnya, pria yang tengah dia pandangi saat ini sempurna. Dia sampai hampir saja menjatuhkan cangkir yang masih dia pegang, yang langsung dia letakkan kembali ke rak. Lalu Nora memberitahukan pesanan pria tadi, yang kini menunggu di sisi kanan meja kasir sambil memberikan kode ke arahnya agar mendekati pria tadi. Sambil menyembunyikan rasa senangnya karena bertemu dengan pria idealnya itu, dia menoleh ke arah pria itu dan tersenyum singkat sebelum menyiapkan pesanannya. Tangannya lalu mengambil biji kopi Arabica lokal untuk dia giling di mesin penggiling sampai tingkat kehalusan fine grind. Kemudian dia memasukkan bubuk kopi tadi ke dalam mesin espresso dan meletakkan cangkir kecil untuk menampung hasil ekstraksi espresso tadi. Setelah itu, tangannya mengambil fresh milk dari dalam kulkas, mulai memanaskan susu sebelum dia masukkan ke dalam gelas berukuran sedang dan mencampurkannya dengan espresso yang sudah jadi. Tak lupa dia memanaskan kembali croissant pesanannya sebelum menyajikannya ke arah pria yang baru dia sadari kalau pria itu tengah memerhatikannya saat menyiapkan pesanannya tadi.
Sesuai dengan apa yang dia pikirkan sebelumnya, tangannya mengambil secarik kertas dan pulpen, menuliskan nama beserta nomor teleponnya sebelum menyelipkannya di dekat piring kecil berisi croissant panas itu.
"Apa Anda yang memesan cafe macchiato dan croissant ini?" tanyanya seraya mengarahkan pesanannya.
"Iya. Terima kasih." sahutnya dengan wajah yang sama sekali tidak tersenyum, namun anehnya memiliki pesona tersendiri.
"Sama-sama."
Lalu pria itu mengambil pesanannya dan berjalan menuju salah satu meja yang tengah diduduki oleh seorang pria dengan sikapnya yang feminin dan menurutnya tampak imut itu (sayangnya bukan tipenya). Dia yakin sekali jika Clara, kakak tirinya yang sekarang duduk tidak jauh dari tempat kedua pria itu duduk pasti akan mengincar pria itu dan menyatakan perasaannya saat itu juga. Dia tersenyum puas saat melihat sekilas ekspresi pria tadi yang tampak menikmati caffé macchiato racikannya tadi sebelum menyiapkan pesanan seorang wanita yang tengah menunggu pesanannya siap.
Semoga saja dia melihat kertas yang tadi dia selipkan dan menghubunginya sesegera mungkin, karena dia benar-benar menantikannya.
"Lewis?"
"Ya?"
Sahabatnya menyikut lengan kirinya. "Ngaku aja. Pria yang tadi memesan caffé macchiato itu tipemu kan?"
"Well, dia memang tipeku." sahut Lewis sambil menoleh ke arah pria tadi. "Tapi menurutmu dia bakal suka dengan pendekatan langsung nggak?"
"Maksudmu?"
"Tadi aku sempat menyelipkan nomorku di bawah piring croissant pesanannya. Kira-kira dia bakalan nyadar nggak ya?"
"Entahlah. Tapi kurasa nggak ada masalah kok. Soalnya dari tadi aku melihat dia memperhatikanmu waktu kamu menyiapkan pesanannya tadi."
"Mungkin aja dia penasaran sama cara membuat pesanannya tadi. Atau cuma untuk mengusir rasa bosan karena menunggu pesanannya sampai siap."
"Ck. Kamu itu terlalu pesimis. Aku yakin banget kalau dia juga ada rasa sama kamu. Dia punya vibe yang sama kayak kamu."
"Kok yakin banget?"
Nora menganggukkan kepalanya. "Tentu. Kamu pikir aku mau berteman denganmu kalau nggak tahu kamu itu gay?"
"Sadis." sahutnya, membersihkan alat yang dia gunakan untuk membuat kopi tadi.
"Yah, mau gimana lagi?"
"Jangan kesannya kayak kamu terpaksa berteman denganku karena nggak ada pilihan lain begitu dong!"
Nora langsung memalingkan wajahnya dan menyambut salah seorang pengunjung yang datang ke kedai kopi ini, seakan menghindari ucapannya. Mungkin keberadaan pria yang sayangnya dia tidak sempat menanyakan namanya itu membawa keberuntungan di kedai kopi ini. Semoga saja begitu.
Dia lalu menoleh ke arah dua orang tadi dan menyadari kalau Clara kini duduk di sebelah pria yang dia suka. Sial, kenapa kakak tirinya duduk di sebelahnya sih? Kan ada kursi lain. Di sebelah pria imut tadi misalnya. Tapi akhirnya dia memahami alasan mengapa kakak tirinya memilih untuk duduk di sebelah pria yang dia sukai itu begitu melihat ekspresi Clara yang memandang ke arah pria yang duduk di depan orang yang dia suka tadi.
#
Seharian dia menunggu pria yang mengunjungi kedai kopi tadi meneleponnya. Namun sayangnya tidak ada tanda-tanda kalau pria itu akan meneleponnya. Agak kecewa, dia memainkan game dekorasi rumah di ponselnya sambil duduk di salah satu kursi kosong setelah menyelesaikan pekerjaannya hari ini.
"Akhirnya sudah selesai juga! Aku pulang dulu ya?"
Lewis mengalihkan pandangannya sekilas ke arah Nora, yang sudah berganti pakaian menjadi pakaian casual, sebelum menganggukkan kepalanya dan kembali fokus ke ponselnya untuk melanjutkan permainannya.
"Iya. Hati-hati di jalan."
Hanya terdengar suara pintu dan bel yang terdengar agak keras saat dia mengatakan hal itu, seakan Nora tengah terburu-buru untuk pulang ke rumahnya. Lewis hanya menggeleng pelan sebelum fokus ke depan layar ponselnya.
"Permisi, apa masih buka?"
"Maaf, kami sudah tu—"
Matanya lalu terbelalak begitu melihat orang yang kini berdiri di depan meja kasir sembari menatap lurus ke arahnya. "Kamu yang tadi memberikan nomormu kan?"
Dia segera meletakkan ponselnya ke dalam saku celananya sembari menganggukkan kepalanya. "Sayang, orang yang kukasih nomorku tadi sama sekali nggak tertarik untuk menghubungi nomorku. Padahal aku sudah nungguin dari tadi."
Dia memainkan jemarinya di atas meja kasir, mengabaikan sindirannya tadi. "Aku butuh bantuanmu. Bisa minta bantuanmu sebentar?"
"Tentu." jawabnya, menyembunyikan rasa heran mendengar permintaannya yang teras agak aneh. Tanpa menanyakan maksud pria yang masih berdiri di dekatnya, Lewis berjalan ke arah pintu kedai kopi itu dan membalikkan plat yang tergantung di pintu kedai kopi menjadi 'tutup', menguncinya sebelum kembali ke tempatnya tadi.
"Oke. Jadi kamu perlu bantuanku untuk apa?"
Tangan pria itu segera mendorongnya hingga dia terbaring di atas kursi dan menempelkan tangannya tepat di dekat bahunya.
"Maaf. Bukannya aku nggak mau menghubungimu. Tapi aku lebih suka memastikan secara langsung."
"Memastikan secara langsung?"
Dia menganggukkan kepalanya. "Jadi apa yang kamu inginkan dariku, Lewis Hall? Aku akan memberikannya untukmu."
Lewis lalu memakai kesempatan itu untuk menarik dasinya ke arahnya. "Namamu. Dan ini." ucap Lewis, sebelum mengarahkan bibirnya ke arahnya dan menciumnya. Pria itu tampak terkejut dengan apa yang tengah dia lakukan tadi tadi, namun dia sama sekali tidak berniat untuk menghentikan ciumannya. Tangan pria itu yang tidak menempel di dekat bahunya mulai mengarah ke kemeja putih yang dia kenakan saat ini dan melepaskan kancing kemejanya satu per satu sembari menyelipkan tangannya ke dalam kemejanya.
"Jangan di sini. Kita ke tempat lain saja." ucapnya, setelah menghentikan ciumannya tadi dan berhasil menahan tangannya yang mulai meraba tubuh atasnya. Dia lalu mendorong tubuh pria itu menjauh darinya dan menggandeng tangan pria itu hingga tiba di sebuah ruangan yang berisi tempat tidur dan lemari pakaian. Lalu dia mengunci pintu ruangan itu dan duduk di atas tempat tidurnya, sementara pria tadi tampak sibuk mengamati ruangan yang lebih ditujukan untuk tempatnya beristirahat jika tidak sempat pulang ke apartemennya.
"Di sini lebih baik. Mau kita lanjutkan yang tadi? Atau bagaimana?"
"Kelihatannya di sini nyaman juga." sahut pria tadi sembari duduk di sebelahnya. "Ngomong-ngomong aku sampai lupa memperkenalkan diri. Detroit Thompson."
"Kukira kamu memang sengaja tidak memberitahukan namamu."
Pria yang bernama Detroit itu menggelengkan kepalanya. "Mana mungkin aku sengaja melakukannya di depan laki-laki yang membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama sepertimu?"
Ternyata benar yang Nora katakan tadi, kalau pria itu memang memiliki perasaan yang sama dengannya, gumamnya, menyembunyikan rasa senangnya karena perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan.
"Jangan harap aku bakal percaya dengan perkataanmu tadi."
"Lalu apa yang harus kulakukan agar kamu percaya dengan apa yang kukatakan tadi?"
"Entahlah. Pikirkan saja sendiri." sahutnya, merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya sembari menatap langit-langit ruangan tempatnya berada saat ini. "Nggak nyangka hari pertama bakal secapek ini."
"Besok dan seterusnya pasti akan lebih capek daripada hari ini. Apa aku boleh berbaring di sebelahmu?"
"Tentu." sahutnya, mempersilakan pria itu untuk berbaring di sebelahnya.
"Jujur saja. Aku belum pernah meminum caffé macchiato seperti yang kamu buat tadi."
"Benarkah?"
"Iya. Jadi apa boleh aku datang ke sini setiap hari?"
"Kenapa nggak? Aku akan senang kalau kamu mau mampir ke sini setiap hari. Apa perlu aku menyiapkan layanan spesial untukmu?"
Detroit lalu menoleh ke arahnya, yang tengah menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi. "Nggak perlu. Rasanya aku sudah cukup puas dengan melihatmu dari jarak sedekat ini." ucap Detroit sembari mengarahkan bibirnya ke arahnya dan menciumnya.
Dia membalas ciuman Detroit yang terasa begitu lembut itu sambil melepaskan pakaian yang dikenakan pria yang kini mengarahkan tangannya ke balik kemejanya yang memang sudah terbuka dari tadi. Dia lalu menghabiskan malam pertamanya bersama pria yang akhirnya dia tahu kalau namanya adalah Detroit Thompson itu di ruang istirahatnya.
Sejak mereka menghabiskan malam bersama di ruang istirahatnya, Detroit selalu menyempatkan diri untuk datang ke kedai kopinya. Entah itu saat jam makan siang, maupun satu jam sebelum kedai kopi milik kakaknya tutup. Dia sampai hafal dengan pesanan Detroit setiap kali pria itu datang ke kedai kopinya. Secangkir macchiato dengan croissant. Tanpa sekali pun memesan menu lain. Lalu dia akan duduk di salah satu sudut ruangan kedai kopi sembari membuka layar ponselnya. Sesekali dia menangkap basah Detroit yang tengah memerhatikannya, sebelum pria itu kembali sibuk dengan ponselnya.Berkat Detroit, dia jadi selalu menantikan setiap kali pria yang menjadi cinta pertamanya itu datang ke kedai kopinya. Termasuk hari ini. Seharusnya siang ini Detroit sudah tiba di kedai kopi milik kakak tirinya itu dan memesan caffé macchiato dan croissant seperti biasanya. Apa mungkin dia akan datang nanti malam, setelah kedai kopinya tutup? Mungkin saja begitu, pikirnya sambil men
Begitu jam operasional kantor berakhir, Detroit buru-buru menyelesaikan pekerjaannya. Ia ingin segera datang ke Raymond Café, tempat Lewis bekerja sebagai barista. Dia sudah tidak sabar untuk menikmati secangkir caffé macchiato buatan barista muda itu yang rasanya jauh lebih enak dari yang biasa dia beli. Kalau saja dia tidak harus lembur hari ini, mungkin dia sudah berada di sana sambil menikmati makan malamnya bersama dengan Lewis.Dua jam kemudian, akhirnya dia benar-benar terbebas dari pekerjaannya. Setelah memastikan hasil pekerjaannya, dia merapikan mejanya dan melirik arlojinya yang sudah menunjukkan pukul 22:25. Lewis pasti sudah menunggunya dari tadi, pikirnya sambil berlari keluar dari ruangannya menuju Raymond Café.Sesampainya di dekat Raymond Café, dia merasa lega sekaligus senang begitu melihat Lewis yang sedang duduk sambil memegang ponselnya. Sepertinya memang benar dugaannya kalau laki-laki itu tengah menunggunya di kedai kopi
Begitu selesai menyiapkan pesanan Detroit, Lewis segera berjalan menuju meja tempat pria itu tengah menunggunya."Ini pesananmu. Detroit?"Pria itu lalu menoleh ke arahnya, yang baru dia sadari kalau wajah pria itu tampak begitu lelah. "Oh, terima kasih."Dia mengangguk pelan dan duduk di sebelahnya. Sambil menopang dagunya dengan sebelah tangannya, dia mengamati cara pria itu menikmati kopi racikannya tadi. Bahkan dengan wajah seletih itu, dia masih bisa makan dengan begitu elegan. Benar-benar tidak adil ada pria sesempurna Detroit Thompson di dunia ini. Tetapi dia juga merasa beruntung karena dia berhasil mendekati pria yang kini tengah menikmati croissantnya."Ada apa?"Detroit, yang menyadari kalau dia tengah memerhatikannya, meletakkan garpu dan pisau yang dipakainya untuk menyantap croissant tadi dan balas menatapnya."Kamu kelihatan capek. Apa setelah ini mau lang
Begitu mereka melepaskan ciumannya, Detroit memegangi bibirnya yang masih basah oleh sisa ciuman mereka tadi. Lalu menatap lurus ke arahnya, yang tersenyum puas setelah berhasil mengambil kesempatan untuk mengganti posisi mereka. Sekarang Detroit tengah berbaring di atas kasur dengan wajahnya yang tampak begitu menggoda, sementara dia berada di atas tubuh pria itu dengan kedua tangannya yang menahan tubuhnya agar tidak menimpa pria itu."Lewis, kamu…""Kenapa?" tanyanya sambil menyisir rambut Detroit yang terasa lembut di jari tangannya."Ternyata boleh juga untuk orang yang belum pernah berhubungan dengan orang lain sebelumnya." sahut Detroit, sambil menjilati bibir bawahnya dan tersenyum puas ke arahnya. Dia terkejut begitu melihat wajah penuh kemenangan Detroit sambil menatap wajah pria itu dengan rasa keheranan.Rasanya dia sama sekali tidak mengerti. Bagaimana bisa pria yang baru saja dia temui beberapa hari ya
Keesokan harinya, seluruh tubuhnya terasa sakit hingga dia nyaris tidak bisa bergerak. Terutama di bagian pinggang ke bawah, yang masih sakit akibat kejadian semalam. Dia benar-benar tidak menduga kalau pria yang dia sukai itu ternyata memiliki sisi lain yang berhasil memuaskan hasratnya untuk bercinta dengannya semalaman. Kalau saja bukan karena hari ini mereka harus kembali bekerja, mungkin dia akan meminta Detroit untuk melanjutkan apa yang mereka lakukan semalam."Lewis?""Hm?""Besok lusa kamu libur?""Iya. Kenapa?" tanyanya, mengarahkan tangan Detroit ke arah bibirnya dan menjilatinya perlahan."Hm, bagus. Kalau begitu besok lusa aku akan menjemputmu di rumahmu. Aku ingin mengajakmu pergi ke suatu tempat."Dia langsung menghentikan kegiatannya tadi dan menatap pria yang berbaring di sampingnya itu dengan wajah kebingungan. "Memang kamu mau ngajakin aku ke mana?"
Keesokan harinya, dia mengetukkan jemarinya di atas mejanya selama hampir seharian. Dia merasa gelisah dengan apa yang ada di hadapannya saat ini. Bukan karena dia merasa frustrasi setelah dia gagal merasakan orgasmenya sejak kemarin. Namun karena dia merasa ada yang kurang dengan suasana di kedai kopi milik kakak tirinya itu yang kini mulai ramai oleh para pekerja kantoran yang ingin beristirahat sejenak dari rutinitas harian mereka. "Enaknya putar lagu apa ya?" gumamnya, menatap layar ponsel yang berisi playlist lagu kesukaannya. Baginya, ini saat yang tepat untuk memasukkan latar musik agar pengunjung kedai kopi ini merasa betah untuk tetap berlama-lama di sini, selain tentunya karena layanan Wi-Fi gratis yang dia cantumkan di depan toko (meski sebenarnya diam-diam dia memasukkan biaya tagihan Wi-Fi ke semua menu yang ada di kedai kopi itu agar tidak diketahui para pelanggannya, yang tentu saja tidak akan dia beritahukan pada para pelanggannya). Sayup-sayup dia mendengar suara mus
Di hari liburnya, dia berencana untuk menghabiskan waktunya dengan beristirahat seharian. Namun begitu dia teringat akan perkataan Detroit dua hari yang lalu itu, dia segera bangun dari tempat tidurnya dan bersiap-siap. Dia sudah tidak sabar menantikan panggilan masuk dari Detroit, yang mengajaknya pergi ke suatu tempat hari ini. Beberapa kali dia mengganti pakaiannya, mencari pakaian yang sekiranya cocok untuk kencan pertamanya dengan pria yang menjadi cinta pertamanya itu sampai akhirnya dia menemukan salah satu kaos lengan panjang berwarna hitam pemberian Nora beberapa waktu yang lalu dan celana panjang berwarna putih yang sepertinya serasi dengan atasannya itu. Meski awalnya dia agak ragu untuk mengenakannya, namun ternyata dia sama sekali tidak membenci kaos itu, yang membuatnya terlihat lebih imut dari biasanya."Tapi apa iya kalau dia mengajakku untuk kencan pertama?" gumamnya, sembari
Setelah dia berhasil membujuk Detroit agar memperbolehkannya untuk makan di restoran fast food kesukaannya, dia segera berlari meninggalkan Detroit menuju restoran itu dan masuk ke dalamnya. Dia sempat terkejut begitu melihat antrian yang cukup banyak di depan satu meja kasir, sementara dua kasir lainnya ditutup untuk alasan yang tidak dia ketahui (entah karena jam istirahat atau memang sengaja tidak dibuka). Namun dia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya dan tetap berniat untuk memesan menu makanan dan es krim kesukaannya di tempat itu.Dia mencoba untuk mengabaikan suara perutnya, yang seakan merengek memintanya untuk menerobos antrian dan memesan apa yang ingin dia pesan dari tadi. Untungnya, dia berhasil mempertahankan moralnya untuk tidak mengacaukan antrian di restoran itu dan memilih untuk menunggu di belakang seorang pria paruh baya yang tubuhnya begitu besar hingga sang