Share

Bab 3

Datang ke Raymond Café. Sekarang juga. Aku yakin kamu pasti bakal suka.

Detroit membaca isi chat dari Scott sambil mengernyitkan dahinya. Lalu dia mematikan layar ponselnya dan meletakkannya di atas meja kerjanya, mengabaikan pesan dari sahabatnya itu. Kedua matanya lalu kembali fokus ke depan layar komputer, menyelesaikan laporan performa perusahaan bulanan yang harus dia serahkan pada dewan direksi minggu depan. Asal dia melewatkan jam makan siang yang sudah mulai sejak lima menit yang lalu, dia yakin bisa menyelesaikannya hari ini. Dia mengabaikan suara perutnya yang protes karena rencananya hari ini dan mencoba untuk kembali fokus. Sayangnya, suara dering ponselnya dengan cepat memecah konsentrasinya. Terpaksa dia harus mengalihkan perhatiannya ke arah ponselnya yang masih berdering di atas meja dan menerima panggilan entah dari siapa.

"Buruan. Mumpung kafenya lagi sepi."

Scott sialan, rutuknya dalam hati, memikirkan apa yang sebaiknya harus dia lakukan untuk melampiaskan kekesalanku karena dia berhasil mengganggu pekerjaannya. "Aku nggak makan siang."

"Lagi? Udahlah, Detroit. Lupakan sejenak pekerjaanmu. Kalau kamu gak datang juga, aku akan membelikan pancake durian kesukaanku. Gimana?"

Sialan. Sepertinya tidak ada cara lain untuk menolak ajakannya kalau dia tidak ingin berakhir dengan memakan kudapan yang sangat dia benci berkat tekstur dan rasanya yang menurutnya terasa begitu menjijikkan.

"Oke, aku ke sana sekarang."

"Bagus. Alamatnya sudah kukirim di WeChat." sahutnya, langsung menutup panggilannya tanpa menunggu jawabannya. Sembari menyumpahi Scott karena sudah menghancurkan konsentrasinya, dia beranjak dari kursinya. Lalu dia mengubah pengaturan komputernya menjadi mode sleep dan mengambil jasnya yang tergantung di dekat pintu dan keluar dari ruangannya. Matanya lalu mengarah pada aplikasi WeChat, tempat di mana sahabatnya membagikan lokasi Raymond Café, yang rupanya hanya berjarak beberapa menit dari kantor. 

Beberapa menit kemudian, dia tiba di depan sebuah kedai kopi bernama Raymond Café. Tampak sebuah kedai kopi dengan dominasi warna cokelat dan hitam dan tampilan klasiknya membuatnya melupakan kekesalannya tadi dan mulai menyukai tampilan kedai kopi tersebut. Dja lalu membuka pintu kafe itu dan berjalan menuju kasir, yang segera menyapanya dengan senyum bisnisnya.

"Selamat datang. Ingin pesan apa?"

Dia melihat daftar menu yang ada di dekat meja kasir. "Café macchiato satu dan croissantnya satu."

"Itu saja?"

Dia menganggukkan kepalanya dan menunggu kasir itu menghitung jumlah yang harus dia bayarkan. Lalu dia mengeluarkan dompetnya dan membayar total yang harus dia bayarkan. Kasir itu lalu menerima pembayarannya dan memintanya untuk menunggu di sebelah kanan meja kasir. Sementara dia tengah menunggu pesanannya siap, kasir tersebut memberitahukan pesanannya kepada seorang pria dengan tampang serius yang sepertinya satu-satunya barista di kedai ini. Matanya lalu menelusuri penampilan barista dan dia akhirnya memahami maksud Scott tadi. Barista itu menoleh ke arahnya dan tersenyum singkat sebelum mulai menyiapkan pesanannya, yang membuatnya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. 

Suara lagu lawas dari salah satu band asal Taiwan, Mayday berjudul I Fall in Love Again, entah bagaimana terngiang di telinganya seakan menyesuaikan dengan apa yang tengah dia rasakan saat ini. Dia lalu sibuk memerhatikan cara pria itu menyiapkan pesanannya. Mulai dari saat dia menggiling kopi yang dari dugaannya adalah salah satu varian biji kopi Arabica varian lokal. Kemudian memasukkan hasil gilingan kopi itu ke dalam mesin espresso dan menunggu hingga hasil ekstraksi kopi itu berubah menjadi espresso. Lalu dia mencampurkan espresso yang sudah jadi itu ke dalam gelas berisi susu yang sudah dipanaskan. 

Setelah memastikan caffé macchiato pesanannya siap, dia baru memanaskan croissant pesanannya dan meletakkannya di atas piring kecil, menyajikannya bersama cafe macchiato tadi di atas nampan. Tangannya kemudian mengambil secarik kertas dan pulpen, menuliskan sesuatu di atas kertas yang sayangnya tidak bisa dia lihat karena jarak pandangnya yang terbatas, sebelum meletakkannya bersama nampan yang berisi pesanannya.

"Apa Anda yang memesan caffé macchiato dan croissant ini?"

"Iya. Terima kasih."

"Sama-sama." jawabnya, sembari memamerkan senyumannya yang nyaris membuatnya ingin merasakan bibirnya yang tipis dan seksi itu.

Sambil berpura-pura tidak memedulikan senyumannya, dia mengambil pesanannya dan mencari meja tempat Scott duduk, yang melambaikan tangannya ke arahnya.

"Gimana?"

Detroit lalu duduk di kursi depannya dan meminum caffé macchiatonya. "Gimana apanya?"

"Itu." Dia menunjuk ke arah barista tadi, yang kembali tersenyum ke arahnya sebelum berbalik merapikan cangkir ke rak. "Dia seksi kan? Aku yakin banget kalau kamu pasti suka sekali lihat."

Dia meletakkan minumannya tadi ke atas meja dan menganggukkan kepalanya. "Harus kuakui kalau yang kamu katakan tadi itu benar." sahut Detroit, sebelum matanya melirik ke arah kertas yang tadi sempat diselipkan barista tadi di bawah piring berisi croissant. Tangannya lalu meraih kertas itu dan membacanya.

Lewis Hall. 08XX-XXX-XXX

Matanya lalu melirik ke arah barista tadi, yang kini sibuk menyiapkan pesanan untuk seorang wanita yang baru datang. Dengan segera dia selipkan kertas tadi ke dalam saku jasnya dan kembali menikmati caffé macchiato racikannya yang rasanya jauh lebih enak daripada yang biasa dia pesan di kedai kopi langganannya.

"Terus kamu nggak coba dekati dia? Kali aja dia ada rasa sama kamu."

"Mungkin saja. Nanti akan kucoba."

"Begitu dong." kata Scott, kembali menyeruput cappuccinonya. "Ini enak banget. Kenapa nggak dari dulu aja ada kedai kopi di dekat sini?"

"Maksudmu, kedai kopi ini masih baru?" tanyanya sembari mengiris sedikit croissant tadi dan memasukkannya ke dalam mulutnya.

"Iya. Kalau nggak salah, mereka baru saja buka kemarin. Makanya masih sepi banget kan?"

Detroit mengedarkan pandangan ke sekitarnya dan menyadari kalau masih banyak bangku dan meja di sekitar kami yang masih kosong. Hanya ada mereka berdua dan seorang wanita yang duduk agak jauh dari meja kami. "Tapi kalau baristanya seperti dia sih, aku rasa nggak perlu waktu lama sampai tempat ini ramai."

"Iya. Apalagi kasirnya imut begitu. Sial, aku jadi ingin kenalan sama wanita yang lagi duduk di dekat kita."

Scott lalu menunjuk ke arah seorang wanita yang duduk agak jauh dari meja mereka sambil menikmati secangkir espressonya. Wanita itu sepertinya menyadari kalau mereka tengah mengamatinya, karena wanita itu beranjak dari kursinya dan mulai berjalan mendekati meja mereka.

"Pasti sebentar lagi dia bakal datang ke sini buat nyapa kamu." keluh Scott, mengaduk-aduk cappuccino miliknya dengan nada setengah frustrasi. "Coba aku punya pesona yang sama sepertimu."

"Sepertinya nggak. Percaya deh."

Sebelum Scott sempat menanyakan maksud perkataannya, wanita itu sudah tiba di meja kami dengan membawa nampan miliknya yang kini berisi cangkir kosong dan hanya menyisakan seiris tiramisu yang belum disentuh sama sekali. 

"Hei. Boleh ikut duduk di sini?"

"Tentu." sahutnya, mempersilakan wanita itu untuk duduk di salah satu kursi kosong. Wanita itu lalu duduk di sebelahnya dan meletakkan bawaannya tadi.

"Clara Young." katanya, mengajak mereka berdua untuk bersalaman. Demi kesopanan, dia membalas uluran tangannya dan bersalaman sementara Scott terlihat benar-benar gugup ketika menjabat tangan wanita bernama Clara Young itu. Setelah itu dia mengiriskan sedikit croissantnya dan memasukkannya ke dalam mulutnya.

"Jadi langsung saja, Scott. Apa kamu sudah punya pacar?"

Detroit yang baru saja menelan croissantnya, nyaris tersedak begitu mendengar pertanyaan Clara yang to the point itu. Sahabatnya lalu mengalihkan pandangannya ke arah cappuccinonya yang kini hampir habis itu dan mengaduknya dengan cepat.

"Be-belum."

"Bagus. Kalau begitu, apa kamu mau menjadi pacarku?"

Scott menoleh ke arah wanita tersebut, tampak kaget dengan apa yang baru saja dia dengar tadi. Begitu juga dengannya, yang sama terkejutnya dengan pernyataan wanita yang menunggu jawaban Scott atas pertanyaannya tadi.

"I-itu... Hm..."

"Terlalu mendadak ya?" tanyanya sambil mengusap tengkuk lehernya. "Maaf, habis kamu tipeku banget. Boleh kubawa dia pulang, kan?"

"Tentu. Pastikan dia nggak bisa ke mana-mana. Itu akan jauh lebih menarik."

Wanita itu terdiam sejenak mendengar perkataannya tadi, yang membuatnya menyadari kesalahan yang baru saja dia katakan tadi. Namun sebelum dia sempat menjelaskan kesalahpahaman itu, Clara segera menarik tangannya dan menggenggamnya erat.

"Kita ternyata satu selera. Apa kalian pernah main bareng sebelumnya?"

Dia melirik ke arah Scott, yang seolah memberikan isyarat agar dia tidak mengatakan apa-apa. Lalu dia menoleh ke arah Clara, yang masih menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi.

"Tentu. Hampir setiap minggu malah. Apa kamu mau ikut bareng kita?" jawabnya, mengabaikan Scott yang langsung mendelik ke arahnya.

"Boleh. Kasih tau tempat dan jamnya, aku akan datang."

Tangannya lalu mengambil pulpen di saku jasnya dan tisu yang ada di atas meja, menuliskan alamat tempat mereka biasa melakukannya. "Minggu depan hari Sabtu jam 8 malam nanti aku akan menunggumu di sana. Tentu saja dia juga ikut denganku." ucapnya, menyerahkan tisu berisi lokasi mereka pada Clara.

Wanita itu menerima tisu tersebut dan menyimpannya. "Terima kasih. Kalau begitu, aku pergi dulu ya? Ada yang harus kuselesaikan hari ini."

Setelah wanita itu mengambil bawaannya dan pergi dari kursi mereka, Scott segera duduk di sebelahku dan menarik kerah bajunya. Wajahnya tampak begitu kesal dengan apa yang baru saja dia lakukan, namun dia sama sekali tidak memedulikan ekspresi sahabatnya tadi dan meminta Scott untuk melepaskan tangannya sebelum pakaiannya menjadi kusut.

"Kamu ngapain ngomong ke dia soal apa yang biasa kita lakukan?" bisiknya, setelah melepaskan tangannya dan kembali duduk ke tempatnya sambil mencondongkan tubuhnya ke arahnya.

"Kenapa nggak? Kalau dari yang kulihat, sepertinya dia sama seperti kita."

"Tapi ya nggak gitu juga kali. Masa iya baru kenal sudah mau ikut main bareng? Gimana kalau dia punya riwayat penyakit menular seksual?"

"Kamu pikir aku bakal biarin dia untuk main bareng kita?"

"Maksudmu?"

"Aku nggak ada bilang sama dia kalau kita akan mengajaknya main bareng. Aku hanya mengundangnya untuk ikut bersamaku."

"Tapi kan sama saja, Detroit."

"Anak TK saja juga tahu kalau itu dua hal yang berbeda."

"Kalau anak TK nya itu kamu, aku bakalan percaya." sahut Scott, mengaduk sebentar cappuccinonya sebelum meminumnya sampai habis. "Pokoknya aku nggak mau main bareng dia. Apa kita hentikan saja permainan kita biasanya dan pergi menghabiskan libur akhir pekan kita dengan melakukan hal lain?"

Detroit menaikkan sebelah alisnya. "Coba saja. Akan kupastikan kamu mendapatkan liburan yang 'sangat berkesan' sampai kamu merasa lebih baik kita melakukannya seperti biasa."

"Kayaknya memang lebih baik kita lanjutkan saja seperti biasa."

Dia lalu menganggukkan kepalanya dengan puas setelah mendengar jawaban sahabatnya tadi dan beranjak dari kursinya. "Sepertinya aku harus kembali ke kantor. Kamu mau ikut aku ke kantor atau masih mau diam di sini?"

"Ikut kamu aja. Lagian aku sudah selesai."

Mereka berdua lalu beranjak dari kursi mereka dan berjalan meninggalkan kedai kopi itu. Diam-diam dia melirik sekilas ke arah barista bernama Lewis Hall itu tengah sibuk merapikan peralatan membuat kopi, sebelum keluar dari kedai kopi itu dan kembali ke kantornya untuk menyelesaikan pekerjaannya yang sempat tertunda oleh hal yang tidak dia sesali. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status