FAZER LOGINFarhan menatap layar ponselnya dengan dahi berkerut. Pesan itu masih terpampang jelas: "Farhan, apa kamu yakin kamu tahu semua tentang istrimu?"
Ia membaca ulang kalimat itu, mencoba mencari makna tersembunyi di baliknya. Siapa yang mengirim pesan ini? Apa maksudnya? Dan kenapa harus di tengah malam seperti ini?Ia mencoba menelepon nomor tersebut, tapi hanya terdengar nada sambung yang panjang tanpa jawaban. Pesan balasan yang ia kirim pun tidak direspon. Farhan menghela napas panjang, meletakkan ponselnya di meja, tapi pikirannya terus berputar.Ia menatap ke arah kamar, tempat Aisyah sedang tidur. Wajah istrinya yang damai di balik selimut membuat hatinya sedikit tenang, tapi pesan itu terus menghantui pikirannya. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang ia lewatkan selama ini?Keesokan paginya, Farhan bangun dengan kepala yang berat. Ia hampir tidak tidur semalaman, memikirkan pesan itu dan apa yang harus ia lakukan. Ketika ia keluar dari kama"Mas, aku tanya ... apa kamu siap kehilangan aku?" Pertanyaan Aisyah itu menggema di ruangan yang sunyi. Farhan, yang masih berdiri di dekat jendela, terdiam. Ia menatap ke luar, mencoba mencari jawaban di tengah derasnya hujan yang jatuh. "Aku nggak mau kehilangan kamu," jawabnya akhirnya, suaranya rendah. Ia berbalik, menatap Aisyah yang duduk di sofa dengan mata yang masih sembab. "Tapi aku juga nggak tahu gimana caranya supaya kita bisa tetap jalan tanpa aku harus pergi." Aisyah menggeleng pelan. "Mas, kita nggak akan pernah tahu kalau kita nggak coba cari jalan. Semua ini bisa kita atasi kalau kita mau bicara, kalau kita mau cari solusi bersama." Farhan mendekat, duduk di samping Aisyah. Ia tahu, Aisyah benar. Tapi rasa bersalah dan keraguannya membuatnya sulit untuk berpikir jernih. "Baiklah," ucap Farhan akhirnya. "Kita coba bicara. Kita duduk, kita pikirin baik-baik. Kalau kamu mau, kita bikin da
"Mas," suara Aisyah memecah keheningan di ruang tamu yang hanya diterangi lampu temaram. "Kalau kamu tetap memilih untuk pergi ... apa kamu siap kehilangan aku?" Pertanyaan itu menggantung di udara. Farhan menatap Aisyah, matanya memendam emosi yang sulit diterjemahkan. Ia menggigit bibir bawahnya, mencari kata-kata yang tepat, tapi yang keluar dari mulutnya hanya bisikan pelan. "Aku ...." Farhan menghentikan kalimatnya. Suaranya serak, tenggorokannya tercekat. Aisyah menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meski dalam hatinya gejolak tak berhenti. Tangannya yang sudah membesar karena kehamilan besar itu dengan lembut menyentuh perutnya, seolah mencoba mencari kekuatan dari kehidupan kecil yang ada di dalamnya. "Mas, aku nggak sanggup kalau kamu pergi," ucap Aisyah lagi, kali ini dengan nada yang lebih tegas. Matanya menatap lurus ke arah Farhan, menuntut jawaban. "Aku butuh kamu di sini. Anak kita butuh kamu." Farhan mengalihkan pandangannya, tak sanggup menatap mata Ai
Aisyah menarik napas panjang, lalu menatap Farhan dengan tatapan yang sulit dibaca. "Kalau begitu, Mas ... apa kamu siap kehilangan semua ini kalau aku bilang nggak?"Farhan yang sedang berdiri di dekat jendela langsung menoleh. Alisnya mengerut dalam, seperti mencoba memahami maksud sebenarnya dari pertanyaan itu. "Kehilangan semua ini? Kamu maksud apa, Aisyah?" Nada suaranya terdengar tegas, tapi jelas ada kebingungan di sana.Aisyah menghela napas sekali lagi. Tatapannya tetap tertuju pada Farhan, meskipun kini ada sedikit genangan air di sudut matanya. "Aku cuma mau tahu, Mas. Kalau aku bilang aku nggak setuju dengan rencana kamu, apa artinya kamu bakal tinggalkan aku? Kita? Rumah yang udah kita bangun selama ini?"Farhan mendekat, duduk di hadapan Aisyah. "Aisyah, kamu tahu jawabannya nggak sesederhana itu." Suaranya melembut, tapi masih ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan. "Aku nggak pernah punya niat buat ninggalin kamu atau Anya. Tapi ini so
Aisyah masih berdiri di depan jendela kamar. Udara malam yang dingin menyusup perlahan dari sela-sela kaca, membuat tubuhnya sedikit menggigil. Ia memeluk dirinya sendiri, mengusap lengan dengan kedua tangan. Dari kasur, Farhan memandanginya dengan napas teratur. Ketenangan itu tidak bertahan lama ketika suara lirih Aisyah akhirnya memecah keheningan."Mas ...," Aisyah tidak menoleh. Pandangannya tetap terpaku pada bintang di langit. "Aku tahu ... kamu ada sesuatu yang belum kamu kasih tahu ke aku, kan?"Farhan terdiam sejenak. Wajahnya yang tadi tampak rileks berubah serius. Ia bangkit dari kasur, menarik napas panjang, dan menghampiri Aisyah. Tangannya meraih bahu istrinya dengan lembut."Aku nggak tahu harus mulai dari mana," ujar Farhan pelan.Aisyah akhirnya menoleh. Tatapan matanya lemah, tapi ada sesuatu di dalamnya yang menuntut jawaban. "Kalau itu tentang kita, aku mau tahu sekarang, Mas."Farhan menggigit bibir bawahnya. Ia tahu
Aisyah ingin bertanya lebih lanjut, tapi ia tahu Farhan tidak akan menjawab. Ia hanya bisa mengangguk, meski hatinya dipenuhi rasa cemas. Suaminya itu terlalu sering memilih diam, menyimpan semua beban untuk dirinya sendiri. Hal itu membuat Aisyah merasa seperti berdiri di ujung tebing-seolah ia tidak tahu kapan angin kencang akan datang, menghancurkan keseimbangannya. Namun kali ini, ia memutuskan untuk tidak memperpanjang keheningan. Aisyah menarik napas panjang, berusaha menenangkan hatinya yang gelisah. "Mas," panggilnya pelan. Tangannya kini menggenggam cangkir teh hangat, yang sejak tadi hanya ia pandangi tanpa minum. Farhan mengangkat wajah dari layar ponsel. "Iya, Sayang?" Nada suaranya lembut, seperti biasa. Tapi Aisyah menangkap sesuatu yang lain di sana. Kelelahan, mungkin. "Aku mau bilang makasih ... buat semuanya," ucap Aisyah, suaranya nyaris seperti bisikan. Farhan mengerutkan kening. Ia meletakkan ponsel di meja, memperhatikan istrinya dengan cermat. "Kamu k
"Tarik napas dalam-dalam, tahan selama tiga detik, lalu hembuskan perlahan. Ulangi beberapa kali sampai kamu merasa lebih tenang."Aisyah mencoba mengikuti, meskipun masih terlihat ragu. Matanya menatap Farhan yang duduk di hadapannya, penuh perhatian. Tangannya gemetar saat dia menekan lututnya sendiri, berusaha keras menenangkan diri. Ruang tamu rumah mereka masih terbungkus keheningan, hanya ada suara napas Aisyah yang berat dan sedikit tersendat."Pelan-pelan aja, Mas di sini," ucap Farhan lembut, mencoba memberikan rasa aman.Aisyah menarik napas lagi, kali ini lebih dalam. Matanya terpejam, mencoba mengusir gelombang kecemasan yang terus menghantam pikirannya. Tapi tetap saja, rasa sesak itu tak kunjung hilang. Dadanya seakan dihimpit sesuatu yang berat. Ia membuka mata dengan cepat, seolah-olah mencari udara yang lebih segar."Mas, aku gak bisa," katanya, suaranya bergetar. "Aku udah coba, tapi ... tetep aja rasanya kayak ... kayak aku gak bisa bernapas. Ini kenapa, sih?" Farh







