Hari ini Arga pulang kantor lebih cepat dari biasanya. Aku tengah menyapu lantai rumah saat Arga masuk ke rumah.
"Mas? Tumben jam segini sudah pulang kantor?""Nggak, hari ini tidak terlalu banyak kerjaan di kantor. Lagian aku ingin ngajakin kamu ke rumah Mama dan Papa. Papa juga sudah pulang sejak tadi. Ayo, sana! Cepet ganti baju, kita akan kesana sekarang!"Aku menggenggam sapu yang ada di tangan dengan sedikit keras. Ada perasaan takut saat Arga mengatakan itu. Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana jika kali ini Papa menuruti keinginan Arga? Bagaimana dengan nasibku?"Ayo, Susan! Kok malah bengong? Sana!" Arga membuyarkan lamunanku."Tunggu bentar, Mas!"Aku segera berjalan memasuki kamar untuk berganti pakaian. Setelah selesai, Arga langsung mengajakku menaiki mobilnya untuk menemui Mama dan Papa.Sepanjang jalan, pikiranku di selimuti kecemasan. Ucapan Arga dan Anita terngiang-ngiang di telingaku. Mereka akan segeAku tak tahu kapan Arga pulang dan masuk ke kamar. Aku sudah terlelap saat dia mulai menyentuh tubuhku dan berusaha membuatku bangun."Mas, sudah pulang?" Aku mengucek mata saat melihat dia ada di sebelahku."Sudah!" jawabnya dengan suara berat.Tangannya mulai bergerak nakal di bagian sensitive milikku. Walau aku belum sadar betul, ku biarkan Arga melakukan itu semua. Aku tak mengerti dengan dirinya. Setelah pulang larut malam, dia malah langsung seperti itu. Apa pertemuannya dengan Anita berjalan buruk? Apakah Anita marah setelah tahu keputusan Papa? Pikiranku masih bergulat dengan dugaan itu saat Arga mulai melancarkan serangannya. Arga terkapar setelah mencapai puncak kepuasannya. Aku memandangi wajahnya yang langsung terlelap setelah pergulatan yang menguras energi itu. Apa yang sebenarnya terjadi?Di pagi hari, Arga bersikap biasa saja. Dia memakan sarapannya lalu meraih kotak bekal makan siang yang aku berikan padanya. D
Setelah makan, aku sengaja mengajak Vani untuk masuk ke dalam bioskop. Sekedar duduk-duduk di ruang tunggu bioskop berharap bisa melihat Anita lagi. Lagipula, ada Vani sekarang. Aku bisa menggunakan handphonenya untuk mengambil gambar Anita dengan kekasihnya itu. "Sampai kapan kita duduk di sini, Susan? Ini sudah dua jam sejak kamu melihat dia. Kalau dia beneran langsung masuk ke dalam bioskop, mereka pasti sudah keluar sekarang," ujar Vani sedikit kesal. "Mereka kok nggak kelihatan lagi ya, Van? Aku yakin sekali tadi melihat dia ngantri buat masuk ke dalam gedung bioskop ini.""Mungkin mereka nggak jadi nonton, atau sudah keluar bioskop tanpa kita sadari. Pengunjung sebanyak ini mana mungkin bisa kita perhatikan semuanya," ujar Vani.Aku memasang wajah masam. Kecewa sekali karena tidak bisa mendapatkan bukti apapun."Ya sudah, kita pergi saja!" jawabku sambil berdiri dan merapikan bajuku."Nah, gitu dong! Kita kesini buat ngil
"Mas, kamu jangan bodoh! Jangan mau di permainkan Anita seperti itu! Selama ini sudah banyak barang yang kamu berikan padanya. Sekarang malah uang, apa kamu tidak bisa berpikir?" "Aku mencintai Anita. Aku senang bisa memanjakan dia. Bilang saja kamu iri!" ujarnya.Aku langsung terdiam mendengar ucapan Arga. Memang benar ucapan Arga. Aku iri dengan semua perhatian dan materi yang dia berikan pada Anita. Untuk Anita, Arga sudah membelikan dia mobil yang mahal sekarang malah uang sebanyak itu.Padahal jika untukku, Arga malah belum pernah memberikan aku transferan sebanyak itu. Paling banyak 50 juta, dan itupun karena aku merubah penampilan kemaren. Bahkan dia tega membiarkan aku kemana-mana hanya menggunakan taksi. Sungguh itu tidak adil."Tentu saja aku iri, Mas! Untukku yang istri sahmu saja tidak pernah kamu perlakukan istimewa seperti itu. Bahkan kamu tidak peduli sedikitpun saat aku kemana-mana harus menggunakan taksi," jawabku dengan wajah me
Aku memasuki rumah lalu duduk di ruang tamu. Menimbang-nimbang apa yang harus aku lakukan. Pemilik kedai itu bilang, Anita punya suami. Mungkin itu hanyalah kedok Anita saja. Aku yakin, laki-laki yang aku lihat kemaren adalah orang yang mengaku sebagai suaminya Anita. Agar dia bebas hilir mudik masuk ke rumah perempuan itu tanpa di curigai oleh tetangga sekitar.Aku sedikit heran dengan kenyataan bahwa pemilik kedai itu tidak mengenal Arga. Apa Arga tidak pernah berkunjung ke rumah Anita? Rasanya itu mustahil. Rumah itu hadiah dari Arga. Tentu saja dia sering datang ke sana. Apa mungkin dia ke sana tapi tidak pernah berinteraksi dengan tetangga sekitar? Mungkin saja. Pikiranku sibuk menerka-nerka hingga tak mendengar dering handphone sendiri.Cepat-cepat aku meraih handphone dan melihat siapa yang menelpon, ternyata Arga. Tumben siang-siang seperti ini hubungi aku."Ada apa, Mas?" tanyaku dengan sedikit heran."Tolong anterin berkas yang ada di ka
"Tapi aku tidak pernah mengubris perasaannya. Lagian itu hanya masa lalu. Untuk apa Mas marah?""Kamu tahu tidak? Dia itu sungguh karyawan Papa yang membuatku selalu dalam masalah. Tiap kali aku berbicara pada Papa, selalu saja dia di bela oleh Papa. Ingin sekali rasanya memecat dia dari perusahaan ini!" jawab Arga dengan emosi."Sudahlah, Mas. Tidak baik marah-marah seperti itu, aku pulang saja ya? Lagian ini sudah siang, aku belum masak di rumah.""Ya sudah, kamu pulang sana! Kalau ketemu Diandra di luar, jangan bicara padanya. Aku tidak suka!""Baik, Mas!"Setelah itu, akupun keluar dari ruangan Arga. Berjalan menuju lift untuk mengantarkan aku ke lantai bawah. "Susan!" Suara Diandra memanggil namaku dengan cukup nyaring.Kulihat ke arah sumber suara, Diandra tengah berdiri di pintu sebuah ruangan yang aku yakini mungkin itu ruangannya. Dengan tergesa aku berjalan memasuki lift. Aku tidak ingin Arga salah faham ji
Ah, aku mendengus kesal melihat Arga dan Anita berjalan bergandengan keluar dari rumah. Senyum merekah Anita sungguh membuatku naik darah. Arga malah menuruti semua keinginan Anita menambah rasa kesalku saja.Sebelum mobil Arga keluar dari pagar rumah, dengan keras aku menutup pintu depan. Mengatur emosiku yang seakan mau meledak di kepala.Dengan gontai, aku berjalan memasuki kamar. Merebahkan badan mencoba melupakan kesedihan yang seketika menghinggapiku. Apa yang harus aku lakukan jika Arga tak bisa mencintaiku? Tidak mungkin selamanya aku tahan di perlakukan seperti ini. Karena kelelahan, aku tertidur dengan lelap. Aku malah terbangun saat terdengar suara azan subuh. Aku buru-buru bangun, terlihat Arga dengan pulas tidur di sampingku. Setelah sholat, aku membangunkan Arga untuk sholat subuh. Dengan lesu dia membuka matanya dan duduk sambil merentangkan kedua tangannya. Saat Arga berjalan perlahan menuju kamar mandi, aku segera keluar kamar d
"Papa dengar Susan mau bekerja? Apa betul, Nak?" tanya Papa mertua padaku.Aku sedikit meremas ujung bajuku dengan perasaan sedikit takut. Wajah Arga seketika berubah saat mendengar orangtuanya bicara soal pekerjaan padaku."Benar kan, sayang? Susan sudah bicara itu sama Mama tadi siang. Makanya Mama segera menghubungi Arga untuk datang ke sini malam ini," jawab Mama.Aku tak menyangka sedikitpun, kalau Mama mertua akan langsung membicarakan soal pekerjaan itu pada Papa hari itu juga. Arga langsung mengajakku ke rumah orang tuanya sesaat setelah dia pulang dari kantor tadi."Kalau Papa dan Mas Arga tidak setuju, Susan tidak keberatan kok!" jawabku dengan sedikit pelan. Aku tak kuasa menatap wajah Arga yang terlihat tidak suka kalau aku bekerja."Iya, Pa! Untuk apa juga Susan bekerja. Lebih baik dia di rumah saja. Lagian, aku masih bisa memenuhi semua kebutuhannya!" ucap Arga dengan yakin."Bukan soal nafkah yang kamu berikan, Arg
"Selama di kantor, kamu harus menjaga sikap. Karyawan kantor belum banyak yang tahu kalau aku sudah menikah. Hanya pejabat penting perusahaan yang tahu bahwa aku sudah punya istri. Jadi, jaga sikapmu! Panggil aku Bapak, seperti yang lainnya!" "Baiklah!" jawabku dengan sedikit kesal. Pernikahan ini bukanlah pernikahan yang dia kehendaki. Mungkin itu sebabnya, dia tidak ingin orang lain tahu bahwa akulah istrinya.Walaupun kesal, aku mencoba untuk tetap mengalah. Biarlah, suatu saat nanti akan ada masanya dia yang akan memperkenalkan aku sebagai istrinya.Setelah sampai di kantor, Arga langsung mengantarku ke ruangan direktur perusahaan yaitu ruangan Papa mertua."Pa, ini karyawan baru Papa sudah datang!" ucap Arga pada Papa.Aku langsung menyalami Papa mertua. "Susan, di kantor ini semuanya bekerja secara profesional. Tidak ada pengecualian baik untuk Arga ataupun dirimu. Papa harap, kamu bisa bekerja dengan baik," ujar Papa.