Beranda / Thriller / Proyek alpha: bayang bayang kebenaran / Bab 5: Petualangan Malam di Ruang Kerja Ayah

Share

Bab 5: Petualangan Malam di Ruang Kerja Ayah

last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-02 00:48:01

Setelah pertengkaran yang dingin dengan Nara, rumah terasa lebih mencekam daripada sebelumnya. Kecurigaan menjalar di setiap sudut, merusak kenangan indah yang dulu ada. Hubunganku dengan Nara yang dulu kukira begitu kuat kini terasa rapuh, seperti kaca yang siap pecah. Aku tahu aku tidak bisa lagi mengandalkan siapa pun selain diriku sendiri. Malam itu, setelah memastikan Ayah dan Nara sudah terlelap, aku memutuskan untuk bertindak.

Aku menyelinap keluar dari kamar, melangkah dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Lantai kayu di bawah kakiku terasa dingin, seolah ikut merasakan ketakutanku. Aku bergerak menuju ruang kerja Ayah, sebuah tempat yang selama ini terasa suci dan tak terjamah. Ruangan ini adalah jantung Witech Corp di rumah, tempat Ayah menghabiskan sebagian besar waktunya, dan tempat yang mungkin menyimpan kunci dari semua misteri ini.

Aku membuka pintu dengan perlahan, memastikan engselnya tidak berdecit. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya remang dari lampu jalan yang menembus jendela. Aroma buku tua dan tembakau mahal—favorit Ayah—menyambutku. Aku menekan tombol mouse komputer di meja mahoni yang kokoh. Layar menyala, menampilkan password yang meminta akses. Aku mencoba beberapa kata sandi yang kuketahui: tanggal lahir Ayah, nama Ibu, bahkan nama anjing peliharaan kami dulu, tetapi semuanya gagal. Frustrasi mulai merayap.

Mataku menyapu sekeliling ruangan, mencari petunjuk lain. Tumpukan dokumen, rak buku yang penuh dengan buku-buku teknis, dan beberapa penghargaan yang dipajang. Semuanya terasa bisu, seolah enggan berbagi rahasia. Pandanganku berhenti pada sebuah foto lama di rak buku. Foto piknik perusahaan Ayah belasan tahun lalu. Di sana, Ayah berdiri gagah dengan senyum di wajahnya, di samping seorang pria lain yang juga tersenyum ramah.

Di belakang mereka, berdiri seorang anak laki-laki remaja. Tatapan matanya yang tajam dan dingin langsung menarik perhatianku. Tatapan itu begitu familiar. Itu adalah tatapan yang sama persis dengan pria yang menyelamatkanku malam itu. Sebuah plester menutupi dahi anak itu, seolah menyembunyikan sebuah luka. Jantungku berdebar kencang.

Aku meraih foto itu. Di baliknya, tulisan tangan Ayah yang memudar bertuliskan, "Damar & Hendrawan. Proyek Alpha, 2010." Hendrawan. Nama itu terasa asing, tetapi wajah anak laki-laki itu... wajahnya adalah wajah penyelamatku. Dengan gerakan gemetar, aku membalik foto itu lagi, menatap wajah anak itu dengan teliti. Ya, tidak salah lagi. Mata yang sama, ekspresi yang sama. Dia.

Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat. Jantungku hampir berhenti berdetak. Aku cepat-cepat meletakkan foto itu kembali ke tempatnya dan bersembunyi di balik gorden tebal. Pintu terbuka, dan Nara masuk. Ia tidak menyalakan lampu, hanya berjalan ke arah meja Ayah. Gerakannya terlihat tergesa-gesa, penuh kecemasan, seperti seseorang yang sedang dikejar waktu.

Di tangannya, sebuah flash drive kecil berkilau di bawah cahaya remang. Dia mencoba memasukkan flash drive itu ke komputer Ayah. Jari-jarinya gemetar. Apa yang sedang ia coba lakukan? Peringatan pria itu kembali terngiang di kepalaku, “Jangan percaya siapa pun, termasuk orang yang mengaku mencintaimu.” Saat itu, aku mulai menyadari. Nara tidak hanya menyembunyikan sesuatu, ia adalah bagian dari masalah ini. Ia mungkin telah bekerja sama dengan para penculik.

Aku menahan napas, mengamati setiap gerakannya. Setelah beberapa kali mencoba, ia gagal membuka komputer. Ekspresi frustrasi terlihat jelas di wajahnya. Ia mengumpat pelan, lalu mengambil flash drive itu kembali. Terdengar suara ponsel bergetar dari saku jaketnya. Ia melihat layar ponselnya, lalu menghela napas. Ia berjalan keluar ruangan, meninggalkan keheningan yang kini terasa lebih dingin dan menakutkan.

Aku keluar dari persembunyianku. Tanganku gemetar, tetapi bukan karena kedinginan, melainkan karena kemarahan. Nara, tunanganku, pengkhianat. Aku merasa bodoh karena pernah mencintainya. Semua kenangan manis kami kini terasa seperti kebohongan. Aku merasa seperti telah dipermainkan, dan itu membuatku muak.

Aku mengambil foto itu lagi. "Hendrawan Prasetyo," gumamku. Aku harus menemukan nama ini. Aku harus tahu siapa dia, dan mengapa Ayah bekerja sama dengannya. Aku harus tahu siapa anak laki-laki itu, dan mengapa ia menyelamatkanku. Aku tahu ini berbahaya. Aku tahu aku akan sendirian dalam perjalananku. Tetapi aku tidak takut. Aku siap.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Proyek alpha: bayang bayang kebenaran    BAB 21 – Identifikasi Tirtayasa sebagai Pengendali (Flashback penuh ketika Raina mengingat identitas sebenarnya Tirtayasa—dalam perjalanan menuju Profesor Bayu)

    Mobil yang dikendarai Gio berbelok perlahan dan mulai menanjak melewati jalan sempit menuju area perbukitan. Kabut Rinjani semakin padat, memeluk mobil seperti tirai putih yang bergerak dengan napas hutan. Lampu depan menabrak gumpalan kabut itu, membuat dunia seolah surut hanya beberapa meter ke depan. Gio menurunkan kecepatan. “Kita semakin dekat dengan kompleks lama fakultas teknik,” katanya tanpa menoleh. “Menurut peta yang Bas berikan, tempat Profesor Bayu tinggal ada di wilayah kampus yang sudah tidak dipakai.”Aku mendengarnya. Tapi pikiranku tidak benar-benar berada di kursi penumpang mobil itu.Pikiranku sudah kembali ke malam itu.Malam ketika semua titik terang menyatu.Malam ketika ketakutan ayahku akhirnya diberi nama. Tirtayasa.Dan di baliknya – sesuatu yang lebih gelap, lebih besar, lebih sunyi. Raka D.Ingatan itu kembali bukan sebagai potongan-potongan acak, tetapi sebagai film penuh yang diputar ulang tanpa izin. FLASHBACK – MALAM ITU, DETIK – DETIK SETELAH AYAH

  • Proyek alpha: bayang bayang kebenaran    BAB 20 – Pengakuan Babak Pertama Ayah (Flashback penuh sesal yang muncul dalam perjalanan menuju Profesor Bayu)

    Kabut malam Rinjani terus menebal di balik kaca mobil, seolah-olah gunung itu sengaja menelan jalanan sempit yang kami lewati. Lampu kendaraan Gio menembus kegelapan hanya sejauh beberapa meter, membuat hutan di kiri dan kanan tampak seperti dinding hitam dengan mata tak terlihat yang mengikuti setiap gerak kami. Tidak ada suara lain selain raungan mesin yang menanjak, denting halus batu kecil yang terpukul ban, dan sesekali derit pepohonan yang tersentuh angin. Gio menoleh sekilas. “Kau kelihatan jauh,” katanya pelan. Aku hanya mengangguk. Karena memang itulah yang terjadi. Tubuhku berada di mobil ini, duduk dengan sabuk pengaman yang mengunci, namun pikiranku kembali pada malam itu - Malam ketika aku menyadari bahwa Damar Wicaksana bukan sekedar pengkhianat. Dia adalah manusia yang luluh lantak oleh ketakutannya sendiri. Malam itu ketika pengakuannya menghancurkan sebagian kebencianku, tetapi tidak cukup untuk menyelamatkan dirinya. Dan seperti pintu tua yang terbuka pelan di dal

  • Proyek alpha: bayang bayang kebenaran    Bab 19 Reaksi Ayah saat disinggung data Proyek Alpha (Malam Ketika Ayah Hancur)

    Udara malam di Pulau Rinjani terasa lebih berat dari pada tang kuperkirakan. Angin dari lereng gunung membawa aroma tanah basah dan dedaunan tua, menggesekkan rasa dingin lewat jendela mobil yang sedikit terbuka. Gio duduk di kursi kemudi, matanya fokus ke jalanan sempit menuju daerah kampus tempat Profesor Bayu mengajar. Mobil sewaan kami bergerak pelan, lampu depannya memotong kegelapan yang dipenuhi kabut tipis. Sudah beberapa menit kami meninggalkan kafe gelap itu-tempat di mana log administratif tablet ayahku membuka kenyataan bahwa Damar Wicaksana hanyalah pion. Bukan arsitek. Bukan dalang. Hanya bagian kecil dari mesin yang jauh lebih besar. Aku memeluk tubuhku sendiri, mencoba menghilangkan dingin yang sebenarnya bukan dari udara, melainkan dari sesuatu yang bangkit di tubuhku: kenyataan pahit yang sudah lama kutolak. “Raina.” Suara Gio memecah hening tipis itu. “Kau baik-baik saja?” Aku tak langsung menjawab. Rasanya pikiranku melayang ke ruang yang tidak bisa dia capai

  • Proyek alpha: bayang bayang kebenaran    Bab 18 Gio bantu buka tablet; log pengakses “Raka D”

    Aku tiba di pulau Rinjani identitas baru. Adelia. Nama ini terasa aneh di lidahku, tetapi ini adalah perisaiku. Wajah di paspor itu sama, tetapi tatapanku telah berubah. Tidak ada jejak Raina Wicaksana yang ceroboh dan percaya. Perjalanan itu adalah siksaan yang diselimuti keheningan. Aku menggunakan penerbangan domestik pertama dan termurah. Setiap pandangan yang terasa terlalu lama, setiap panggilan telepon yang berdering di sekitarku, terasa seperti mata-mata Tirtayasa yang semakin dekat. Aku tahu Nara pasti sudah melaporkan kepergianku, dan ayah pasti sudah mengaktifkan jaringan pencariannya.Tablet terenkripsi itu terasa dingin dan berat di saku hoodie-ku. Itu bukan hanya hardware; itu adalah inti dari semua kebohongan, semua pembunuhan, dan semua tirani yang di rencanakan.Setelah mendarat di bandara kecil yang didominasi oleh turis dan peneliti, aku segera menuju ke area terpencil di luar kota, menjauhi keramaian. Sesuai instruksi Baskara, aku harus menghubungi Gio, satu-satu

  • Proyek alpha: bayang bayang kebenaran    Bab 17 Nadine ke rumah, membawa tablet terenkripsi

    Aku mengemudikan mobil kembali ke rumah, tetapi ini bukan lagi rumah. Ini adalah sarang laba-laba.Setelah meninggalkan Baskara di gudang reotnya, aku merasa anehnya tenang. Ketakutan telah digantikan oleh fokus. Kebencianku pada Nara dan pengkhianatan ayahku tidak lagi melumpuhkan; itu adalah bahan bakar dingin yang membuat keputusanku tajam dan tepat. Aku adalah Nadine sekarang, dan Nadine tahu bahwa langkah pertamanya adalah kembali ke perut monster itu sendiri.Aku memarkir mobil di garasi, mengambil napas dalam-dalam. Aku telah mempersiapkan diri untuk menghadapi Nara, untuk bermain peran sebagai tunangan yang terluka tetapi patuh.Aku masuk melalui pintu samping. Keheningan di dalam rumah mewah itu terasa lebih berat daripada kebisingan apa pun. Ini adalah jenis keheningan yang menyembunyikan langkah kaki yang berhati-hati, bisikan telepon yang terputus-putus, dan konspirasi yang bergerak. Aku langsung menuju kamar tamu. Aku mengunci pintu dan mengeluarkan ponselku. Ada pesan t

  • Proyek alpha: bayang bayang kebenaran    Bab 16 Dialog Rahasia: Motif Dan Bahaya Proyek Alpha

    Aku masih berdiri di ambang pintu baja itu, GPS handled di tangan, siap melangkah pergi, ketika Baskara bersuara, menghentikanku sekali lagi.“Tunggu. Raina,” katanya, suaranya kini tidak lagi dingin, melainkan berat dan penuh pertimbangan. “Kau akan menuju Lumbung Padi. Kau akan menemukan kepingan kunci etika. Tapi sebelum kau menanyakan harga yang harus kubayar, kau harus tahu apa yang sebenarnya akan kita hancurkan. Kau harus mengerti skala ancaman ini.” Aku berbalik. Pria di hadapanku telah melepaskan perannya sebagai pembalas dendam sejenak, dan kembali ke peran aslinya: seorang ahli kriptografi yang berduka. Aku meletakkan GPS itu di meja dan berjalan kembali ke sudut di mana server dan monitor berkedip-kedip dalam cahaya remang.“Beri aku detailnya, Bas. Jelaskan kenapa ayahku rela membunuh sahabatnya sendiri,” Tuntutku.Bas duduk di kursi sederhana, menunjuk ke layar monitor yang menampilkan barisan kode heksadesimal yang bergerak cepat.“Proyek Alpha bukan hanya sekedar sist

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status