LOGINSetelah pertengkaran yang dingin dengan Nara, rumah terasa lebih mencekam daripada sebelumnya. Kecurigaan menjalar di setiap sudut, merusak kenangan indah yang dulu ada. Hubunganku dengan Nara yang dulu kukira begitu kuat kini terasa rapuh, seperti kaca yang siap pecah. Aku tahu aku tidak bisa lagi mengandalkan siapa pun selain diriku sendiri. Malam itu, setelah memastikan Ayah dan Nara sudah terlelap, aku memutuskan untuk bertindak.
Aku menyelinap keluar dari kamar, melangkah dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Lantai kayu di bawah kakiku terasa dingin, seolah ikut merasakan ketakutanku. Aku bergerak menuju ruang kerja Ayah, sebuah tempat yang selama ini terasa suci dan tak terjamah. Ruangan ini adalah jantung Witech Corp di rumah, tempat Ayah menghabiskan sebagian besar waktunya, dan tempat yang mungkin menyimpan kunci dari semua misteri ini. Aku membuka pintu dengan perlahan, memastikan engselnya tidak berdecit. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya remang dari lampu jalan yang menembus jendela. Aroma buku tua dan tembakau mahal—favorit Ayah—menyambutku. Aku menekan tombol mouse komputer di meja mahoni yang kokoh. Layar menyala, menampilkan password yang meminta akses. Aku mencoba beberapa kata sandi yang kuketahui: tanggal lahir Ayah, nama Ibu, bahkan nama anjing peliharaan kami dulu, tetapi semuanya gagal. Frustrasi mulai merayap. Mataku menyapu sekeliling ruangan, mencari petunjuk lain. Tumpukan dokumen, rak buku yang penuh dengan buku-buku teknis, dan beberapa penghargaan yang dipajang. Semuanya terasa bisu, seolah enggan berbagi rahasia. Pandanganku berhenti pada sebuah foto lama di rak buku. Foto piknik perusahaan Ayah belasan tahun lalu. Di sana, Ayah berdiri gagah dengan senyum di wajahnya, di samping seorang pria lain yang juga tersenyum ramah. Di belakang mereka, berdiri seorang anak laki-laki remaja. Tatapan matanya yang tajam dan dingin langsung menarik perhatianku. Tatapan itu begitu familiar. Itu adalah tatapan yang sama persis dengan pria yang menyelamatkanku malam itu. Sebuah plester menutupi dahi anak itu, seolah menyembunyikan sebuah luka. Jantungku berdebar kencang. Aku meraih foto itu. Di baliknya, tulisan tangan Ayah yang memudar bertuliskan, "Damar & Hendrawan. Proyek Alpha, 2010." Hendrawan. Nama itu terasa asing, tetapi wajah anak laki-laki itu... wajahnya adalah wajah penyelamatku. Dengan gerakan gemetar, aku membalik foto itu lagi, menatap wajah anak itu dengan teliti. Ya, tidak salah lagi. Mata yang sama, ekspresi yang sama. Dia. Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat. Jantungku hampir berhenti berdetak. Aku cepat-cepat meletakkan foto itu kembali ke tempatnya dan bersembunyi di balik gorden tebal. Pintu terbuka, dan Nara masuk. Ia tidak menyalakan lampu, hanya berjalan ke arah meja Ayah. Gerakannya terlihat tergesa-gesa, penuh kecemasan, seperti seseorang yang sedang dikejar waktu. Di tangannya, sebuah flash drive kecil berkilau di bawah cahaya remang. Dia mencoba memasukkan flash drive itu ke komputer Ayah. Jari-jarinya gemetar. Apa yang sedang ia coba lakukan? Peringatan pria itu kembali terngiang di kepalaku, “Jangan percaya siapa pun, termasuk orang yang mengaku mencintaimu.” Saat itu, aku mulai menyadari. Nara tidak hanya menyembunyikan sesuatu, ia adalah bagian dari masalah ini. Ia mungkin telah bekerja sama dengan para penculik. Aku menahan napas, mengamati setiap gerakannya. Setelah beberapa kali mencoba, ia gagal membuka komputer. Ekspresi frustrasi terlihat jelas di wajahnya. Ia mengumpat pelan, lalu mengambil flash drive itu kembali. Terdengar suara ponsel bergetar dari saku jaketnya. Ia melihat layar ponselnya, lalu menghela napas. Ia berjalan keluar ruangan, meninggalkan keheningan yang kini terasa lebih dingin dan menakutkan. Aku keluar dari persembunyianku. Tanganku gemetar, tetapi bukan karena kedinginan, melainkan karena kemarahan. Nara, tunanganku, pengkhianat. Aku merasa bodoh karena pernah mencintainya. Semua kenangan manis kami kini terasa seperti kebohongan. Aku merasa seperti telah dipermainkan, dan itu membuatku muak. Aku mengambil foto itu lagi. "Hendrawan Prasetyo," gumamku. Aku harus menemukan nama ini. Aku harus tahu siapa dia, dan mengapa Ayah bekerja sama dengannya. Aku harus tahu siapa anak laki-laki itu, dan mengapa ia menyelamatkanku. Aku tahu ini berbahaya. Aku tahu aku akan sendirian dalam perjalananku. Tetapi aku tidak takut. Aku siap.Suara hujan menetes perlahan di luar jendela, membentuk irama yang tak beraturan. Lampu kamar temaram, hanya menyisakan pantulan cahaya ponsel di wajahku. Titik merah di layar peta masih bergerak. Setelah kejadian di Gudang Suryo 19, aku tahu satu hal pasti: Nara belum berhenti. Malam itu mungkin hanya sebagian kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar. Dan kini, titik itu menuju arah yang berbeda—ke luar kota. Aku memegang ponsel erat, napas berembus berat di antara bibir. > “Ke mana lagi kau malam ini, Nara?” Titik merah berhenti di pinggiran peta, di sebuah area yang tak asing bagiku—wilayah tua yang nyaris mati sejak jalan tol baru dibuka. Ada satu jalur di sana, membelah antara perbukitan kecil dan deretan rumah-rumah tua yang separuhnya sudah ditinggalkan. Di pinggir jalan itu… ada sebuah kafe. Kafe yang dulu sering kami lewati tanpa pernah singgah. Aku menatap jam di dinding. 22.18. Masih cukup waktu. --- Hujan semakin deras ketika aku memutuskan untuk pergi. Jal
Malam menelan rumahku dalam keheningan yang mencekik. Tidak ada suara selain detak jam di dinding yang terasa seperti bom waktu di dalam kepalaku. Aku duduk di ujung tempat tidur, ponsel di tangan, menatap ikon kecil berbentuk peta biru yang kini menjadi satu-satunya alat untuk mencari kebenaran. Aplikasi pelacak itu sederhana—terlalu sederhana, mungkin. Tapi di balik tampilannya yang polos, ada dunia baru yang terbuka untukku: dunia penuh rahasia, koordinat, dan pergerakan yang tak bisa dibohongi. Dunia tempat Nara hidup selama ini… di luar jangkauanku. Nama pengguna yang kupilih untuk masuk ke aplikasi itu: Nadine. Nama lama yang pernah kugunakan untuk bersembunyi di forum-forum online ketika ingin melupakan siapa diriku. Nama yang kini kupakai lagi, bukan untuk bersembunyi—tapi untuk memburu kebenaran. Setiap kali aku membuka peta itu, jantungku seolah menahan napas. Di layar, sebuah titik biru kecil menunjukkan posisiku, sementara titik merah menunjukkan posisi Nara. Dan mal
Setelah konfrontasi yang dingin dengan Baskara, aku kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Kata-katanya terus terngiang di telingaku: "Ayahmu merenggut segalanya dari keluargaku." Itu adalah pengakuan yang mengejutkan, dan itu membuatku bertanya-tanya, apakah Ayahku benar-benar seburuk itu? Apakah ia benar-benar bertanggung jawab atas kematian Hendrawan Prasetyo?Aku kembali ke rumah, tetapi rumah itu terasa seperti penjara. Nara, tunanganku, terlihat semakin cemas. Ia tidak lagi mencoba untuk berbicara denganku. Ia hanya terus menatap ponselnya, seolah-olah menunggu telepon penting. Dan setiap kali ada telepon masuk, ia akan buru-buru pergi ke luar ruangan, suaranya pelan dan berbisik-bisik.Aku memasang aplikasi pelacak di ponsel Nara. Malam itu, aku melihat lokasinya di sebuah kafe di pinggir kota. Aku tahu itu adalah kafe yang sama tempat ia bertemu dengan pria berjaket kulit itu. Aku tahu ia sedang berbohong padaku.Aku merasa bodoh. Aku telah mencintai pria ini selama lim
Tangan-tangan Nara, tunanganku, dan kebohongannya kini terasa seperti belenggu yang membelit. Setelah apa yang kulihat di ruang kerja Ayah, aku tidak bisa lagi menunda. Aku harus mencari tahu apa yang terjadi. Foto itu, dengan tulisan tangan Ayah di baliknya, adalah satu-satunya petunjuk yang kumiliki. Nama "Hendrawan Prasetyo" dan "Proyek Alpha" berputar-putar di kepalaku, dan tatapan tajam dari anak laki-laki di foto itu terus menghantuiku.Keesokan harinya, aku memutuskan untuk menguji Nara. Saat sarapan, aku menatapnya. Ia terlihat lelah, tetapi ia mencoba untuk tersenyum padaku. Aku memaksakan diriku untuk membalas senyumnya, meskipun hatiku terasa dingin."Nara," ucapku, "semalam aku mimpi buruk lagi. Aku seperti melihat wajah pria yang menolongku. Dia punya luka di dahi." Aku berhenti, mengamati reaksinya. "Apa kamu pernah melihat orang seperti itu di sekitar perusahaan Ayah?"Reaksinya sangat cepat. Ia tersedak kopinya. Untuk sesaat, topeng tenangnya retak. Wajahnya yang pucat
Setelah pertengkaran yang dingin dengan Nara, rumah terasa lebih mencekam daripada sebelumnya. Kecurigaan menjalar di setiap sudut, merusak kenangan indah yang dulu ada. Hubunganku dengan Nara yang dulu kukira begitu kuat kini terasa rapuh, seperti kaca yang siap pecah. Aku tahu aku tidak bisa lagi mengandalkan siapa pun selain diriku sendiri. Malam itu, setelah memastikan Ayah dan Nara sudah terlelap, aku memutuskan untuk bertindak.Aku menyelinap keluar dari kamar, melangkah dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Lantai kayu di bawah kakiku terasa dingin, seolah ikut merasakan ketakutanku. Aku bergerak menuju ruang kerja Ayah, sebuah tempat yang selama ini terasa suci dan tak terjamah. Ruangan ini adalah jantung Witech Corp di rumah, tempat Ayah menghabiskan sebagian besar waktunya, dan tempat yang mungkin menyimpan kunci dari semua misteri ini.Aku membuka pintu dengan perlahan, memastikan engselnya tidak berdecit. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya remang dari
Keesokan harinya, suasana di rumah terasa jauh lebih tegang. Keputusan untuk kembali ke rumah tidak memberiku kedamaian, melainkan justru mempercepat roda kecurigaan. Nara, tunanganku, kembali dari kantor. Senyum yang ia pamerkan tampak begitu dipaksakan. Matanya tidak lagi memancarkan kehangatan yang dulu kukenal. Ia terlihat tegang, gelisah, dan selalu menatap ponselnya."Kamu sudah lebih baik, Raina?" tanyanya, suaranya terdengar hampa."Menurutmu?" jawabku, nadaku dingin.Nara terdiam. Ia meletakkan tas kerjanya di meja, lalu duduk di sampingku. Ia mencoba meraih tanganku, tetapi aku menariknya."Ada apa, Raina?" tanyanya. "Kenapa kamu jadi begini? Aku berusaha untuk peduli, tapi kamu terus menolakku.""Kamu peduli?" tanyaku sinis. "Seorang tunangan yang peduli tidak akan bersikap dingin saat tunangannya diculik."Nara terkejut. "Aku tidak bersikap dingin, Raina! Aku hanya berusaha untuk tetap tenang. Aku tidak mau membuatmu panik."Aku tertawa hampa. "Tenang? Kamu terlalu tenang,

![The Wedding Dress [INDONESIA]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)





