LOGINTangan-tangan Nara, tunanganku, dan kebohongannya kini terasa seperti belenggu yang membelit. Setelah apa yang kulihat di ruang kerja Ayah, aku tidak bisa lagi menunda. Aku harus mencari tahu apa yang terjadi. Foto itu, dengan tulisan tangan Ayah di baliknya, adalah satu-satunya petunjuk yang kumiliki. Nama "Hendrawan Prasetyo" dan "Proyek Alpha" berputar-putar di kepalaku, dan tatapan tajam dari anak laki-laki di foto itu terus menghantuiku.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk menguji Nara. Saat sarapan, aku menatapnya. Ia terlihat lelah, tetapi ia mencoba untuk tersenyum padaku. Aku memaksakan diriku untuk membalas senyumnya, meskipun hatiku terasa dingin. "Nara," ucapku, "semalam aku mimpi buruk lagi. Aku seperti melihat wajah pria yang menolongku. Dia punya luka di dahi." Aku berhenti, mengamati reaksinya. "Apa kamu pernah melihat orang seperti itu di sekitar perusahaan Ayah?" Reaksinya sangat cepat. Ia tersedak kopinya. Untuk sesaat, topeng tenangnya retak. Wajahnya yang pucat kini semakin pucat. Ia buru-buru mengambil serbet untuk membersihkan bibirnya. "Tentu saja tidak, Sayang," jawabnya, suaranya terdengar cemas. "Itu hanya mimpi." Ia mencoba untuk menghindari tatapanku, tetapi aku tidak membiarkannya. Aku terus menatapnya, mencari celah dalam kebohongannya. Ia gelisah. Ia terus menggeser kursinya. Ia terus menatap ponselnya, seolah-olah berharap ada telepon masuk yang bisa menyelamatkannya dari situasi ini. "Kamu yakin?" tanyaku lagi. "Matanya tajam seperti elang. Dan dia punya luka sayatan di dahi." Nara terdiam. Ia tidak menjawab. Ia hanya terus menghindari tatapanku. Akhirnya, ia bangkit, meletakkan serbetnya di meja, dan berjalan pergi. "Aku harus ke kantor. Ada rapat penting," katanya, suaranya bergetar. Aku tahu ia berbohong. Aku tahu ia sedang menghindari pertanyaan-pertanyaanku. Aku tahu ia menyembunyikan sesuatu. Dan aku tahu aku tidak bisa lagi mempercayainya. Aku menghabiskan sisa hariku di kamar, mencoba mencari tahu tentang "Hendrawan Prasetyo." Aku mencari di arsip berita online, forum-forum perusahaan, dan bahkan media sosial yang sudah lama tidak aktif. Hasilnya mengejutkan. Sebuah berita utama dari sepuluh tahun yang lalu menarik perhatianku: "Hendrawan Prasetyo, Mantan Direktur Riset Wicaksana Tech, Tewas dalam Kecelakaan Tunggal." Berita itu menyebutkan bahwa Hendrawan adalah seorang ahli teknologi yang brilian, dan ia adalah sahabat baik Ayahku. Kecelakaan itu disebut tragis dan murni musibah. Namun, di bawah berita itu, ada sebuah komentar dari seorang pengguna anonim yang mengatakan bahwa kecelakaan itu bukanlah musibah, melainkan pembunuhan. Komentar itu dihapus, tetapi aku berhasil menemukannya di arsip internet. Artikel itu juga menyebutkan bahwa Hendrawan meninggalkan seorang putra tunggal bernama Baskara Prasetyo. Baskara. Nama itu terasa akrab. Itu adalah nama yang sama dengan anak laki-laki di foto itu. Aku menemukan profil media sosial Baskara Prasetyo yang sudah lama tidak aktif. Foto-fotonya beberapa tahun lalu menunjukkan wajah yang lebih muda, tetapi dengan tatapan tajam yang sama. Dan di salah satu foto, sebuah bekas luka tipis terlihat samar di dahinya. Itu adalah luka yang sama dengan luka yang kulihat pada pria yang menyelamatkanku. Aku menemukannya. Aku merasa lega, tetapi juga ketakutan. Siapakah Baskara Prasetyo? Apakah ia adalah pria yang menyelamatkanku? Dan mengapa ia menyelamatkanku? Aku tahu aku harus menemuinya. Aku harus bertanya padanya. Dengan sedikit penelusuran lebih lanjut, aku berhasil menemukan alamat firma keamanan swasta kecil tempat ia bekerja. Aku tahu ini adalah tindakan yang berbahaya. Aku tahu aku bisa saja masuk ke dalam jebakan. Tetapi aku tidak punya pilihan lain. Aku harus tahu kebenaran. Aku menyewa taksi dan pergi ke alamat itu. Di sana, aku melihat sebuah gedung tua, kotor, dan sepi. Aku masuk. Di dalam, ada beberapa pria yang sedang berlatih bela diri. Aku melihat Baskara. Ia sedang berlatih dengan seorang pria lain. Tubuhnya terlihat kuat dan terlatih. Setiap gerakannya efisien dan mematikan. Ia melihatku. Matanya menyipit. "Sudah kubilang jangan mencariku," katanya dingin. "Aku tidak percaya pada kebetulan," balasku, suaraku bergetar. "Ayahmu, Hendrawan... kecelakaannya bukan musibah, kan?" Baskara terdiam. Rahangnya mengeras. "Ayahmu merenggut segalanya dari keluargaku. Proyek Alpha bukan sekadar data bisnis. Itu adalah sesuatu yang berbahaya, dan ayahku ingin menghentikannya. Itulah sebabnya dia 'kecelakaan'." "Lalu kenapa kau menolongku?" tanyaku lirih. "Karena kau tidak pantas mati untuk dosa ayahmu," jawabnya, sebelum berbalik. "Sekarang pergilah. Semakin kau dekat denganku, semakin besar bahaya yang mengintaimu." Aku merasa bingung. Baskara adalah anak dari korban kejahatan Ayahku, tetapi ia menyelamatkanku. Aku tidak mengerti. Aku merasa ada sesuatu yang jauh lebih besar di balik semua ini. Aku harus mencari tahu apa itu.Suara hujan menetes perlahan di luar jendela, membentuk irama yang tak beraturan. Lampu kamar temaram, hanya menyisakan pantulan cahaya ponsel di wajahku. Titik merah di layar peta masih bergerak. Setelah kejadian di Gudang Suryo 19, aku tahu satu hal pasti: Nara belum berhenti. Malam itu mungkin hanya sebagian kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar. Dan kini, titik itu menuju arah yang berbeda—ke luar kota. Aku memegang ponsel erat, napas berembus berat di antara bibir. > “Ke mana lagi kau malam ini, Nara?” Titik merah berhenti di pinggiran peta, di sebuah area yang tak asing bagiku—wilayah tua yang nyaris mati sejak jalan tol baru dibuka. Ada satu jalur di sana, membelah antara perbukitan kecil dan deretan rumah-rumah tua yang separuhnya sudah ditinggalkan. Di pinggir jalan itu… ada sebuah kafe. Kafe yang dulu sering kami lewati tanpa pernah singgah. Aku menatap jam di dinding. 22.18. Masih cukup waktu. --- Hujan semakin deras ketika aku memutuskan untuk pergi. Jal
Malam menelan rumahku dalam keheningan yang mencekik. Tidak ada suara selain detak jam di dinding yang terasa seperti bom waktu di dalam kepalaku. Aku duduk di ujung tempat tidur, ponsel di tangan, menatap ikon kecil berbentuk peta biru yang kini menjadi satu-satunya alat untuk mencari kebenaran. Aplikasi pelacak itu sederhana—terlalu sederhana, mungkin. Tapi di balik tampilannya yang polos, ada dunia baru yang terbuka untukku: dunia penuh rahasia, koordinat, dan pergerakan yang tak bisa dibohongi. Dunia tempat Nara hidup selama ini… di luar jangkauanku. Nama pengguna yang kupilih untuk masuk ke aplikasi itu: Nadine. Nama lama yang pernah kugunakan untuk bersembunyi di forum-forum online ketika ingin melupakan siapa diriku. Nama yang kini kupakai lagi, bukan untuk bersembunyi—tapi untuk memburu kebenaran. Setiap kali aku membuka peta itu, jantungku seolah menahan napas. Di layar, sebuah titik biru kecil menunjukkan posisiku, sementara titik merah menunjukkan posisi Nara. Dan mal
Setelah konfrontasi yang dingin dengan Baskara, aku kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Kata-katanya terus terngiang di telingaku: "Ayahmu merenggut segalanya dari keluargaku." Itu adalah pengakuan yang mengejutkan, dan itu membuatku bertanya-tanya, apakah Ayahku benar-benar seburuk itu? Apakah ia benar-benar bertanggung jawab atas kematian Hendrawan Prasetyo?Aku kembali ke rumah, tetapi rumah itu terasa seperti penjara. Nara, tunanganku, terlihat semakin cemas. Ia tidak lagi mencoba untuk berbicara denganku. Ia hanya terus menatap ponselnya, seolah-olah menunggu telepon penting. Dan setiap kali ada telepon masuk, ia akan buru-buru pergi ke luar ruangan, suaranya pelan dan berbisik-bisik.Aku memasang aplikasi pelacak di ponsel Nara. Malam itu, aku melihat lokasinya di sebuah kafe di pinggir kota. Aku tahu itu adalah kafe yang sama tempat ia bertemu dengan pria berjaket kulit itu. Aku tahu ia sedang berbohong padaku.Aku merasa bodoh. Aku telah mencintai pria ini selama lim
Tangan-tangan Nara, tunanganku, dan kebohongannya kini terasa seperti belenggu yang membelit. Setelah apa yang kulihat di ruang kerja Ayah, aku tidak bisa lagi menunda. Aku harus mencari tahu apa yang terjadi. Foto itu, dengan tulisan tangan Ayah di baliknya, adalah satu-satunya petunjuk yang kumiliki. Nama "Hendrawan Prasetyo" dan "Proyek Alpha" berputar-putar di kepalaku, dan tatapan tajam dari anak laki-laki di foto itu terus menghantuiku.Keesokan harinya, aku memutuskan untuk menguji Nara. Saat sarapan, aku menatapnya. Ia terlihat lelah, tetapi ia mencoba untuk tersenyum padaku. Aku memaksakan diriku untuk membalas senyumnya, meskipun hatiku terasa dingin."Nara," ucapku, "semalam aku mimpi buruk lagi. Aku seperti melihat wajah pria yang menolongku. Dia punya luka di dahi." Aku berhenti, mengamati reaksinya. "Apa kamu pernah melihat orang seperti itu di sekitar perusahaan Ayah?"Reaksinya sangat cepat. Ia tersedak kopinya. Untuk sesaat, topeng tenangnya retak. Wajahnya yang pucat
Setelah pertengkaran yang dingin dengan Nara, rumah terasa lebih mencekam daripada sebelumnya. Kecurigaan menjalar di setiap sudut, merusak kenangan indah yang dulu ada. Hubunganku dengan Nara yang dulu kukira begitu kuat kini terasa rapuh, seperti kaca yang siap pecah. Aku tahu aku tidak bisa lagi mengandalkan siapa pun selain diriku sendiri. Malam itu, setelah memastikan Ayah dan Nara sudah terlelap, aku memutuskan untuk bertindak.Aku menyelinap keluar dari kamar, melangkah dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Lantai kayu di bawah kakiku terasa dingin, seolah ikut merasakan ketakutanku. Aku bergerak menuju ruang kerja Ayah, sebuah tempat yang selama ini terasa suci dan tak terjamah. Ruangan ini adalah jantung Witech Corp di rumah, tempat Ayah menghabiskan sebagian besar waktunya, dan tempat yang mungkin menyimpan kunci dari semua misteri ini.Aku membuka pintu dengan perlahan, memastikan engselnya tidak berdecit. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya remang dari
Keesokan harinya, suasana di rumah terasa jauh lebih tegang. Keputusan untuk kembali ke rumah tidak memberiku kedamaian, melainkan justru mempercepat roda kecurigaan. Nara, tunanganku, kembali dari kantor. Senyum yang ia pamerkan tampak begitu dipaksakan. Matanya tidak lagi memancarkan kehangatan yang dulu kukenal. Ia terlihat tegang, gelisah, dan selalu menatap ponselnya."Kamu sudah lebih baik, Raina?" tanyanya, suaranya terdengar hampa."Menurutmu?" jawabku, nadaku dingin.Nara terdiam. Ia meletakkan tas kerjanya di meja, lalu duduk di sampingku. Ia mencoba meraih tanganku, tetapi aku menariknya."Ada apa, Raina?" tanyanya. "Kenapa kamu jadi begini? Aku berusaha untuk peduli, tapi kamu terus menolakku.""Kamu peduli?" tanyaku sinis. "Seorang tunangan yang peduli tidak akan bersikap dingin saat tunangannya diculik."Nara terkejut. "Aku tidak bersikap dingin, Raina! Aku hanya berusaha untuk tetap tenang. Aku tidak mau membuatmu panik."Aku tertawa hampa. "Tenang? Kamu terlalu tenang,







