Ini masih terlalu siang untuk minum alkohol, tapi Marcus baru saja meneguk habis minuman beralkohol yang ada di dalam gelas itu. Setelah pembicaraan dengan Rachel tadi dan diakhiri oleh dirinya yang terdiam, pikirannya menjadi agak tidak fokus sekarang. Ia tidak mengerti kenapa harus wanita yang membuatnya merasa nyaman. Kenapa bukan sesuatu yang bisa dibeli dengan uang dan tidak memiliki kemungkinan menyakitinya?
“Lihatlah dirimu. Kau pikir, pria sepertimu pantas untuk Jira?”
“Wajahmu terlihat menakutkan.”
“Dia sungguh saudaranya Alex? Kenapa Alex bisa memiliki saudara seperti itu?”
Semua kalimat menyakitkan yang Marcus terima di hari ulang tahunnya terus terngiang bersama dengan tawa murid wanita yang mengejeknya. Bahkan bayangan saat pacarnya tidur dengan Alex lagi-lagi muncul di benaknya. Ini memuakkan dan menyakitkan hingga Marcus membanting gelas di tangannya.
Gelas itu pecah, menimbulkan suara yang membuat Rachel langsung keluar dari kamar. Ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi Marcus terlihat duduk di sofa dan terus meneguk wine dari botol. Ini bahkan baru pukul 2 siang dan pria itu sudah banyak minum.
Rachel tidak berani mendekat, sebab sepertinya suasana hati Marcus sedang tidak baik. Kemarahan pria itu memang tidak mungkin sampai membunuhnya, tapi tetap saja melihat Marcus marah merupakan hal yang menakutkan.
Tapi saat Rachel ingin kembali masuk ke kamar, terdengar suara isak tangis yang membuat langkahnya terhenti. Ia menoleh pada Marcus dan bahu pria itu nampak bergetar. Ini membuatnya terkejut, sebab baru kali ini melihat pria gila dan menakutkan seperti Marcus menangis.
“Dia terlihat sangat terluka.” Rachel bergumam, lalu memberanikan diri mendekati Marcus.
“Kau kenapa?” dan Rachel bertanya ketika sudah berdiri di sebelah Marcus.
Marcus menoleh pada Rachel, kemudian mengusap air matanya. Memalukan sekali saat Rachel melihatnya menangis. “Masuklah ke kamarmu, jangan banyak bertanya padaku,” ucap Marcus ketus bahkan ia tidak menatap Rachel saat bicara.
“Aku bertanya baik-baik, kau tidak perlu ketus begitu. Jangan terlalu banyak minum, nanti kau bisa mabuk dan bisa melakukan sesuatu padaku.” Rachel pergi setelah mengatakan ini pada Marcus. Ia bermaksud baik dengan bertanya karena mungkin saja Marcus butuh teman curhat, tapi sepertinya kepeduliannya tidak dibutuhkan di sini, jadi lebih baik pergi dari pada membuat Marcus tambah marah.
“Melakukan sesuatu? Kau pikir, aku pria macam apa? Aku tidak akan melakukan apa-apa pada wanita!” ucap Marcus dengan setengah berteriak.
••••
Saat matahari akan tenggelam, saat itu juga Marcus membuka mata. Kepalanya terasa agak sakit begitu membuka mata dan ia tahu ini pasti karena dirinya terlalu banyak minum. Sebenarnya, minum tidak pernah menyelesaikan masalah, tapi masih saja terasa menyenangkan untuk dilakukan.
Yang Marcus sadari saat membuka mata adalah ia berada di ruangan yang sangat rahasia hingga siapa pun tidak boleh masuk ke sini. Tapi, ia malah melihat Rachel tengah berdiri menatap setiap lukisan yang ada di sini. Tidak hanya satu atau dua, melainkan ada banyak lukisan.
“Kenapa kau di sini? Tidak, bagaimana kau bisa masuk?” Marcus bertanya pada Rachel.
Rachel membalikkan badannya dan menatap Marcus dengan sorot mata sangat tajam seakan ingin menelan pria itu. “Akhirnya kau bangun. Tidak akan melakukan apa-apa pada wanita? Cih, dasar pria cabul!” ucap Rachel ketus, kemudian berjalan menjauhi Marcus.
“Satu lagi.” Rachel kembali bicara setelah berhenti melangkah dan menoleh pada Marcus.
“Aku sangat berterima kasih karena rasa penasaranku pada ruangan ini sudah terjawab. Butuh waktu panjang untuk memperhatikan satu persatu dari banyaknya lukisan ini. Kau adalah pelukis hebat. Tapi, aku tidak mau tidur denganmu lagi. Menyebalkan!” walau awalnya berterima kasih hingga memuji Marcus, pada akhirnya Rachel malah membentak Marcus dan setelahnya pergi.
Marcus tidak mengerti apa yang terjadi. Ia disebut cabul, lalu sekarang Rachel tidak ingin tidur dengannya. “Aku melakukan apa?” Marcus bertanya pada dirinya sendiri.
Sementara di kamar lain, Rachel sedang menatap pantulan di cermin. Matanya fokus ke bibir, lalu dengan cepat mengusap bibirnya seakan ada kotoran di sana. “Benci pada wanita? Setelah semua yang terjadi aku tidak yakin dia sungguh benci pada wanita. Dia benar-benar menjatuhkan harga diriku sebagai wanita!” Rachel terlihat sangat kesal.
Di saat bersamaan, pintu kamar Rachel terbuka, memperlihatkan sosok Marcus Cho yang menatap Rachel dengan tatapan dingin. Pria ini tidak mengatakan apa-apa walau wanita yang berdiri tidak jauh darinya jelas terus menatapnya. Ia malah berbaring di ranjang meski tadi Rachel sudah mengatakan tidak mau tidur bersamanya.
“Kau mau melakukan apa? Keluar!” bentak Rachel.
“Hentikan! Kepalaku sakit sekali. Kenapa kau tidak berbaring saja di sebelahku?” ucapan ini, apa terdengar seperti ucapan dari pria yang membenci wanita?
Rachel hanya menghela napas melihat sikap Marcus, lalu keluar dari kamar. Lalu, Marcus, pria itu berdecak melihat Rachel pergi begitu saja. Ia tidak bisa tidur nyenyak jika Rachel tidak ada di sebelahnya. Rachel Yoon, wanita itu seakan sudah menjadi kebutuhan utama dalam hidupnya, jadi jelas ia kesal saat wanita itu pergi begitu saja.
“Kenapa membuatku melakukan pemaksaan?” gumam Marcus, kemudian menyusul Rachel.
“Rachel, cepat kembali ke ranjangmu!” Marcus berteriak. Tadinya, ia kira Rachel kembali ke ruangan pribadinya. Namun, wanita itu ternyata pergi ke dapur.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Marcus.
“Membuatkanmu sup penghilang pengar. Kau sudah memberiku rasa aman, walau tadi melecehkanku. Jadi, aku akan membuatmu lebih baik. Dengan membuat sup aku bisa merasakan kehadiran Ibuku karena dulu Ibuku sangat sering mabuk. Aku rasa karena itu Ayahku menceraikan Ibuku. Duduklah.”
Seumur hidup Marcus, baru kali ini ada wanita ingin membuatkannya sup pereda pengar. Biasanya jika mabuk ia hanya akan minum minuman pereda pengar saja, bukan makan sup. Hanya saja, melecehkan apa yang Rachel maksud?
“Aku melecehkanmu? Memang aku melakukan apa? Kau terlihat baik-baik saja, tidak terlihat seperti wanita yang baru diperkosa.”
“Kau pikir, pelecehan hanya berupa pemerkosaan? Kau manusia atau apa? Kau tidak tahu apa itu tindak pelecehan dan tidak ingat setelah melecehkanku!” Rachel bicara pada Marcus sembari sibuk dengan urusan dapurnya.
Dan Marcus masih bingung pelecehan apa yang ia lakukan. Ia tidak memperkosa Rachel, maka itu berarti ia tidak menyentuh titik terlarang di tubuh Rachel. Jadi, pelecehan apa yang dimaksud?
“Sekretarismu juga melihatnya. Benar-benar memalukan!” suara Rachel kembali terdengar dan setelahnya disahuti oleh suara hentakan pisau karena ia memotong daging dengan sangat tidak berperasaan.
“Dia seperti sedang mencincang manusia. Sungguh, aku melakukan pelecehan apa padanya?” demi Tuhan, Marcus tidak tahu apa yang terjadi.
••••
Incheon Airport.Seorang wanita baru saja menginjakkan kakinya di Korea Selatan setelah sekian lama tinggal di luar negeri, tepatnya di Inggris. Dengan penuh senyuman wanita ini berjalan keluar dari bandara sembari melihat artikel di ponselnya tentang seorang pemimpin perusahaan terkenal yang tampan, tapi sangat misterius karena tidak memperkerjakan satu pun wanita.
“Kau sudah banyak berubah sekarang. Tapi, kenapa aneh sekali tidak ada satu pun wanita di perusahaanmu?”
******
Bersambung ....
Louis baru saja menyalakan satu batang rokok, sembari berjalan keluar dari tempatnya berbelanja tadi. Beberapa bahan makanan sudah ada di dalam kantong plastik yang ada di tangannya. Tidak ada yang mencurigakan darinya, pria ini terlihat seperti orang ramah bahkan tidak ragu membantu seorang nenek yang kesulitan menyeberang jalan. Ada senyuman di bibir Louis, ditambah tatapan hangat yang akan membuat siapa pun yakin bahwa ia adalah pria baik-baik. Jika sekarang kalian mengatakan bahwa pria ini adalah seorang psikopat, maka mungkin tidak akan ada satu pun orang akan percaya. Pada kenyataannya, psikopat adalah seseorang yang tahu betul tentang keramahan. Namun, kemarahan psikopat sangatlah menyeramkan. Dalam perjalanan pulang, Louis melihat nenek yang tadi ia bantu menyeberang di bentak oleh seorang laki-laki muda karena tidak sengaja ditabrak. Laki-laki muda itu mengatakan sedang buru-buru. Dia terus membentak tanpa peduli tentang sang nene
Jira tidak pernah menyangka akan melihat Marcus sangat berbeda setelah sekian lama berpisah. Yang ia tahu, pria itu adalah sosok pria yang hangat, bukan dingin seperti sekarang ini. Marcus seharusnya adalah orang yang enak diajak bicara, tapi saat ini menatap mata Marcus saja ia merasa takut. Seperti ada kilatan petir di matanya yang bisa menyambar siapa pun jika berani menatap mata itu. “Apa maksud ucapanmu? Aku punya anak?” Marcus bertanya pada Jira. Lagi-lagi, Jira merasa kalau Marcus sangatlah berbeda. Ini seperti bukan Marcus yang ia kenal. Tidak begini cara bicara Marcus yang ia kenal. “Ada apa denganmu? Kau tidak seperti Marcus yang dulu.” “Jawab saja pertanyaanku!” Marcus meninggikan suaranya. Ia tidak akan pernah lupa pada Jira, tidak akan sampai kapan pun, begitu juga dengan masa lalu menyakitkan yang membuatnya tidak bisa lagi menjadi Marcus yang dulu.
Hari sudah begitu malam, sudah saatnya bagi siapa pun untuk mengistirahatkan tubuh mereka. Tidur nyenyak di atas ranjang dengan selimut tebal, itu terdengar sangat nyaman. Kedua hal itu ada di kamar Rachel, tapi tetap saja ia belum bisa istirahat dengan nyaman. Rachel tidak bisa melepaskan pikirannya dari bayangan kejadian tadi. Marcus Cho, ia benar-benar ingin memaki pria itu sekarang. Rachel duduk di lantai dan bersandar di ranjang. Ia memeluk kedua lututnya dan menatap pantulan dirinya di cermin. Sebenarnya, Rachel benci melihat bayangan dirinya, sebab mengingatkannya tentang betapa menyedihkan hidupnya ini. Terlalu banyak sampah yang dunia lempar padanya, hingga tidak bisa lagi dibersihkan. Sudah terlalu banyak menumpuk dan menguburnya dengan sangat dalam. “Aku terlihat menyedihkan. Benar, bukan dunia yang kejam, tapi aku yang terlalu banyak berharap dan akhirnya dihancurkan oleh harapanku sendiri. Aku takut. Aku akan lep
"Aku tidak mau menggugurkan anak ini!” Rachel bicara dengan begitu tegas, ketika Marcus ingin mengajaknya pergi ke suatu tempat untuk melakukan aborsi. Demi Tuhan, ia yakin kalau pria itu benar-benar tidak waras. “Kau harus segera pergi, jadi ....” “Aku akan pergi dengan sukarela, karena sudah cukup bagiku untuk mengemis rasa aman padamu. Tapi, aku akan tetap mempertahankan anakku. Aku tidak mau menjadi sama gilanya denganmu!” Rachel menyela ucapan Marcus. Tidak peduli apapun yang terjadi, ia akan mempertahankan anaknya, itu adalah hal yang pasti. “Kau tidak bisa melakukannya tanpa persetujuanku.” “Memang aku setuju saat kau memaksaku untuk mengandung? Tidak, kan? Aku bahkan tidak tahu kenapa harus diriku yang kau pilih. Hari ini, apapun keputusanku, aku tidak membutuhkan persetujuanmu! Aku bukan bagian dari hidupmu dan kau juga bukan bagian dari hidu
Walau tadi bicara ketus, pada akhirnya Marcus tetap datang menemui Alex di tempat yang tadi dia kirimkan alamatnya lewat pesan singkat. Ya, pria itu memiliki keyakinan bahwa Marcus akan datang, jadi mengirimkan alamat itu. Jangan salah mengartikan kedatangan Marcus, sebab pria ini datang bukan untuk sekadar menyapa Alex, melainkan untuk menyelesaikan semua masalahnya dengan Alex. Setelah mengambil alih kursi kepemimpinan atas perusahaan ayahnya, maka ia akan membuang Alex jauh-jauh dari hidupnya. “Akhirnya kau datang,” ucap Alex, tapi ekspresi wajah Marcus terlihat sangat tidak bersahabat. “Ini hasil tes DNA, bukti bahwa aku sudah punya anak, dan aku tidak peduli bagaimana kau bisa tahu tentang apa yang aku lakukan. Aku hanya ingin kau segera angkat kaki dari perusahaan. Aku akan menjadi pemimpin di perusahaan Ayah dan aku tidak ingin lagi melihatmu sebagai direktur di sana.” Tidak ada sapaan h
Pada malam harinya, Alex baru bisa kembali datang ke rumah sakit untuk menemani Rachel. Ini mungkin terlalu malam, tapi ia benar-benar ingin melihat keadaan wanita itu sekarang. Apa sudah lebih baik atau tidak, ia sungguh ingin tahu. “Siapa itu?” Alex bergumam ketika dari kejauhan ia melihat seseorang tengah berdiri di depan kamar rawat inap Rachel. Alex mempercepat langkahnya, takut jika itu adalah orang jahat yang ingin melakukan hal buruk pada Rachel. Tapi saat semakin dekat, Alex merasa mengenal pria itu. Tidak salah lagi, ia memang mengenal pria yang berjongkok di depan kamar rawat inap Rachel. “Untuk apa dia di sini?” Alex bergumam dan ia cukup kesal melihat pria itu. “Marcus Cho, kau melakukan apa di tempat ini? Menjaga Rachel? Kau sebaik itu?” dan Alex kembali bicara setelah berada di hadapan pria yang ada di depan kamar rawat inap Rachel. Pria itu adalah Marcus. Marcus
Marcus terus memandangi foto Jira yang berada di tengah-tengah karangan bunga. Sejak mengetahui Jira meningggal, Ji Ho selalu menangis dengan kepala yang tertunduk. Marcus ingin menenangkan Ji Ho, tapi tidak tahu bagaimana caranya, dan pada akhirnya hanya Hwan Gi yang memeluk Ji Ho. Pria ini, Marcus Cho, bukanlah orang yang tahu cara mendekatkan diri pada orang lain, bahkan jika orang itu adalah anaknya sendiri. Marcus bukanlah tipe orang yang pandai berkata-kata untuk memperbaiki suasana hati seseorang, karena sesungguhnya ia tahu kata-kata tidak pernah benar-benar bisa memperbaiki suasana hati seseorang yang ditinggalkan oleh orang yang sangat berharga untuknya. "Jangan menangis. Semua akan baik-baik saja." "Tidak apa-apa. Aku akan selalu bersamamu." "Dia pergi karena Tuhan sayang padanya." Marcus sungguh benci pada kalimat seperti itu, sebab tidak ada yang akan baik-baik
Rachel memang tidak tahu pasti seberapa dalam luka Marcus yang tersembunyi di balik sikap kasar dan gilanya. Yang sangat Rachel tahu adalah ia telah membuat kesalahan dengan membandingkan pria itu dengan Alex. Semua orang juga benci dibandingkan, tapi sepertinya Marcus punya trauma mendalam dengan yang namanya dibandingkan. Melihat tatapan Marcus saat ini membuat Rachel ikut sedih. Ada banyak orang yang membenci pria kasar dan gila seperti Marcus, termasuk dirinya. Hanya membenci, bukannya melihat lebih dalam seperti apa isi hati dari pria yang seperti itu, karena di balik sifatnya yang menjengkelkan ternyata ada banyak luka di sana. “Maaf, aku tidak akan melakukannya lagi. Mengatakan rasa sakit yang kau rasakan bukanlah dosa. Jangan menahannya sendiri, karena itu hanya akan membuat orang lain salah paham padamu. Orang lain akan membencimu, padahal sebenarnya mungkin kau seharusnya diberi pelukan.” Rachel menatap lekat Marcus.