Bukan perkara mudah bagi Marcus untuk membuat Rachel tetap merasa aman setelah kejadian di Nami Island. Dari Nami Island hingga sampai di rumah dan sekarang sudah pukul 8 malam, wanita itu tidak pernah sekalipun melepaskan genggaman tangannya. Rachel selalu menempel padanya seakan rasa aman itu hanya ada padanya.
Sedangkan Marcus tidak bisa berbuat apa-apa, selain tetap membiarkan Rachel terus menempel padanya. Ia sudah tahu apa yang terjadi, jadi bisa memahami bagaimana perasaan Rachel. Maka dari itu, ia akan melupakan sejenak rasa bencinya, sebab ini juga menyangkut anaknya.
“Lebih baik kau mandi dulu, lalu tidur," ucap Marcus, tapi Rachel menggeleng.
“Bagaimana jika dia tiba-tiba muncul di kamar mandi? Lalu ....”
“Dia tidak akan bisa masuk ke rumahku. Aku juga sudah memerintahkan beberapa orang yang sangat ahli untuk mencari keberadaannya. Aku akan menunggumu di dalam kamar, jadi kau bisa mandi dengan nyaman.” Marcus memotong kalimat Rachel untuk menyudahi segala ketakutannya.
Rachel menatap kedua mata Marcus, pria yang kali ini benar-benar membuatnya tenang dan merasa aman. Terdengar gila karena malapetaka berupa pria psycho malah membuatnya tenang bahkan merasa aman, tapi inilah yang ia rasakan. “Tetap di tempat yang kau katakan, jangan pergi kemana-mana.”
“Aku mengerti. Ayo," ajak Marcus dan Rachel mengangguk lemah.
Selama Rachel mandi, Marcus dengan setia duduk di atas ranjang sesuai ucapannya tadi. Ia tidak melakukan apa-apa selagi menunggu Rachel selesai mandi, hanya duduk santai sembari berpikir bahwa hidup Rachel sangat menakutkan.
Tanpa tahu alasannya seorang pria gila mendatangi Rachel dan tidak membiarkannya menjadi milik siapa pun. Ia juga masih ingat ketika Rachel menangis dan mengatakan bahwa seseorang bernama Tian mungkin hilang karena pria tadi.
Marcus tidak tahu pasti siapa itu Tian, sebab Rachel tidak mengatakan semuanya dengan jelas. Tapi, sepertinya Tian sangat berarti bagi Marcus. “Apa Tian adalah pacarnya? Jika ya, pria gila itu pasti menyingkirkannya agar Rachel tidak menjadi milik siapa-siapa.” Marcus sedikit bergumam. Sungguh, ia sangat berharap pria gila itu cepat ditemukan dan akan dipastikan ada balasan untuknya.
Hampir 15 menit telah berlalu dan sekarang Rachel sudah keluar dari kamar mandi dengan memakai baju tidur. Seumur hidup Marcus, baru kali ini mau menunggu wanita padahal biasanya ia selalu berusaha keras menjauhi wanita. Tidak ada pilihan lain untuknya, jika ingin calon anaknya baik-baik saja, maka kondisi Rachel harus baik-baik saja.
“Sekarang, istirahatlah. Aku akan pergi mandi." Marcus akan pergi dari kamar Rachel, tapi wanita itu dengan sigap meraih ujung bajunya hingga membuat ia berbalik.
“Kita akan tidur bersama lagi, kan?” Rachel bertanya pada Marcus.
Ketakutan Rachel masih ada, Marcus bisa merasakannya. Jelas saja, semua wanita pasti takut jika bertemu pria seperti tadi. “Tentu. Aku akan mandi dulu.”
Marcus sudah jelas mengatakan akan pergi mandi, tetapi Rachel belum juga melepaskan ujung baju pria itu. Ia tidak tahu ini kekanak-kanakan atau tidak, tapi rasanya sangat menakutkan setelah bertemu dengan pria yang jauh lebih psycho dari Marcus. Meski memintanya mengandung, Marcus tetap lebih waras dari pria yang menginginkan kematiannya dan kematian siapapun yang dekat dengannya.
“Rachel?”
“Maaf. Cepat pergilah mandi.” Mendengar ucapan Macus membuat Rachel seketika melepas ujung baju yang ia pegang dengan erat bahkan sampai meminta maaf.
Marcus menatap sejenak Rachel, lalu pergi dari kamar. Sementara Rachel kini duduk di atas ranjang. Sulit baginya hidup seperti ini karena semua tampak sangat menakutkan. Tetapi, Marcus membuat suasana hatinya sedikit membaik.
“Dulu, aku ingin pergi dari tempat ini. Hari ini, aku malah takut jika harus pergi dari sini.” Rachel berucap pelan. Membayangkan kembali hidup seorang diri di kota besar ditambah ada pria psycho di sekitarnya dan tidak ada pria gila seperti Marcus, baginya itu jauh lebih menakutkan dari pada melihat kemarahan Marcus. Kalau pun pria itu marah pasti tidak sampai membunuhnya, berbeda dengan pria psycho yang ia temui hari ini.
••••
William mengetuk pintu ruangan Marcus, kemudian masuk untuk memberikan pria itu kopi, seperti biasanya. Namun, ruangan Marcus terlihat kosong padahal biasanya dia sudah datang di jam seperti ini. Marcus adalah orang yang sangat disiplin waktu, ia tahu itu, jadi agak aneh jika dia tidak datang di waktu yang biasanya dia sudah duduk di kursi kebesarannya.
“Apa terjadi sesuatu? Ini pertama kalinya dia tidak datang tepat waktu," ucap William dan disaat bersamaan ponselnya berdering karena telepon dari Marcus.
“Halo, Tuan Cho.” William berucap dengan sopan saat sudah terhubung dengan Marcus.
“Aku tidak ke kantor hari ini. Jika ada pekerjaan bawa saja ke rumahku.”
Hanya itu yang Marcus katakan dan setelahnya langsung memutuskan telepon begitu saja. William semakin bingung sekarang. Ini sungguh tidak seperti biasanya. Ia jadi penasaran ada apa dengan Marcus.
••••
Di lain tempat, pria bernama Louis ini baru saja membuka pintu rumahnya setelah semalaman tidak pulang karena bersembunyi di suatu tempat. Rasanya ingin menghabisi Marcus saat di Nami Island, tapi ia juga tidak ingin kembali memperlihatkan kekejamannya di depan Rachel. Sudah cukup sekali, jangan sampai Rachel-nya kembali ketakutan.
Louis melepas topi dan jubah hitam yang ia kenakan, lalu mendudukkan dirinya di sebuah kursi. Pria ini mengambil pisau yang selalu digunakan untuk menghabisi korbannya dan tersenyum saat membayangkan pisau ini masuk ke dalam perut Marcus.
“Awas kau, Marcus." Louis terlihat sangat marah.
Mata Louis kini beralih menatap foto Rachel yang tertempel di dinding. Tidak hanya satu, melainkan ada puluhan foto hasil dari menguntit Rachel selama 4 tahun terakhir. “Sayang, kenapa kau membuatku marah? Kau ingin menantangku?”
••••
Kalian pasti belum lupa tentang Marcus yang secara tiba-tiba tidak datang ke kantor tanpa alasan yang jelas. Sebenarnya bukan tidak jelas, hanya orang lain saja belum mengetahui alasannya. Marcus tidak datang ke kantor karena sedang menemui psikiater yang sudah cukup lama tidak ia temui.
“Aku senang melihatmu lagi. Sudah cukup lama kita tidak bertemu, aku khawatir ....”
“Aku yang seharusnya bicara, bukan kau.” Marcus menyela ucapan pria bernama Kim Tan itu.
“Baiklah. Silahkan bicara,” ucap Kim Tan yang tahu betul bagaimana menangani seseorang dengan sifat seperti Marcus.
Marcus menghela napas, mempersiapkan diri sebelum bercerita pada Kim Tan. Sebenarnya, ia sangat malas menemui psikiater, tapi ia juga ingin mengatakan sesuatu yang terjadi padanya dan ini sangat aneh.
“Aku sangat benci pada wanita. Sangat-sangat benci. Aku juga memiliki trauma, rasa takut kalau kejadian itu akan terulang lagi dan itu membuatku sulit tidur. Tapi, sudah beberapa minggu ini aku tidur dengan baik saat bersama seorang wanita. Trauma masa lalu juga tidak muncul saat aku tidur. Apa itu berarti aku sudah membaik?” Marcus menyertakan pertanyaan pada akhir ceritanya.
Kim Tan tersenyum mendengar ucapan Marcus. Ini benar-benar kejutan setelah sekian lama tidak bertemu dengan pria itu. “Ini adalah hal bagus. Cobalah untuk lebih dekat dengan wanita itu. Menerima kehadiran satu wanita dalam hidupmu akan membuat kebencianmu pada wanita perlahan pudar, trauma masa lalu tidak akan lagi mengganggu hidupmu di masa depan. Pada dasarnya, kau merasa kesepian, kau butuh seseorang untuk selalu berada di dekatmu. Ini adalah saat yang tepat untuk lepas dari kebencian. Biarkan wanita mengisi kekosongan hatimu, maka hidupmu akan lebih baik.”
“Tadi kau bilang lebih dekat? Maksudmu berkencan? Tidak!” ucap Marcus tegas.
“Tidak harus berkencan. Tapi akan lebih baik jika sampai berkencan. Gerakkan hatimu untuk memaafkan siapa pun di masa lalu yang pernah menyakitimu, maka kau akan melihat bahwa wanita adalah sosok yang sangat dibutuhkan oleh pria dan pria adalah sosok paling dibutuhkan oleh wanita. Pria bisa memberikan rasa aman pada wanita, sedangkan wanita bisa memberikan rasa nyaman pada pria. Aman dan nyaman adalah dua hal penunjang kedamaian serta kebahagiaan.”
Kim Tan bicara panjang lebar, Marcus pun mendengarkan dengan baik semua ucapan pria itu. Marcus merasa lega setelah bercerita, tapi setelahnya selalu menggerutu dalam hati tentang mulut Kim Tan yang sangat gampang bicara, sementara ia sangat kesulitan untuk melakukan yang dimaksud oleh Kim Tan.
••••
Sebenarnya, Marcus bisa saja pergi ke kantor setelah menemui psikiater, tapi untuk hari, ia ingin di rumah saja untuk menemani Rachel yang mungkin masih takut. Benar saja, begitu tiba di rumah Rachel langsung meraih tangannya.
“Kau pulang cepat hari ini. Aku sangat bersyukur.” Rachel mengira Marcus baru saja kembali dari kantor.
“Sepertinya kau juga harus menemui psikiater," ujar Macus pelan dan tidak didengar oleh Rachel.
"Kenapa sampai sekarang belum ada kabar kalau pria gila itu sudah ditemukan?” sejak semalam, Marcus selalu menunggu telepon yang akan memberi kabar kalau pria itu sudah tertangkap. Namun, sampai detik ini tidak ada juga.
“Jadi, dia belum tertangkap? Bagaimana ....”
“Selagi ada diriku, dia tidak akan bisa mendekat padamu. Jadi, jangan coba melarikan diri dariku. Aku satu-satunya orang yang bisa melindungimu.” Marcus kembali menyela kalimat Rachel agar dia berhenti berpikir yang tidak-tidak.
“Kau menggunakan kesempatan ini untuk mengintimidasiku. Tapi, bagaimana jika aku sudah melahirkan dan psikopat belum juga tertangkap? Bisakah jangan mengusirku dulu? Aku sangat takut.” Katakanlah Rachel sudah hilang akal karena minta ditahan oleh pria yang sudah menghancurkan hidupnya. Hanya saja disinilah letak rasa amannya, ada pada Marcus.
Sedangkan Marcus belum berkata apa-apa. Ia juga memikirkan bagaimana dirinya nanti jika Rachel sudah pergi, ia pasti akan kembali kesulitan tidur. Tetapi menahan wanita itu tetap di sisinya adalah hal yang tidak ingin ia lakukan. Ia takut akan kembali terluka jika terlalu lama bersama wanita.
******
Bersambung....
Ini masih terlalu siang untuk minum alkohol, tapi Marcus baru saja meneguk habis minuman beralkohol yang ada di dalam gelas itu. Setelah pembicaraan dengan Rachel tadi dan diakhiri oleh dirinya yang terdiam, pikirannya menjadi agak tidak fokus sekarang. Ia tidak mengerti kenapa harus wanita yang membuatnya merasa nyaman. Kenapa bukan sesuatu yang bisa dibeli dengan uang dan tidak memiliki kemungkinan menyakitinya? “Lihatlah dirimu. Kau pikir, pria sepertimu pantas untuk Jira?” “Wajahmu terlihat menakutkan.” “Dia sungguh saudaranya Alex? Kenapa Alex bisa memiliki saudara seperti itu?” Semua kalimat menyakitkan yang Marcus terima di hari ulang tahunnya terus terngiang bersama dengan tawa murid wanita yang mengejeknya. Bahkan bayangan saat pacarnya tidur dengan Alex lagi-lagi muncul di benaknya. Ini memuakkan dan menyakitkan hingga Marcus membanting gelas di
Louis baru saja menyalakan satu batang rokok, sembari berjalan keluar dari tempatnya berbelanja tadi. Beberapa bahan makanan sudah ada di dalam kantong plastik yang ada di tangannya. Tidak ada yang mencurigakan darinya, pria ini terlihat seperti orang ramah bahkan tidak ragu membantu seorang nenek yang kesulitan menyeberang jalan. Ada senyuman di bibir Louis, ditambah tatapan hangat yang akan membuat siapa pun yakin bahwa ia adalah pria baik-baik. Jika sekarang kalian mengatakan bahwa pria ini adalah seorang psikopat, maka mungkin tidak akan ada satu pun orang akan percaya. Pada kenyataannya, psikopat adalah seseorang yang tahu betul tentang keramahan. Namun, kemarahan psikopat sangatlah menyeramkan. Dalam perjalanan pulang, Louis melihat nenek yang tadi ia bantu menyeberang di bentak oleh seorang laki-laki muda karena tidak sengaja ditabrak. Laki-laki muda itu mengatakan sedang buru-buru. Dia terus membentak tanpa peduli tentang sang nene
Jira tidak pernah menyangka akan melihat Marcus sangat berbeda setelah sekian lama berpisah. Yang ia tahu, pria itu adalah sosok pria yang hangat, bukan dingin seperti sekarang ini. Marcus seharusnya adalah orang yang enak diajak bicara, tapi saat ini menatap mata Marcus saja ia merasa takut. Seperti ada kilatan petir di matanya yang bisa menyambar siapa pun jika berani menatap mata itu. “Apa maksud ucapanmu? Aku punya anak?” Marcus bertanya pada Jira. Lagi-lagi, Jira merasa kalau Marcus sangatlah berbeda. Ini seperti bukan Marcus yang ia kenal. Tidak begini cara bicara Marcus yang ia kenal. “Ada apa denganmu? Kau tidak seperti Marcus yang dulu.” “Jawab saja pertanyaanku!” Marcus meninggikan suaranya. Ia tidak akan pernah lupa pada Jira, tidak akan sampai kapan pun, begitu juga dengan masa lalu menyakitkan yang membuatnya tidak bisa lagi menjadi Marcus yang dulu.
Hari sudah begitu malam, sudah saatnya bagi siapa pun untuk mengistirahatkan tubuh mereka. Tidur nyenyak di atas ranjang dengan selimut tebal, itu terdengar sangat nyaman. Kedua hal itu ada di kamar Rachel, tapi tetap saja ia belum bisa istirahat dengan nyaman. Rachel tidak bisa melepaskan pikirannya dari bayangan kejadian tadi. Marcus Cho, ia benar-benar ingin memaki pria itu sekarang. Rachel duduk di lantai dan bersandar di ranjang. Ia memeluk kedua lututnya dan menatap pantulan dirinya di cermin. Sebenarnya, Rachel benci melihat bayangan dirinya, sebab mengingatkannya tentang betapa menyedihkan hidupnya ini. Terlalu banyak sampah yang dunia lempar padanya, hingga tidak bisa lagi dibersihkan. Sudah terlalu banyak menumpuk dan menguburnya dengan sangat dalam. “Aku terlihat menyedihkan. Benar, bukan dunia yang kejam, tapi aku yang terlalu banyak berharap dan akhirnya dihancurkan oleh harapanku sendiri. Aku takut. Aku akan lep
"Aku tidak mau menggugurkan anak ini!” Rachel bicara dengan begitu tegas, ketika Marcus ingin mengajaknya pergi ke suatu tempat untuk melakukan aborsi. Demi Tuhan, ia yakin kalau pria itu benar-benar tidak waras. “Kau harus segera pergi, jadi ....” “Aku akan pergi dengan sukarela, karena sudah cukup bagiku untuk mengemis rasa aman padamu. Tapi, aku akan tetap mempertahankan anakku. Aku tidak mau menjadi sama gilanya denganmu!” Rachel menyela ucapan Marcus. Tidak peduli apapun yang terjadi, ia akan mempertahankan anaknya, itu adalah hal yang pasti. “Kau tidak bisa melakukannya tanpa persetujuanku.” “Memang aku setuju saat kau memaksaku untuk mengandung? Tidak, kan? Aku bahkan tidak tahu kenapa harus diriku yang kau pilih. Hari ini, apapun keputusanku, aku tidak membutuhkan persetujuanmu! Aku bukan bagian dari hidupmu dan kau juga bukan bagian dari hidu
Walau tadi bicara ketus, pada akhirnya Marcus tetap datang menemui Alex di tempat yang tadi dia kirimkan alamatnya lewat pesan singkat. Ya, pria itu memiliki keyakinan bahwa Marcus akan datang, jadi mengirimkan alamat itu. Jangan salah mengartikan kedatangan Marcus, sebab pria ini datang bukan untuk sekadar menyapa Alex, melainkan untuk menyelesaikan semua masalahnya dengan Alex. Setelah mengambil alih kursi kepemimpinan atas perusahaan ayahnya, maka ia akan membuang Alex jauh-jauh dari hidupnya. “Akhirnya kau datang,” ucap Alex, tapi ekspresi wajah Marcus terlihat sangat tidak bersahabat. “Ini hasil tes DNA, bukti bahwa aku sudah punya anak, dan aku tidak peduli bagaimana kau bisa tahu tentang apa yang aku lakukan. Aku hanya ingin kau segera angkat kaki dari perusahaan. Aku akan menjadi pemimpin di perusahaan Ayah dan aku tidak ingin lagi melihatmu sebagai direktur di sana.” Tidak ada sapaan h
Pada malam harinya, Alex baru bisa kembali datang ke rumah sakit untuk menemani Rachel. Ini mungkin terlalu malam, tapi ia benar-benar ingin melihat keadaan wanita itu sekarang. Apa sudah lebih baik atau tidak, ia sungguh ingin tahu. “Siapa itu?” Alex bergumam ketika dari kejauhan ia melihat seseorang tengah berdiri di depan kamar rawat inap Rachel. Alex mempercepat langkahnya, takut jika itu adalah orang jahat yang ingin melakukan hal buruk pada Rachel. Tapi saat semakin dekat, Alex merasa mengenal pria itu. Tidak salah lagi, ia memang mengenal pria yang berjongkok di depan kamar rawat inap Rachel. “Untuk apa dia di sini?” Alex bergumam dan ia cukup kesal melihat pria itu. “Marcus Cho, kau melakukan apa di tempat ini? Menjaga Rachel? Kau sebaik itu?” dan Alex kembali bicara setelah berada di hadapan pria yang ada di depan kamar rawat inap Rachel. Pria itu adalah Marcus. Marcus
Marcus terus memandangi foto Jira yang berada di tengah-tengah karangan bunga. Sejak mengetahui Jira meningggal, Ji Ho selalu menangis dengan kepala yang tertunduk. Marcus ingin menenangkan Ji Ho, tapi tidak tahu bagaimana caranya, dan pada akhirnya hanya Hwan Gi yang memeluk Ji Ho. Pria ini, Marcus Cho, bukanlah orang yang tahu cara mendekatkan diri pada orang lain, bahkan jika orang itu adalah anaknya sendiri. Marcus bukanlah tipe orang yang pandai berkata-kata untuk memperbaiki suasana hati seseorang, karena sesungguhnya ia tahu kata-kata tidak pernah benar-benar bisa memperbaiki suasana hati seseorang yang ditinggalkan oleh orang yang sangat berharga untuknya. "Jangan menangis. Semua akan baik-baik saja." "Tidak apa-apa. Aku akan selalu bersamamu." "Dia pergi karena Tuhan sayang padanya." Marcus sungguh benci pada kalimat seperti itu, sebab tidak ada yang akan baik-baik