Masyarakat Korea kembali digemparkan oleh penemuan jasad wanita yang kondisinya sama seperti korban kasus pembunuhan dan pemerkosaan yang sampai sekarang belum terpecahkan. Pipi korban dilukai, kemudian diperkosa dan setelahnya dibunuh bahkan lidahnya dipotong. Polanya sama, hingga pihak kepolisian membuat kesimpulan bahwa ini adalah pembunuhan berantai.
Rachel melihat berita ini di TV. Ketakutan seketika terlihat di wajahnya. Pembunuh itu telah kembali setelah hampir 3 tahun tidak pernah membunuh. Ia yakin ini adalah orang yang sama jika melihat caranya menghabisi si korban.
“Dia kembali," Rachel bicara dengan sangat pelan.
Sementara di kantor, Marcus juga sudah mengetahui berita itu melalui ponselnya. Cara pembunuhan yang sama, maka pastilah dilakukan oleh orang yang sama. Entah apa yang ada di dalam pikiran pembunuh itu sampai membunuh wanita. Ia memang benci pada wanita, tapi tidak sampai pada tahap membunuh karena rasa benci.
“Rachel pernah mengatakan melihat pembunuhan seperti ini. Apa itu berarti psikopat yang hampir 3 tahun tidak melakukan pembunuhan kembali beraksi? Apa dia mengincar Rachel?” yang saat ini Marcus pikirkan adalah mungkin Rachel sedang ketakutan sekarang.
Dan tersangka utama, Louis, sedang tersenyum melihat berita yang membuat semua orang ketakutan. Ada kebanggaan dalam dirinya saat apa yang ia lakukan berhasil mendapat perhatian banyak orang, tapi tidak ada satu pun yang berhasil menangkapnya. Louis menganggap dirinya sangat luar biasa.
“Maaf membuat Anda menunggu. Silahkan nikmati makanannya.”
Louis langsung mematikan ponselnya dan tersenyum ramah pada wanita muda yang membawakan pesanannya. “Terima kasih. Kau bekerja sendiri?” tanyanya pada wanita bernama Yuna itu.
“Aku tidak bekerja, tapi hanya membantu Ayah. Ada dua pelayan dan mereka sedang di belakang. Aku permisi,” ucap Yuna ramah dan setelahnya pergi.
“Apa Rachel tidak di sini? Lalu, di mana dia?” gumam Louis. Tidak mungkin ia datang jauh ke Busan hanya untuk makan semangkuk ramen. Ia datang karena mengira Rachel ada di sini. Tapi, sepertinya wanita itu tidak ada di sini.
Louis sudah mengawasi rumah Aaron dan tidak ada tanda keberadaan orang yang ia cari di sana. Lalu, ia datang ke restoran dan tetap tidak ada juga. Di mana Rachel-nya? Siapa yang berani mengambil wanitanya?
“Ibu Rachel meningggal saat aku di penjara, jadi tidak mungkin dia pergi dengan ibunya. Lalu, ada di mana dia? Mustahil dia bisa bersembunyi dariku. Pasti terjadi sesuatu sampai dia bisa menghilang tanpa jejak seperti ini.”
Setelah bicara seorang diri, Louis meletakkan uang di atas meja, dan pergi tanpa menyentuh makanannya. Tidak ada Rachel di tempat ini, jadi hanya akan membuang-buang waktu jika terus di sini. Ia akan menemukan Rachel tidak peduli di mana pun wanita itu berada. Ia pastikan itu.
••••
Beberapa minggu kemudian ...
“Selamat, Nona Rachel hamil. Program ini berhasil.”
Telinga Rachel rasanya seperti mendadak tuli, hingga tidak bisa lagi mendengar kelanjutan ucapan Dokter Park setelah menyatakannya hamil. Ini benar-benar terjadi, ia mengandung anak dari pria bernama Marcus Cho yang bahkan tidak jelas hubungannya dengan dirinya. Bagaimama jika Tian kembali? Apa yang akan ia katakan padanya?
Berbeda dengan Rachel yang hanya terdiam, Marcus terlihat tersenyum senang mendengar ucapan Dokter Park. Calon anaknya telah hadir dan ia siap menguasai kekayaan ayahnya tanpa harus berbagi dengan Alex. Tidak akan ia biarkan Alex mendapat sepeser pun dari kekayaan ayahnya, meski pria itu adalah saudara kandungnya.
Bahkan saat di perjalanan pulang ke rumah Marcus, Rachel belum juga mengatakan sesuatu. Wanita itu hanya diam dan menangis. Ia tidak benci pada janin di rahimnya, tapi benci karena harus hamil dengan cara seperti ini. Rachel bermimpi tentang kehidupan pernikahan yang harmonis dan kehadiran anak yang akan menambah kebahagiaannya, bukan seperti ini.
“Hanya 9 bulan. Setelahnya, kau boleh pergi dan tidak perlu muncul di hadapanku lagi.” Marcus yang duduk di sebelah Rachel baru saja bicara.
“Kau pikir, semua bisa selesai begitu saja? Benar, kau tidak berperasaan, mana mungkin memahami ucapanku? Aku tidak mengerti kenapa program ini bisa berhasil, padahal aku selalu berdoa agar tidak mengandung anakmu. Kau sudah merusak mimpi indahku tentang kehidupan.”
Marcus nampak tersenyum sinis mendengar ucapan Rachel. “Jangan terlalu banyak bermimpi tentang hidup yang indah. Dunia ini kejam, memimpikan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan hanya akan membuatmu kecewa. Jalani saja yang ada, jangan terlalu banyak bermimpi. Dunia tidak akan begitu baik sampai mau mewujudkan semua mimpimu. Terima saja semua sampah yang dunia lempar padamu, lalu kau hanya harus membersihkan sampah itu, bukan terlalu banyak mengeluh.”
Siapa pun akan setuju bahwa ucapan Marcus sangat kejam, menyakitkan dan seenak hati. Memang seperti inilah Marcus yang sekarang. Sudah terlalu banyak sampah yang dunia lemparkan padanya dan ia tidak bisa lagi membersihkan sampah itu. Sampah dari masa lalu masih menyesakkan hatinya dan bertahan hingga detik ini.
Tepat saat itu, terjadi lampu merah. Mobil yang Marcus kendarai berhenti dan di sebelahnya terlihat seorang pria pengantar paket juga tengah berhenti. Louis, itulah nama dari kurir yang berhenti tepat di sebelah mobil Marcus.
“Rachel? Kenapa dia bersama pria? Apa hubungannya dengan pria itu? Apa dia berani merebut Rachel-ku? Berengsek! Kau akan bernasib lebih buruk dari Tian jika berani memiliki Rachel.” Louis bergumam saat melihat Rachel satu mobil dengan seorang pria. Sudah berminggu-minggu ia mencari keberadaan wanitanya dan malah muncul pemandangan ini. Ia tidak bisa menerima hal ini.
••••
Cermin menunjukkan pantulan Rachel yang saat ini terlihat sedih, tapi tidak mengeluarkan air mata. Rasanya ia mulai lelah untuk menangis. Sudah banyak air mata yang ia keluarkan karena ada banyak masalah dalam hidupnya dan baru menyadari bahwa air mata tidak pernah menyelesaikan masalah. Pada akhirnya, ia harus berusaha keras untuk mengubah keadaan atau menerima takdir yang tidak bisa diubah.
Sekarang, ia seperti berada di titik di mana harus menerima semuanya. Harus berhenti berharap seseorang akan membebaskannya dari semua ini. Tidak akan ada yang datang. Orang lain sibuk dengan hidup mereka, tidak akan ada waktu untuknya. Setiap orang harus hidup dengan cara mereka sendiri.
Ceklek.
Seseorang membuka pintu kamar, membuat Rachel menoleh kearah pintu dan untuk kesekian kalinya melihat Marcus masuk kemari dan pasti ingin tidur dengannya. Pria itu berulang kali mengatakan benci pada wanita, lalu kenapa selalu tidur dengannya?
“Tidur bersama lagi? Kau ingin memastikan apa? Sudah berminggu-minggu berlalu, kau belum juga mendapat kepastian?” ujar Rachel.
Marcus belum menemukan kepastian tentang kenapa ia bisa tidur nyenyak dengan Rachel. Awalnya, ia tidak yakin kualitas tidurnya membaik karena bersama Rachel, tapi saat tidak bersama wanita itu, ia sungguh tidak bisa tidur dan saat bersama dengannya, ia bisa tidur dengan nyenyak.
“Diamlah! Aku tidak pernah menemukan kepastiannya. Kenapa aku bisa tidur nyenyak dan merasa nyaman bersama wanita, makhluk yang paling kubenci?” Marcus benci mengakui ini. Namun, memang begitulah adanya.
Rachel terkejut baru memgetahui bahwa Marcus nyaman bersamanya. Tidak, mungkin juga dengan wanita lain. Ini seharusnya tidak mengherankan, sebab Marcus pastilah pria kesepian jadi gampang merasa nyaman, hanya sayang selama ini dia menutup diri dari wanita.
“Kalau begitu, mulailah berkencan, lalu menikah. Kau bisa tidur nyenyak setiap hari bersama istrimu.” Rachel memberi saran, walau tidak yakin Marcus akan menuruti sarannya.
Marcus masih terdiam setelah Rachel memberi saran padanya. Berkencan dan menikah. Itu tidak masuk daftar hal paling ingin ia lakukan, bahkan terpikirkan saja tidak pernah. Tapi, jika mengingat bagaimana nyenyaknya ia tidur bersama wanita rasanya berkencan dan menikah mulai ia pikirkan.
“Kenapa kau tidak mulai berkencan denganku? Aku sedikit terbiasa dengan kehadiranmu. Aku tidak terbiasa dengan wanita lain, jadi dari pada aku harus repot berapdatasi akan lebih mudah jika denganmu. Aku tidak masalah berkencan denganmu,” ujar Marcus santai.
******
Bersambung ....
Kedua mata Rachel membulat, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Pria psycho itu mengajaknya berkencan dan itu pasti hanya untuk tidur bersama. Sungguh, Marcus benar-benar tidak waras. “Aku yang punya masalah denganmu.” “Kalau begitu, lebih baik kau diam saja! Kau pikir, kepalaku tidak sakit mendengar celotehanmu? Cepat tidur!” walau pernah berjanji akan bersikap lebih baik pada Rachel, pada kenyataannya kadang sikap Marcus masih sama saja. “Aku belum mengantuk,” ucap Rachel ketus. Ia ingin keluar dari kamar, sebab sangat muak satu kamar dengan Marcus. “Kau berani ....” “Kau ingin membuatku stres, lalu keguguran? Baiklah, teruslah berteriak padaku.” Rachel menyela ucapan Marcus, hingga membuat pria itu tertegun. “Keluarlah. Aku tunggu di sini.” Marcus memperhalus nada bicaranya. Sedang
Langit musim semi terlihat cerah hari ini, udara di Nami Island juga sangat segar hingga membuat Rachel menghirup oksigen sebanyak mungkin, lalu menghembuskannya sembari tersenyum. Ia tahu Marcus melakukan semua ini demi calon anak yang ada di kandungannya, bukan karena pandangan pria itu telah berubah terhadap wanita. Tidak apa-apa, ia memiliki keyakinan kalau perlahan Marcus pasti bisa berhenti melihat wanita sebagai makhluk yang menjijikan dan harus dijauhi. “Nami Island sangat indah,” ucap Rachel dan terdengar sampai ke telinga Marcus, karena pria itu berdiri di sebelahnya. “Biasa saja. Bagiku, tidak ada tempat indah di dunia ini.” Dan Marcus menyahuti ucapan Rachel dengan kalimat seperti itu. Ia baru saja berbagi pandangannya tentang dunia. Wanita cantik ini berdecak pelan mengetahui begitu cara Marcus memandang dunia. Pantas saja dia tidak pernah terlihat bahagia walau hanya sekali
Bukan perkara mudah bagi Marcus untuk membuat Rachel tetap merasa aman setelah kejadian di Nami Island. Dari Nami Island hingga sampai di rumah dan sekarang sudah pukul 8 malam, wanita itu tidak pernah sekalipun melepaskan genggaman tangannya. Rachel selalu menempel padanya seakan rasa aman itu hanya ada padanya. Sedangkan Marcus tidak bisa berbuat apa-apa, selain tetap membiarkan Rachel terus menempel padanya. Ia sudah tahu apa yang terjadi, jadi bisa memahami bagaimana perasaan Rachel. Maka dari itu, ia akan melupakan sejenak rasa bencinya, sebab ini juga menyangkut anaknya. “Lebih baik kau mandi dulu, lalu tidur," ucap Marcus, tapi Rachel menggeleng. “Bagaimana jika dia tiba-tiba muncul di kamar mandi? Lalu ....” “Dia tidak akan bisa masuk ke rumahku. Aku juga sudah memerintahkan beberapa orang yang sangat ahli untuk mencari keberadaannya. Aku akan menunggumu
Ini masih terlalu siang untuk minum alkohol, tapi Marcus baru saja meneguk habis minuman beralkohol yang ada di dalam gelas itu. Setelah pembicaraan dengan Rachel tadi dan diakhiri oleh dirinya yang terdiam, pikirannya menjadi agak tidak fokus sekarang. Ia tidak mengerti kenapa harus wanita yang membuatnya merasa nyaman. Kenapa bukan sesuatu yang bisa dibeli dengan uang dan tidak memiliki kemungkinan menyakitinya? “Lihatlah dirimu. Kau pikir, pria sepertimu pantas untuk Jira?” “Wajahmu terlihat menakutkan.” “Dia sungguh saudaranya Alex? Kenapa Alex bisa memiliki saudara seperti itu?” Semua kalimat menyakitkan yang Marcus terima di hari ulang tahunnya terus terngiang bersama dengan tawa murid wanita yang mengejeknya. Bahkan bayangan saat pacarnya tidur dengan Alex lagi-lagi muncul di benaknya. Ini memuakkan dan menyakitkan hingga Marcus membanting gelas di
Louis baru saja menyalakan satu batang rokok, sembari berjalan keluar dari tempatnya berbelanja tadi. Beberapa bahan makanan sudah ada di dalam kantong plastik yang ada di tangannya. Tidak ada yang mencurigakan darinya, pria ini terlihat seperti orang ramah bahkan tidak ragu membantu seorang nenek yang kesulitan menyeberang jalan. Ada senyuman di bibir Louis, ditambah tatapan hangat yang akan membuat siapa pun yakin bahwa ia adalah pria baik-baik. Jika sekarang kalian mengatakan bahwa pria ini adalah seorang psikopat, maka mungkin tidak akan ada satu pun orang akan percaya. Pada kenyataannya, psikopat adalah seseorang yang tahu betul tentang keramahan. Namun, kemarahan psikopat sangatlah menyeramkan. Dalam perjalanan pulang, Louis melihat nenek yang tadi ia bantu menyeberang di bentak oleh seorang laki-laki muda karena tidak sengaja ditabrak. Laki-laki muda itu mengatakan sedang buru-buru. Dia terus membentak tanpa peduli tentang sang nene
Jira tidak pernah menyangka akan melihat Marcus sangat berbeda setelah sekian lama berpisah. Yang ia tahu, pria itu adalah sosok pria yang hangat, bukan dingin seperti sekarang ini. Marcus seharusnya adalah orang yang enak diajak bicara, tapi saat ini menatap mata Marcus saja ia merasa takut. Seperti ada kilatan petir di matanya yang bisa menyambar siapa pun jika berani menatap mata itu. “Apa maksud ucapanmu? Aku punya anak?” Marcus bertanya pada Jira. Lagi-lagi, Jira merasa kalau Marcus sangatlah berbeda. Ini seperti bukan Marcus yang ia kenal. Tidak begini cara bicara Marcus yang ia kenal. “Ada apa denganmu? Kau tidak seperti Marcus yang dulu.” “Jawab saja pertanyaanku!” Marcus meninggikan suaranya. Ia tidak akan pernah lupa pada Jira, tidak akan sampai kapan pun, begitu juga dengan masa lalu menyakitkan yang membuatnya tidak bisa lagi menjadi Marcus yang dulu.
Hari sudah begitu malam, sudah saatnya bagi siapa pun untuk mengistirahatkan tubuh mereka. Tidur nyenyak di atas ranjang dengan selimut tebal, itu terdengar sangat nyaman. Kedua hal itu ada di kamar Rachel, tapi tetap saja ia belum bisa istirahat dengan nyaman. Rachel tidak bisa melepaskan pikirannya dari bayangan kejadian tadi. Marcus Cho, ia benar-benar ingin memaki pria itu sekarang. Rachel duduk di lantai dan bersandar di ranjang. Ia memeluk kedua lututnya dan menatap pantulan dirinya di cermin. Sebenarnya, Rachel benci melihat bayangan dirinya, sebab mengingatkannya tentang betapa menyedihkan hidupnya ini. Terlalu banyak sampah yang dunia lempar padanya, hingga tidak bisa lagi dibersihkan. Sudah terlalu banyak menumpuk dan menguburnya dengan sangat dalam. “Aku terlihat menyedihkan. Benar, bukan dunia yang kejam, tapi aku yang terlalu banyak berharap dan akhirnya dihancurkan oleh harapanku sendiri. Aku takut. Aku akan lep
"Aku tidak mau menggugurkan anak ini!” Rachel bicara dengan begitu tegas, ketika Marcus ingin mengajaknya pergi ke suatu tempat untuk melakukan aborsi. Demi Tuhan, ia yakin kalau pria itu benar-benar tidak waras. “Kau harus segera pergi, jadi ....” “Aku akan pergi dengan sukarela, karena sudah cukup bagiku untuk mengemis rasa aman padamu. Tapi, aku akan tetap mempertahankan anakku. Aku tidak mau menjadi sama gilanya denganmu!” Rachel menyela ucapan Marcus. Tidak peduli apapun yang terjadi, ia akan mempertahankan anaknya, itu adalah hal yang pasti. “Kau tidak bisa melakukannya tanpa persetujuanku.” “Memang aku setuju saat kau memaksaku untuk mengandung? Tidak, kan? Aku bahkan tidak tahu kenapa harus diriku yang kau pilih. Hari ini, apapun keputusanku, aku tidak membutuhkan persetujuanmu! Aku bukan bagian dari hidupmu dan kau juga bukan bagian dari hidu