Kedua mata Rachel membulat, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Pria psycho itu mengajaknya berkencan dan itu pasti hanya untuk tidur bersama. Sungguh, Marcus benar-benar tidak waras. “Aku yang punya masalah denganmu.”
“Kalau begitu, lebih baik kau diam saja! Kau pikir, kepalaku tidak sakit mendengar celotehanmu? Cepat tidur!” walau pernah berjanji akan bersikap lebih baik pada Rachel, pada kenyataannya kadang sikap Marcus masih sama saja.
“Aku belum mengantuk,” ucap Rachel ketus. Ia ingin keluar dari kamar, sebab sangat muak satu kamar dengan Marcus.
“Kau berani ....”
“Kau ingin membuatku stres, lalu keguguran? Baiklah, teruslah berteriak padaku.” Rachel menyela ucapan Marcus, hingga membuat pria itu tertegun.
“Keluarlah. Aku tunggu di sini.” Marcus memperhalus nada bicaranya. Sedangkan Rachel kini sudah keluar dari kamar, lalu membanting pintu hingga membuat Marcus kaget.
“Sial! Kalau bukan karena anakku, kau pikir aku sudi baik padamu? Aku sungguh ingin berteriak padamu. Menyebalkan!” Marcus menggerutu kesal begitu Rachel tidak terlihat lagi.
Di luar, Rachel sedang menatap ruangan yang membuatnya penasaran. Ia ingin tahu ada apa di dalam sana sampai Marcus sangat melarangnya masuk ke dalam ruangan itu. Saat ini, ia masih menimbang-nimbang haruskah kembali mencoba masuk atau tidak. Terakhir kali coba mencoba adalah saat ketahuan oleh Marcus dan pria itu terlihat sangat marah.
“Kenapa aku harus terlahir sebagai orang yang sangat mudah penasaran?” gumam Rachel. Terlahir dengan penyakit terlalu ingin tahu kadang tidak menyenangkan.
Karena tidak tahan lagi, maka Rachel putuskan ia harus melihat ada apa di dalam sana. Tangan Rachel mulai meraih handle pintu, tapi ternyata pintu ruangan ini terkunci. Ini membuatnya seketika mengeluarkan umpatan untuk Marcus. “Dasar pria pelit! Memang ada apa disini? Apa dia menyembunyikan mayat?”
“Kalau pun aku menyembunyikan mayat, apa ada hubungannya denganmu?”
Seseorang dari belakang menyahuti ucapan Rachel, membuatnya seketika berbalik dan terkejut mendapati keberadaan Marcus yang tiba-tiba muncul, atau hanya ia yang tidak sadar jika pria itu ada di belakangnya?
“Aku mengantuk. Bukankah kau mau tidur? Ayo.” Rache tidak menjawab pertanyaan Marcus. Pergi dari hadapan Marcus jauh lebih baik. Mungkin benar, sebaiknya ia tidak tahu banyak hal agar tidak membahayakan dirinya sendiri.
Marcus berbalik, menatap Rachel yang pergi dengan seenak hati seakan tidak ada apa-apa. Dia boleh memasuki ruangan mana pun di rumah ini, kecuali ruangan ini. Jangankan Rachel, siapa pun, selain dirinya tidak boleh masuk ke sana. Ruangan ini sangat rahasia.
••••
“Kau mengajakku keluar?” Rachel bertanya pada Marcus.
“Ya. Dokter Park menyarankan agar kau banyak menghirup udara segar. Jadi, ayo keluar untuk jalan-jalan,” ajak Marcus, walau sebenarnya ia sangat malas melakukan ini. Keluar, itu berarti harus bertemu banyak orang, khususnya wanita. Sangat menyebalkan.
“Baiklah.” Rachel hanya setuju saja. Sudah cukup lama ia tidak melihat dunia luar. Ini waktu yang tepat untuk jalan-jalan.
“Ingat, jangan coba-coba melarikan saat kita sedang jalan-jalan, meski aku yakin kau tidak akan bisa melakukannya karena ada pengawalku. Tetap saja, jangan berani coba-coba, apalagi sampai melakukan hal yang membahayakan anakku. Akan kuhabisi kau dan semua keluargamu jika sampai melakukannya!” baru saja Marcus bicara lebih halus, kini sudah kembali menyeramkan.
“Aku tahu. Selain menurutimu, aku bisa melakukan apa lagi?” Rachel bicara dengan lemah. Memang benar, hidupnya berada di bawah kuasa Marcus bahkan saat dirinya sendiri tidak berharap pria itu datang menolongnya.
Sedangkan di luar kediaman Marcus, ada Louis yang terus mengawasi rumah besar itu. Sudah beberapa hari ia selalu datang kemari, menunggu kapan Rachel akan keluar. Sampai sekarang, ia tidak pernah melihat wanitanya dan yang terpenting ia belum mendapat kesempatan untuk menghabisi Marcus.
“Kenapa Rachel tidak pernah keluar? Apa dia tidak pergi bekerja?” gumam Louis.
“Awas kau, Marcus! Aku akan membunuhmu karena berani mengambil Rachel-ku.” Louis kembali berucap, kemudian ia melihat mobil Marcus baru saja keluar. Ia bisa melihat Rachel ada di sana.
“Rachel!” Louis berseru. Dengan terburu-buru ia menyalakan motornya untuk selanjutnya mengikuti mobil Marcus.
••••
Entah ini hanya perasaannya atau memang benar kalau Rachel seperti orang takut hingga sering menoleh ke belakang saat diajak berjalan-jalan. Marcus bahkan sampai ikut menoleh ke belakang, tapi tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.“Kau selalu menoleh kebelakang. Ada apa?” Marcus akhirnya bertanya pada Rachel.
Lagi, Rachel kembali menoleh ke belakang, lalu secara tiba-tiba memegang erat tangan Marcus. “Kadang, aku merasa kalau ada seseorang yang menguntitku.”
Mendengar kata menguntit membuat Marcus mengedarkan pandangannya ke segala penjuru tempat bernama Nami Island ini, mungkin saja melihat sesuatu yang membuat Rachel takut walau ia tidak yakin karena penguntit pasti tidak memperlihatkan dirinya.
“Tidak ada apa-apa. Pengawalku dan juga aku akan menjagamu, penguntit tidak mungkin bisa melakukan sesuatu padamu,” ucap Marcus untuk menenangkan Rachel. Tidak lucu jika wanita itu tiba-tiba menangis di sini karena ketakutan.
Rachel merasa tenang mendengar ucapan Marcus, karena ucapannya bukan hanya omong kosong. Melihat apa yang bisa pria itu lakukan pada hidupnya, maka sudah pasti dia akan melakukan sesuatu yang lebih kejam pada siapa pun yang berani membahayakan calon anaknya. Jika anak ini sudah lahir, ketakutan pasti akan kembali menghantuinya. Ia hidup seorang diri di kota ini, tidak ada orang yang bisa memberinya rasa aman.
Meski sudah tenang, Rachel tidak juga melepaskan lengan Marcus. Dan Marcus terlihat tidak mempermasalahkan hal ini. Pria ini hanya menoleh pada Rachel, lalu kembali fokus ke depan seakan tidak ada wanita menempel padanya. Kalau saja ini adalah wanita lain pasti sudah ia tampar pipinya.
Sedangkan Louis memandang Marcus dan juga Rachel dengan tatapan tidak suka. Mereka terlihat sangat mesra, tidak mempedulikan hatinya yang terasa sakit. Sialan! Ia mengumpat dalam hati. Louis bersumpah ini tidak akan berlangsung lama. Tidak peduli bagaimana pun caranya Rachel dan Marcus harus berpisah.
“Aku tidak suka melihat ini. Aku akan memisahkan kalian!" Louis mengepalkan tangannya. Benci sekali ia melihat pemandangan ini.
Bagi Louis, Rachel adalah wanitanya, satu-satunya orang yang ia cintai dan tentu saja hanya dirinya yang boleh memiliki Rachel. Tidak boleh ada satu orang pun yang boleh memiliki Rachel, atau wanita itu harus pergi dari dunia ini agar tidak dimiliki oleh siapa pun juga. Dalam kamus hidupnya, seperti inilah cinta yang sesungguhnya. Tidak ada istilah bahwa cinta telah harus memiliki. Itu hanya omong kosong yang tidak pernah ia terima. Cinta sama dengan harus memiliki, jika tidak bisa memiliki, maka lebih baik wanita yang ia cintai pergi dari dunia ini agar hatinya tidak terus sakit melihat wanita itu bahagia dengan orang lain.
******
Bersambung ...
Langit musim semi terlihat cerah hari ini, udara di Nami Island juga sangat segar hingga membuat Rachel menghirup oksigen sebanyak mungkin, lalu menghembuskannya sembari tersenyum. Ia tahu Marcus melakukan semua ini demi calon anak yang ada di kandungannya, bukan karena pandangan pria itu telah berubah terhadap wanita. Tidak apa-apa, ia memiliki keyakinan kalau perlahan Marcus pasti bisa berhenti melihat wanita sebagai makhluk yang menjijikan dan harus dijauhi. “Nami Island sangat indah,” ucap Rachel dan terdengar sampai ke telinga Marcus, karena pria itu berdiri di sebelahnya. “Biasa saja. Bagiku, tidak ada tempat indah di dunia ini.” Dan Marcus menyahuti ucapan Rachel dengan kalimat seperti itu. Ia baru saja berbagi pandangannya tentang dunia. Wanita cantik ini berdecak pelan mengetahui begitu cara Marcus memandang dunia. Pantas saja dia tidak pernah terlihat bahagia walau hanya sekali
Bukan perkara mudah bagi Marcus untuk membuat Rachel tetap merasa aman setelah kejadian di Nami Island. Dari Nami Island hingga sampai di rumah dan sekarang sudah pukul 8 malam, wanita itu tidak pernah sekalipun melepaskan genggaman tangannya. Rachel selalu menempel padanya seakan rasa aman itu hanya ada padanya. Sedangkan Marcus tidak bisa berbuat apa-apa, selain tetap membiarkan Rachel terus menempel padanya. Ia sudah tahu apa yang terjadi, jadi bisa memahami bagaimana perasaan Rachel. Maka dari itu, ia akan melupakan sejenak rasa bencinya, sebab ini juga menyangkut anaknya. “Lebih baik kau mandi dulu, lalu tidur," ucap Marcus, tapi Rachel menggeleng. “Bagaimana jika dia tiba-tiba muncul di kamar mandi? Lalu ....” “Dia tidak akan bisa masuk ke rumahku. Aku juga sudah memerintahkan beberapa orang yang sangat ahli untuk mencari keberadaannya. Aku akan menunggumu
Ini masih terlalu siang untuk minum alkohol, tapi Marcus baru saja meneguk habis minuman beralkohol yang ada di dalam gelas itu. Setelah pembicaraan dengan Rachel tadi dan diakhiri oleh dirinya yang terdiam, pikirannya menjadi agak tidak fokus sekarang. Ia tidak mengerti kenapa harus wanita yang membuatnya merasa nyaman. Kenapa bukan sesuatu yang bisa dibeli dengan uang dan tidak memiliki kemungkinan menyakitinya? “Lihatlah dirimu. Kau pikir, pria sepertimu pantas untuk Jira?” “Wajahmu terlihat menakutkan.” “Dia sungguh saudaranya Alex? Kenapa Alex bisa memiliki saudara seperti itu?” Semua kalimat menyakitkan yang Marcus terima di hari ulang tahunnya terus terngiang bersama dengan tawa murid wanita yang mengejeknya. Bahkan bayangan saat pacarnya tidur dengan Alex lagi-lagi muncul di benaknya. Ini memuakkan dan menyakitkan hingga Marcus membanting gelas di
Louis baru saja menyalakan satu batang rokok, sembari berjalan keluar dari tempatnya berbelanja tadi. Beberapa bahan makanan sudah ada di dalam kantong plastik yang ada di tangannya. Tidak ada yang mencurigakan darinya, pria ini terlihat seperti orang ramah bahkan tidak ragu membantu seorang nenek yang kesulitan menyeberang jalan. Ada senyuman di bibir Louis, ditambah tatapan hangat yang akan membuat siapa pun yakin bahwa ia adalah pria baik-baik. Jika sekarang kalian mengatakan bahwa pria ini adalah seorang psikopat, maka mungkin tidak akan ada satu pun orang akan percaya. Pada kenyataannya, psikopat adalah seseorang yang tahu betul tentang keramahan. Namun, kemarahan psikopat sangatlah menyeramkan. Dalam perjalanan pulang, Louis melihat nenek yang tadi ia bantu menyeberang di bentak oleh seorang laki-laki muda karena tidak sengaja ditabrak. Laki-laki muda itu mengatakan sedang buru-buru. Dia terus membentak tanpa peduli tentang sang nene
Jira tidak pernah menyangka akan melihat Marcus sangat berbeda setelah sekian lama berpisah. Yang ia tahu, pria itu adalah sosok pria yang hangat, bukan dingin seperti sekarang ini. Marcus seharusnya adalah orang yang enak diajak bicara, tapi saat ini menatap mata Marcus saja ia merasa takut. Seperti ada kilatan petir di matanya yang bisa menyambar siapa pun jika berani menatap mata itu. “Apa maksud ucapanmu? Aku punya anak?” Marcus bertanya pada Jira. Lagi-lagi, Jira merasa kalau Marcus sangatlah berbeda. Ini seperti bukan Marcus yang ia kenal. Tidak begini cara bicara Marcus yang ia kenal. “Ada apa denganmu? Kau tidak seperti Marcus yang dulu.” “Jawab saja pertanyaanku!” Marcus meninggikan suaranya. Ia tidak akan pernah lupa pada Jira, tidak akan sampai kapan pun, begitu juga dengan masa lalu menyakitkan yang membuatnya tidak bisa lagi menjadi Marcus yang dulu.
Hari sudah begitu malam, sudah saatnya bagi siapa pun untuk mengistirahatkan tubuh mereka. Tidur nyenyak di atas ranjang dengan selimut tebal, itu terdengar sangat nyaman. Kedua hal itu ada di kamar Rachel, tapi tetap saja ia belum bisa istirahat dengan nyaman. Rachel tidak bisa melepaskan pikirannya dari bayangan kejadian tadi. Marcus Cho, ia benar-benar ingin memaki pria itu sekarang. Rachel duduk di lantai dan bersandar di ranjang. Ia memeluk kedua lututnya dan menatap pantulan dirinya di cermin. Sebenarnya, Rachel benci melihat bayangan dirinya, sebab mengingatkannya tentang betapa menyedihkan hidupnya ini. Terlalu banyak sampah yang dunia lempar padanya, hingga tidak bisa lagi dibersihkan. Sudah terlalu banyak menumpuk dan menguburnya dengan sangat dalam. “Aku terlihat menyedihkan. Benar, bukan dunia yang kejam, tapi aku yang terlalu banyak berharap dan akhirnya dihancurkan oleh harapanku sendiri. Aku takut. Aku akan lep
"Aku tidak mau menggugurkan anak ini!” Rachel bicara dengan begitu tegas, ketika Marcus ingin mengajaknya pergi ke suatu tempat untuk melakukan aborsi. Demi Tuhan, ia yakin kalau pria itu benar-benar tidak waras. “Kau harus segera pergi, jadi ....” “Aku akan pergi dengan sukarela, karena sudah cukup bagiku untuk mengemis rasa aman padamu. Tapi, aku akan tetap mempertahankan anakku. Aku tidak mau menjadi sama gilanya denganmu!” Rachel menyela ucapan Marcus. Tidak peduli apapun yang terjadi, ia akan mempertahankan anaknya, itu adalah hal yang pasti. “Kau tidak bisa melakukannya tanpa persetujuanku.” “Memang aku setuju saat kau memaksaku untuk mengandung? Tidak, kan? Aku bahkan tidak tahu kenapa harus diriku yang kau pilih. Hari ini, apapun keputusanku, aku tidak membutuhkan persetujuanmu! Aku bukan bagian dari hidupmu dan kau juga bukan bagian dari hidu
Walau tadi bicara ketus, pada akhirnya Marcus tetap datang menemui Alex di tempat yang tadi dia kirimkan alamatnya lewat pesan singkat. Ya, pria itu memiliki keyakinan bahwa Marcus akan datang, jadi mengirimkan alamat itu. Jangan salah mengartikan kedatangan Marcus, sebab pria ini datang bukan untuk sekadar menyapa Alex, melainkan untuk menyelesaikan semua masalahnya dengan Alex. Setelah mengambil alih kursi kepemimpinan atas perusahaan ayahnya, maka ia akan membuang Alex jauh-jauh dari hidupnya. “Akhirnya kau datang,” ucap Alex, tapi ekspresi wajah Marcus terlihat sangat tidak bersahabat. “Ini hasil tes DNA, bukti bahwa aku sudah punya anak, dan aku tidak peduli bagaimana kau bisa tahu tentang apa yang aku lakukan. Aku hanya ingin kau segera angkat kaki dari perusahaan. Aku akan menjadi pemimpin di perusahaan Ayah dan aku tidak ingin lagi melihatmu sebagai direktur di sana.” Tidak ada sapaan h