Share

Part 7

   Kedua mata Rachel membulat, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Pria psycho itu mengajaknya berkencan dan itu pasti hanya untuk tidur bersama. Sungguh, Marcus benar-benar tidak waras. “Aku yang punya masalah denganmu.”

  “Kalau begitu, lebih baik kau diam saja! Kau pikir, kepalaku tidak sakit mendengar celotehanmu? Cepat tidur!” walau pernah berjanji akan bersikap lebih baik pada Rachel, pada kenyataannya kadang sikap Marcus masih sama saja. 

   “Aku belum mengantuk,” ucap Rachel ketus. Ia ingin keluar dari kamar, sebab sangat muak satu kamar dengan Marcus.

   “Kau berani ....”

   “Kau ingin membuatku stres, lalu keguguran? Baiklah, teruslah berteriak padaku.” Rachel menyela ucapan Marcus, hingga membuat pria itu tertegun.

   “Keluarlah. Aku tunggu di sini.” Marcus memperhalus nada bicaranya. Sedangkan Rachel kini sudah keluar dari kamar, lalu membanting pintu hingga membuat Marcus kaget. 

   “Sial! Kalau bukan karena anakku, kau pikir aku sudi baik padamu? Aku sungguh ingin berteriak padamu. Menyebalkan!” Marcus menggerutu kesal begitu Rachel tidak terlihat lagi. 

   Di luar, Rachel sedang menatap ruangan yang membuatnya penasaran. Ia ingin tahu ada apa di dalam sana sampai Marcus sangat melarangnya masuk ke dalam ruangan itu. Saat ini, ia masih menimbang-nimbang haruskah kembali mencoba masuk atau tidak. Terakhir kali coba mencoba adalah saat ketahuan oleh Marcus dan pria itu terlihat sangat marah. 

   “Kenapa aku harus terlahir sebagai orang yang sangat mudah penasaran?” gumam Rachel. Terlahir dengan penyakit terlalu ingin tahu kadang tidak menyenangkan.

  Karena tidak tahan lagi, maka Rachel putuskan ia harus melihat ada apa di dalam sana. Tangan Rachel mulai meraih handle pintu, tapi ternyata pintu ruangan ini terkunci. Ini membuatnya seketika mengeluarkan umpatan untuk Marcus. “Dasar pria pelit! Memang ada apa disini? Apa dia menyembunyikan mayat?” 

   “Kalau pun aku menyembunyikan mayat, apa ada hubungannya denganmu?”

   Seseorang dari belakang menyahuti ucapan Rachel, membuatnya seketika berbalik dan terkejut mendapati keberadaan Marcus yang tiba-tiba muncul, atau hanya ia yang tidak sadar jika pria itu ada di belakangnya?

   “Aku mengantuk. Bukankah kau mau tidur? Ayo.” Rache tidak menjawab pertanyaan Marcus. Pergi dari hadapan Marcus jauh lebih baik. Mungkin benar, sebaiknya ia tidak tahu banyak hal agar tidak membahayakan dirinya sendiri.

   Marcus berbalik, menatap Rachel yang pergi dengan seenak hati seakan tidak ada apa-apa. Dia boleh memasuki ruangan mana pun di rumah ini, kecuali ruangan ini. Jangankan Rachel, siapa pun, selain dirinya tidak boleh masuk ke sana. Ruangan ini sangat rahasia.

••••

   “Kau mengajakku keluar?” Rachel bertanya pada Marcus.

   “Ya. Dokter Park menyarankan agar kau banyak menghirup udara segar. Jadi, ayo keluar untuk jalan-jalan,” ajak Marcus, walau sebenarnya ia sangat malas melakukan ini. Keluar, itu berarti harus bertemu banyak orang, khususnya wanita. Sangat menyebalkan.

  “Baiklah.” Rachel hanya setuju saja. Sudah cukup lama ia tidak melihat dunia luar. Ini waktu yang tepat untuk jalan-jalan.

   “Ingat, jangan coba-coba melarikan saat kita sedang jalan-jalan, meski aku yakin kau tidak akan bisa melakukannya karena ada pengawalku. Tetap saja, jangan berani coba-coba, apalagi sampai melakukan hal yang membahayakan anakku. Akan kuhabisi kau dan semua keluargamu jika sampai melakukannya!” baru saja Marcus bicara lebih halus, kini sudah kembali menyeramkan.

  “Aku tahu. Selain menurutimu, aku bisa melakukan apa lagi?” Rachel bicara dengan lemah. Memang benar, hidupnya berada di bawah kuasa Marcus bahkan saat dirinya sendiri tidak berharap pria itu datang menolongnya. 

   Sedangkan di luar kediaman Marcus, ada Louis yang terus mengawasi rumah besar itu. Sudah beberapa hari ia selalu datang kemari, menunggu kapan Rachel akan keluar. Sampai sekarang, ia tidak pernah melihat wanitanya dan yang terpenting ia belum mendapat kesempatan untuk menghabisi Marcus. 

   “Kenapa Rachel  tidak pernah keluar? Apa dia tidak pergi bekerja?” gumam Louis. 

   “Awas kau, Marcus! Aku akan membunuhmu karena berani mengambil Rachel-ku.” Louis kembali berucap, kemudian ia melihat mobil Marcus baru saja keluar. Ia bisa melihat Rachel ada di sana. 

   “Rachel!” Louis berseru. Dengan terburu-buru ia menyalakan motornya untuk selanjutnya mengikuti mobil Marcus.

••••

   Entah ini hanya perasaannya atau memang benar kalau Rachel seperti orang takut hingga sering menoleh ke belakang saat diajak berjalan-jalan. Marcus bahkan sampai ikut menoleh ke belakang, tapi tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.

   “Kau selalu menoleh kebelakang. Ada apa?” Marcus akhirnya bertanya pada Rachel.

  Lagi, Rachel kembali menoleh ke belakang, lalu secara tiba-tiba memegang erat tangan Marcus. “Kadang, aku merasa kalau ada seseorang yang menguntitku.” 

  Mendengar kata menguntit membuat Marcus mengedarkan pandangannya ke segala penjuru tempat bernama Nami Island ini, mungkin saja melihat sesuatu yang membuat Rachel takut walau ia tidak yakin karena penguntit pasti tidak memperlihatkan dirinya.

   “Tidak ada apa-apa. Pengawalku dan juga aku akan menjagamu, penguntit tidak mungkin bisa melakukan sesuatu padamu,” ucap Marcus untuk menenangkan Rachel. Tidak lucu jika wanita itu tiba-tiba menangis di sini karena ketakutan.

   Rachel merasa tenang mendengar ucapan Marcus, karena ucapannya bukan hanya omong kosong. Melihat apa yang bisa pria itu lakukan pada hidupnya, maka sudah pasti dia akan melakukan sesuatu yang lebih kejam pada siapa pun yang berani membahayakan calon anaknya. Jika anak ini sudah lahir, ketakutan pasti akan kembali menghantuinya. Ia hidup seorang diri di kota ini, tidak ada orang yang bisa memberinya rasa aman. 

   Meski sudah tenang, Rachel tidak juga melepaskan lengan Marcus. Dan Marcus terlihat tidak mempermasalahkan hal ini. Pria ini hanya menoleh pada Rachel, lalu kembali fokus ke depan seakan tidak ada wanita menempel padanya. Kalau saja ini adalah wanita lain pasti sudah ia tampar pipinya. 

   Sedangkan Louis memandang Marcus dan juga Rachel dengan tatapan tidak suka. Mereka terlihat sangat mesra, tidak mempedulikan hatinya yang terasa sakit. Sialan! Ia mengumpat dalam hati. Louis bersumpah ini tidak akan berlangsung lama. Tidak peduli bagaimana pun caranya Rachel dan Marcus harus berpisah. 

   “Aku tidak suka melihat ini. Aku akan memisahkan kalian!" Louis mengepalkan tangannya. Benci sekali ia melihat pemandangan ini. 

   Bagi Louis, Rachel adalah wanitanya, satu-satunya orang yang ia cintai dan tentu saja hanya dirinya yang boleh memiliki Rachel. Tidak boleh ada satu orang pun yang boleh memiliki Rachel, atau wanita itu harus pergi dari dunia ini agar tidak dimiliki oleh siapa pun juga. Dalam kamus hidupnya, seperti inilah cinta yang sesungguhnya. Tidak ada istilah bahwa cinta telah harus memiliki. Itu hanya omong kosong yang tidak pernah ia terima. Cinta sama dengan harus memiliki, jika tidak bisa memiliki, maka lebih baik wanita yang ia cintai pergi dari dunia ini agar hatinya tidak terus sakit melihat wanita itu bahagia dengan orang lain.

******

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status