Air mata Rachel menetes begitu saja ketika mendengar lagu milik Younha yang berjudul Wasted diputar pada salah satu program TV yang ia tonton. Seseorang pernah berjanji padanya, seperti dalam lirik lagu itu, dia berkata tidak akan pernah meninggalkannya walau semua orang di dunia ini meninggalkannya. Tapi pada akhirnya, orang itu tidak menepati janjinya, dia menghilang begitu saja tanpa ada kabar sampai sekarang.
Rachel meremas tangannya, terutama jari manisnya tempat cincin indah melingkar di sana sejak 4 tahun yang lalu. Cincin itu tidak pernah sekalipun Rachel lepaskan karena masih berharap orang yang memasangkan cincin itu akan kembali dan memeluknya dengan erat.
Marcus yang baru saja selesai mandi dan turun dengan rambut yang masih setengah basah tampak terdiam saat melihat Rachel duduk di depan TV dengan bahu yang bergetar seperti orang menangis. Tidak, bukan sepertinya, tapi dia memang menangis, ia bisa mendengar isak tangis Rachel saat mendekatinya.
Entah apa yang membuat Rachel menangis kali ini dan entah berapa banyak kenangan pahit dalam hidup Rachel sampai sangat sering menangis. Marcus menjadi berpikir, apa Rachel menangis karena ia tidak membiarkan Rachel menelepon adiknya?
“Kau menangis karena tidak bisa menelepon adikmu? Aku akan memberimu kesempatan menelepon!” ucap Marcus yang saat ini berdiri di sebelah sofa yang Rachel duduki.
Dengan cepat Rachel menghapus air matanya dan menatap Marcus. “Bukan karena itu, tapi aku akan senang jika memberiku kesempatan menelepon adikku.”
“Lalu, kau menangis karena apa?” pada dasarnya, Marcus adalah orang yang mudah merasa ingin tahu tentang beberapa hal, tapi karena selama ini bersikap dingin, jadi belum ada yang membuat sifat ingin tahunya keluar dan sekarang keluar karena tangisan Rachel.
“Kau tidak akan tahu, sampai aku bisa masuk ke ruangan itu.”
“Kau ingin tawar menawar denganku?!” bentak Marcus. Baru saja ia sedikit melunak pada Rachel dan sekarang wanita itu sudah berani tawar menawar dengannya.
“Kau sudah berjanji untuk bersikap lebih baik padaku. Benar, kan?” Rachel menatap Marcus dengan tatapan khas seseorang yang merasa tertindas.
Marcus menghela napas, lalu mengubah tatapannya menjadi sedikit lembut, walau ia bukan ahli dalam hal seperti ini. “Baiklah. Tunggu sebentar, aku akan ambilkan ponselmu.” Dengan rasa kesalnya Marcus berusaha bicara lebih baik pada Rachel, lalu pergi untuk mengambil ponsel.
••••
Busan.
Seorang gadis berusia 20 tahun baru saja mendapat kejutan ulang tahun dari teman-teman dan ayahnya. Gadis bernama Yuna Yoon ini senang karena ada banyak orang menyayanginya, tapi ia sedih karena seseorang yang sangat diharapkan hadir di sini nyatanya tidak datang padahal sudah berjanji akan datang.
Aaron Yoon, pria yang merupakan ayah dari Rachel dan Yuna ini memeluk sebentar putri bungsunya, lalu tersenyum pada gadis itu. “Selamat ulang tahun yang ke-20 tahun,” ucap Aaron dan tidak lupa mengecup kening Yuna.
“Terima kasih. Tapi, Kakak ingkar janji, ponselnya juga tidak aktif. Apa terjadi sesuatu padanya?” Yuna terlihat sangat khawatir.
“Kakakmu mungkin sibuk dengan pekerjaannya. Besok, kau coba telepon lagi. Sekarang, makanlah bersama teman-temanmu, ayah sudah membuatkan kalian makanan enak.” Sebenarnya Aaron juga khawatir terjadi sesuatu pada Rachel karena dia tidak bisa dihubungi bahkan baru kali ini Rachel melanggar janjinya. Tapi, Aaron tidak ingin terlihat khawatir di hadapan Yuna karena tidak ingin semakin membuat Yuna khawatir.
“Baiklah.” Yuna sudah ingin menghampiri teman-temannya, tapi di saat bersamaan ponselnya berdering karena telepon dari orang yang sangat ia rindukan, siapa lagi kalau bukan kakaknya.
“Kakak! Kenapa Kakak tidak datang?!” ujar Yuna setelah menjawab telepon dari Rachel.
“Maaf, aku benar-benar memiliki banyak pekerjaan.” Tidak satu pun orang di sini tahu bahwa Rachel tengah berusaha membohongi keluarganya sendiri. Ayah dan adiknya bahkan tidak tahu tentang ia yang hidup ditengah hutang ibunya. Ini Rachel lakukan karena keadaan keuangan ayahnya tidak ada bedanya dengan dirinya ditambah harus membiayai kuliah Yuna.
“Bos macam apa yang tidak memberi libur pada karyawannya?” Yuna benar-benar kesal sekarang. Aaron terlihat tersenyum melihat wajah kesal Yuna.
“Kau akan mengerti saat sudah bekerja. Selamat ulang tahun, Yuna. Kau sudah dewasa sekarang, jadi berhenti bersikap seperti anak-anak dan jangan menyusahkan Ayah. Kau harus serius dengan kuliahmu, agar bisa menjadi pengacara hebat dan membanggakan Ayah juga mendiang Ibu.”
“Kata-kata Kakak membuatku ingin menangis. Aku akan melakukan yang terbaik, aku juga kadang membantu Ayah di restoran. Jaga kesehatan Kakak.”
“Anak baik. Aku akan baik-baik saja, kau juga harus menjaga kesehatanmu. Sudah dulu, ya, aku benar-benar sibuk. Sampaikan salamku pada Ayah. Selamat malam.”
••••
Seoul.Rachel memutuskan telepon dengan Yuna, lalu meletakkan ponselnya di atas meja. Tidak ada banyak hal yang bisa ia katakan karena Marcus berdiri tepat di sebelahnya. Kalaupun bisa mengatakan kondisinya, Rachel akan lebih dulu memikirkan apa yang bisa dilakukan oleh pria psycho seperti Marcus kepada keluarganya.
“Kau masih punya ayah? Aku sudah lama mengawasimu dan yang kutahu kau hanya punya adik.” Marcus bicara setelah mengambil kembali ponsel milik Rachel.
“Apa kau menguntitku selama lebih dari 4 tahun?” Rachel bertanya, bukannya menjawab pertanyaan Marcus.
“Kenapa aku harus melakukannya selama itu? Buang-buang waktu saja! Memang kenapa? Aku sedang berusaha baik padamu, jadi pastikan kau menjawab semua pertanyaanku.”
“Aku hanya merasa ada yang menguntitku dalam waktu lama. Hubunganku dengan Ayah tidak begitu baik setelah perceraian kedua orang tuaku. Aku memang tidak pernah membicarakannya, tidak pernah meneleponnya, tapi aku tidak membencinya. Aku hanya butuh waktu untuk memaafkan perbuatannya. Ada beberapa pria memberikan kenangan buruk padaku dan Ayahku adalah salah satunya.”
“Kau tidak benci pada pria?” Marcus kembali bertanya.
“Aku ingin benci, sama seperti kau membenci wanita. Hanya saja seperti sekarang ini, kau membenci wanita, tapi memaksa wanita untuk mengandung anakmu dan aku tidak mengerti kenapa harus aku. Yang ingin kukatakan adalah, bukankah ini memalukan? Aku tidak akan membenci pria karena aku membutuhkan pria untuk melindungiku. Maaf, jika aku banyak bicara, aku harap kau tidak marah.”
Marcus tidak mengatakan apa-apa meski mendengar dengan jelas ucapan panjang lebar dari Rachel. Dengan wajah yang terlihat dingin, Marcus memilih untuk meninggalkan Rachel, wanita yang membuatnya merasa pusing karena terlalu banyak bicara. Marcus juga tidak mengerti kenapa ia membuang waktu bicara dengan wanita itu.
“Apa dia marah? Bagaimana jika dia kembali kasar?” Rachel sedikit bergumam. Ya, Rachel pikir seharusnya ia tidak banyak bicara.
••••
“Memalukan? Dia berani menyebut tindakanku memalukan? Kurang ajar! Kalau bukan karena agar dia tidak stres, aku sudah marah tadi.” Marcus menggerutu, lalu membaringkan tubuhnya di kasur. Kemarin malam, ia tidur dengan nyenyak dan berharap itu terjadi lagi malam ini.
Awalnya, Marcus yakin bisa tidur dengan nyenyak, tapi entah kenapa ini tidak berjalan sesuai keinginannya. Sudah berbagai posisi Marcus coba, tapi tetap saja ia tidak bisa tidur nyenyak seperti kemarin malam.
“Sialan! Kenapa aku tidak bisa tidur lagi? Aku hanya ingin tidur nyenyak tanpa mimpi buruk, kenapa sangat sulit?!” Marcus berteriak frustasi.
Bagi sebagian orang, tidur bukanlah hal sulit, tapi berbeda dengan Marcus yang benar-benar sulit untuk mendapatkan kualitas tidur yang baik. Bayangan masa lalu selalu muncul setiap kali Marcus memejamkan mata, sementara di sisi lain tubuhya benar-benar terasa lelah setelah seharian bekerja.
Marcus melempar selimutnya, lalu turun dari ranjang dan membuka sebuah laci. Marcus mengeluarkan sebuah botol obat, tapi tidak ada lagi obat di dalamnya. Jika sudah sangat tidak bisa tidur, maka Marcus akan meninum obat ini agar besok bisa bekerja dalam kondisi yang baik. Tapi, ia lupa jika obatnya habis.
Marcus melempar botol obat itu ke sembarang tempat dan memilih untuk keluar dari kamar. Marcus berjalan menuju ke kamar Rachel. Ia membuka pintu dengan kasar hingga membuat Rachel kaget.
“Kenapa kau ....”
“Aku ingin memastikan sesuatu.” Marcus menyela kalimat Rachel. Sedangkan Rachel tidak tahu apa yang ingin Marcus pastikan.
*****
Bersambung ...
Masyarakat Korea kembali digemparkan oleh penemuan jasad wanita yang kondisinya sama seperti korban kasus pembunuhan dan pemerkosaan yang sampai sekarang belum terpecahkan. Pipi korban dilukai, kemudian diperkosa dan setelahnya dibunuh bahkan lidahnya dipotong. Polanya sama, hingga pihak kepolisian membuat kesimpulan bahwa ini adalah pembunuhan berantai. Rachel melihat berita ini di TV. Ketakutan seketika terlihat di wajahnya. Pembunuh itu telah kembali setelah hampir 3 tahun tidak pernah membunuh. Ia yakin ini adalah orang yang sama jika melihat caranya menghabisi si korban. “Dia kembali," Rachel bicara dengan sangat pelan. Sementara di kantor, Marcus juga sudah mengetahui berita itu melalui ponselnya. Cara pembunuhan yang sama, maka pastilah dilakukan oleh orang yang sama. Entah apa yang ada di dalam pikiran pembunuh itu sampai membunuh wanita. Ia memang benci pada wanita, tapi tidak sampai pada tahap membunuh
Kedua mata Rachel membulat, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Pria psycho itu mengajaknya berkencan dan itu pasti hanya untuk tidur bersama. Sungguh, Marcus benar-benar tidak waras. “Aku yang punya masalah denganmu.” “Kalau begitu, lebih baik kau diam saja! Kau pikir, kepalaku tidak sakit mendengar celotehanmu? Cepat tidur!” walau pernah berjanji akan bersikap lebih baik pada Rachel, pada kenyataannya kadang sikap Marcus masih sama saja. “Aku belum mengantuk,” ucap Rachel ketus. Ia ingin keluar dari kamar, sebab sangat muak satu kamar dengan Marcus. “Kau berani ....” “Kau ingin membuatku stres, lalu keguguran? Baiklah, teruslah berteriak padaku.” Rachel menyela ucapan Marcus, hingga membuat pria itu tertegun. “Keluarlah. Aku tunggu di sini.” Marcus memperhalus nada bicaranya. Sedang
Langit musim semi terlihat cerah hari ini, udara di Nami Island juga sangat segar hingga membuat Rachel menghirup oksigen sebanyak mungkin, lalu menghembuskannya sembari tersenyum. Ia tahu Marcus melakukan semua ini demi calon anak yang ada di kandungannya, bukan karena pandangan pria itu telah berubah terhadap wanita. Tidak apa-apa, ia memiliki keyakinan kalau perlahan Marcus pasti bisa berhenti melihat wanita sebagai makhluk yang menjijikan dan harus dijauhi. “Nami Island sangat indah,” ucap Rachel dan terdengar sampai ke telinga Marcus, karena pria itu berdiri di sebelahnya. “Biasa saja. Bagiku, tidak ada tempat indah di dunia ini.” Dan Marcus menyahuti ucapan Rachel dengan kalimat seperti itu. Ia baru saja berbagi pandangannya tentang dunia. Wanita cantik ini berdecak pelan mengetahui begitu cara Marcus memandang dunia. Pantas saja dia tidak pernah terlihat bahagia walau hanya sekali
Bukan perkara mudah bagi Marcus untuk membuat Rachel tetap merasa aman setelah kejadian di Nami Island. Dari Nami Island hingga sampai di rumah dan sekarang sudah pukul 8 malam, wanita itu tidak pernah sekalipun melepaskan genggaman tangannya. Rachel selalu menempel padanya seakan rasa aman itu hanya ada padanya. Sedangkan Marcus tidak bisa berbuat apa-apa, selain tetap membiarkan Rachel terus menempel padanya. Ia sudah tahu apa yang terjadi, jadi bisa memahami bagaimana perasaan Rachel. Maka dari itu, ia akan melupakan sejenak rasa bencinya, sebab ini juga menyangkut anaknya. “Lebih baik kau mandi dulu, lalu tidur," ucap Marcus, tapi Rachel menggeleng. “Bagaimana jika dia tiba-tiba muncul di kamar mandi? Lalu ....” “Dia tidak akan bisa masuk ke rumahku. Aku juga sudah memerintahkan beberapa orang yang sangat ahli untuk mencari keberadaannya. Aku akan menunggumu
Ini masih terlalu siang untuk minum alkohol, tapi Marcus baru saja meneguk habis minuman beralkohol yang ada di dalam gelas itu. Setelah pembicaraan dengan Rachel tadi dan diakhiri oleh dirinya yang terdiam, pikirannya menjadi agak tidak fokus sekarang. Ia tidak mengerti kenapa harus wanita yang membuatnya merasa nyaman. Kenapa bukan sesuatu yang bisa dibeli dengan uang dan tidak memiliki kemungkinan menyakitinya? “Lihatlah dirimu. Kau pikir, pria sepertimu pantas untuk Jira?” “Wajahmu terlihat menakutkan.” “Dia sungguh saudaranya Alex? Kenapa Alex bisa memiliki saudara seperti itu?” Semua kalimat menyakitkan yang Marcus terima di hari ulang tahunnya terus terngiang bersama dengan tawa murid wanita yang mengejeknya. Bahkan bayangan saat pacarnya tidur dengan Alex lagi-lagi muncul di benaknya. Ini memuakkan dan menyakitkan hingga Marcus membanting gelas di
Louis baru saja menyalakan satu batang rokok, sembari berjalan keluar dari tempatnya berbelanja tadi. Beberapa bahan makanan sudah ada di dalam kantong plastik yang ada di tangannya. Tidak ada yang mencurigakan darinya, pria ini terlihat seperti orang ramah bahkan tidak ragu membantu seorang nenek yang kesulitan menyeberang jalan. Ada senyuman di bibir Louis, ditambah tatapan hangat yang akan membuat siapa pun yakin bahwa ia adalah pria baik-baik. Jika sekarang kalian mengatakan bahwa pria ini adalah seorang psikopat, maka mungkin tidak akan ada satu pun orang akan percaya. Pada kenyataannya, psikopat adalah seseorang yang tahu betul tentang keramahan. Namun, kemarahan psikopat sangatlah menyeramkan. Dalam perjalanan pulang, Louis melihat nenek yang tadi ia bantu menyeberang di bentak oleh seorang laki-laki muda karena tidak sengaja ditabrak. Laki-laki muda itu mengatakan sedang buru-buru. Dia terus membentak tanpa peduli tentang sang nene
Jira tidak pernah menyangka akan melihat Marcus sangat berbeda setelah sekian lama berpisah. Yang ia tahu, pria itu adalah sosok pria yang hangat, bukan dingin seperti sekarang ini. Marcus seharusnya adalah orang yang enak diajak bicara, tapi saat ini menatap mata Marcus saja ia merasa takut. Seperti ada kilatan petir di matanya yang bisa menyambar siapa pun jika berani menatap mata itu. “Apa maksud ucapanmu? Aku punya anak?” Marcus bertanya pada Jira. Lagi-lagi, Jira merasa kalau Marcus sangatlah berbeda. Ini seperti bukan Marcus yang ia kenal. Tidak begini cara bicara Marcus yang ia kenal. “Ada apa denganmu? Kau tidak seperti Marcus yang dulu.” “Jawab saja pertanyaanku!” Marcus meninggikan suaranya. Ia tidak akan pernah lupa pada Jira, tidak akan sampai kapan pun, begitu juga dengan masa lalu menyakitkan yang membuatnya tidak bisa lagi menjadi Marcus yang dulu.
Hari sudah begitu malam, sudah saatnya bagi siapa pun untuk mengistirahatkan tubuh mereka. Tidur nyenyak di atas ranjang dengan selimut tebal, itu terdengar sangat nyaman. Kedua hal itu ada di kamar Rachel, tapi tetap saja ia belum bisa istirahat dengan nyaman. Rachel tidak bisa melepaskan pikirannya dari bayangan kejadian tadi. Marcus Cho, ia benar-benar ingin memaki pria itu sekarang. Rachel duduk di lantai dan bersandar di ranjang. Ia memeluk kedua lututnya dan menatap pantulan dirinya di cermin. Sebenarnya, Rachel benci melihat bayangan dirinya, sebab mengingatkannya tentang betapa menyedihkan hidupnya ini. Terlalu banyak sampah yang dunia lempar padanya, hingga tidak bisa lagi dibersihkan. Sudah terlalu banyak menumpuk dan menguburnya dengan sangat dalam. “Aku terlihat menyedihkan. Benar, bukan dunia yang kejam, tapi aku yang terlalu banyak berharap dan akhirnya dihancurkan oleh harapanku sendiri. Aku takut. Aku akan lep