Share

1. Malam Menjelang

Penulis: Zeromanaka
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-03 19:30:14

Siang terik saat itu, mata hari hampir menyentuh puncaknya, Vee menulis apa yang dia temui semalam, ia harus menuliskan pembasmian Chofa di sebuah buku harian berwarna merah. Catatan-catatan tersebut kemudian akan menjadi pemantauan perkembangan Chofa di kemudian hari. Pasalnya, Vee tak jarang bertemu Chofa yang sudah mendapatkan bentuk karena sudah memakan cukup banyak jiwa. Ada yang berbentuk raksasa besar, hewan seperti singa bersayap atau kera yang memiliki mata merah, semua bentuk itu mungkin dirupai Chofa yang sudah mendapatkan cukup jiwa tergantung dari gabungan emosi-emosi dari jiwa-jiwa yang Chofa makan.

Vee menuliskannya dengan teliti, menceritakan segala yang ia lihat dan rasakan meski semalam hanyalah Chofa belum berwujud yang ia temui.

“Kak Vee sedang menulis apa?” tanya seorang lelaki kecil-adik dari Vee-yang tiba-tiba saja ada di belakang tempat duduk Vee.

Dengan sigap, Vee menutup buku berwarna merah tersebut dan berdalih lain tentang jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan adiknya barusan, “Oh ini… buku catatan pembeli di toko ini. Jadi, kalau ada pembeli, harus kakak catat di sini.” Bukan seharusnya Vee menunjukkan buku itu pada adiknya jika merujuk pada kalimat yang baru saja ia ucap, namun Vee malah terlihat membelakangkan buku tersebut. “Kamu sudah pulang sekolah jam segini?” Vee mencoba mengubah topik yang didasari pada pandangannya ke arah seragam sekolah putih dengan celana biru tua yang dikenakan adiknya.

“Iya, Ka! Di sekolah, ada ribut-ribut soal makhluk ‘itu’ yang dilihat beberapa murid-” kalimat adik Vee yang diketahui namanya adalah Feri itu terpotong.

“Di mana? Apa kau juga melihatnya?” cegat Vee, ia langsung bereaksi jika mendengar tanda-tanda adanya Chofa.

“Aku tidak melihatnya, Ka,” jawab datar Feri. “Memang… Kakak mau apa?” ia bertanya balik.

“Oh tidak… kakak cuma khawatir saja,” jawab Vee setengah-setengah.

Vee adalah anggota keluarga Avolos, salah satu dari tiga keluarga besar pembasmi Chofa yang ada di negara tersebut. Salah satu peraturan keluarga tersebut adalah: Anak dari keluarga Avolos di bawah lima belas tahun tidak boleh mengetahui aktivitas keluarga tersebut, generasi penerus keluarga sebagai penumpas Chofa akan mulai dilatih saat umur mereka genap lima belas tahun. Oleh karena itu, Vee berusaha agar Feri tak mengetahui apa yang ia lakukan ketika malam.

“Ya sudah, Ka. Feri ganti baju dulu,” ujar Feri kemudian punggungnya mulai menjauh dari Vee, menuju kamar untuk berganti pakaian. Toko bunga yang sekarang dijaga Vee juga merupakan rumah, toko tersebut adalah warisan turun temurun dari keluarga Vee yang sekarang hanya ditinggali dua orang-Vee dan adiknya, Feri.

***

Matahari mulai bersembunyi, semburat oranye terlihat begitu indah dan toko berlabel “Batang Pohon Ajaib” yang dijaga Vee lekas ia tutup-tanaman-tanaman yang tadi berada di luar ia masukkan. Kemudian, sebuah tirai logam diangkat untuk menutupi bagian depan toko tersebut.

Vee duduk sejenak di sebuah bangku depan tokonya yang sudah bergantungkan sebuah kotak dari kardus dengan tulisan “TUTUP” di depannya, memandang langit sore yang mulai kemerahan, setengah lingkaran terlihat sudah sebagai bagian matahari yang tinggal di permukaan. Vee memandang lamat matahari yang sangat jauh dari matanya tersebut, menikmati waktu demi waktu di akhir harinya sebagai manusia. Saat seperempat lagi matahari berada di atas horizon, barulah Vee masuk ke dalam kamarnya, lekas berganti pakaian.

Menjelang hampir malam, Vee mengenakan pakaian yang belum pernah ia kenakan saat siang, kemudian ditutup dengan jubah hitam berpenutup kepala. Jubah itu adalah warisan daripada ibunya yang juga dulu seorang pembasmi Chofa. Awal dari malam mulai menjelang, matahari baru saja sembunyi sepenuhnya di balik horizon dan sekujur badan Vee mulai merasakan panas. Badan Vee terasa terbakar sesaat lalu api berwarna biru mulai menyala dari ujung kaki merambat sampai di ujung kepala. Vee sudah terbiasa, wanita jelita saat siang itu sudah merasakan ini selama lima tahun lamanya. Sekitar setengah menit kemudian, Vee sudah tidak lagi menjadi manusia seutuhnya. Kedua tangan, kedua kaki serta badannya memang masih berwujud manusia, namun kepala dari gadis tersebut sudah berubah menjadi tengkorak dengan api biru yang sesekali memercik di sekitarnya. Rambut panjang indahnya masih berwujud, dan malah membuat sosok itu semakin bertambah seram. Sesekali, Vee mendelik ke arah cermin, memandang sosoknya kini dengan mata biru menyala. Kecantikannya saat siang itu kini sirna, tinggal kegelapan yang menyelimuti wajahnya.

Vee mengambil sebuah pedang bersarung hitam yang sudah ia siapkan di pojok kamar, lalu lekas pergi dengan melewati jendela kamarnya agar sang adik tidak mengetahui.

HUSH… hembusan angin kencang menemani Vee dan pedang kesayangannya ketika melewati atap setiap rumah warga. Vee menuju sekolah adiknya, ia khawatir jika serangan Chofa itu akan melibatkan adiknya. Oleh karena itu, ia harus menumpas Chofa yang ada di sekolah terlebih dahulu.

Tibalah Vee di atap sekolah adiknya, sebuah SMP yang terlihat lumayan besar dengan lapangan yang cukup untuk tiga pertandingan bola volly sekaligus. Semua gedung menghadap ke arah lapangan serta mengelilinginya. Itu dia, Vee melihat sesosok Chofa di tengah lapangan, Chofa itu masih tak memiliki wujud, tubuhnya abstrak dan sedang bersiap memakan salah satu jiwa dari seorang satpam yang sudah menggantung di atas mulut Chofa tersebut.

“Tolong!” teriak satpam yang bisa memekakan telinga, sebuah teriakan manusia yang sudah berada di ambang nyawanya.

Vee dengan sigap meluncur sekuat tenaga untuk menahan Chofa tersebut dari memakan manusia yang sudah ada di atas mulutnya. Namun, tubuh Vee terpelanting karena sebuah tendangan misterius yang telak mengenai bagian perutnya. Vee terjatuh, tersungkur di lapangan dekat dengan Chofa yang sudah bersiap menelan salah satu mangsanya itu. Vee segera bangkit dan masih memiliki tekad untuk menyelamatkan penjaga sekolah yang masih berteriak minta tolong itu. Namun naas, seorang lelaki menahan tubuh Vee, mendudukinya di bagian perut dengan cepat tanpa Vee sadari, tubuh Vee kini tak bisa bergerak.

“Minggir, Kau!” seru Vee dengan suara nyaring dan bergema karena mulutnya juga hanya terdiri dari tulang-belulang. “Aku ingin menyelamatkannya!”

“Kau keluarga Avalos, ya? Pantas saja sangat lemah,” kata pria tersebut kemudian berdiri, membuat Vee bisa bergerak kembali. Namun….

“Tolong!” itu adalah teriakan terakhir penjaga sekolah sebelum seluruh tubuhnya masuk ke dalam rongga mulut Chofa.

Vee mendelik bingung, baru kali ini niatnya untuk menyelamatkan manusia dari Chofa dihalangi. “A-” kalimat Vee terpotong ketika Chofa yang ada di hadapannya itu mulai menunjukkan sebuah reaksi yang sudah lama tidak Vee lihat. “Dia akan memiliki wujud, kau larilah!” seru Vee pada lelaki yang entah ia tak tahu siapa.

“Hahaha!” lelaki itu tertawa, membuat Vee waspada lalu dengan cepat mundur beberapa langkah dari lelaki tersebut. “Inilah yang aku tunggu.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Psychofagos: Pemakan Jiwa   53. Pahlawan Kerajaan Iblis

    Sementara itu, di sisi lain dunia, dunia yang begitu penuh dengan kegelapan, dunia tempat di mana iblis tinggal, tengah diadakan pesta besar besaran. Lebih tepatnya di kerajaan Madome, salah satu kerajaan yang sangat mendukung keberadaan Chofa di dunia manusia untuk kebutuhan para iblis di sana. Jiwa-jiwa manusia yang dimakan oleh Chofa dikumpulkan ke dalam bejana transparan besar di mana. sangat banyak apalagi pasca malam bencana yang barusan dihadapi oleh manusia. Hampir seluruh iblis di kerajaan tersebut bersuka cita, mereka minum dan makan dengan lahap seraya senang menyambut jiwa-jiwa manusia yang telah mereka dapatkan. Seperti yang pernah disebutkan sebelumnya jika jiwa adalah makanan yang sangat lezat bagi ras Iblis. Daging, susu, masakan yang enak atau apa pun itu akan kalah lezatnya jika dibandingkan dengan jiwa, karena itulah mereka mengirimkan Chofa sebagai pemburu jiwa manusia yang nantinya akan me

  • Psychofagos: Pemakan Jiwa   52. Keluarga Drakon

    Keluarga Drakon adalah mereka yang diakui sebagai garis langsung keturunan manusia naga pertama. Keluarga Drakon yang melawan Chofa ada lebih dulu daripada keluarga-keluarga Pembasmi Chofa lainnya. Mereka ada jauh sebelum keluarga Ice mendapatkan kekuatan, juga sebelum keluarga Avalon mendapatkan kekuatan iblisnya. Mereka sudah ada jauh sebelum itu. Dalam kitab yang diturunkan turun-temurun kepada keluarga Drakon, awal mula mereka terbentuk bukanlah atas dasar adanya Chofa, karena Chofa saat itu belum muncul di permukaan bumi atau bisa dibilang masih dalam kurungan di dunia iblis. Pada saat itu, terdapat duan aga yang berhasil menemukan sebuah dunia dengan manusia yang sangat banyak di dalamnya beserta sumber daya alam yang sangat melimpah. Seperti tanaman, air, panas yang stabil, tempat yang nyaman untuk dijadikan tempat tinggal. Alhasil, dua naga itu membentuk kerajaannya sendiri dengan manusia-manusia sebag

  • Psychofagos: Pemakan Jiwa   51. Drakon

    “Kau belum menyebutkan nama,” cegat Tokki pada Vee yang hanya merespon dengan diam saat didengarkan sebuah nama. “Ah iya, namaku Vee, Vee Avalon,” jawab Vee dengan ragu-ragu karena baru pertama kali ini ia bertemu langsung dengan anggota keluarga Drakon secara langsung. “Vee? Nama yang indah!” celetuk Tokki. Gadis Naga itu berjalan mendekat ke arah Lava yang akan memasuki gua. “Gua apa ini?” tanya Tokki asal. “Apa kita akan masuk?” Mereka berdua sudah ada di mulut gua, sementara Vee sedikit berlari untuk menyusul. “Apa kita benar akan masuk? Kita takt ahu apa yang ada di dalam sana, bukan?” cemas Vee. “Tenang saja,

  • Psychofagos: Pemakan Jiwa   50. Malam Bencana (3)

    “Jadi… apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Lava setelah menceritakan kejadian malam mengerikan yang ia lihat. Vee menggeleng sebagai tanda ia tak tahu apa yang akan dilakukan selanjutnya. Tangan lembut Vee masih menggenggam mayat sang Adik, ia tak mampu untuk melepaskannya meski mayat itu perlahan mulai dingin, juga kaku seperti sebuah papan. Untuk yang kesekian kalinya air mata Vee mengalir perlahan, menetes sampai pada kulit mayat berwajah Feri tersebut. Vee merasa benar-benar tak tau arah setelah kematian Feri, seperti keinginan untuk membasmi Chofa pun lenyap begitu saja. “Apa kau akan terus-menerus menangisinya dan tidak akan berbuat apa-apa?” celetuk Lava. “Memangnya… apa yang bisa aku perbuat untuk menghidupkannya kembali?” kalimat Vee mulai

  • Psychofagos: Pemakan Jiwa   49. Malam Bencana (2)

    Perlahan, tabir yang menyelimuti mereka berlima mulai terbuka, dapat dirasakan oleh masing-masing dengan pertanda yang berbeda-beda. Setelah seluruh bagian tabir terbuka, mereka melihat dunia yang baru. Ya, dunia yang mereka kenali itu ternyata baru saja luluh lantah, selama ini tabir tersebut menutupinya, sebuah peristiwa yang terjadi saat mereka berlima sibuk melawan Chofa yang kuat di dalam tabir. “A-apa yang terjadi?” Savi bertanya pada entah siapa, sementara matahari mulai malu-malu muncul dari ufuk timur. Vendre menggeleng sebagai pertanda tidak tahu, begitu pula dengan Asta dan Vee dalam menanggapi pertanyaan Savi yang terlihat panik. Karena matahari yang mulai menunjukkan sinarnya, tubuh-tubuh mereka yang tadinya kerangka, kini kembali menjadi m

  • Psychofagos: Pemakan Jiwa   48. Malam Bencana

    Vee dan Vendre bergerak bersamaan, mereka hampir melaju dengan kecepatan yang sama, hanya saja Vee sedikit lebih cepat. Gadis tengkorak itu diselimuti penuh oleh aura hitam kuat yang stabil, sementara Vendre masih berusaha mengeluarkan api merah meski tidak sebesar sebelumnya. Kedua tusukkan pedang mereka tepat mengenai bagian lemah yang direncanakan, Vendre agak telat sedikit. Dari tusukkan tersebut, retaknya merambat. Chofa yang besar itu berteriak keras, membuat gemuruh yang hebat, ombak pun terpengaruh olehnya. “Sekarang! Asta!” perintah Riv selanjutnya. Asta yang sedari tadi sudah mengumpulkan energi di dalam pedang besar, kini tengah dibantu oleh Savi, membuat pedang yang berasap hitam itu bercampur dengan api hijau. Asta mengayunkan dengan cepat pedangnya bersamaan dengan Vee dan Vendre yang lekas menghindar dari sasar

  • Psychofagos: Pemakan Jiwa   47. Api Merah

    Api merah adalah sebuah kekuatan Avalon yang sudah sangat jarang ditemukan karena cukup berbahaya jika penggunanya kehilangan konsentrasi barang sebentar saja. Pasalnya, api itu memanfaatkan banyak energi dari iblis secara tiba-tiba yang dicampur dengan amarah dari manusia. Vendre sudah menguasai amarah yang bisa dia keluarkan meski tak ada hal yang membuat marah maup[un sedih di sekelilingnya. Itu berarti, Vendre bisa menangis maupun marah tanpa sebab. Bahkan di saat sekarang pun, ia dalam kondisi sedih dan marah secara bersamaan, pedang yang masih di dalam sarung itu pun berkibarkan api merah yang cukup besar. Angin mulai kembali berhembus kencang, namun kali ini sebagai respon dari kekuatan Vendre yang luar biasa. Lelaki itu melompat, bergerak dengan cepat, menebas bagian leher Chofa yang sedang mereka berlima hadapi. Seketika leher Chofa yang besar itu penuh dengan kobaran api searah goresan pedang milik Vendre. Namun, tak sedikit pun terpotong.&n

  • Psychofagos: Pemakan Jiwa   46. Lari?

    Serangan dari Asta membuat seisi pantai bergemuruh, tebing tinggi itu pun perlahan oleh tebasan yang semakin bergetar. Tidak berselang lama, tebing tersebut berhasil di hancurkan berkeping-keping. Pasca itu terjadi, tebasan pedang hitam itu berhenti, Asta terlihat sangat bisa mengendalkan kekuatannya. Begitulah yang disadari oleh Vee. Perlahan debu-debu yang menyelimuti bekas tebing barusan mulai menghilang dibawa angin malam ke arah laut. Dan terlihatlah sebuah gua di sana, gua yang mengarah ke dalam tanah meski masih terllihat samar-samar. “Gua?” Vendre bergumam perihal apa yang pandangannya bicarakan. Gerbang menuju suatu tempat yang diduga adalah laboratorium Chofa itu terbuka, tapi apakah tabir yang menyelimuti tadi juga sudah hilang? Begitul

  • Psychofagos: Pemakan Jiwa   45. Tempat Penelitian 3

    “Hahaha!” Fazl terbahak mendengar cerita dari Vee siang itu yang menjelaskan jika penghalang di pantai itu hanyalah melindungi dari manusia. “Semudah itu? Kenapa pasukan payah itu tidak bisa menemukan solusinya,” ia kembali menundukkan kepala sembari meremas rambutnya sendiri. “Malam ini, mala mini juga kita harus serang tempat itu habis-habisan, entah makhluk macam apa yang ada di sana, kita akan serang mereka bersamaan.” Vee hanya balas dengan anggukkan, gadis cantik itu masih tidak mengerti mengapa raut wajah sang Ayah dapat berubah begitu cepat dari tertawa menjadi semurung sekarang. Fazl pergi begitu saja dari rumah yang didiami Vee setelah mmeberikan arahan mengenai teknis penyerangan nanti malam. “Apa aku boleh ikut?

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status