Share

Psychofagos: Pemakan Jiwa
Psychofagos: Pemakan Jiwa
Author: Zeromanaka

0. Vee

Malam itu gelap, sinar rembulan tertutup rapat awan hitam, semilir angin malam mampu menghadirkan rasa dingin di setiap tubuh manusia, menjadikan setiap orang memakai minimal satu penghangat dari tubuhnya, baik sweeter, jaket, maupun sekedar dua baju berbahan tebal.

“Dingin, ya?” ujar Narto, salah seorang warga di sebuah warung kopi di pinggir jalan yang cukup sunyi sembari mengobrolkan masalah yang selalu meresahkan masyarakat Yamaisia belakangan ini. Yamaisia, sebuah negara di balik cermin suatu wilayah bernama Nusantara, apa yang ada di dalamnya merupakan cerminan hampir persis wilayah tersebut.

“Kabarnya, jika malam dingin begini, terus cahaya bulan tak tampak, ‘dia’ akan muncul dan mencari korban…” ucap secara bisik salah seorang lagi di warung kopi tersebut, Rehan.

“Sssttt… jangan sebut-sebut nama itu,” kata wanita penjaga warung yang sedang membuatkan secangkir kopi untuk pelanggannya.

“Halah! Itu mah cuma mitos!” kata seorang pria berambut panjang dan memakai pakaian serba hitam yang duduk agak berjarak dari obrolan. Ia meminum kopi sekali teguk, “Gluk!”.

“Buset!” kaget Narto.

“Tapi kemarin, ada yang bercerita jika ‘dia’ muncul, sosoknya menyeramkan,” tambah Rehan.

“Ah, sudah, Mas. Jangan omongin masalah itu lagi, saya takut,” gelisah sang Penjaga Warung.

Tiba-tiba, pria berbaju hitam tadi meninggalkan warung dengan dua cangkir kopi kosong dan empat buah keping Hella-mata uang yang digunakan Negara Yamaisia.

“Haus kali tuh orang ya? Hahaha, minum dua cangkir kopi gak sampai selesai kedip,” celoteh Narto dengan kesan medok yang khas.

Malam semakin sunyi, Narto dan Rehan baru saja usai menghabiskan secangkir kopinya dan membayar, namun sebelum mereka pergi, kabut hitam tiba-tiba datang, semilir angin dingin yang tadinya terus berhembus kini diam seakan memerintah kabut hitam itu agar tetap berada di sekitar warung kopi tersebut.

“I-ini…” Kaki Narto gemetaran, wajah yang tadinya selalu mengeluarkan kesan canda sekarang menjadi pucat pasi. Begitu pula dengan Rehan yang sudah tak bisa berkata-kata.

“Lari!” sang Penjaga Warung sudah lari terlebih dahulu setelah menyadari ada yang tidak beres dengan warungnya.

Narto dan Rehan saling berpandangan, memastikan apakah mereka sepikiran atau tidak. “L-lari, Han!” seru Narto.

“T-tidak bisa!” Mereka berdua mencoba menggerakkan kaki namun hal itu sekan mustahil, ada sesuatu yang mencengkeram kedua kaki mereka.

“Di bawah ada…” Rehan mencoba menebak namun ia keburu penasaran ingin melihat ke belakang dan terbelalak sebelum menyelesaikan kalimatnya. “Nar… Narto…” Rehan mencoba menepuk bahu kawannya dengan pandangan masih mengarah ke belakang, namun tepukan tangan itu tak kunjung mengenai teman yang seharusnya berada di sampingnya. “Narto!” panggil Rehan sekali lagi. Setelah Rehan menengok ke arah Narti, kawannya itu sudah tiada di sisinya. “Narto!?”

WUZH!

“Tolong!” teriak Narto yang sudah bergelayutan di atas Rehan, kakainya ditarik oleh sosok makhluk yang membuat Rehan terbelalak barusan. Melihat itu, jiwa pengecut Rehan sedikit bangkit, ia berniat laru namun lupa jika kakinya juga dipegang oleh makhluk mengerikan tersebut. “Sial!”

Chofa, adalah sebutan makhluk mengerikan tersebut, ia adalah sekumpulan emosi-emosi jahat yang menjelma menjadi sesosok makhluk pemakan jiwa manusia. Semakin banyak jiwa yang dia makan maka semakin kuat kemampuannya. Chofa yang sedang mencoba memakan Narto dan Rehan kali ini berwujud makhluk abstrak berwarna hitam, namun ia memiliki mulut yang sedia kapan pun menelan jiwa manusia. Tubuh abstraknya tersebut bisa berwujud apa saja tergantung dari kekuatan yang Chofa miliki, saat ini, ia hanya mampu membentuk empat tangan.

“Tolong!” teriak Rehan yang lebih dahulu akan dimakan oleh Chofa,

“Rehan!” teriak Narto nyaring, kemudian menutup matanya saat Rehan akan dimakan oleh Chofa. “Tidak!”

GLEGK! Chofa dengan mudahnya menelan Rehan. Sekarang giliran Narto, ia dibawa menuju mulut yang sudah menganga lebar, bersiap menelan jiwa siapa pun.

“Tidak! Aku belum mau mati! Aku belum menikah!” teriak Narto histeris.

Tepat sebelum Narto akan dimakan, sesosok makhluk menyeramkan lainnya datang, membawa sebuah pedang lalu melompat tinggi dan menebas lengan Chofa yang membuat Narto kini lepas dan terjatuh.

SLASH!

Makhluk tersebut bertubuh seperti seorang wanita namun memiliki kepala tengkorak yang berambut panjang tergerai. Wanita berkepala tengkorak tersebut adalah Vee, seseorang yang menjalin kontrak dengan Iblis secara turun-temurun dari keluarganya. Kontrak tersebut menjadikan dirinya mempunyai kekuatan iblis, dan kekuatan tersebut akan terus meningkat menjelang tengah malam. Namun bayaran dari itu adalah: Setiap matahari mulai tenggelam, Vee harus menjadi setengah iblis dengan wajah yang menyeramkan.

Sebelum Narto terjatuh, Vee lebih dahulu menangkapnya dan membawa lelaki lajang tersebut ke tempat yang aman.

Vee menyiapkan kuda-kuda dengan pedang bersarung-tak pernah ia lepas sarung pedang tersebut sampai saat ini-peninggalan keluarganya turun-temurun yang juga digunakan untuk membasmi Chofa. Pedang Ava, adalah pedang khas keluarga Avalos, yaitu nama keluarga yang saat ini disandang Vee sebagai salah satu pembasmi Chofa.

Makhluk hitam abstrak tersebut-Chofa-memperbanyak lengannya, kemudian menyerang Vee bertubi-tubi namun Vee berhasil menghindar. Beberapa lengan dapat Vee tebas dengan lihainya-tanpa sedikit pun membuka sarung pedang Ava-, seperti ia tengah menari di antara empat tangan yang jika ia potong selalu tumbuh. Semakin waktu, Vee semakin mendekati Chofi tersebut. Setelah yakin jika Chofi ada dalam jangkauan jurusnya, Vee menusukkan pedang tepat di sebuah titik hitam Chofi, itu adalah inti dari Chofi yang harus dihancurkan agar dia bisa dikalahkan. Vee mengeluarkan sesuatu dari sakunya, itu adalah sebuah Bunga Mawar, Bunga Mawar tersebut bisa menyerap kekuatan Chofi. Karena jika tidak diserap, aura hitam yang berbentuk asap sisa Chofi akan berkeliaran tak tentu arah dan mempunyai kemungkinan besar membentuk Chofi baru lewat emosi negatif manusia.

***

Pagi itu cerah, kokok jago bersuara nyaring, matahari mempunyai sinar yang indah dan awan tak menyapa dengan gelapnya mendung. Vee membuka tokonya tepat pukul tujuh pagi setelah bersiap-siap. Toko miliknya menjual berbagai jenis tanaman hias yang cukup lengkap, dari mulai yang biasa seperti Lidah Mertua, Paku Tanduk Rusa, Philodendron, bunga-bungaan seperti Mawar-Melati, sampai yang langka seperti Bunga Kosmos Cokelat pun tersedia di toko milik Vee yang bernama “Batang Pohon Ajaib”.

“Bibit Philodendron ini berapa, Mba?” tanya seorang pelanggan lelaki siang itu sedikit berteriak karena tempat Vee agak jauh.

Vee mendekat berlari menghampiri. “Itu… seratus keping Hella, A.”

“Mahal amat, Mba-” mulut lelaki itu terkunci saat melihat paras cantik Vee. “Ah, iya baik. Seratus keping.”

“Terima kasih,” kata Vee sembari tersenyum manis, lelaki itu membalas senyumnya sembari membawa bibit yang dia beli.

Seperti itulah, Vee menjalani kehidupannya seperti manusia biasa ketika pagi, sampai sore hari.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status