WUSH!
BRAKG!
Sebuah hantaman ke arah Vee dan lelaki misterius dari Chofa yang sedang mencoba untuk mencapai wujudnya, mereka berdua dapat menghindari itu dengan meloncat ke atap gedung sekolah. Saat Vee mulai menyiapkan kuda-kuda dengan pedangnya, sesuatu seperti es tiba-tiba menjalar di depan Vee, menghalangi aksinya. Melihat lelaki misterius itu memiliki kekuatan di atas manusia biasa, Vee pun penasaran dengannya. “Kau dari keluarga Ice?” tanya Vee sembari mengembalikan tubuhnya ke keadaan rileks.
“Sudah jelas, bukan?” balas lelaki itu. “Aku adalah Lava-”
“Kenapa kau membiarkan Chofa itu memakan jiwa penjaga sekolah barusan!?” potong Vee dengan nada marah, ia tak bisa menampakkan raut dengan wajah tengkorak yang mengerikan itu.
“Hey… aku tidak tahu jika ada pemburu Chofa yang masih melawan Chofa sebelum mendapatkan wujudnya-”
“Apa kau bilang!?” Vee memberikan pukulan ke arah wajah pria bernama Lava itu, membuatnya terhempas sekitar satu meter ke belakang. “Chofa memerlukan banyak jiwa untuk mendapatkan wujud, itu berarti….” Vee menengok ke arah Chofa yang saat ini sudah mulai berwujud. Chofa itu kini menjelma sesosok manusia setinggi gedung sekolah, matanya merah menyala, tangannya panjang sampai menyentuh aspal lapangan, dua buah tanduk menghadap ke depan. Pemandangan yang sangat jarang Vee temukan. Namun ia lebih fokus ke arah bawah, di mana ada sekitar sepuluh mayat manusia tergeletak tanpa jiwa. Mata biru di dalam tengkorak Vee terbakar, baru kali ini dia melihat mayat korban dari Chofa sebanyak itu berdekatan saling tumpang-tindih.
Vee berniat menyerang Chofa yang sudah berwujud di hadapannya tersebut, namun Lava melesat lebih dulu darinya. Lava memukul Chofa tersebut dengan kepalan es di tangannya, membuat Chofa terjatuh. Vee tak membantu, ia mencoba menenangkan diri dan melihat pertarungan terlebih dahulu, sementara mata birunya sesekali masih tertuju nanar ke mayat-mayat kosong di bawah.
Chofa kembali bangkit, kali ini ia memberikan serangan yang sangat cepat ke arah Lava, serangan yang entah berwujud apa itu telak mengenai Lava, membuatnya terpelanting ke tanah kemudian menabrak pagar pembatas gedung dan lapangan. Vee ingin menolongnya, namun tepat sebelum ia melangkahkan kaki kiri ke depan, suara tawa Lava terdengar, membuat Vee merasa aneh. Tak lama kemudian Lava bangkit, senyumnya bertambah lebar. Ia mengumpulkan energi sejenak dan tak lama setelah itu, kedua lengannya diselimuti oleh es. “Aku senang bertarung dengan lawan yang tangguh!” seru Lava sembari berjalan mendekati Chofa yang sudah berdiri tegap dengan tatapan mata tajam ke arah lelaki berpakaian rapi-kini bajunya sudah agak berantakan-bernama Lava tersebut.
Chofa memeberikan serangan bertubi-tubi dengan tangannya, namun setiap serangan tgersebut dapat dihindari dengan mudah oleh Lava sembari berjalan mendekati target hitam besarnya itu. Sesekali juga Lava menangkis serangan dengan lengan es-nya hingga berbunyi “TANG!”.
Setelah begitu dekat dengan Chofa, Lava melompat dan menyiapkan tangannya untuk memukul ke arah dada di mana biasanya terdapat inti dari makhluk bernama Chofa yang sedang ia lawan itu.
Telak, serangan dari tangan es Lava menembus tubuh Chofa dan berhasil mengeluarkan sebuah inti hitam dari dalam tubuh besar itu. Lava melompat mundur, tubuh Chofa yang setinggi bangunan sekolah itu roboh setelah intinya diambil. “Apa segitu saja kemampuanmu? Membosankan!” Lava memecahkan inti tersebut, Chofa yang tadinya berwujud, kini perlahan menjadi asap tebal berwarna hitam. Jika keluarga Avalos memakai bunga untuk menyerap sisa-sisa Chofa, keluarga Ice melakukannya dengan membekukan asap-asap hitam sisa Chofa seperti yang sedang dilakukan Lava saat ini, ia mengarahkan tangannya ke arah asap hitam, dari tangannya tersebut keluar udara dingin, terlihat dari kebulan asap putih yang berlawanan dengan asap sisa Chofa. Beberapa detik kemudian, Seluruh asap hitam sisa Chofa berhasil dibekukan, besarnya es kini dua kali lebih besar dari Chofa berwujud yang barusan tumbang. Lava dengan tenaga malas memukul bongkahan es besar itu, hancurlah seketika.
Setelah pertempuran dirasa usai, Vee turun dari atap. Pijakan kakinya tertuju langsung pada mayat-mayat yang bergeletakkan. Setiap Chofa yang sudah akan mendapatkan bentuk, mereka akan membuang mayat yang sudah tak berjiwa itu karena sudah tak lagi dibutuhkan, begitu sederhananya. “Apa kau membiarkan Chofa tadi menelan jiwa-jiwa manusia tak bersalah ini?” suara khas bergema Vee terdengar begitu penuh kebencian.
“Ya-” jawab singkat Lava yang kemudian ia diserang secara mendadak dengan pedang bersarung Vee. Lava berhasil menahannya dengan lengan yang masih berlapis es itu, serpihan-serpihan es terlihat bertebaran. “Hey… kenapa kau terlihat begitu marah?” tanya Lava dengan santainya.
“Kenapa kau melakukan itu? Kau harusnya menyelamatkan mereka sebagai pembasmi Chofa!” teriak Vee.
“Hey… kita ini pembasmi Chofa, bukan penyelamat manusia!” Lava balas berteriak lalu membanting pedang milik Vee yang membuat tubuh pemegangnya juga ikut terbanting. “Pertama, aku bukanlah penyelamat manusia. Kedua, aku tidak mau melawan sesosok makhluk yang lemah!” seru Lava kemudian meninggalkan Vee begitu saja, punggung pria berjas hitam itu semakin lama menjauh dari Vee. Sebelumnya Vee memang sering bertemu dengan pembasmi Chofa lain, tapi baru kali ini dia bertemu yang berpikiran semacam Lava.
Vee berdiri tanpa membersihkan bajunya terlebih dahulu karena itu tak perlu dilakukan ketika malam yang gelap, juga sebagai makhluk yang tak utuh sebagai manusia. Vee kembali mendelik iba pada mayat-mayat yang bergeletakkan tak teratur. Semenjak ia diajarkan menggunakan kekuatan yang ada dalam dirinya, ia tak pernah diajarkan mengenai bagaimana menyelamatkan manusia. Apa itu berarti, Vee memang tidak ditakdirkan untuk menyelamatkan manusia? Hanya sebagai pembasmi Chofa seperti yang dikatakan Lava barusan.
Paling tidak, Vee ingin mengetahui bagaimana menyelamatkan manusia yang baru saja ditelan Chofa, ia berniat menanyakan hal tersebut pada ayahnya jika suatu saat nanti bertemu.
Vee pun bergegas pergi meninggalkan bangunan tempat adiknya bersekolah tersebut, meninggalkan mayat-mayat dengan pandangan kosong. Paling-paling esok akan ada berita gempar penyerangan Chofa di TV, negeri ini sudah terbiasa dengan hal tersebut dan Vee tak bisa berlaku banyak selain terus membasmi Chofa yang ia lihat.
Sementara itu, di sisi lain dunia, dunia yang begitu penuh dengan kegelapan, dunia tempat di mana iblis tinggal, tengah diadakan pesta besar besaran. Lebih tepatnya di kerajaan Madome, salah satu kerajaan yang sangat mendukung keberadaan Chofa di dunia manusia untuk kebutuhan para iblis di sana. Jiwa-jiwa manusia yang dimakan oleh Chofa dikumpulkan ke dalam bejana transparan besar di mana. sangat banyak apalagi pasca malam bencana yang barusan dihadapi oleh manusia. Hampir seluruh iblis di kerajaan tersebut bersuka cita, mereka minum dan makan dengan lahap seraya senang menyambut jiwa-jiwa manusia yang telah mereka dapatkan. Seperti yang pernah disebutkan sebelumnya jika jiwa adalah makanan yang sangat lezat bagi ras Iblis. Daging, susu, masakan yang enak atau apa pun itu akan kalah lezatnya jika dibandingkan dengan jiwa, karena itulah mereka mengirimkan Chofa sebagai pemburu jiwa manusia yang nantinya akan me
Keluarga Drakon adalah mereka yang diakui sebagai garis langsung keturunan manusia naga pertama. Keluarga Drakon yang melawan Chofa ada lebih dulu daripada keluarga-keluarga Pembasmi Chofa lainnya. Mereka ada jauh sebelum keluarga Ice mendapatkan kekuatan, juga sebelum keluarga Avalon mendapatkan kekuatan iblisnya. Mereka sudah ada jauh sebelum itu. Dalam kitab yang diturunkan turun-temurun kepada keluarga Drakon, awal mula mereka terbentuk bukanlah atas dasar adanya Chofa, karena Chofa saat itu belum muncul di permukaan bumi atau bisa dibilang masih dalam kurungan di dunia iblis. Pada saat itu, terdapat duan aga yang berhasil menemukan sebuah dunia dengan manusia yang sangat banyak di dalamnya beserta sumber daya alam yang sangat melimpah. Seperti tanaman, air, panas yang stabil, tempat yang nyaman untuk dijadikan tempat tinggal. Alhasil, dua naga itu membentuk kerajaannya sendiri dengan manusia-manusia sebag
“Kau belum menyebutkan nama,” cegat Tokki pada Vee yang hanya merespon dengan diam saat didengarkan sebuah nama. “Ah iya, namaku Vee, Vee Avalon,” jawab Vee dengan ragu-ragu karena baru pertama kali ini ia bertemu langsung dengan anggota keluarga Drakon secara langsung. “Vee? Nama yang indah!” celetuk Tokki. Gadis Naga itu berjalan mendekat ke arah Lava yang akan memasuki gua. “Gua apa ini?” tanya Tokki asal. “Apa kita akan masuk?” Mereka berdua sudah ada di mulut gua, sementara Vee sedikit berlari untuk menyusul. “Apa kita benar akan masuk? Kita takt ahu apa yang ada di dalam sana, bukan?” cemas Vee. “Tenang saja,
“Jadi… apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Lava setelah menceritakan kejadian malam mengerikan yang ia lihat. Vee menggeleng sebagai tanda ia tak tahu apa yang akan dilakukan selanjutnya. Tangan lembut Vee masih menggenggam mayat sang Adik, ia tak mampu untuk melepaskannya meski mayat itu perlahan mulai dingin, juga kaku seperti sebuah papan. Untuk yang kesekian kalinya air mata Vee mengalir perlahan, menetes sampai pada kulit mayat berwajah Feri tersebut. Vee merasa benar-benar tak tau arah setelah kematian Feri, seperti keinginan untuk membasmi Chofa pun lenyap begitu saja. “Apa kau akan terus-menerus menangisinya dan tidak akan berbuat apa-apa?” celetuk Lava. “Memangnya… apa yang bisa aku perbuat untuk menghidupkannya kembali?” kalimat Vee mulai
Perlahan, tabir yang menyelimuti mereka berlima mulai terbuka, dapat dirasakan oleh masing-masing dengan pertanda yang berbeda-beda. Setelah seluruh bagian tabir terbuka, mereka melihat dunia yang baru. Ya, dunia yang mereka kenali itu ternyata baru saja luluh lantah, selama ini tabir tersebut menutupinya, sebuah peristiwa yang terjadi saat mereka berlima sibuk melawan Chofa yang kuat di dalam tabir. “A-apa yang terjadi?” Savi bertanya pada entah siapa, sementara matahari mulai malu-malu muncul dari ufuk timur. Vendre menggeleng sebagai pertanda tidak tahu, begitu pula dengan Asta dan Vee dalam menanggapi pertanyaan Savi yang terlihat panik. Karena matahari yang mulai menunjukkan sinarnya, tubuh-tubuh mereka yang tadinya kerangka, kini kembali menjadi m
Vee dan Vendre bergerak bersamaan, mereka hampir melaju dengan kecepatan yang sama, hanya saja Vee sedikit lebih cepat. Gadis tengkorak itu diselimuti penuh oleh aura hitam kuat yang stabil, sementara Vendre masih berusaha mengeluarkan api merah meski tidak sebesar sebelumnya. Kedua tusukkan pedang mereka tepat mengenai bagian lemah yang direncanakan, Vendre agak telat sedikit. Dari tusukkan tersebut, retaknya merambat. Chofa yang besar itu berteriak keras, membuat gemuruh yang hebat, ombak pun terpengaruh olehnya. “Sekarang! Asta!” perintah Riv selanjutnya. Asta yang sedari tadi sudah mengumpulkan energi di dalam pedang besar, kini tengah dibantu oleh Savi, membuat pedang yang berasap hitam itu bercampur dengan api hijau. Asta mengayunkan dengan cepat pedangnya bersamaan dengan Vee dan Vendre yang lekas menghindar dari sasar
Api merah adalah sebuah kekuatan Avalon yang sudah sangat jarang ditemukan karena cukup berbahaya jika penggunanya kehilangan konsentrasi barang sebentar saja. Pasalnya, api itu memanfaatkan banyak energi dari iblis secara tiba-tiba yang dicampur dengan amarah dari manusia. Vendre sudah menguasai amarah yang bisa dia keluarkan meski tak ada hal yang membuat marah maup[un sedih di sekelilingnya. Itu berarti, Vendre bisa menangis maupun marah tanpa sebab. Bahkan di saat sekarang pun, ia dalam kondisi sedih dan marah secara bersamaan, pedang yang masih di dalam sarung itu pun berkibarkan api merah yang cukup besar. Angin mulai kembali berhembus kencang, namun kali ini sebagai respon dari kekuatan Vendre yang luar biasa. Lelaki itu melompat, bergerak dengan cepat, menebas bagian leher Chofa yang sedang mereka berlima hadapi. Seketika leher Chofa yang besar itu penuh dengan kobaran api searah goresan pedang milik Vendre. Namun, tak sedikit pun terpotong.&n
Serangan dari Asta membuat seisi pantai bergemuruh, tebing tinggi itu pun perlahan oleh tebasan yang semakin bergetar. Tidak berselang lama, tebing tersebut berhasil di hancurkan berkeping-keping. Pasca itu terjadi, tebasan pedang hitam itu berhenti, Asta terlihat sangat bisa mengendalkan kekuatannya. Begitulah yang disadari oleh Vee. Perlahan debu-debu yang menyelimuti bekas tebing barusan mulai menghilang dibawa angin malam ke arah laut. Dan terlihatlah sebuah gua di sana, gua yang mengarah ke dalam tanah meski masih terllihat samar-samar. “Gua?” Vendre bergumam perihal apa yang pandangannya bicarakan. Gerbang menuju suatu tempat yang diduga adalah laboratorium Chofa itu terbuka, tapi apakah tabir yang menyelimuti tadi juga sudah hilang? Begitul
“Hahaha!” Fazl terbahak mendengar cerita dari Vee siang itu yang menjelaskan jika penghalang di pantai itu hanyalah melindungi dari manusia. “Semudah itu? Kenapa pasukan payah itu tidak bisa menemukan solusinya,” ia kembali menundukkan kepala sembari meremas rambutnya sendiri. “Malam ini, mala mini juga kita harus serang tempat itu habis-habisan, entah makhluk macam apa yang ada di sana, kita akan serang mereka bersamaan.” Vee hanya balas dengan anggukkan, gadis cantik itu masih tidak mengerti mengapa raut wajah sang Ayah dapat berubah begitu cepat dari tertawa menjadi semurung sekarang. Fazl pergi begitu saja dari rumah yang didiami Vee setelah mmeberikan arahan mengenai teknis penyerangan nanti malam. “Apa aku boleh ikut?