"Kasih salam dulu sama etek, jangan bikin malu Umi dengan sikap kurang ajar ang¹ itu." Emi berbisik gemas setelah menyusul putranya ke ruang tengah.
"Lagian Umi main jodoh-jodohin anak tanpa persetujuan gitu. Memangnya Ari mau nikah sekarang?" Fahri memberengut."Mau nikah kapan lagi?" Emi melotot sambil berkacak pinggang. "Sudah bujang lapuk begini." Sebuah pukulan melayang di lengan Fahri.Pemuda itu meringis sambil mengusap lengannya yang terasa panas. Kemudian tangannya sontak melindungi kepala saat ibunya kembali mengangkat telapak tangan. "Sana mandi! Gara-gara padusi² saja kau seperti orang stress begini.""Umi nggak ngerti perasaan Ari!" Kembali pemuda itu merengek sambil memberengut."Waang itu laki-laki, Ri! baru karena patah hati sajo jadi cengeng seperti ini! Buyut ang kena tembak peluru Balando indak cengeng seperti ini, Ri!" Emi kembali meradang mendengar keluhan putranya."Dari mana Umi tau kalau buyut kita nggak nangis kena tembak.""Ondeh! Banyak tanyo waang! Sana mandi kalau nggak mau namo ang Umi coret dari KK!" Kali ini Emi mulai kehabisan kesabaran menanggapi pertanyaan absurd putranya.Ibu dan anak itu tak peduli pertengkaran kecil mereka didengar oleh tamu yang kini tengah duduk di ruang tamu."Etek, sebaiknya Etek istirahat dulu saja di kamar. Kalau nunggu Umi sama Ari beres bersitegang, bisa putih semua rambut kita, Tek. Anak itu memang sering bikin umi naik darah akhir-akhir ini." Rudi akhirnya menyadari kegelisahan tamunya mendengarkan pertengkaran ibu dan adiknya."Nggak apa-apa, Rud. Biar etek sama Dinda nunggu di sini saja. Etek juga sudah biasa melihat Umimu seperti itu," tolak Niar dengan tawa pelan."Kamar Etek sudah Dena siapkan di atas. Kalau nunggu Ari sama Umi selesai bicara, bisa besok pagi baru beres." Kali ini Dena yang berbicara."Uda tolong dong angkatin tasnya Tek Niar sama Dinda ke atas." Dena beralih menatap suaminya."Iya, ayolah, Tek. Selagi nunggu Umi beres kasih kuliah dadakan sama anak bontotnya itu." Rudi terkekeh sembari mengangkat tas besar Niar ke lantai atas."Jangan dimasukin ke hati kata-kata Umi, ya Dinda." Rudi merasa tidak enak hati dengan sepupunya itu."Nggak apa-apa, Uda. Dinda juga sudah paham sifat Umi." Dinda menyahut sopan.Memang sifat Emi selalu frontal jika berbicara. Terkadang tak memikirkan perasaan lawan bicaranya. Namun, Emi perempuan penyayang dan murah hati. Bahkan dia yang menanggung biaya pendidikan Dinda semenjak SMP, setelah Bizar—ayah Dinda— meninggal dunia akibat kecelakaan.Emi juga seorang janda yang ditinggal suaminya karena meninggal dunia, semenjak Fahri duduk di sekolah menengah atas. Hal itu yang menjadi alasan watak putra keduanya itu susah ditebak. Kepergian ayah yang tiba-tiba akibat serangan jantung, membuat Fahri belum siap kehilangan sang ayah.Begitu sampai di lantai atas, Rudi membuka pintu kamar tamu, meletakkan dua tas tamunya di pinggir pintu. "Silahkan istirahat dulu, Etek pasti semalam di kereta tidak tidur.""Terima kasih, Rud." Niar tak menampik, bahwa ia memang kurang istirahat. Dua hari terakhir, dia sibuk membantu Dinda pindahan dari kosannya di Jogja. Putrinya itu telah menyelesaikan pendidikan sarjananya di salah satu universitas negeri tertua di daerah itu, dan berniat pulang ke kampung halaman. Namun, sebelum mereka meninggalkan pulau Jawa, ibu dan anak itu menyempatkan diri berkunjung ke rumah kerabat mereka di Kota Kembang."Nda, kalau Umi benar-benar mau menjodohkan kau dengan Fahri bagaimana?" tanya Niar begitu anak dan menantu kakak iparnya itu telah berlalu.Dinda mengulas senyum geli. "Nda mau-mau saja, siapa yang nggak mau sama Uda Fahri, ganteng gitu." Dinda cekikikan sambil membekap mulutnya. "Masalahnya Uda Fahri mau nggak sama Nda. Nda itu bukan level perempuan yang disuka Uda Fahri, Bu. Ibu kan pernah ketemu Teh Priska, geulis, kalau bahasa Sundanya. Kamek⁴ kalau di bahasa kita." Dinda mengulas senyum tipis. Meskipun Fahri pernah masuk dalam daftar lelaki yang ia sukai, tetapi Dinda tau diri. Fahri cukup berada dalam level laki-laki impiannya, tak akan pernah mampu ia miliki.Dinda berasal dari keluarga kurang mampu, bisa bersekolah sampai level sarjana saja ia harus mengharapkan kemurahan hati kakak perempuan ayahnya itu. Dinda tak berani berharap lebih. Bahkan selama ini pun Fahri selalu menunjukkan wajah tak bersahabat setiap bertemu dengannya. Bagaimana mungkin lelaki itu mau mempersunting dirinya.Gerakan Niar yang tengah membuka kerudungnya terhenti, menoleh pada anak gadisnya yang juga tengah mengganti kerudung yang ia kenakan dengan kerudung instan. Niar mengangguk pelan, seolah baru tersadar dengan status mereka."Nda mau ke bawah dulu, siapa tau ada yang perlu dibantu, Bu.""Ibu mau istirahat saja dulu, Nda. Migrain ibu kambuh lagi," keluh Niar sembari memijit sisi kiri kepalanya."Iya. Ibu pasti capek banget. Istirahat sajalah. Umi juga pasti ngerti kondisi ibu." Gadis manis berlesung pipi itu pun meninggalkan ibunya di kamar. Turun ke lantai bawah rumah mewah itu.Dengan langkah ringan, gadis itu berjalan menyusuri tangga yang dilapisi ubin batu pualam. Begitu Dinda sampai di lantai bawah, tak ada lagi terdengar suara Emi yang mengomeli putranya. Hanya terdengar suara Dena—ipar Fahri— yang tengah berbicara dengan anaknya yang masih balita. Sepertinya perempuan itu tengah menyuapi anaknya di halaman belakang. Dinda meneruskan langkahnya menuju pintu kaca yang menghadap ke taman yang terdapat di halaman belakang. Suara Dena dan Chika putrinya terdengar makin jelas."Eh, ada Tante Dinda, tuh Chika. Kasih liat sama Tante Dinda kalau Chika pinter mam, yuk." Dena mengulas senyum lebar begitu melihat Dinda menyambangi mereka ke halaman belakang."Dinda sudah makan, Nak? Kalau belum itu masih ada lontong sayur." Dinda berbalik saat mendengar suara parau kakak ayahnya dari belakang."Sudah, Umi. Tadi kita makan di kereta. Apa ada yang mau Nda bantu, Umi?" tanya Dinda sopan."Oh! Indak ado, Dinda istirahat sajolah. Baru datang masa iya langsung kerja." Emi mengusap-usap punggung keponakannya itu penuh kasih."Tadi Nda udah tidur di kereta. Ibu yang tidak tidur.""Iyo, tak apalah. Biarkan saja ibumu istirahat. Sini kita lanjut ngobrol lagi. Tadi kita belum beres ngobrolnya." Emi menarik tangan keponakannya ke salah satu kursi rotan yang terdapat di teras yang menghadap ke halaman belakang rumah itu."Chika makan yang banyak, dong. Kasian maminya itu sudah susah-susah masak." Emi masih menyempatkan membujuk cucunya saat melewati Dena yang terlihat kesusahan membujuk putri semata wayangnya untuk makan."Setelah ini apo rencana Dinda?" tanya Emi begitu ia dan keponakannya itu duduk bersisian di kursi teras."Mau ikut tes CPNS di kampung Umi," sahut Dinda dengan gestur yang sangat sopan."Nggak nyoba cari kerja di sini saja, atau di Jakarta? Jurusan psikologi kan banyak dibutuhkan di Kementrian, kenapa harus pulang ke kampung lagi. Orang dari kampung saja banyak yang merantau ke kota," cecar Emi seolah tak setuju dengan rencana sang ponakan.Dinda menggaruk pelipisnya yang tak gatal. Bingung mencari alasan selain untuk menemani ibunya yang sudah tinggal sendiri di rumah peninggalan ayahnya."Pasti kau memikirkan ibu tinggal di kampung sendirian, kan?" tebak Emi seperti mampu membaca pikiran ponakannya.Dinda nyengir kuda sambil mengangguk pelan."Umi, Ari mau ketemu teman dulu." Fahri menjulurkan kepalanya ke arah teras belakang. Pakaiannya sudah rapi, rambut yang tumbuh di wajahnya telah dicukur habis. Membuat pesona pemuda itu makin meningkat di mata Dinda. Tanpa sadar, gadis berlesung pipi itu mengulas senyum ke arah Fahri. Lelaki yang menjadi objek senyuman Dinda justru melengos."Mau kemana lagi waang, Ri?" Suara Emi yang tadinya berbicara lembut dengan Dinda kembali naik satu oktaf."Tadi Umi yang suruh Ari keluar kamar, sekarang malah marah." Fahri turut meradang."Iya! Tapi kerjaan di kantor menumpuk kata Om Johan, selesaikan dulu kerjaan kau baru pergi main.""Cuma sebentar, Umi. Kerjaan di kantor cincai lah, sehari juga kelar." Fahri tak lagi menggubris protes ibunya. Dia pergi begitu saja meninggalkan Emi yang melampiaskan kekesalannya dengan mengomel pada Dinda. Gadis itu hanya menanggapi dengan nyengir kuda. Begitu pun dengan menantu Emi. Dena lebih memilih untuk fokus mengajak putrinya untuk mengobrol."Sudah biasa." Kalimat tanpa suara itu diutarakan Dena dengan isyarat mulutnya ke arah Dinda yang menoleh ke arahnya dengan cengiran canggung.***Fahri memacu mobil SUV nya menuju daerah Dago atas. Doni—sahabat karibnya semenjak duduk di bangku SMA— mengundangnya untuk menghadiri pesta bujangnya. Satu per satu teman-temannya telah melepas masa lajang. Sebenarnya jika tak ada tragedi diputus oleh Priska, tentu saja Fahri sebentar lagi akan melepas masa lajang. Namun, apa daya, rencana hanya tinggal rencana. Putusan di tangan Tuhan, Fahri tak bisa melawan.Ketika Fahri sampai di kafe tempat pertemuan dengan para sahabatnya, dia langsung disambut meriah oleh para bujang yang tengah melaksanakan pesta bujang."Oi! Datang juga lo!" sorak Hendra saat Fahri muncul. Sorakannya itu mengundang perhatian dari para gadis yang sedari tadi mencuri pandang ke arah meja para bujang yang tengah mengadakan makan siang bersama. Tatapan para gadis itu beralih pada pemuda jangkung berkulit sawo matang dengan wajah perpaduan Indo-Arab itu."Sugan maneh geus(5) bunuh diri ditinggal kawin si Priksa, Ri!" Ledekan Anwar dengan tawa setannya."Kampret siah!(6)" umpat Fahri sembari melayangkan tempelengan penuh emosi ke arah Anwar.Sahabat Fahri yang lain yaitu Doni, Gustaf, Hendra, Pian, dan Boby, terpingkal melihat reaksi kalap Fahri."Anjir! Maneh(6) teu (7) kira-kira naboknya!" Anwar menggosok bagian kepalanya yang baru saja menjadi sasaran kekesalan Fahri."Lagian, idola kampus bisa-bisanya diputusin pacar!" Kali ini Doni yang berkomentar."Lo nggak tau aja, gue juga udah punya pengganti Priska," sembur Fahri sambil menghenyakkan tubuhnya di sofa sudut kafe tempat pertemuan para pemuda itu. "Gue sama Priska juga main-main, jodoh gue udah disiapin sama nyokap," imbuhnya dengan wajah songong."Hari gini! Masih zaman aja dijodohin!" ledek Gustaf"Eh! Kalau mau warisan lancar, lo kudu nurut." Fahri membalas dengan timpukan kulit kacang yang baru saja ia makan."Minggu depan ajaklah calon bini pilihan nyokap lo kalau gitu. Cantikan mana dari Priska coba?" tantang Gustaf.Anjir! Mampus gue! rutuk Fahri dalam hati.__________________________________________________ Note :1. Ang = Kamu untuk laki-laki2. Padusi = perempuan3. Waang itu laki-laki, Ri! = Kamu itu laki-laki, Ri.4. Kamek = cantik alami yang tidak membosankan.5. Sugan maneh geus bunuh diri = kirain kamu sudah bunuh diri.6. Siah/ Maneh = Kamu dalam Bahasa Sunda kasar.7. Teu = tidak"Oh! Nggak bisa main bawa-bawa aja, calon gue jilbaber. Nggak akan mau diajak gitu aja kalau belum halal." Di saat situasi kepepet, otak Fahri memang bisa diandalkan untuk merangkai kata biar bisa bersilat lidah. Dan dia tersenyum puas setelah mengatakan alasan kuat agar tak perlu membawa calon istri yang dikarangnya mendadak, demi harga diri itu."Gue yakin kalau kalian udah nikah, bini lo bakal rajin baca ayat-ayat ruqyah!" celetuk Pian sambil lalu. "Anjir! Lo pikir gue setan!" "Kelakuan lo yang kayak setan!" balas Pian sambil terkekeh-kekeh."Lo tuh yang kayak setan, ngerayu cewek ngalahin setan ngerayu nabi Adam! Gue mah orangnya setia, buktinya sampai kemarin gue putus sama Priska, gue nggak gandeng sana gandeng sini kayak lo!""Iya, itu karena Priska cemburuan. Lo kan bucin. Makanya gue nggak yakin lo punya calon bini!" timpal Pian tak mau kalah. Fahri kembali tersulut emosi. Enggak di rumah, enggak di lingkungan sahabatnya, kenapa semua meributkan masalah pendamping hidup. F
Fahri mengembus napas pelan. Dia harus bisa mengontrol emosi. Bagaimana pun, dia butuh bantuan Dinda saat ini. Tolong bersabarlah, pinta Fahri pada diri sendiri. Ia kembali mengatur napas untuk meredakan emosi yang mendadak naik mendengar pertanyaan Dinda tadi. "Tolong jangan bilang seperti itu lagi. Aku nggak ditinggal nikah. Aku dan Priska putus baik-baik, okay?" Fahri melebarkan matanya dengan senyum yang justru terlihat seperti seringaian. "Oh, okay!" Dinda membentuk huruf O dengan telunjuk dan ibu jarinya. "Nda minta maaf," ucapnya bersungguh-sungguh dengan menangkupkan kedua telapak tangannya di bawah dagu. Hingga Fahri malah melihat kemiripan antara Dinda dan Goofy saat melihat tatapan mata gadis di hadapannya. "Lalu kenapa Uda harus minta ditemenin ke kondangan Teh Priska? Biar disangka udah move on?" selidik Dinda dengan polosnya. Fahri mengepalkan tangan, kembali mengatur napas agar tak meledak menanggapi pertanyaan adik sepupunya yang terdengar seolah mengejek. Pertanya
"Eh, Ri! Tunggu dulu!"Langkah Fahri terhenti ketika mendengar suara iparnya memanggil. "Kenapa lagi, Teh? Keburu kelar acaranya." Fahri melirik arloji di pergelangan tangannya tak sabar.Dena mencebik dengan kesal. "Ya elah, nggak sabar banget ketemu mantan. Paling lo juga ntar dicuekin," gerutu Dena sembari mendekati Fahri dan Dinda yang telah berada di luar salon. "Sini gue fotoin dulu!" Dena mengacungkan ponselnya ke arah Fahri. "Buat apaan pake foto-foto segala," ketus Fahri dengan wajah ditekuk. "Buat kenang-kenangan aja, sih. Anggap aja ucapan terima kasih lo ke gue." Dena menarik Dinda berdiri di samping Fahri. Mengabaikan dengkusan kesal sang adik ipar. Fahri dengan terpaksa menuruti kemauan Dena, berdiri di samping Dinda dengan wajah cemberut. "Mahal banget senyum lo ya, Ri! Senyum dikit doang napa, sih! Nggak bakal mati juga lo!" Mendengar gerutuan kakak iparnya, Fahri menurut, supaya ia bisa bergegas meninggalkan tempat itu. Dena membidikkan kamera ponselnya beberap
"Dinda! Kamu di mana?" tanya Fahri gusar saat Dinda menjawab teleponnya. "Lho, Uda udah nyimpan nomor, Nda?" tanya Dinda dengan polos, alih-alih menjawab pertanyaan Fahri. "Nda aja nggak nyimpan nomor Uda.""Aku nanya kamu di mana? Malah nanya balik." Fahri makin meradang mendengar suara tak bersalah gadis itu. Gedung tempat acara pernikahan digelar, sudah mulai sepi. Tamu undangan pun telah berangsur pergi, tetapi Fahri tak menemukan Dinda, meskipun dia telah mencari ke seluruh area gedung. "Udah di jalan pulang," sahut Dinda dengan santai. "Pulang sama siapa? Kok nggak ngomong sama aku? Kamu kan ke sini bareng aku, kenapa malah pulang sendiri?" Fahri mencak-mencak. "Lho, kan tadi Uda yang suruh Nda pulang sendiri.""Kapan?""Itu, tadi Uda bilang pas aku ngasihin siomay.""Astaghfirullah, Nda! Kamu ngerti becanda nggak, sih?" Kepala Fahri mendadak pening. "Oh! Tadi Uda Ari becanda?" "Turun sekarang juga! Share loc, biar aku jemput!" Telepon berakhir dengan embusan napas kasar F
Dinda kesulitan menelan ludah saat Emi menyambut kedatangannya bersama Fahri. Masih dengan mulut yang mendadak terasa kering, Dinda menoleh pada Fahri yang berlalu dengan tergesa dan wajah memerah meninggalkan ruang tengah. "Ari! Duduk di sini dulu!" Emi terpaksa meninggikan suara agar didengar oleh anak laki-lakinya itu. "Umi, Ari lagi nggak mau bahas masalah yang di group dulu. Kasih Ari waktu," tepis Fahri, tak seperti biasanya yang ikut meninggikan suara ketika berhadapan dengan uminya. "Mau berapa lama lagi? Umi nggak mau kamu jadi gangguan jiwa mikirin Priska setiap hari. Berkurung di kamar seperti segan saja untuk hidup."Fahri mendengkus dan mengembus napas panjang. "Ari baru patah hati, Mi! Apa Umi nggak bisa ngertiin perasaan Ari. Tolong ngertiin juga perasaan Dinda. Belum tentu juga dia mau sama Ari. Kenapa Umi selalu saja memaksakan kehendak seperti ini." Kali ini Fahri berbalik menatap uminya dengan tatapan memohon. Namun, alih-alih iba, Emi malah tertawa. "Ri! Masih
Entah ke berapa kali Dinda membolak balikkan badan untuk mencari posisi tidur yang nyaman, tetapi matanya seolah enggan untuk terpejam. Pikirannya seakan mengajak untuk terus terjaga. Memikirkan masa depan yang tak lagi seindah angan. Umurnya masih 22 tahun, ia masih ingin menikmati hidup sendirian. Membahagiakan ibu, atau menjelajahi belahan bumi lain sebelum mengabdi menjadi seorang istri. Bagi Dinda, menikah adalah proses di mana ia merelakan seluruh hidupnya untuk dibagi dengan orang yang ia cintai. Di mana ia tak lagi memprioritaskan ambisinya, tetapi menjadi pendorong bagi anggota keluarganya untuk menggapai apa yang mereka cita-citakan. Tiba-tiba kamar yang gelap sedikit menjadi lebih terang karena cahaya yang berasal dari layar ponsel Dinda yang menyala. Dinda menoleh ke arah meja di mana ia meletakkan ponsel. Awalnya ia hendak mengabaikan tetapi ponselnya terus menerus menyala dengan getaran yang cukup mengganggu. Gadis itu bangkit dengan gerakan malas, menoleh sekilas ke s
Tak ada perdebatan sengit yang terjadi di meja makan, pagi ini. Bahkan Fahri turut menimpali ketika uminya membicarakan perihal mahar dan lokasi pesta pernikahan mereka nanti. "Nanti biar Ari yang cari mahar," ujar Fahri saat uminya bertanya mahar apa yang dikehendaki oleh Dinda. "Nda mau apa? Jangan seperangkat alat shalat doang, ntar dikira uda nggak mampu kasih lebih," Fahri beralih menatap Dinda yang sedari awal sarapan tak terlalu banyak menanggapi topik perbincangan mereka pagi itu. Dan Fahri pagi ini mulai membiasakan diri dengan memanggil dirinya dengan panggilan uda saat berbicara dengan Dinda. Meskipun belum ada rasa terhadap calon istrinya, Fahri berusaha untuk bersikap baik di depan uminya. Kejadian uminya yang terjatuh tempo hari, masih menyisakan trauma bagi Fahri. Ia belum siap menerima kehilangan orang yang paling ia sayang. Jika dengan pernikahan ini bisa mampu membuat hati uminya tentram, Fahri akan berusaha menerima. Dinda mengangkat wajah dari piring yang ia te
"Eh, A' mau ke mana?" sapa Priska. Fahri sudah tidak bisa mengelak dan pura-pura tak kenal. Padahal tadi ia juga sempat berpikir untuk pura-pura amnesia. Namun, senyum manis dari gadis yang kini sudah berganti status menjadi nyonya itu seakan menahan langkah Fahri dan seketika membuatnya terlihat seperti keledai. Beberapa orang memang bertingkah bodoh, jika sudah berurusan dengan mantan. "Eh, Neng ... Pris-ka." Fahri nyengir kuda karena mendadak mengalami gangguan pernapasan. Kelenjar keringatnya pun bekerja lebih keras, membuat Fahri terlihat seperti spons yang kelebihan cairan. Lalu, di saat keduanya tengah saling bersitatap kehabisan kata, suara bass seorang laki-laki yang bertubuh sedikit gempal memecah kecanggungan yang terjadi di antara kedua insan yang telah berstatus menjadi mantan kekasih itu. "Sayang, siniin tasmu biar aa yang bawain." Priska menoleh ke arah lelaki yang memanggil dari arah belakangnya, dan Fahri pun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menghilang dari h