"Ari! Sampai kapan mau mengurung diri di kamar? Itu kerjaan kamu sudah numpuk! Om Johan sudah berkali-kali nelpon mama nanyain kondisi kamu." Rentetan omelan panjang perempuan akhir baya menyertai tersibaknya gorden kamar yang terlah berhari-hari ditutup Fahri. Semenjak putus dengan Priska, ia seakan tak mempunyai tujuan hidup. Selama ini, gadis manis mojang priangan itu lah yang menjadi penyemangatnya mengurus bisnis keluarga.
"Ya Allah! Sudah pantas jadi sumando³, kelakuan masih saja seperti anak-anak."Emi—ibunya Fahri— menarik selimut yang membungkus tubuh bongsor anak laki-lakinya itu."Jagolah waang!⁴" Kali ini Emi berdiri dengan berkacak pinggang, menatap tajam anak laki-lakinya yang terlihat kacau."Mi, Ari lagi patah hati," rengek Fahri seperti bocah kecil yang mengadu pada ibunya karena diganggu teman sepermainan."Terus kalau patah hati, boleh tidur seharian? Percuma Umi sekolahin sampai ke luar negeri kalau otaknya nggak berkembang seperti ini. Perempuan masih banyak, Ri!""Tapi Ari sayangnya sama Priska.""Onde mandeh! Rudi! Rudi!" Emi berteriak sambil melangkah keluar kamar Fahri.Seorang pemuda yang berperawakan tak jauh beda dengan Fahri, tergopoh turun dari lantai dua. Tak ketinggalan perempuan muda yang menggendong seorang balita, Dena—istrinya Rudi."Ada apa Umi teriak-teriak?" tanya Rudi dengan wajah khawatir. Khawatir ibunya darah tinggi atau tiba-tiba stroke karena terlalu emosi."Tolong kau carikan adikmu itu bini! Patah hati sekali saja lagaknya sudah kayak dijajah tentara Jepang," cecar Emi dengan wajah memerah menahan emosi."Umi, duduk dulu, yuk." Kali ini Dena, sang menantu perempuan menarik ibu mertuanya duduk ke salah satu sofa di ruang tengah. Kemudian dengan tergesa ia mengambil air minum di samping meja makan."Ini Umi minum dulu. Biar dingin dulu hatinya Umi," bujuk Dena dengan suara lembut, menyodorkan segelas air putih pada ibu mertuanya.Emi meneguk habis isi gelas, kemudian berusaha mengatur napasnya yang sempat terengah karena emosi."Jadi masalahnya apa?" tanya Rudi—Putra sulung Emi yang kebetulan hari itu berkunjung ke rumah ibunya."Itu adikmu si Ari, putus sama Priska malah jadi frustasi gitu. Memangnya nggak ada lagi perempuan yang cantik seperti Priska itu." Nada suara Emi kembali mulai meninggi. Dena, kembali berusaha mengusap punggung ibu mertuanya agar sedikit tenang.Rudi terdiam sambil berpikir. Ruangan sempat hening sejenak, hingga terdengar suara seseorang mengucapkan salam."Siapa, Mi?" tanya Rudi sambil menoleh ke arah pintu depan. Jika bukan orang terdekat, tak akan ada tamu yang langsung mengucap salam di depan pintu rumah mereka. Biasanya satpam yang berjaga di pintu depan selalu mengabari bahwa ada tamu sebelum mempersilahkan masuk."Tek Niar. Dia kemarin bilang mau ke sini."Emi yang emosinya mulai surut, membalas salam, dan bangkit dari duduknya menuju pintu."Ondeh! Sampai juga di sini. Sendirian aja?" sambut Emi begitu ia membukakan pintu untuk tamunya, yang tak lain adalah iparnya—istri dari almarhum adik laki-lakinya."Indak Uni, ado Dinda juga ikut."Tak lama setelahnya, seorang gadis berkerudung, terlihat menyusul ke arah mereka.Mata Emi membola dengan mulut terbuka. "Ondeh! Sudah besar ponakanku." Emi menyambut uluran tangan gadis yang sudah beberapa tahun tak ia temui itu."Masuk-masuk." Gegas si pemilik rumah mempersilahkan tamunya masuk."Rudi, Dena! Ini ada Tek Niar."Perempuan akhir baya itu berjalan ke ruang tengah rumahnya setelah mempersilahkan tamunya duduk. ia begitu bersemangat menyambut dua perempuan yang menjadi tamunya pagi itu.***"Dinda sudah punya calon belum?" selidik Emi pada keponakannya begitu ia tau sang ponakan baru saja menyelesaikan pendidikan sarjananya di kota pelajar."Belum, Umi. Kemarin Dinda mau fokus sama kuliah dulu," sahut Dinda malu-malu."Nikah sama Uda Fahri mau tidak?" tembak Emi tanpa basa-basi."Umi!" Rudi reflek menyolek lengan ibunya."Lho, kenapa?""Masa ia nikah sama sepupu," balas Rudi setengah berbisik."Haduh! Begini kalau anak sudah dilahirkan dan dibesarkan di rantau, jadi lupa sama adat sendiri," keluh Emi.Sementara dua orang tamunya hanya tersenyum-senyum sungkan menanggapi ocehan ibu dan anak yang menjadi tuan rumah itu."Dinda nikah sama Fahri itu namanya pulang ka bako," terang Emi setelah omelannya mereda."Emang boleh, Mi?""Ya boleh, kan yang sodaraan Umi sama ayahnya Dinda, bukan Umi sama Tek Niar."Rudi manggut-manggut. Meskipun ia berdarah suku Minang asli, ia tak pernah tau adat istiadat yang dianut oleh leluhurnya. Baginya di mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. "Jadi, gimana? Dinda mau tidak nikah sama Uda Fahri?""Umi jangan seenaknya main jodoh-jodohin orang! Memangnya ini zaman Siti Nurbaya!"Semua mata yang berada di ruang tamu menoleh ke arah asal suara. Melirik ke arah pemuda yang terlihat baru bangun tidur itu. Rambut acak-acakan, kumis dan janggut yang mulai menyemak tumbuh di wajahnya.Sementara, gadis berkerudung salem itu menatap dengan tatapan penuh kekaguman pada laki-laki yang menolak keras rencana yang dicetuskan ibunya beberapa saat lalu."Siti Nurbaya itu nggak dijodohkan, dianya yang mengajukan diri buat membayar hutang ayahnya ke Datuk Maringgih!" Masih sempat-sempatnya Emi meralat perkataan putra bungsunya, tak menghiraukan tatapan gusar sang anak______________________________________Note:3. Sumando = Menantu laki-laki4. Jagolah waang = bangunlah kauMemasuki bulan keempat usia kandungannya, apa yang dikatakan Hendra saat di grup chat dulu terbukti. Sikap menyebalkan Dinda—yang membuat Fahri hampir menyesal dengan keinginannya memiliki anak—mulai mereda. Dinda yang bawel tetapi manis pun kembali."Nda mau dibawain apa nanti kalau uda pulang kerja?" tanya Fahri sembari mengusap perut Dinda yang mulai berisi. "Uda pulang dengan selamat saja, sudah cukup." Benar, kan? Dinda jauh lebih jinak dibanding awal hamil dulu. Senyum manis selalu merekah menghias bibirnya. Kini Fahri mulai bernapas lega. Bayangan indah memiliki momongan pun kembali menari-nari di benaknya."Wa aja kalau nanti mau dibawain apa, uda usahakan pulang cepat.""Nda nggak butuh apa-apa, Uda saja sudah cukup!"Duh! Lama-lama Fahri diabetes dengan sikap Dinda yang kembali manis seperti kembang gula di pasar malam, cerah, berwarna-warni. Sikap manis itu bertahan hingga akhir kehamilan. Bahkan saat hendak melahirkan pun, Dinda tidak berteriak histeris seperti dalam sin
Fahri : Woi! Share pengalaman kalian ngadepin bini hamil. Akhirnya Fahri sudah tidak mampu menahan sendiri rasa frustrasi akibat tingkah Dinda yang akhir-akhir ini makin terasa tak masuk akal dan agak menyebalkan. Tengah malam membangunkan Fahri dan meminta dibelikan mie ayam, di mana tukang mie ayam yang diminta Dinda sudah tutup. "Ya Uda bangunin dong tukang mie ayamnya. Uda kan punya duit banyak, tinggal kasih lebih sama tukang mie ayamnya. Nda kan hamil anak Uda. Mana buktinya Uda cinta sama Nda, minta beliin mie ayam saja Uda nggak mau." Begitu kata Dinda ketika Fahri mengajukan alasan untuk menunda mengabulkan permintaannya. "Bukannya uda nggak mau, Nda. Ini pukul 12.00 malam, yang ada uda dikira maling, emangnya Nda mau uda dikeroyok massa?""Hilih! Dasar Uda lebay." Dan Dinda pun cemberut seharian, meskipun besok harinya Fahri bela-belain pulang kerja lebih awal demi membelikan Dinda mie ayam yang diminta istrinya itu. "Sekarang Nda lagi nggak pengen mie ayam, Uda makan sa
"Maaf, Pak, Bu. Kami sudah tidak menerima pasien baru lagi karena sudah mendekati jam tutup klinik." Kedatangan Fahri dan Dinda di klinik dokter kandungan, disambut wajah penuh sesal resepsionis klinik tersebut. "Tapi ini urgent, Mba!" Fahri masih berusaha menegosiasi. "Kalau kondisi gawat, bisa langsung ke UGD rumah sakit terdekat saja, Pak.""Sudahlah, Uda. Besok saja kita periksa," bujuk Dinda menarik lengan Fahri menjauh dari meja resepsionis. "Kalau buat konsultasi besok, bisa di-booking dulu, Bu." Tatapan resepsionis itu beralih ke arah Dinda yang tampak lebih memahami kondisi. "Iya—""Nggak usah! Kita cari klinik lain saja malam ini," potong Fahri dengan wajah kesal dan menarik Dinda keluar dari klinik. "Ini sudah malam, Uda. Pasti klinik yang lain juga sama, tidak mau menerima pasien lagi," tukas Dinda ketika mereka keluar dari lobi. "Kita cari sampai ada yang mau terima." Fahri bersikukuh. "Nggak mau! Nda capek!" Dinda menghempaskan tangannya yang digenggam Fahri. "Ken
Dinda bersenandung kecil sambil menunggu Fahri pulang kerja. Ia kembali menata ulang beberapa sendok di meja makan yang telah dihias sedemikian rupa. Satu tahun kembali telah terlewati, hari ini tepat tiga tahun pernikahan mereka. Dinda sudah mempersiapkan hadiah untuk Fahri, dibungkus dalam sebuah kotak yang dikasih pita. Dinda membuka kembali kotak tersebut, senyum terkembang indah di bibirnya yang hanya dipoles lip gloss, membayangkan reaksi Fahri saat menerima hadiah yang ia berikan. Saat mendengar suara mesin mobil memasuki garasi, buru-buru Dinda menutup kembali kotak itu, dan menyimpannya ke dalam laci pantry. Ia akan memberikan hadiah spesial malam ini untuk suami tercinta setelah selesai makan malam. Dinda bergegas menyambut Fahri di depan pintu tatkala mendengar suara suaminya mengucapkan salam. "Wah! Masak apa, nih? Wangi banget!" komentar Fahri begitu pintu terkuak. "Nda masak Kalio¹ Ayam favorit Uda." Senyum puas terbit di bibir Dinda. Meskipun sikap Fahri sudah jauh b
Keluar dari ruangan Bianca, Dinda mengeluarkan ponsel, memeriksa pesan dari Fahri, dan mengulas senyum tipis tatkala melihat nama Fahri tertera pada layar ponsel. Gegas Dinda membuka pesan dari Fahri. 14.00: [Nda, sepertinya uda telat jemput. Tadi ada meeting dadakan sama Om Syahrial. Kalau Nda nggak keberatan, naik taksi ke kantor uda.]Baru saja Dinda hendak mengetikkan balasan, suara Fahri dari arah parkiran memanggil. Terlihat sosok jangkung itu tergesa menyusul Dinda ke teras klinik. "Lho, katanya Uda nggak bisa jemput?" tanya Dinda sembari mengulas senyum. "Uda izin sebentar sama Om Syahrial.""Jadi ngerepotin." Dinda tersenyum semringah. Ada hangat yang terasa menjalar tatkala menyadari suaminya itu mengorbankan waktu demi memenuhi janji untuk menjemput. "Nda bisa naik taksi saja, padahal."Fahri merangkul pundak Dinda sembari berjalan beriringan menuju mobil. "Takut Nda nyasar."Dinda mencebik. "Ya nggak bakal nyasar, lah. Tinggal ketik alamat di aplikasi."Dinda duduk deng
Di dalam kamar mandi, jemari Dinda bergetar memegang kemasan plastik yang berisi alat untuk pendeteksi kehamilan tersebut. Takut membelenggu hati Dinda. Ketakutannya bukan tanpa alasan, selama enam bulan belakangan ini, Dinda masih rutin mengkonsumsi antidepresan. Kehamilan ini di luar rencana. Dinda takut obat-obatan yang ia konsumsi selama beberapa bulan ini mempengaruhi janin yang mungkin saja sudah terlanjur hadir di rahimnya. "Nda!" Suara Fahri kembali terdengar dari luar. Panik kembali melanda pikiran Dinda. "Sebentar, Uda! Nggak sabar banget, sih!" Dinda kembali membalas dengan berteriak dan tanpa sengaja, Dinda menyenggol wadah yang telah berisi air seni yang akan digunakan untuk melakukan tes kehamilan tersebut. Tiba-tiba saja kesal melanda hati Dinda. Ia kemudian bergegas ke pintu, memberengut kesal saat melihat wajah Fahri yang hendak bertanya di depan pintu. "Belum!" ketus Dinda sebelum Fahri membuka suara, "katanya di kemasan itu sebaiknya dilakukan pagi hari." Dinda