"Sadar diri saja!" Perkataan Alina menancap di kepala. Dari nadanya aku dapat mengerti kalau dia amat benci.
Aku menghela napas panjang. Dari kejauhan adzan Asar berkumandang. Aku berlama-lama merenungi diri di pos ronda.
Jauh di lubuk hati, sebenarnya aku ingin kami kembali. Berumah tangga dengan Alina seperti dulu kala. Namun kini rasanya tak mungkin.
Aku menggeleng kecil sambil memikirkannya.
Otakku ini seperti kodok yang meloncat-loncat dari satu adegan ke adegan lain. Alina yang berdiri di depanku dengan pandangan mata yang menyala. "Di rumah ini ada yang bukan muhrimmu. Jadi TOLONG. Gunakan etika!" Teriak dia yang sudah berganti pakaian.
Menit sebelumnya kumelihat dia dengan pakaian pendek lalu dengan sekejap berganti jadi serba tertutup. Dia menutupi auratnya padahal aku sudah mengetahui luar dan dalam.
Aurat?
Muhrim?
Tunggu Wisnu, bukankah ada yang salah di sana? Sisi hatiku berbicara. Kemudian aku menyusuri setiap ingatan dalam kepala. Benar sepertinya ada yang salah.
Dulu ketika aku menjadi suami Alina. Shena tidak pernah menutup aurat di depanku. Dia bebas memakai pakaian apa pun. Kami dekat selayaknya saudara. Aku memang tidak tertarik padanya tapi bisa jadi itu yang membuatku berani nyelonong masuk ke dalam rumahnya lalu semua keburukan itu terjadi.
Benar. Ituh.
Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Hari demi hari aku merutuki diri sendiri. Kenapa bisa seberengsek ini? Sekarang, aku menemukan jawabannya. Aku terlalu dekat dengan wanita yang bukan muhrimku.
.
"Kau kenapa Bang? Kenapa terlihat kacau sekali?" Shena memindai raut wajahku. Aku mengamati penampilannya. Sore ini Shena habis arisan dengan ibu-ibu setempat. Dia yang tidak biasa memakai kerudung jadi pakai kerudung.
"Giliran pergi saja kau pakai kerudung. Saat ada sodaraku datang ke rumah kau hanya memakai daster pendek. Belajar dari mbakmu sana, tutup aurat dengan benar bukan hanya saat pergi jauh."
Kepala yang pusing dan rasa tidak terima pada takdir ini membuatku mudah sekali membentaknya.
"Mulai lagi kau, Bang. Beda-bedakan aku dengan dia lagi?"
"Aku bukan membeda-bedakan, tapi kamu belajarlah dari yang benar. Pernikahan kita terjadi gara-gara kesalahan kamu!"
"Apa kau bilang."
Plak! Telapak Shena menampar pipi.
"Kau yang pertama kali menerobos kamarku. LUPA! Kau yang tidak bisa menjaga...." Tangan Shena menunjuk depan dada. Wanita beralis buatan ini tidak melanjutkan perkataannya malah pergi masuk kamar. Kali ini tidak ada omelan. Yang ada hanya tangisan.
***
Bukan cuma aku yang tidak berdamai dengan garis kehidupan ini. Keluarga besarku pun tidak menerima sampai sekarang. Mereka masih menyayangkan perbuatan yang terlanjur terjadi itu. Mamakku tidak mau punya menantu Shena, yang dia mau hanya Alina.
"Nu ... mamak dengar Alina pulang?" Pertanyaan itu terlontar ketika aku baru saja datang berkunjung ke rumah Mamak.
Rumah ibuku dan tempat tinggal Alina tidaklah jauh. Hanya beda kampung saja. Aku dekat kantor desa, sementara Alina berada di kampung yang paling ujung--berbatasan dengan desa lainnya.
Jalan alternatif antar kabupaten adalah depan rumah kami, jadi aku tinggal menyusuri jalan ini saja untuk sampai di sana.
"Iya, Alina pulang dua hari lalu."
"Kau sudah bertemu?"
"Tentu saja, Mak."
"Bagaimana dia sekarang? Sehat."
"Sehat lah, Mak."
"Syukur Alhamdulillah. Besok Mamak ke sana ingin bertemu."
"Jangan, Mak!" Aku mengambil ceret teh dari dapur. Lalu menyimpannya di teras rumah. Di pelataran rumahku ada lima pemuda tinggi yang semuanya pemain Voli.
"Kenapa?" Mamak mengikuti aktivitasku.
"Alina tidak mau bertemu denganku. Dia kemungkinan tidak akan mau bertemu Mamak juga. Jadi sebaiknya Mamak tidak perlu menemui dia."
"Yang punya dosa itu kamu bukan Mamak."
"Sama saja, Mak."
Sekarang aku menjejerkan gelas bening di teras. Salah satu dari lima pemuda itu mengambil gelas yang baru kusimpan lalu mengucurkan air dari ceret.
"Teh? Tak ada air putih, Pak?"
"Kalau mau air putih kamu ambil saja di tempat hajatan. Ambil satu dus ke sini. Di rumahku tidak ada air putih."
"Guru olahraga minumnya air teh," timpal Satria yang sedang melakukan peregangan otot.
"Aku tidak tinggal di sini. Kamu ambil saja... ambil!" Titahku sambil menunjuk. Satria pun pergi ke tempat yang kumaksud.
Selain guru olahraga, aku adalah pemain bayaran. Kadang Voli kadang main bola. Saat ini, orang kaya di desa kami mengadakan hajatan, dan pertandingan bola Voli yang menjadi hiburannya.
Mereka mengundang Tim Voli kabupaten tetangga, dan tim desa yang menjadi lawannya. Kami harus bisa mengimbangi Tim tamu agar pertandingan seru berimbang.
"Mamak tetap mau ke sana. Silaturahmi kok dilarang." Mamak masih ngeyel dengan keinginannya.
Aku melakukan pemanasan dengan berlari di tempat--di atas rumput halaman rumah kami.
"Jangan, Mak. Lebih baik jangan!"
"Ya sudah Mamak mau ketemu besan saja." Mamak masuk ke dalam rumah. Ngeyel memang.
.
Jam empat pertandingan sudah selesai. Kumasukkan peralatan olahraga ke dalam tas. Lalu menaiki motor yang terparkir di pinggir jalan.
Sebuah mobil jeep beroda besar berhenti di dekatku. Pria berpakaian rapi dengan kacamata hitam turun dari samping kemudi.
"Bang, maaf numpang tanya." Dia menghampiri.
"Iya, Bang."
"Ini desa Gunungasihan?" Pria berjanggut tipis itu melirik ke arah kantor desa.
"Betul Bang, mau ke mana?"
"Saya mau ke alamat ini." Logat bicaranya melayu, saat menyebut saya terdengar saye. Pria dengan celana gunung ini menunjukkan ponsel.
Alamat ibu mertua? Aku mengernyit.
"Sebelah mana, ya, Bang?"
"Kalau Abang mau ke alamat ini saya juga mau ke sana sekarang. Ikuti saya saja."
"Kebetulan kalau begitu."
"Mari!" Aku yang memang sudah duduk di motor langsung melajukan kendaraan. Dari kaca spion terlihat pemilik mobil tinggi itu mengikuti. Kendaraannya cukup bersahabat dengan kondisi jalan yang banyak lubang.
Jalanan ini tidak begitu ramai meski dilalui bis umum. Mungkin itu yang menjadi alasan pemerintah kabupaten enggan memperbaiki padahal kerusakannya lumayan parah. Maklum, tidak ada tempat wisata di sini. Sumber penghasilan rakyat mayoritas adalah petani.
Motor terus melaju melewati rimbunnya pohon bambu. Lalu hamparan sawah luas. Ganti lagi rimbun bambu. Lalu hamparan sawah lagi. Barulah terlihat rumah ibu mertua.
Sepanjang jalan aku memikirkan siapa pemilik kendaraan di belakang ini? Apa salah satu saudara ibu mertuaku. Tapi kok aku tak kenal.
Aku sampai. Kusampingkan motor sampai mepet pagar bambu. Jeep itu juga berhenti.
"Parkir di mana, Bang?" Dia mengamati sekitar. Rumah ibu mertua memang tidak bisa menampung kendaraan beroda empat.
Aku mencari lahan sekitar. Tidak ada tempat lain kecuali pelataran rumah Shena.
"Di tempat saya saja, Bang. Ayo!"
Kulajukan lagi bebek andalan sampai depan teras rumah Shena. Jeep itu pun bisa parkir dengan tenang. Pemiliknya turun setelah posisi roda empatnya pas.
"Rumahnya yang tadi itu, Bang?" Si pemakai kaca mata hitam memastikan.
"Ya. Itu rumah mertua saya. Abang siapa kalau boleh tau?" Aku tersenyum ramah.
"Oh, iya kah? Saye calon suami Alina. Salam kenal kalau begitu." Dia menarik tanganku dan kami salaman.
"Apa?" Aku berkedip cepat.
Bersambung....
Di usianya yang tak muda lagi, terlalu berisiko untuk melahirkan kembar dengan normal. Maka caesar sudah dijadwalkan sejak awal kehamilannya. . Di sana mereka sekarang. Di ruang operasi. Arasya duduk di samping Alina dan menggenggam tangannya sambil bercerita. Sementara di bagian perut, dokter sedang membedahnya. "Anak kita sudah terlihat belum?" tanya Alina. "Tak, Abang tak nak lihat," ujarnya dengan menggeleng. Namun, usahanya untuk tidak melihat kondisi perut sang istri goyah saat terdengar jeritan bayi. Satu laki-laki, satu perempuan. Alina mendapatkan dua sekaligus. Arasya memandang dua keturunannya lagi dengan tatapan haru. Lalu dengan bantuan dokter, dua bayi itu didekatkan dengan ibunya. "Akhirnya aku bisa punya anak dari rahim sendiri." Tahapan-tahapan memiliki keturunan itu selalu membuatnya menangis. "Adik langsung dapat dua." "Ya," katanya dengan berlinang air mata. Arasya kemudian mengusap basah di pipi Alina. "Nak Abang beri nama apa?" "Dia, nak Abang beri nam
Dua tahun kemudian. Kursi-kursi berpita kuning berbaris rapi. Menghadap ke panggung kayu setinggi satu meter. Karpet merah terhampar. Dua sofa dan bunga-bunga hiasan mengisi mimbar. Ada layar putih dan baliho besar di belakangnya. Orang-orang mulai mengisi kursi. Mengapit buku yang konon meledak di tahun ini. Mereka mengobrol sambil sesekali membahas isi buku itu. Pembawa acara mengisi sofa, diikuti oleh seorang wanita bercadar dengan pakaian hitam-hitam. Lalu acara pun dimulai. “Terima kasih hadirin semua yang sudah berkumpul di tempat ini. Sebagai mana kita ketahui, bahwa hari ini kita kedatangan tamu istimewa. Seorang penulis yang novelnya meledak di tahun ini. Luar biasanya, novelnya lebih dulu dikenal di negeri tetangga. Padahal beliau ini asli warga Indonesia. Kita patut berbangga.” Pembawa Acara bertepuk tangan dan para pengunjung pun ikut memberi aplus. Perempuan berkerudung lebar itu melanjutkan bicara, memberi sambutan-sambutan, lalu memperkenalkan siapa tamu istimewa it
Abang melirik dan tersenyum. "Semakin pintar awak." Dia memainkan rambut di pucuk kepalaku. "Tentu." Aku memicing. "Sekarang coba sebutkan, apa yang harus saya lakukan agar kesedihan Abang bisa terobati." Aku tengkurap dan mengangkat wajah. Memandang dia dengan serius. Tangan kanannya yang masih ada di kepala langsung pindah ke pipi. "Berjanji lah tuk tak tinggalkan Abang. Abang hanya punya separuh napas. Abang tak bisa kehilangan separuhnya lagi. Bila Allah meridhoi, Abang berharap Abang je yang mati duluan, jangan awak. Abang tak kan bisa." Aku menautkan jari-jari tangan kami. "Kita kan menua bersama. Melihat anak-anak tumbuh sehat dan jadi orang-orang yang besar. Kita kan saling menjaga sampai tua. Hmmm...?" Aku mengubah posisi lagi menjadi berbaring di lengannya. "Saya akan berdoa, Abang menghadap Illahi sehari lebih cepat dari pada saya. Biar saya bisa melakukan apa yang Abang lakukan pada Aisha. Begitu adil bukan?" "Tu terdengar baik." "Tugas kita sekarang adalah mengumpul
POV Alina. Kadang memang masih ada rasa cemburu ketika melihat Aisha bersama Bang Rasya. Namun, tak sedikit pun berharap hal buruk terjadi padanya. Dia telah memberi kehangatan yang berbeda. Rumah ini jadi lebih ramai dan berwarna. Hati ikut miris ketika abang pulang dari rumah sakit dengan membawa Aisha yang sudah tak berdaya. Dia duduk di kursi roda dan tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa bicara. Rasa cemburu yang kadang masih ada itu hilang begitu saja, malah berganti iba. Dengan mata kepala sendiri, aku melihat Bang Rasya mengurus Aisha dengan begitu telaten. Dari memandikan, menyuapi, bahkan membersihkan kotorannya. Di sana dia terlihat begitu penyayang dan bertanggung jawab. Hingga aku merasa tak ada alasan untuk menjauh darinya lagi. 'Abang... jika lelah datang saja padaku. Saya di sini akan membuang kelelahanmu. Kasih sayangmu pada Aisha biarlah saya yang membalasnya.' Hanya tiga hari, Aisha bertahan di rumah. Lalu pergi untuk selamanya di malam itu. Malam yang paling ba
Sore, di hari Kamis. Aku membawa Aisha ke kamar mandi. Mendudukkannya di atas bathtub. Lalu memandikannya. Mengisi bathtub dengan banyak air hangat dan sabun. Aku membersihkan tubuhnya dari kepala sampai kaki. Tiga hari di rumah sakit dan tiga hari di rumah, aku yang selalu merawatnya."Ingat tak, kita suka mandi bersama?" kataku sambil menggosok tangannya."Kapan?""Dulu.""Lupa.""Biar Abang ingatkan." Aku membersihkan badannya sambil bercerita juga berurai air mata. Tubuh Aisha masih dalam pemulihan pasca melahirkan. Napasku sakit lagi saat menyentuh area-area sensitifnya yang belum sembuh benar. Dadanya masih keluar asi untuk buah hati kami.Alina masuk kamar mandi, menghampiri. Dia mengusap rambut dan pundak Aisha, lalu telapak tangannya yang sudah keriput karena terlalu lama di air."Sudah, Abang, terlalu lama," kata Alina. Lalu dengan dibantu Alina, aku membersihkan tubuhnya.Kubaringkan dia di tempat tidur lalu memakaikan pakaian dengan hati-hati. Setidaknya itu pelayanan tera
Pov Teuku ArasyaDalam waktu dua minggu, sudah dua kali aku singgah di rumah sakit ini. Pertama, untuk menyambut kehidupan, setiap sudut ruang rawat seakan indah sampai suhu terasa hangat.Kedua, untuk kesakitan. Rasa keputusasaan membuat tempat ini serupa gelap, kelam, dan dingin.Aisha berbaring tak sadarkan diri. Alat-alat medis mengelilinginya. Tiang infus menggantung. Mesin pendeteksi detak jantung berjalan dan mengeluarkan suara “Tit! Tit! Tit!” Dengan teratur.Dadaku serupa dihantam godam, saat melihat tubuh Aisha bergetar hebat. Napasku jadi sakit dan sesak, rasanya persis dengan dulu, saat aku berdiri di antara puing-puing gempa dan memanggil-manggil namanya. “Aisha… Aisha… Aisha….”Kemarin, aku masih yakin, dia yang kadang bersikap menyebalkan dan menguji emosi akan menemaniku sampai tua. Namun… hari ini… saat dokter memvonis usianya, aku baru menyadari satu hal, ternyata sesakit ini rasa kehilangan. Sama persis dengan bertahun-tahun yang pernah kulalui. Bahkan helaan napas