Pov Alina.
Aku menutup mulut saat melihat Shena memukuli Bang Wisnu. Ya Allah ... aku dulu bahkan tidak berani bicara dengan nada tinggi. Ini pemandangan apa? Apa seperti ini cara mereka berumah tangga?
Aku meringis ketika lidi itu mendarat di pantat Bang Wisnu lagi dan lagi. Bang Wisnu dan Shena pergi sambil terus bertengkar.
"Kenapa mereka, Bu?" Aku mengernyit heran.
Ibu menghela napas dan menggeleng pasrah. "Mereka sering bertengkar seperti itu."
“Astaghfilullah.” Aku mengelus dada. "Seperti itu? Apa tak malu dilihat tetangga?"
"Ibu saja sekarang sudah kebal. Kebal dari rasa malu. Sudah pasrah, terserah mereka mau bagaimana."
Aku mengelus dada lagi. Bang Wisnu pria yang sensitif kalau harga dirinya direndahkan. Bersama Shena dia bukan direndahkan lagi, malah dipukul depan umum. Apa mungkin itu buah dari perbuatannya? Bang Wisnu memang tidak punya harga diri, kan?
"Ayo kita masuk lagi." Bapak mengajak kembali ke dalam rumah. Aku dan ibu mengikuti.
Pria yang memakai sarung itu langsung duduk di kursi. "Sepertinya Wisnu memang menguping, atau mengintip. Bapak khawatir dia ingin kembali padamu."
"Hih." Aku memekik jijik. "Alina tak mau, Pak."
"Ini hanya kecurigaan bapak."
"Bagaimana kalau kamu menikah saja. Itu lebih aman. Tahu Haji Arnas, yang punya kebun cengkih di samping rumah kita?" Ibu berkata antusias.
Aku mengingat-ingat, memindai haji Arnas dalam bayangan. "Bukannya sudah tua?"
"Lima puluh tahun. Usia laki-laki tidak akan terlihat, apa lagi kalau banyak uang. Dia pernah berkali-kali menanyakanmu."
"Dia punya istri, kan?"
"Meninggal dua tahun yang lalu," timpal bapak.
"Hmmmm." Aku mengangguk.
"Kalau enggak sama Akmal. Temanmu waktu sekolah. Dia datang berkali-kali ke sini dan meminta nomormu." Ibu mengutarakan ide yang lain.
Ingatanku melayang lagi pada Akmal teman sekolah. Ibu pernah minta izin memberikan nomor teleponku pada Akmal tapi kularang karena masih trauma menjalin hubungan.
"Bagaimana?" Ibu dan bapak menunggu jawaban.
"Mmmm ... sebenarnya anu, Bu." Aku berkata ragu. "Mmmm ...."
"Apa? Oh, tadi kamu mau bicara kan?" kata Bapak.
"Sebenarnya Lina pulang karena ada urusan yang cukup penting, Bu.
"Yang pertama karena rindu pada ibu dan bapak ... itu pasti. Tapi selain dari itu, sebenarnya ada yang mau meminang Lina di Malaysia sana." Aku bicara hati-hati.
"Siapa? Kamu cocok?"
"Itu lah, Bu. Alina tak punya alasan untuk menolaknya, juga tak punya alasan untuk menerima."
"Kenapa?"
"Dia baik, tapi Lina belum siap menikah. Jadi Lina mau menyerahkan urusan ini pada ibu dan bapak. Kalau ibu dan bapak merasa dia baik untuk Lina. Tolong terima pinangannya, tapi jika tidak. Ibu dan bapak berhak menolaknya." Aku menjeda. Menyandarkan punggung pada kursi. "Yang pasti, saya tak mau sakit hati untuk kedua kalinya."
"Dia mau datang ke sini?"
Aku mengangguk.
"Kerja apa dia di sana?"
"Itu nanti saja Lina jelaskan. Yang pasti kalau dia ke sini ibu dan bapak perhatikan sikapnya. Pantas tidak untuk Lina. Saya yakin, naluri orang tua pasti kuat menentukan mana yang membahagiakan untuk anaknya. Kaya-miskin tak masalah bagi Lina, yang penting tidak akan berkhianat seperti Bang Wisnu." Di dialog-dialog panjang, logat melayuku masih terbawa.
Ibu tersenyum, lalu mengusap punggung tangan bapak dan menggenggamnya. "Akhirnya anak kita mau bangkit, Pak. Senang ibu mendengarnya."
*
Aku memandang langit sore dari jendela kaca ruang tamu. Matahari jam tiga menyorot tajam. Suhu panas menyentuh kulit yang menempel dengan kursi.
Ingatan-ingatan buruk terus berkelebat, serupa film yang menyala tanpa bisa dihentikan. Kejadian ketika Shena mengakui siapa yang menghamil, dan saat Bang Wisnu mengakui perbuatannya, tak bisa lepas dari pandangan mata selama tiga tahun ini. Aku bukan hanya kesulitan tidur, tapi jadi sulit mengeja rasa.
Mana yang membahagiakan dan mana yang menyedihkan ... tidak tahu.
Namun, yang lebih parah dari itu aku kehilangan rasa percaya. Termasuk pada laki-laki yang ingin meminangku. Kalau tidak tahu bagaimana kesempurnaan karakternya, mungkin aku tak akan segan untuk menolak. Dia adalah sosok pria idaman kebanyakan wanita, jadi ada sedikit harapan di sini semoga esok bisa bahagia.
Dreett! Ponsel bergetar. Sebuah pesan WA tertera di layar.
[Abang dah sampai Jakarta. Esok baru lanjut jalan ke kampung awak.]
Jempolku langsung mengetik balasan.
[Hati-hati, Bang. Perjalanan ke rumah saya masih jauh.]
[Kondisi jalannya bagimana?]
[Dari kota bagus. Tapi memasuki kampung jelek.]
[Ya, sudah. Abang pergi besok. Sekarang nak istirahat dulu.]
Aku mengetik huruf-huruf lagi. Tapi terhenti karena mendengar suara derit pintu terbuka. Bang Wisnu masuk rumah tanpa permisi.
"BANG WISNU! Apa tidak bisa permisi dulu sebelum masuk rumah?!" Aku cepat berlari ke kamar, sadar hanya memakai baju dan celana pendek.
"Maaf, Dik. Abang mau bertemu ibu. Berasnya sudah datang."
Aku segera memakai baju panjang dan kerudung. Lalu berdiri di hadapan Bang Wisnu dengan dada membara.
"Terserah apa urusan Abang dengan ibu. Tapi di rumah ini ada yang bukan muhrimmu. Jadi TOLONG. Gunakan etika." Emosiku meluap-luap.
Ini kali kedua dia nongol secara tiba-tiba. Pertama saat di dapur, kedua ya sekarang ini.
"Dari dulu Abang bebas keluar masuk rumah ibu, Dik."
"Itu dulu. Saat tidak ada saya. Sekarang ada saya di sini. Saya tidak suka Abang datang tiba-tiba."
Bang Wisnu menunduk dan melempar pandang ke kiri.
"Besok Abang akan permisi dulu," katanya pelan.
Bapak dan ibu menghampiri. Bertanya tentang keributan yang kami buat. Kujelaskan semuanya pada mereka.
"Saya tak suka kalau Bang Wisnu begitu. Saya lebih baik pergi lagi dari pada harus terus-terusan melihat Bang Wisnu." Aku meliriknya dan mendelik kecewa.
"Wisnu, sini ngobrol dengan bapak." Bapak berjalan ke depan rumah dan diikuti Bang Wisnu. Dua pria itu ngobrol cukup lama. Setelahnya bapak kembali ke ruang tamu dan memintaku berbicara dengan Bang Wisnu.
"Untuk apa...? Tidak!" Aku menggeleng.
"Wisnu mau minta maaf. Beri dia kesempatan bicara."
Terpaksa aku duduk. Melipat tangan di dada sambil melihat ke arah mana saja yang penting tidak melihat Bang Wisnu.
"Dik. Abang mau meminta maaf. Dari kemarin Abang cari-cari kesempatan untuk bertemu denganmu. Abang hanya mau meminta maaf. Sumpah. Demi Tuhan, Abang menyesal, Dik. Sekarang Abang diliputi rasa bersalah terus."
Aku menggeleng.
"Abang minta maaf, Dik. Tolong."
"Baiklah. Akan saya maafkan." Aku bicara dengan kedua mata yang sama sekali tidak melirik pada Bang Wisnu. Wajah itu serupa garam yang menaburi luka dalam hati.
"Tapi tolong, jangan menampakkan wajah di depan saya lagi. Karena saya tidak bisa melupakan perbuatanmu dan Shena."
"Mana bisa, Dik. Itu bukan memaafkan namanya."
"Bisa. Rosululloh saja memaafkan Wahsyi sang pembunuh pamannya, tapi Baginda Nabi tak mau melihat wajah Wahsyi. Itu Bagina Nabi, apalagi aku yang hanya manusia biasa."
"Tapi kita saudara."
"Kau sadar diri saja, Bang, aku dan Shena memang saudara. Tapi layakkah kelakuannya dibilang saudara. Tidak Bang. Kalian yang merusak silsilah persaudaraan. Jadi kuminta satu saja. Sadar diri!"
Bersambung
Di usianya yang tak muda lagi, terlalu berisiko untuk melahirkan kembar dengan normal. Maka caesar sudah dijadwalkan sejak awal kehamilannya. . Di sana mereka sekarang. Di ruang operasi. Arasya duduk di samping Alina dan menggenggam tangannya sambil bercerita. Sementara di bagian perut, dokter sedang membedahnya. "Anak kita sudah terlihat belum?" tanya Alina. "Tak, Abang tak nak lihat," ujarnya dengan menggeleng. Namun, usahanya untuk tidak melihat kondisi perut sang istri goyah saat terdengar jeritan bayi. Satu laki-laki, satu perempuan. Alina mendapatkan dua sekaligus. Arasya memandang dua keturunannya lagi dengan tatapan haru. Lalu dengan bantuan dokter, dua bayi itu didekatkan dengan ibunya. "Akhirnya aku bisa punya anak dari rahim sendiri." Tahapan-tahapan memiliki keturunan itu selalu membuatnya menangis. "Adik langsung dapat dua." "Ya," katanya dengan berlinang air mata. Arasya kemudian mengusap basah di pipi Alina. "Nak Abang beri nama apa?" "Dia, nak Abang beri nam
Dua tahun kemudian. Kursi-kursi berpita kuning berbaris rapi. Menghadap ke panggung kayu setinggi satu meter. Karpet merah terhampar. Dua sofa dan bunga-bunga hiasan mengisi mimbar. Ada layar putih dan baliho besar di belakangnya. Orang-orang mulai mengisi kursi. Mengapit buku yang konon meledak di tahun ini. Mereka mengobrol sambil sesekali membahas isi buku itu. Pembawa acara mengisi sofa, diikuti oleh seorang wanita bercadar dengan pakaian hitam-hitam. Lalu acara pun dimulai. “Terima kasih hadirin semua yang sudah berkumpul di tempat ini. Sebagai mana kita ketahui, bahwa hari ini kita kedatangan tamu istimewa. Seorang penulis yang novelnya meledak di tahun ini. Luar biasanya, novelnya lebih dulu dikenal di negeri tetangga. Padahal beliau ini asli warga Indonesia. Kita patut berbangga.” Pembawa Acara bertepuk tangan dan para pengunjung pun ikut memberi aplus. Perempuan berkerudung lebar itu melanjutkan bicara, memberi sambutan-sambutan, lalu memperkenalkan siapa tamu istimewa it
Abang melirik dan tersenyum. "Semakin pintar awak." Dia memainkan rambut di pucuk kepalaku. "Tentu." Aku memicing. "Sekarang coba sebutkan, apa yang harus saya lakukan agar kesedihan Abang bisa terobati." Aku tengkurap dan mengangkat wajah. Memandang dia dengan serius. Tangan kanannya yang masih ada di kepala langsung pindah ke pipi. "Berjanji lah tuk tak tinggalkan Abang. Abang hanya punya separuh napas. Abang tak bisa kehilangan separuhnya lagi. Bila Allah meridhoi, Abang berharap Abang je yang mati duluan, jangan awak. Abang tak kan bisa." Aku menautkan jari-jari tangan kami. "Kita kan menua bersama. Melihat anak-anak tumbuh sehat dan jadi orang-orang yang besar. Kita kan saling menjaga sampai tua. Hmmm...?" Aku mengubah posisi lagi menjadi berbaring di lengannya. "Saya akan berdoa, Abang menghadap Illahi sehari lebih cepat dari pada saya. Biar saya bisa melakukan apa yang Abang lakukan pada Aisha. Begitu adil bukan?" "Tu terdengar baik." "Tugas kita sekarang adalah mengumpul
POV Alina. Kadang memang masih ada rasa cemburu ketika melihat Aisha bersama Bang Rasya. Namun, tak sedikit pun berharap hal buruk terjadi padanya. Dia telah memberi kehangatan yang berbeda. Rumah ini jadi lebih ramai dan berwarna. Hati ikut miris ketika abang pulang dari rumah sakit dengan membawa Aisha yang sudah tak berdaya. Dia duduk di kursi roda dan tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa bicara. Rasa cemburu yang kadang masih ada itu hilang begitu saja, malah berganti iba. Dengan mata kepala sendiri, aku melihat Bang Rasya mengurus Aisha dengan begitu telaten. Dari memandikan, menyuapi, bahkan membersihkan kotorannya. Di sana dia terlihat begitu penyayang dan bertanggung jawab. Hingga aku merasa tak ada alasan untuk menjauh darinya lagi. 'Abang... jika lelah datang saja padaku. Saya di sini akan membuang kelelahanmu. Kasih sayangmu pada Aisha biarlah saya yang membalasnya.' Hanya tiga hari, Aisha bertahan di rumah. Lalu pergi untuk selamanya di malam itu. Malam yang paling ba
Sore, di hari Kamis. Aku membawa Aisha ke kamar mandi. Mendudukkannya di atas bathtub. Lalu memandikannya. Mengisi bathtub dengan banyak air hangat dan sabun. Aku membersihkan tubuhnya dari kepala sampai kaki. Tiga hari di rumah sakit dan tiga hari di rumah, aku yang selalu merawatnya."Ingat tak, kita suka mandi bersama?" kataku sambil menggosok tangannya."Kapan?""Dulu.""Lupa.""Biar Abang ingatkan." Aku membersihkan badannya sambil bercerita juga berurai air mata. Tubuh Aisha masih dalam pemulihan pasca melahirkan. Napasku sakit lagi saat menyentuh area-area sensitifnya yang belum sembuh benar. Dadanya masih keluar asi untuk buah hati kami.Alina masuk kamar mandi, menghampiri. Dia mengusap rambut dan pundak Aisha, lalu telapak tangannya yang sudah keriput karena terlalu lama di air."Sudah, Abang, terlalu lama," kata Alina. Lalu dengan dibantu Alina, aku membersihkan tubuhnya.Kubaringkan dia di tempat tidur lalu memakaikan pakaian dengan hati-hati. Setidaknya itu pelayanan tera
Pov Teuku ArasyaDalam waktu dua minggu, sudah dua kali aku singgah di rumah sakit ini. Pertama, untuk menyambut kehidupan, setiap sudut ruang rawat seakan indah sampai suhu terasa hangat.Kedua, untuk kesakitan. Rasa keputusasaan membuat tempat ini serupa gelap, kelam, dan dingin.Aisha berbaring tak sadarkan diri. Alat-alat medis mengelilinginya. Tiang infus menggantung. Mesin pendeteksi detak jantung berjalan dan mengeluarkan suara “Tit! Tit! Tit!” Dengan teratur.Dadaku serupa dihantam godam, saat melihat tubuh Aisha bergetar hebat. Napasku jadi sakit dan sesak, rasanya persis dengan dulu, saat aku berdiri di antara puing-puing gempa dan memanggil-manggil namanya. “Aisha… Aisha… Aisha….”Kemarin, aku masih yakin, dia yang kadang bersikap menyebalkan dan menguji emosi akan menemaniku sampai tua. Namun… hari ini… saat dokter memvonis usianya, aku baru menyadari satu hal, ternyata sesakit ini rasa kehilangan. Sama persis dengan bertahun-tahun yang pernah kulalui. Bahkan helaan napas