Share

Bab 7

Penulis: Nendia
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-01 12:45:09

Pov Alina

Aku dan ibu masak besar. Daging, sayur, lalapan... semua ada. Bahkan kupersiapkan makanan kesukaannya: roti canai.

Dapur kecil yang kurang resik ini dipenuhi banyak aneka bahan makanan, berserakan di meja dan lantai.

"Apa kita tidak harus masak masakan Malaysia?" Suara spatula bertemu wajan besi menjadi musik pengiring kalimat ibu. Beliau sedang memasak daging. Harum lengkuas dan bumbu rempah lainnya menguar di sini.

Aku mencuci daun bawang dan mengirisnya. "Untuk apa jauh-jauh datang ke Indonesia kalau mau makan makanan Malaysia. Justru karena ini Indonesia kita harus menyediakan yang berbeda."

"Kalau dia tak suka bagaimana?"

"Ya, terserah. Itu kan yang ingin kita lihat. Bagaimana cara dia menyikapi perbedaan yang ada."

Ibu menghentikan gerak tangannya. Suara spatula bertemu wajan berhenti, berganti jadi nada letupan air kuah daging. Beberapa detik ibu bengong melamun. "Kalau laki-laki itu pria yang pantas, kamu akan pergi jauh dari ibu lagi."

"Alina lebih baik pergi jauh dari sini, Bu. Lina sudah tidak betah di sini. Cocok atau tidak Lina dengan dia, Lina pasti pergi jauh dari kampung ini.

"Ibu ikut saja dengan Lina, kita tak perlu berjauhan."

"Mana bisa ibu meninggalkan tempat ini." Ibu melanjutkan gerakan memasaknya.

Kuambil mangkuk besar dan mencicipi semur daging buatan ibu.

"Enak?"

"Pas." Aku mengangguk, lalu kami lanjutkan dengan masak menu yang lainnya.

"Apa kamu tidak mau baikkan dengan Shena, Lin?" tanya ibu di sela-sela kesibukan.

"Bukan tak mau, Bu. Tapi tak bisa. Untuk sekarang tidak bisa, entah kalau nanti-nanti."

Ibu menghirup napas panjang, dan membuang sampai terdengar helaan. "Dulu saat ibu hamil oleh Shena, ibu mimpi melihat bulan purnama." Ibu mengulang apa yang sering diceritakannya.

"Ibu yakin kalau anak yang dikandung pasti jadi orang besar yang cerah masa depannya. Orang-orang juga bilang Shena pasti membawa rezeki yang besar. Ternyata betul saja Shena tumbuh jadi anak yang sangat cantik. Tapi ibu khilaf, ibu lupa diri. Kecantikan ternyata membawa Shena ke jalan yang salah. Dia bukan hanya menyakiti wanita lain, dia juga menyakiti kakaknya sendiri."

Jujur aku tak suka mendengar nama itu meski dia seorang adik.

Panjang umur rupanya yang sedang dibicarakan. Shena sudah berdiri di pintu belakang rumah tanpa kami tahu kapan kedatangannya.

"Masak besar ni ceritanya." Nadanya seperti orang yang malas bicara. Tumben beda, biasanya dia nyolot kalau datang.

"Mau ada tamu." Ibu menimpali.

"Siapa?"

"Calonnya mbakmu."

"Oh, Mbak Alina sudah punya calon. Bagus lah." Shena melangkahkan kaki memasuki dapur bersama anak balita perempuan. Pasti itu anak yang dikandung dulu. Aku suka semua anak kecil, tapi melihat anaknya Shena aku tak terketuk sedikit pun.

Dengan tak tahu dirinya Shena membuka lemari. Lalu dia menyendok daging, mencicipi. Kemudian Shena mau menyimpan sendok bekas mulutnya ke mangkuk lagi.

Cepat kuambil sebelum sendok itu mendarat. "Ini buat tamu. Kira-kira lah. Kau mau simpan di sini sendok bekas itu?!" Alisku menegang.

Dari dulu aku mengalah, menahan diri agar tak marah. Belakangan ini dinding-dinding kesabaran semakin menipis. Aku tidak ingin ibu dan bapak terluka dengan pertengkaran semacam ini. Tapi aku hanya manusia lemah iman yang memiliki batas sabar.

"Haih. Ini masih bersih bukan najis, Mbak." Shena membalas mata marahku.

"Bawa saja ke rumahmu." Aku mendelik dan memindahkan semur daging dari lemari makanan dapur ke lemari depan.

"Lihat, Bu. Mbak Lina tidak sesuci itu. Masa sendok saja dipermasalahkan."

"Kamu dan suamimu itu sama. Tak punya aturan dalam hidup." Aku kembali duduk.

Shena tersenyum. "Suamiku itu mantan suamimu, Mbak .... Ingat ... meskipun dia tak punya aturan, Mbak tetap cinta sama dia kan."

Mulutku terbuka untuk membalas perkataan Shena. Tapi kuurungkan kalimat yang siap keluar dari mulut ini karena melihat air mata ibu.

Tangan kasar ibu mengusap pipinya yang legam. Lalu beliau beranjak ke kamar mandi.

"Liat! Mbak yang buat ibu sedih. Ibu tidak pernah menangis kalau tidak ada Mbak." Shena menggendong anaknya. "Yuk Cha, kita nongkrong di depan."

***

Ada tiga bis antar kota yang lewat depan rumahku. Yang pertama datang jam 11, kedua jam satu siang, ketiga jam empat sore. Setelah itu tidak ada lagi.

Kemarin aku naik yang pertama, datang jam sebelas siang. Sekarang Bang Rasya naik yang jam berapa kira-kira?

Aku sudah memberikan rute perjalanan dengan umum, semoga saja dia mengikuti arahanku. Karena bahaya menyasar kalau dia tidak naik bis.

Sebelum jam sebelas, makanan sudah siap. Bis pertama juga telah lewat. Bang Rasya tidak ada.

Jam 12:00...

Jam 13:00...

Aku menunggu. Dia tak juga tiba. Pesan pun tak ada.

Aku terus menunggu sampai bis ketiga berlalu. Bang Rasya betulan tak datang. Baik lah mungkin dia berbohong, bilang mau datang ke sini tapi tidak jadi. Wajar. Saudara pun bisa berkhianat apa lagi orang lain.

Aku mengambil wudhu untuk shalat Asar.

"Belum datang juga calonmu, Lin?" seru bapak yang ikut menunggu. Pakaian bapak sudah rapi dari siang tadi.

"Belum. Mungkin tidak." Aku beranjak ke kamar, menggelar sejadah dan bersiap shalat. Kuambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Kupejamkan mata lalu mengucap takbir.

Berharap pada manusia hanya akan mendapat kecewa.

.

"Jauh sekali, ya, Pak. Sampai nyasar berkali-kali saye." Suara pria berlogat melayu. Bang Rasya? Apa itu Bang Rasya? Sejak kapan tiba?

"Sudah jauh jelek pula jalannya, ya?" Kali ini suara bapak yang terdengar. Beliau terkekeh ringan.

Aku segera melipat sejadah. Lantas keluar dengan masih menggunakan mukena. Pria berkaus hitam itu sudah duduk di kursi. Dia tersenyum.

"Bang Rasya?" Aku ternganga. Pria tinggi berdada lebar itu mengangkat kedua alis. "Sejak kapan tiba?" lanjutku.

"Baru saja. Two minutes ago." Tersenyum lagi.

Saking fokusnya shalat aku sampai tak sadar ada yang sudah datang. Maklum shalatnya sambil curhat.

Sekarang bukan tamuku yang kikuk, malah aku yang tak tahu harus berbuat apa. Bapak dan Bang Rasya sudah duduk manis di sana.

"Naik apa ke sini?" Ibu menghampiri dengan membawa suguhan air.

"Saye naik kereta, Mak."

"Wah! Naik kereta sampai mana?"

"Sampai depan. Saye simpan di rumah tetangga."

"Hah?" Ibu kebingungan. Aku tersenyum geli. Pasti ibu membayangkan Bang Rasya membawa kereta api sampai depan rumah.

"Maksudnya mobil, Bu." Aku menjelaskan.

"Oooh... " Ibu dan bapak ber oh ria.

"Haa ... sorry. Saye lupa. Kereta tu maksudnya mobil." Bang Rasya mengangguk dan melihat bapak serta ibu secara bergantian. "Saya lahir di Aceh. Tapi sudah lama di Malaysia. Bahasa Indonesia dan melayu suka tertukar."

"Hooo ... kaget, Pak. Ibu pikir kereta betulan."

"Maaf ... maaf ... sorry."

"Aceh, ya. Bapak pikir asli Malaysia."

"Tak... tak, Pak. Saye lahir di Aceh. Tapi sudah pindah warga negara. Name saye Teuku Arasya."

"Hoooo ...." Bapak mengangguk.

Orang tuaku miskin dan berpendidikan rendah. Tidak semua orang kota mudah berbaur dengan mereka. Tapi Bang Rasya langsung bisa beradaptasi. Mereka saling mengobrol hangat diiringi senyum sesekali.

Lalu datanglah orang yang tak diundang. Sekonyong-konyong Shena ikut berbaur dengan kami.

"Ini calon suaminya Mbak Alina?" Dia berkata sok akrab. Mengulurkan tangan pada Bang Rasya,  mengajak salaman.

Bang Rasya menyambut dengan senyuman. Pria berjanggut tipis itu mengulurkan tangan tapi cepat menariknya lagi sebelum bersentuhan. Dia menyimpan telapak tangannya di dada seraya bilang, "Insya Allah. Mudah-mudahan.”

Shena mengernyit. Lalu memilih cuek.

"Kerja apa di Malaysia? Supir?"

Bang Rasya melihatku, lalu irisnya kembali lagi pada Shena. "Kadang saye jadi driver juga."

"Ohhhh ... supir ...." Shena tersenyum. "Cocok." Dia mengangguk.

"Padahal lebih baik kerja di Indonesia loh, dari pada jauh-jauh ke Malaysia. Upah juga cuma berapa kan. Di sini juga UMR udah besar, kalo hanya empat juta di kota juga dapat ... kalau suami saya sih, guru. Udah PNS. Jadi besar. Ada gaji ke tiga belas, sertifikasi, banyak lah."

Bang Rasya hanya tersenyum dan mengangguk.

"Itu mobil. Sewa?"

Bang Rasya menunduk dan tersenyum lagi. "Iya saya sewa dari Jakarta."

"Oh, pantes. Udah ketebak sih."

.

Waktunya makan-makan. Kami--para perempuan--mengangkut makanan dari dapur.

Shena mendekatiku dan berbisik, "Udah dicobain belum dia, Mbak? Sekuat Bang Wisnu tidak?"

Aku mengernyit dengan ekspresi jijik, beraninya dia bilang begitu. Heran.

"Asal Mbak tahu, ya, laki-laki seperti Bang Wisnu itu jarang. Jadi menurutku pastikan dulu. Ya, minimalnya tenaganya sama." Shena mendekatkan mulut ke telingaku. "Biar puas."

Aku menelan saliva dan menatap ke dua bola matanya. "Jika bagimu dunia ini tempat memuaskan hawa nafsu. Kenapa tidak coba saja semua laki-laki, barangkali ada yang lebih kuat dari Wisnu?" Aku menjeda.

"Bagi saya dunia ini tempat berpuasa. Jadi cara hidup kita pasti berbeda!" Aku langsung balik kanan meninggalkan Shena.

Bersambung ....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (5)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si alina terlalu menye2 dan kelewat jaim.
goodnovel comment avatar
Galangrr
bingung ngisi koinx
goodnovel comment avatar
Potato Peach
...... shena pikiran nya gak jauh2 dr yg begituan dasar dangkal
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Pulang Kampung Bawa Sultan   Rindu 26.b

    Di usianya yang tak muda lagi, terlalu berisiko untuk melahirkan kembar dengan normal. Maka caesar sudah dijadwalkan sejak awal kehamilannya. . Di sana mereka sekarang. Di ruang operasi. Arasya duduk di samping Alina dan menggenggam tangannya sambil bercerita. Sementara di bagian perut, dokter sedang membedahnya. "Anak kita sudah terlihat belum?" tanya Alina. "Tak, Abang tak nak lihat," ujarnya dengan menggeleng. Namun, usahanya untuk tidak melihat kondisi perut sang istri goyah saat terdengar jeritan bayi. Satu laki-laki, satu perempuan. Alina mendapatkan dua sekaligus. Arasya memandang dua keturunannya lagi dengan tatapan haru. Lalu dengan bantuan dokter, dua bayi itu didekatkan dengan ibunya. "Akhirnya aku bisa punya anak dari rahim sendiri." Tahapan-tahapan memiliki keturunan itu selalu membuatnya menangis. "Adik langsung dapat dua." "Ya," katanya dengan berlinang air mata. Arasya kemudian mengusap basah di pipi Alina. "Nak Abang beri nama apa?" "Dia, nak Abang beri nam

  • Pulang Kampung Bawa Sultan   Rindu 26.a

    Dua tahun kemudian. Kursi-kursi berpita kuning berbaris rapi. Menghadap ke panggung kayu setinggi satu meter. Karpet merah terhampar. Dua sofa dan bunga-bunga hiasan mengisi mimbar. Ada layar putih dan baliho besar di belakangnya. Orang-orang mulai mengisi kursi. Mengapit buku yang konon meledak di tahun ini. Mereka mengobrol sambil sesekali membahas isi buku itu. Pembawa acara mengisi sofa, diikuti oleh seorang wanita bercadar dengan pakaian hitam-hitam. Lalu acara pun dimulai. “Terima kasih hadirin semua yang sudah berkumpul di tempat ini. Sebagai mana kita ketahui, bahwa hari ini kita kedatangan tamu istimewa. Seorang penulis yang novelnya meledak di tahun ini. Luar biasanya, novelnya lebih dulu dikenal di negeri tetangga. Padahal beliau ini asli warga Indonesia. Kita patut berbangga.” Pembawa Acara bertepuk tangan dan para pengunjung pun ikut memberi aplus. Perempuan berkerudung lebar itu melanjutkan bicara, memberi sambutan-sambutan, lalu memperkenalkan siapa tamu istimewa it

  • Pulang Kampung Bawa Sultan   Rindu 25.b

    Abang melirik dan tersenyum. "Semakin pintar awak." Dia memainkan rambut di pucuk kepalaku. "Tentu." Aku memicing. "Sekarang coba sebutkan, apa yang harus saya lakukan agar kesedihan Abang bisa terobati." Aku tengkurap dan mengangkat wajah. Memandang dia dengan serius. Tangan kanannya yang masih ada di kepala langsung pindah ke pipi. "Berjanji lah tuk tak tinggalkan Abang. Abang hanya punya separuh napas. Abang tak bisa kehilangan separuhnya lagi. Bila Allah meridhoi, Abang berharap Abang je yang mati duluan, jangan awak. Abang tak kan bisa." Aku menautkan jari-jari tangan kami. "Kita kan menua bersama. Melihat anak-anak tumbuh sehat dan jadi orang-orang yang besar. Kita kan saling menjaga sampai tua. Hmmm...?" Aku mengubah posisi lagi menjadi berbaring di lengannya. "Saya akan berdoa, Abang menghadap Illahi sehari lebih cepat dari pada saya. Biar saya bisa melakukan apa yang Abang lakukan pada Aisha. Begitu adil bukan?" "Tu terdengar baik." "Tugas kita sekarang adalah mengumpul

  • Pulang Kampung Bawa Sultan   Rindu 25.a

    POV Alina. Kadang memang masih ada rasa cemburu ketika melihat Aisha bersama Bang Rasya. Namun, tak sedikit pun berharap hal buruk terjadi padanya. Dia telah memberi kehangatan yang berbeda. Rumah ini jadi lebih ramai dan berwarna. Hati ikut miris ketika abang pulang dari rumah sakit dengan membawa Aisha yang sudah tak berdaya. Dia duduk di kursi roda dan tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa bicara. Rasa cemburu yang kadang masih ada itu hilang begitu saja, malah berganti iba. Dengan mata kepala sendiri, aku melihat Bang Rasya mengurus Aisha dengan begitu telaten. Dari memandikan, menyuapi, bahkan membersihkan kotorannya. Di sana dia terlihat begitu penyayang dan bertanggung jawab. Hingga aku merasa tak ada alasan untuk menjauh darinya lagi. 'Abang... jika lelah datang saja padaku. Saya di sini akan membuang kelelahanmu. Kasih sayangmu pada Aisha biarlah saya yang membalasnya.' Hanya tiga hari, Aisha bertahan di rumah. Lalu pergi untuk selamanya di malam itu. Malam yang paling ba

  • Pulang Kampung Bawa Sultan   Rindu 24.b

    Sore, di hari Kamis. Aku membawa Aisha ke kamar mandi. Mendudukkannya di atas bathtub. Lalu memandikannya. Mengisi bathtub dengan banyak air hangat dan sabun. Aku membersihkan tubuhnya dari kepala sampai kaki. Tiga hari di rumah sakit dan tiga hari di rumah, aku yang selalu merawatnya."Ingat tak, kita suka mandi bersama?" kataku sambil menggosok tangannya."Kapan?""Dulu.""Lupa.""Biar Abang ingatkan." Aku membersihkan badannya sambil bercerita juga berurai air mata. Tubuh Aisha masih dalam pemulihan pasca melahirkan. Napasku sakit lagi saat menyentuh area-area sensitifnya yang belum sembuh benar. Dadanya masih keluar asi untuk buah hati kami.Alina masuk kamar mandi, menghampiri. Dia mengusap rambut dan pundak Aisha, lalu telapak tangannya yang sudah keriput karena terlalu lama di air."Sudah, Abang, terlalu lama," kata Alina. Lalu dengan dibantu Alina, aku membersihkan tubuhnya.Kubaringkan dia di tempat tidur lalu memakaikan pakaian dengan hati-hati. Setidaknya itu pelayanan tera

  • Pulang Kampung Bawa Sultan   Rindu 24.a

    Pov Teuku ArasyaDalam waktu dua minggu, sudah dua kali aku singgah di rumah sakit ini. Pertama, untuk menyambut kehidupan, setiap sudut ruang rawat seakan indah sampai suhu terasa hangat.Kedua, untuk kesakitan. Rasa keputusasaan membuat tempat ini serupa gelap, kelam, dan dingin.Aisha berbaring tak sadarkan diri. Alat-alat medis mengelilinginya. Tiang infus menggantung. Mesin pendeteksi detak jantung berjalan dan mengeluarkan suara “Tit! Tit! Tit!” Dengan teratur.Dadaku serupa dihantam godam, saat melihat tubuh Aisha bergetar hebat. Napasku jadi sakit dan sesak, rasanya persis dengan dulu, saat aku berdiri di antara puing-puing gempa dan memanggil-manggil namanya. “Aisha… Aisha… Aisha….”Kemarin, aku masih yakin, dia yang kadang bersikap menyebalkan dan menguji emosi akan menemaniku sampai tua. Namun… hari ini… saat dokter memvonis usianya, aku baru menyadari satu hal, ternyata sesakit ini rasa kehilangan. Sama persis dengan bertahun-tahun yang pernah kulalui. Bahkan helaan napas

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status