Sungguh, demi mendengar semua yang disampaikan Seika, Hiranur semakin mengkerut. Menyusut. Tak sampai hati rasanya untuk melanjutkan tekad yang tadi. Namun jika tidak, Seika pasti akan bertambah tersiksa. Dia pasti akan terus bertanya, berpikir dan semakin bingung. "Ya, Seika." Hiranur kembali menguatkan diri. "Sorry to ask Seika, apa Bang Kama juga sudah memberitahu kalau ternyata mereka sudah menikah?" Dug jlep, plaaasss! Hampir saja Seika terjatuh tak sadarkan diri dari ayunan. "Apa Hiranur, Kama sudah menikah?" "Ya Seika, aku melihat mereka dengan mata kepalaku sendiri." ungkap Hiranur terisak-isak. Tak kuasa lagi membendung arus deras air mata. "Waktu aku datang, Siti Hapsari yang membukakan pintu lalu dia mengenakan diir sebagai istri Bang Kama. Tak lama sesudah itu, Bang Kama pun menjumpai kami di ruang tamu. Begitu juga dengan Makcik, Mamak Bang Kama. Oh, mereka benar-benar sudah menikah Seika, sungguh. Untuk apa aku berdusta?" Di kamarnya yang lux, Seika tak mampu berbuat
"Oh, hai Seika …!" Derya menyapa ramah. Seika baru saja memijakkan kaki di ruang tamu Real Publishing. "Selamat pagi. Ada apakah gerangan, sehingga menyempatkan diri bertandang ke mari?" Seika hanya melemparkan senyum ramah tamah. Melanjutkan langkah ke ruang kerja Menir Hank, berharap William sudah ada di sana. Ada banyak hal yang harus dia bicarakan dengannya. Salah satunya tentang Kama. Gadis Indo Belanda itu sudah memutuskan untuk membuat perhitungan. Bukan dendam namun bagaimanapun Kama harus mendapatkan pelajaran berharga dari pengkhianatannya. "William …!" Kosong. William tak ada di ruang kerja Menir Hank yang tanpa Seika sadari sudah turun ke tangan William. Oleh karena tak berjumpa dengan William, Seika menarik diri pulang. Bukan pulang ke rumah, melainkan mewujudkan niatnya yang tadi, ke Seikamara Publishing. Tut, tut, tuuuttt …! Lincah, jari-jemari Seika mencari kontak di Recent Calls dan mencoba untuk menelepon. Bukan apa-apa, tak sabar rasa hatinya untuk segera mel
"Sial, sial!" Seika memukul-mukul stir mobil kesayangan yang sempat disita oleh Menir Hank dulu, padahal sedang melaju di pasatnya lalu lintas. "Kamu jahat banget sih, Kama? Kamu tuh cinta mati aku, tahu? Segala-galanya sudah aku korbankan untuk kamu, termasuk kebahagiaan Papa. Tapi sekarang, apa yang kamu berikan buat aku? Kamu, begitu mudahnya kamu melupakan semua perjuangan kita, Kama. Dari titik nol, kamu ingat dan itu karena apa? Karena aku benar-benar mencintai kamu, sampai kapan pun!" Seika semakin larut dan hanyut dalam perasaannya sendiri, sekarang. Tak kuasa dia melayangkan meskipun sudah menciptakan sebuah prinsip biarkan Kama pergi, dia hanyalah sepenggal masa lalu. Tak semudah yang Seika bayangkan saat menciptakan prinsip itu, tentu saja. "Hahahaha … Pandai sekali kamu berdusta, Kama?" Seika menepikan mobil, berhenti di depan kafe IndoBelanda tempat dia dan Kama sering makan malam bersama. "Katamu, hanya ada satu pilihan dalam hidupmu? Menikah denganku atau tidak pern
"Jadi, apa yang kamu inginkan sekarang, Seika?" William memperhatikan adik sepupunya dengan serius dan fokus. "Yakin, kamu sudah nggak emosional lagi? Ingat Seika, keputusan yang diambil saat emosional itu sama dengan kita membuat jalan buntu di depan rumah. Ya, setelah emosi kita reda saat itulah kita baru menyadari kalau kita nggak bisa je mana-mana lagi." Seika mengernyitkan kening. Mengaduk-aduk cokelat panasnya yang sebenarnya tak perlu lagi, membuka kertas pembungkus waffel. "Ya, aku tahu itu, William. Tetapi Kama terlalu jahat, pengkhianat!" William baru membuka suara untuk memberikan tanggapan tetapi Seika sudah langsung menyambar. "Jangan karena kamu laki-laki William, jadi kamu menyikapi masalah ini dari sudut pandang laki-laki pada umumnya. Oh ya, kalau Kama bisa meninggalkan aku begitu saja, tanpa kesan dan pesan sedikit pun aku juga bisa mencoretnya dari Seikamara Publishing dengan cara yang sama. Why not? Toh, masih ada Welas dan karyawan-karyawan yang lain, kan? Well,
Siti Hapsari menggeleng-gelengkan kepala, lemah. Air mata bermekaran di matanya, nyaris gugur. "Belum, Mak." Terkejut, tak percaya Mamak melekatkan pandangan. "Oalah Kama, Kama. Apa maunya anak itu?" "Siti pun nggak tahu Mak, Bang Kama selalu menghindar. Menolak setiap kali Siti mendekati." ungkap Siti Hapsari tanpa tirai penutup barang sehelai pun. "Padahal Siti sudah berusaha untuk memeluk, merangkul … Siti pun susah pakai lingerie yang Mamak belikan itu Mak, tapi sikit pun Bang Kama tak mau tengok. Berpaling dia Mak, ke jendela." Mamak mendesah berat. Berdecak heran sekaligus pusing. "Setiap malam kau buat macam tu, Ti?" Siti Hapsari mengangguk, menahan rasa malu. Menyeka air mata yang memaksa turun dengan beberapa lembar tisu. "Tadi malam pun Siti buat Mak tapi Bang Kama pigi ke luar kamar, nengok TV. Siti tunggu-tunggu sampai jam dua, tak ada lagi dia masuk kamar, Mak. Terus terang Siti bingung, apa kekurangan Siti? Apa salah Siti, Mak?" "Nggak, nggak ada kurangnya kau, S
Mamak menyarankan Siti Hapsari untuk terus bersabar dan mendekati Kama. Dia yakin, anak laki-laki tersayang tak lebih keras dari pada batu karang di tengah lautan. Jika Siti Hapsari teguh kukuh berlapis baja, lama kelamaan Kama akan terkikis juga. "Tapi bagaimana caranya, Mak?" Siti Hapsari memijat-mijat kedua pelipis, semakin sakit kepalanya. Mamak merendahkan suara. Memastikan Kama belum pulang, melongok ke ruang tengah dari balik gorden pintu dapur. "Banyak caranya, Siti." Mamak tersenyum penuh keyakinan. "Apa itu, Mak?" "Kau jaga penampilanmu dengan lebih baik lagi, Siti." Mamak setengah berbisik. "Pokoknya kau harus selalu bersih, rapi, wangi, lemah lembut dan pandai menjaga perasaannya. Mamak yakin seratus persen, kalau semua itu kau jalankan, tak lama lagi Kama akan meleleh dengan sendirinya. Mencair dan semakin lama akan semakin tergila-gila samamu." Siti Hapsari menyimak baik-baik semua saran Mamak, tentu saja walaupun masih bingung juga, apa selama ini dirinya kurang
Meleleh hati Seika demi mendapati sikap Bibi yang demikian mengkhawatirkannya. Terutama saat sosok tulus, setia itu menubruk lalu memeluk dengan sepenuh kasih sayang. Tak mampu lagi Seika melanjutkan tekad meskipun sebesar gunung Merapi, setinggi menara Eiffel, seluas samudera Atlantik … Gadis yang di dalam tubuhnya mengalir darah Belanda - Indonesia itu membalas pelukan Bibi dengan sebentuk kemanjaan bercampur kepasrahan. "Bibi …?" "Noni, jangan tinggalkan Bibi." wanita paruh baya yang sudah seusia Seika mengabdikan diri di rumah ini memandang penuh sayang. Kesedihan jelas terlihat di sana, bercampur dengan kesedihan. "Noni sudah kehilangan Mevrauw dan Menir. Bibi nggak tahu, masih sanggup untuk melanjutkan hidup ini atau tidak jika Noni juga pergi. Bibi di sini untuk Noni." Bibi mencuil sayang pucuk dagu daun sirih Seika, tersenyum sedih. "Bibi di sini untuk Noni. Seandainya Mevrauw tidak berwasiat sekalipun Bibi tetap akan di sini. Karena Bibi menyayangi Noni." "Oh, Bibi …?"
"Hai, Hiranur!" sumringah, Derya menjemput Hiranur di bandara. "Gimana, capek banget ya?" Hiranur berusaha menjajari langkah Kama, tersenyum setipis kulit ari. "Nggak kok Bang, biasa saja." Kama tertawa kecil. "Oh, syukurlah kalau begitu, Hira. Gimana mamaknya, sudah sembuh kan? Nggak apa-apa kan, ditinggal Hira kerja lagi? Ada yang jaga, kan?" Atas semua pertanyaan Derya itu Hiranur hanya menebalkan senyuman. Memasang wajah tenang dengan harapan Derya mengerti kalau semua dalam keadaan baik termasuk mamaknya. Hiranur juga berdoa semoga Derya tak pernah tahu kalau sebenarnya dia hanya berbohong, supaya lebih mudah mengurus cuti. Mustahil dia mengakui kalau harus pulang karena penasaran dengan situasi Kama terkini. "Abang khawatir banget lho Hira, terpikir mamak Hiranur terus." "Oh, ya?" Hiranur merasa takjub, orang sejahat Derya masih bisa mengkhawatirkan keadaan orang lain. Malaikat apa yang sudah menyentuh hatinya? "Makasih banyak ya, Bang Derya?" Derya mengangguk, melemparkan