Share

Pura-Pura Buta { Berpisah atau Bertahan}
Pura-Pura Buta { Berpisah atau Bertahan}
Penulis: Meriatih Fadilah

01. Pengkhianatan

“Den, biar Bibi saja yang masak, Aden kan baru sembuh, lagian neng Alisa jadi  pulang hari ini?” tanya pembantunya yang tidak tega melihat majikannya bersibuk ria di dapur.

“Iya, Bi tadi Alisa telepon katanya pulang sore ini dan aku harus memberi kejutan untuknya, kasihan dia selama enam bulan terakhir ini bekerja menggantikan aku di perusahaan Pak Bima.”

“Untung saja Pak Bima mau menerima Alisa dan sekarang dia tidak perlu lagi bekerja karena aku sudah sembuh dan Alisa belum tahu, Bi, biarlah ini menjadi kejutan dan hadiah yang paling teristimewa untuknya.” Arlan merasa bahagia tidak ada rasa curiga semua tampak seperti biasa saja.

Namun Bi Atun merasa kasihan melihat Arlan yang terlalu percaya diri tentang istrinya, sehingga dia pun tidak tega untuk menyakiti anak majikannya yang dia rawat dari kecil setelah ibunya meninggal.

“Den, biar Bibi bantu ya, supaya cepat selesai, Bibi nggak tega toh, masa majikan yang masak, ini sudah tugas Bibi, sana istirahat saja di kamar!” perintahnya kepada Arlan.

“Aku baik-baik saja, Bi, nggak perlu ada yang dikhawatirkan, kata dokter  sudah sembuh seratus persen, lagian sudah tiga hari  yang lalu Bi, aku sembuh dan sekarang waktunya Alisa harus tahu yang sebenarnya, dan aku akan kembali bekerja di sana,” jelasnya tersenyum sembari tangannya dengan cekatan  mencuci daging ayam hingga bersih.

 

“Terima kasih ya Allah, Engkau telah mengembalikan kedua mataku untuk bisa melihat lagi, dan kamu manis, gara-gara kamu aku sudah bisa melihat lagi!”

“Sebagai gantinya aku akan merawatmu dan tinggal di rumahku saja,” ucapnya berbicara dengan seekor anak kucing yang telah dia selamatkan dari mobil yang hampir menabraknya.

Kucing putih itu seakan-akan tahu majikan baru itu sangat menyayanginya, dia lalu duduk manis melihat sang majikannya masih sibuk di dapur menyiapkan semua bahan masakan.

Arlan yang hobinya memasak dengan cekatan bekerja di dapur, sesekali Bi Atun membantunya.

Ada tiga macam hidangan yang dibuat sang suami, semua adalah masakan kesukaan Alisa sang istri.

Ada sayur cap cay, ayam lada hitam dan  udang goreng mentega. Tidak lupa ditambah kerupuk udang dan acar manis.

Semua dia kerjakan dengan cepat dan bahagia, ditambah dengan bumbu cinta sehingga masakan itu telah siap hanya dalam waktu satu jam.

Setelah selesai dia langsung menatanya di meja makan, ditambah dengan sekuntum bunga mawar merah yang dia ambil dari halaman rumah untuk menghiasi meja makan mereka.

Aroma masakan yang tersaji sangat menggugah selera, tidak sabar rasanya Arlan untuk bisa makan berdua dengan istri tercintanya.

Tepat jam empat sore semua sudah selesai semuanya, Arlan yang sudah mandi dan berganti pakaian, tidak lupa dia menyemprotkan parfum yang disukai istrinya itu.

Arlan pun duduk sambil menunggu kedatangan sang istri yang baru pulang dari luar kota, menurutnya dia akan merasa lapar sehingga Arlan pun membuatkan masakan itu tanpa sepengetahuan Alisa.

 

“Den, lama banget datangnya, coba ditelepon dulu, sudah sampai di mana jangan-jangan nggak jadi lagi pulang, masih di Bandung,” gerutu Bi Atun kesal yang ikut menunggu bersama Arlan.

“Dia bilang sih jam setengah lima sore ini, Bi, mungkin masih di perjalanan,  ponselnya nggak aktif lagi,” sahutnya sembari melihat ke arah gerbang pintu.

“Mudah-mudahan sebentar lagi, deh, Bibi takut Den kalau Neng Alisa datang dengan Pak Bima dengan saling berpelukan seperti yang sudah-sudah mereka lakukan,” lirihnya dalam hati.

“Den, sebaiknya kita tunggu di dalam saja, nanti kalau Neng Alisa datang, Bibi kasih tahu Aden ya,” usul Bi Atun bersemangat.

“Nggak usah, Bi, paling-paling sebentar lagi Alisa pulang, Bibi nggak perlu  khawatir, aku bukan anak kecil lagi, Bi yang mengeluh kalau sakit,” jelasnya kepada Bi Atun tersenyum.

“Bukan itu Den tetapi hatimu yang akan sakit kalau kamu melihat apa yang istrimu lakukan di belakang kamu,” ucapnya dalam hati.

“Maaf Den, Bibi tidak bisa mengatakannya karena Bibi belum bisa memastikan apakah mereka mempunyai hubungan atau tidak, walaupun di dalam hati kecil selalu mengatakan kalau mereka bukan sekedar anak buah dan atasannya tetapi lebih dari itu,” gerutunya dam hati.

“Bi ... Bibi kenapa kok melamun, ada apa?” panggil Arlan seketika sehingga membuat Bi Atun terkejut.

“Oh ... nggak apa-apa, Den,” jawabnya sedikit gugup.

Beberapa menit kemudian sebuah mobil berwarna hitam mengkilap akhirnya masuk ke dalam halaman rumah Arlan.

Dia sangat yakin itu adalah istrinya bersama Pak Bima bos mereka di kantor.

Alisa turun dengan senyum yang mengembang semakin hari wanita yang sudah dinikahinya selama dua tahun itu semakin memesona di mata kaum laki-laki, sehingga tidak heran Pak Bima pun pasti akan luluh hatinya jika melihat kecantikan yang dimiliki oleh istrinya itu.

Saat ingin menyambut istrinya tiba-tiba tangan Bima merangkul pinggang Alisa,  sebuah pemandangan yang tak terelakkan.

Bagaikan  disambar petir, hatinya bergemuruh ada rasa sakit hati, cemburu bahkan tangannya ingin sekali  menghajar Bima yang tak lain adalah bosnya sendiri itu berani memegang pinggang Alisa.

Namun Alisa pun tak marah, malah dia tersenyum penuh arti, membuat Arlan semakin bingung.

“Bi, tolong jangan kasih tahu Alisa, kalau aku sudah bisa melihat, dan biarkan ini menjadi rahasia untuk sementara!”

“Ba-baik, Den,” sahutnya gugup.

“Aku ingin tahu, sedekat itukah anak buah dan bosnya, sampai-sampai tangannya boleh menyentuh tubuh istriku dan Alisa ... ah dia tampak bahagia sepertinya,” ucapnya dalam hati.

Sampai di teras rumah Alisa  dan Bima yang tidak menyadari kalau mereka sedang ditunggu kedatangannya oleh Arlan, sedikit terkejut.

“Loh Mas, kok di sini, Ayuk masuk!”

“Apa kabar Lan?”

“Alhamdulillah seperti yang Bapak lihat!” jawabnya tersenyum miris.

“Maaf Lan, saya datang bersama Alisa dan saya hanya mengantarnya pulang, tetapi setelah ini ada tentu janji lagi, makanya kita nggak bisa lama-lama di sini, nggak apa-apa, kan?” jelasnya dengan santai.

“Mari silakan masuk, Pak!”

“Ayuk Mas eh ... maksudnya Pak Bima,” Alisa buru-buru mengoreksi kalimatnya.

“Bagaimana kalau kita makan dulu, kamu pasti lapar kan, aku minta tolong sama Bi Atun untuk memasak ini semua, makanan kesukaanmu,” ucapnya menjelaskan dengan tersenyum.

“Ayolah Mas, aku capek, lagian aku ada meeting lagi bersama Pak Bima, jadi aku harus mengosongkan perutku supaya nanti di sana tidak malu-maluin,” sahutnya sambil berjalan menuju kamarnya di atas.

“Mas, kamu temani Pak Bima sebentar, aku mau mandi dan berganti pakaian dulu,” teriaknya saat masih dianak tangga.

“Bi tolong buatkan minuman,” perintah Arlan kepada Bi Atun.

“Baik, Den!”

“Oh ya Pak, maafkan saya belum bisa menggantikan posisi Alisa di kantor, nanti kalau saya sudah bisa ...”

“Ayolah Arlan tidak usah merasa bersalah, biarkan saja istrimu yang menggantikan  posisimu sementara sampai kamu benar-benar bisa melihat, bukannya kata dokter kebutaanmu tidak permanen, suatu saat kamu bisa melihat lagi.” Bima tersenyum penuh arti.

“Aku malah ingin kamu buta selamanya Arlan sehingga aku bisa menikmati tubuh istrimu selamanya bahkan aku bisa mendapatkan uang lebih dari apa yang istrimu miliki,” ucapnya dalam hati sambil tersenyum.

“Oh ya Lan, istrimu sangat pintar mengambil hati orang, buktinya klien kita dari Singapura itu mau bekerja sama dengan kita dengan menginvestasikan uangnya sebanyak yang kita mau loh, aku saja tidak bisa membuat klien itu menerima denganku, tetapi dengan bantuan Alisa semuanya beres.”

 

“Makanya aku mau Alisa bertemu dengan klien kita dari Bali, dia juga ingin menginvestasikan dananya ke kita, kamu tahu Pak Dewa Ajibatara pengusaha dari Bali itu, kan, dia itu orang yang sangat susah ditaklukkan, siapa tahu dengan Alisa dia mau iya kan?” jelasnya mendetail.

“Apa maksudnya ini, kenapa harus Alisa, bukannya Pak Dewa adalah lelaki hidung belang?” tanyanya dalam hati.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status