Share

02. Menyembunyikan Rahasia

“Mudah-mudahan dia mau bekerja sama dengan kita,” jelasnya sambil memuji Alisa.

“Iya, saya sangat bersyukur mempunyai istri secantik dan sepintar Alisa, Pak!”

“Dia selain istri juga bisa sebagai partner kerja yang patut diacungi jempol.” Arlan ikut memuji istrinya di depan Pak Bima dengan bangga.

Tak lama kemudian Alisa turun dengan langkah kaki dari sepatu hak tingginya. Seketika Arlan terkejut dengan  penampilan Alisa yang berpakaian terlalu minim.

Memakai dres hitam yang ketat memperlihatkan  lekuk tubuh bak gitar Spanyol, tanpa lengan dengan sedikit melihatkan belahan yang menggoda di bagian atas, sedangkan bagian bawah  terlalu pendek sehingga memperlihatkan juga kaki jenjangnya yang putih mulus.

Rambut hitamnya dibiarkan terurai panjang, hanya memakai penjepit rambut kecil berwarna putih. Dandanannya tidak terlalu tebal karena Alisa sudah memiliki paras yang cantik, sehingga tidak terlalu menggunakan make up yang berlebihan.

Arlan ingin menegurnya tetapi dia tidak ingin dua orang itu tahu kalau dia sudah bisa melihat.

“Apa yang kamu pakai Alisa, pakaianmu terlalu terbuka dan untuk datang dan pergi dengan Pak Bima memakai pakaian seperti ini?”

“Siapa yang ingin kamu goda, Sayang, pakaianmu seperti mengundang pria hidung belang untuk menyentuhmu!”

Akhirnya dia pun membiarkan sementara apa yang diperbuat oleh istrinya itu.

“Wah, kamu sangat cantik sekali Say ...”

Maksudnya kamu tampil beda hari ini Alisa, pasti klien kita akan terpesona melihat kecantikanmu seperti ini ... Amazing!” Puji Bima tak henti-hentinya melihat ke arah Alisa.

Arlan yang melihat mereka saling bertatapan mesra membuatnya terbakar api cemburu, seakan-akan mereka tidak peduli ada orang lain yang memperhatikannya.

“Kamu pasti sangat cantik ya Sayang, tetapi aku tidak bisa melihatmu memakai pakaian apa,” ucapnya berbohong.

“Aku memakai pakaian biasa kok, Mas nggak terlalu seksi, lagian ini hanya bertemu klien biasa kok.”

“Oh ya, Mas, aku nanti pulang telat jangan tunggu aku!”

“Kamu kan perlu banyak istirahat dan ini aku berikan hadiah untukmu, aku nggak lupa kan sama kamu, Mas?” tanyanya.

Alisa memberikan bungkusan itu ke tangan Arlan. Dia pun menerimanya dengan bahagia, karena baru kali ini Alisa begitu perhatian memberikan sebuah hadiah.

“Apa ini, Sayang?”

“Apakah kamu serius  memberikan aku hadiah?”

“Iya Mas, aku ini istri kamu dan aku peduli dengan kamu, Mas!”

Arlan langsung membuka bungkusan itu dengan cepat, hatinya yang tadi merasa cemburu, kini berubah menjadi cinta kembali.

“Apa ini, sayang, semacam buku?”

“Aku kan nggak bisa melihat Sayang, untuk apa kamu membelikan ini?”

“Mas, ini memang sebuah buku, tetapi ini sangat istimewa karena aku khusus membelikan kamu sebuah buku untuk kamu bisa baca dengan menggunakan huruf braille.”

“Dengan begitu kamu ada kegiatan membaca dari pada tidur melulu kan, lebih baik kamu belajar mulai sekarang menggunakan huruf itu jadi terbiasa, iya kan?”

“Mas, aku pergi dulu takut telat,” ucapnya sambil mengecup pipi Arlan sekilas.

“Sayang, kamu nggak makan dulu, sedikit saja aku sudah ...”

“Arlan kami pergi dulu, Assalamu’alaikum!”

“Wa’alaikumsalam,” jawabnya pelan.

Mereka pergi meninggalkan Arlan begitu saja, membuat hatinya pun terasa hancur. Tangannya mengepal ingin sekali menyudahi sandiwara ini tetapi dia urungkan karena tidak ingin bertindak gegabah.

Bi Atun lalu menutup pintu ruang tamu setelah melihat kedua orang itu naik mobil dan pergi secepat kilat.

Arlan yang terdiam dan terduduk sambil memegang buku pemberian istrinya, jiwanya terasa hampa, tak ada gairah hidup lagi seakan-akan ada yang ingin mempermainkan hidupnya.

“Apa maksudnya ini, Bi?”

“Kenapa Alisa begitu dekat dengan Pak Bima, apakah mereka mempunyai hubungan spesial di belakangku?”

“Apakah Bibi tahu selama ini, kalau Alisa bermain api dengan orang lain?”

“Jawab, Bi!”

“Apakah mereka sering melakukan hal ini di belakangku?” Pertanyaan yang bertubi-tubi membuat Bi Atun tidak bisa lagi mengelak.

“Den, Bibi sebenarnya juga kurang tahu tetapi memang Pak Bima sering ke sini dua bulan terakhir ini tetapi selebihnya Bibi juga kurang tahu Den!”

“Neng Alisa selalu pulang larut malam, alasannya lembur, Den, dan Bibi tidak terlalu banyak bertanya karena Bibi lihat dia selalu terlihat kelelahan,” jelas Bi Atun.

“Ah, sial aku pergi ke luar kota ternyata mereka bermain api di belakangku!”

“Bi, masakan itu terserah Bibi mau apakan, yang penting jangan dibuang, habiskan saja jangan sampai ada yang tersisa atau bagikan saja kepada tetangga sekitarnya, biar bagaimanapun kita tidak boleh membuang makanan iya kan, Bi?”

“Aku mau ke kamarku dulu, jangan ganggu aku Bi!”

“Lihat  Bi, Alisa memberikan aku hadiah istimewa sebuah buku untuk aku baca dengan menggunakan huruf orang buta,” ucapnya sambil pergi membawa buku itu ke kamarnya.

“Ya Allah Den, yang sabar ya Den.”

“Bibi nggak tahu harus berbuat apa!”

“Apa kurangnya Den Arlan, dia baik, pintar dan bertanggung jawab, dia pun sebenarnya kaya tetapi Den Arlan tetap menyembunyikan identitasnya dari Neng Alisa.”

“Bibi jadi bingung ada apa dengan mereka?”

“Kenapa sama-sama menyembunyikan identitas masing-masing?” tanya Bi Atun bingung sekaligus penasaran.

Arlan yang tadi baru sampai di kamar, dia lalu membuang buku itu dengan kasar di sembarang tempat, sehingga buku itu hampir saja terlepas dari sampulnya.

Pria tinggi itu lalu mematut dirinya di hadapan cermin di meja tata rias istrinya.

Menatap lekat dari ujung kaki sampai unjung rambut, lalu memegang wajahnya berkali-kali.

“Bima Anjasmara Dirgantara aku tidak tahu ada hubungan apa dengan istriku yang jelas aku akan membongkar pengkhianatan kalian dengan mataku sendiri.”

“Dan apa ini ... sepertinya aku tidak kalah tampan dengan Bima,” ucapnya sambil mendekat wajahnya di cermin.

Lalu dia mencoba mengubah tatanan rambutnya yang biasa dengan mengacak sedikit rambutnya sehingga menjadi sedikit bervolume.

Biasanya Arlan memakai kaca mata tebal kini dia mencoba membukanya dan dia pun dengan bangga mengatakan kalau dirinya juga tampan.

“Apakah ini aku?”

“Kenapa aku baru sadar kalau aku juga tampan?”

Arlan lalu pergi ke kamar mandi, dan dia mengambil alat cukur, lalu membersihkan jenggotnya yang sudah lama belum dibabat habis, biasanya dia tinggalkan kumis tipis di sekitar bibirnya kini dia cukur habis sehingga tidak ada satu pun bulu yang menempel di sekitar pipinya.

Dia kembali menyadari kalau dirinya yang sekarang telah berubah, wajah yang tampan nan rupawan.

Setelah itu dia menghampiri lemarinya dan mencari pakaian yang cocok dengan dirinya, tetapi baginya tak ada satu pun yang bagus menurutnya.

“Ah ... tidak ada yang bagus, pantas saja Alisa berpaling dariku karena Bima lebih menarik hatinya di banding diriku yang tampil apa adanya."

“Aku sudah dulunya buta, pakaianku ketinggalan zaman, terlalu rapi dan rambutku sepertinya harus di rapikan sedikit,” ucapnya dalam hati.

Arlan lalu pergi dari kamar dan kembali menjadi Arlan yang polos dan lugu, tak lupa dia memakai masker agar Bi Atun tidak melihat perubahan wajahnya.

“Bi, aku mau pergi dulu, ada perlu,” ucap ya saat melihat Bi Atun sedang bersantai di ruang keluarga sambil menonton televisi.

“Mau ke mana Den, nanti kalau neng Alisa pulang dan dia tahu Aden nggak ada bagaimana?”

“Dia akan pulang larut malam Bi, tidak mungkin dia akan datang cepat, apalagi jika terbukti mereka mempunyai hubungan spesial,” jelasnya tersenyum kecut.

“Bi, Assalamu’alaikum!”

“Wa’alaikum salam, hati-hati di jalan!”

 

 

Arlan dengan cepat melajukan mobilnya, membelah jalanan yang masih terlihat ramai.

“Baiklah Alisa , aku ingin tahu apa yang kamu lakukan di luar sana sampai-sampai kamu memakai pakaian seperti itu, untung saja aku sudah memasang GPS di ponselmu, sehingga aku tahu di mana kamu sekarang,” ucapnya dalam hati sambil tersenyum.

 

 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status