"Kenapa, Mas? Kamu ko kaget gitu?" ucap Eva berjalan mendekati Fatih. Seketika tangannya melingkar di leher pria yang tengah mabuk itu. Bibirnya mendekati telinga Fatih dan berbisik dengan mesra. "Akhirnya kamu datang juga, Mas, aku menunggumu dari tadi," "Apa yang terjadi denganmu, Eva? Kenapa kamu telanjang seperti ini? Kemana bajumu?" ucap pria itu bingung dan salah tingkah menghadapi sikap Eva yang terus menggodanya. "Itu tidak penting, Mas. Yang terpenting sekarang kamu ada disini bersamaku. Aku ingin malam ini kita menghabiskan waktu berdua," Eva dengan agresif menarik dasi Fatih. Kemudian mendorong tubuh pria itu ke atas kasur. Bibirnya yang tebal dengan liar menguasai bibir tipis milik Fatih. Fatih yang tengah dipengaruhi alkohol pun tak bisa menolak. Terlebih melihat sikap Eva yang terus menggodanya dengan liar, Fatih pun hanya bisa pasrah saat tangan Eva dengan lincah membuka satu persatu pakaian yang ia kenakan. Drt … drt … drt …Ponsel Fatih bergetar, sebuah panggilan
"Mas Fatih kemana yah? Kenapa ditelpon tidak diangkat? Sekarang ponselnya malah mati, kira-kira kemana Mas Fatih?" gumam Wulan cemas. Berulang kali ia mencoba menghubungi suaminya itu."Aneh, sekarang nomornya malah nggak aktif. Apa mungkin Mas Fatih sudah tidur? Tapi–Mas Fatih' kan tidak pernah mematikan ponselnya saat tidur. Aduh … kenapa perasaanku jadi nggak enak' ya? Apa jangan-jangan ini ada kaitannya dengan Ibu dan Mbak Sarah? Astaga … aku jadi khawatir, semoga saja efek obat pencahar itu tidak separah yang aku bayangkan," batin Wulan cemas. "Non Wulan? Non Wulan belum tidur?" tanya si Mbok membuat Wulan terperanjat dari lamunannya."Ah, si Mbok bikin kaget aja," ucap Wulan kemudian berjalan menghampiri tempat tidur si Mbok."Mbok mau kemana? Ko tengah malam gini bangun, Mbok mau minum?" tanya Wulan."Nggak, Non. Si Mbok mau ke toilet. Si Mbok kebelet pipis Non," jawab wanita paruh baya itu beranjak dari tidurnya."Sini, biar Wulan bantu," Wulan segera merangkul tubuh si Mbok
Fatih bagai disambar petir disiang bolong. Rasanya baru tadi malam ia menikmati surga dunia bersama Eva. Kini dirinya harus menerima kenyataan pahit yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. "Apakah ini sebuah karma karena aku telah mengkhianati Wulan?" Seketika pikiran itu terlintas di benak Fatih.Ia terduduk lesu di kursi kebesarannya. Memikirnya apa yang akan terjadi kedepannya. "jika aku hanya bekerja sebagai karyawan biasa di perusahaan ini, bagaimana caranya aku membayar semua cicilanku? Apakah gajiku akan cukup untuk membiayai semuanya?" batin Fatih resah."Permisi, Pak! Pak Brata meminta laporan keuangan bulan ini, beliau ingin memeriksanya," ucap Yesa, suaranya membangunkan Fatih yang tengah melamun."Saat ini juga?" tanya Fatih memastikan. Pasalnya laporan keuangan itu tertinggal di rumahnya."Iya, Pak. Saat ini juga Pak Brata ingin memeriksanya," jelas Yesa membuat Fatih menarik nafas dan membuangnya dengan kasar. "Tolong bilang kepada Pak Brata, nanti siang laporannya akan
"Apaan ini, Fatih? Kenapa laporan yang kamu buat tidak sama dengan laporan yang saya terima dari sekertarismu lewat email?" tanya Pak Brata menatap penuh curiga.Fatih terdiam, sesaat dia berpikir. 'Astaga, kenapa aku bisa lupa jika aku menggunakan uang kantor untuk membayar biaya pengobatan Mbak Sarah tempo hari,' gumam Fatih dalam hati."Ma-maaf, Pak. Tempo hari saya meminjam uang kantor untuk membayar biaya rumah sakit untuk Kakak saya, tapi Bapak tidak usah khawatir, uangnya akan saya ganti, Bapak bisa potong dari gaji saya," ucap Fatih menjelaskan. Pak Brata menggelengkan kepala, kemudian menghempaskan bokongnya di kursi kebesarannya."Saya menyesal telah mengangkat kamu sebagai manager, Fatih! Ternyata selama ini saya salah memilih orang. Bisa hancur perusahaan saya jika kamu yang memimpin, kamu itu tidak bisa diandalkan," ucap Pak Brata dengan nada kecewa."Maafkan saya, Pak. Saya janji tidak akan melakukan ini lagi,""Cukup, Fatih. Saya tidak butuh janji kamu, yang saya butuh
"Bangsat!" teriak Fatih, tangannya mengepal hendak memukul Gio. Namun, belum sempat tangan itu mendarat, terdengar suara memanggil namanya dari arah belakang."Cukup, Fatih! Berhenti membuat keributan di kantor saya!" teriak Pak Brata berkacak pinggang penuh amarah.Seketika Fatih terdiam, ia pun segera menoleh ke arah sumber suara. "Pak Brata?" ucap Fatih terkejut."Kamu ini keterlaluan, Fatih. Kamu mau jadi preman di kantor saya, hah? Kamu lihat ini!" teriak Pak Brata menunjuk barang-barang yang berserakan di lantai."Kamu tau kan' ini adalah properti milik perusahaan? Kenapa kamu rusak semuanya? Jika kamu ingin jadi jagoan' jangan di kantor saya! Ini tempat untuk bekerja, bukan tempat untuk ajang adu kekuatan!" cetus Pak Brata murka."Ma-maaf, Pak' saya bisa jelaskan semuanya, ini bukan salah saya Pak, ini semua karena Gio yang memulai. Dia yang pertama meludahi wajah saya,""Cukup Fatih! Saya tidak ingin mendengar pembelaanmu! Saya sudah tau semuanya. Petugas keamanan sudah mence
Waktu sudah menunjukan pukul lima, para karyawan bersiap untuk pulang. Fatih berjalan menuju mobilnya yang terparkir di basement.Sepanjang perjalanan hanya kekesalan yang ada di hati pria itu. Ia tidak bisa membayangkan jika karirnya akan hancur dalam waktu secepat ini.Mobil masuk ke pekarangan rumah setelah tiga puluh menit melewati kemacetan Ibu kota. "Fatih, akhirnya kamu datang juga," ucap Bu Ratna antusias saat Fatih masuk ke dalam rumah."Coba kamu lihat ini!" Bu Ratna menunjukan ponsel yang baru ia beli. "Bagus' kan?" ucapnya lagi tersenyum senang. Fatih menoleh, ia begitu terkejut melihat ponsel yang harganya diatas sepuluh juta itu."Ibu! Ibu beli iphone?" ujar Fatih mengambil ponsel di tangan ibunya."Iya, memangnya kenapa sih' Fatih? Kenapa kamu kaget seperti itu?" tanya Bu Ratna heran, tangannya kembali merebut ponsel itu dari tangan Fatih."Astaga Ibu, itu kan hape mahal, Bu! Kenapa ibu nggak beli hape yang biasa aja? Ibu kan bisa beli hape android, kenapa harus beli i
"Assalamualaikum," ucap Wulan saat masuk ke dalam rumahnya."Waalaikumsalam," jawab Fatih lesu."Mas Fatih sudah pulang?" tanya Wulan menghampiri suaminya yang nampak lesu. Ia pun duduk di samping Fatih."Sudah, baru saja tiba. Bagaimana kondisi si Mbok?" tanya Fatih. Belum sempat Wulan menjawab, tiba-tiba Bu Ratna datang menghampiri mereka."Akhirnya kamu pulang juga Wulan! Saya pikir kamu sudah lupa dengan jalan pulang ke rumah ini," cetus Bu Ratna berkacak pinggang."Ko Ibu ngomongnya gitu? Wulan' kan tidak pergi kemana-mana, Wulan hanya nungguin si Mbok di rumah sakit," "Alah, alasan saja kamu itu! Bilang saja kamu keluyuran dengan teman-temanmu di luaran sana!" ucap Bu Ratna dengan nada tinggi. "Sudahlah, Bu. Wulan baru datang sudah di ajak ribut, ibu nggak usah marah-marah' pusing Fatih dengernya. Setiap bertemu selalu saja bertengkar," sahut Fatih kesal."Wajar dong ibu marah, istrimu itu sudah keterlaluan. Suami nggak di urus, rumah nggak di urus, dia malah enak-enakan keluy
"Kurang ajar si Wulan, berani-beraninya dia berbicara seperti itu dihadapan Fatih, awas kamu Wulan. Saya akan buat perhitungan sama kamu," batin Bu Ratna kesal. "Ini semua gara-gara si nenek peot itu, kenapa dia tidak mati saja sekalian, gara-gara dia rencanaku hampir saja gagal! Benar-benar menyusahkan," Lagi Bu Ratna bergumam."Ibu masak apa? Fatih lapar!" ucap Fatih saat semuanya terdiam."Ibu! Ibu kenapa bengong? Fatih bicara sama ibu," "A-apa Fatih? Kamu ngomong apa barusan, ibu nggak denger," sahut Bu Ratna terbangun dari khayalannya."Ibu masak apa hari ini? Fatih lapar," ucap Fatih mengulang pertanyaannya."Ibu nggak masak, kamu kan tau' ibu habis belanja. Mana sempat ibu masak," "Jadi nggak ada makanan di rumah ini?" tanya Fatih memastikan."Ya nggak ada lah, aneh-aneh saja kamu ini. Minta makan ko sama ibu, tuh minta sama istrimu, dia kan yang seharusnya melayani kamu, bukan ibu. Memangnya kamu pikir ibu ini pembantu kamu apa?" sahut Bu Ratna dengan nada ketus. Tangannya