Share

Chapter 5 - Merona Malu

“Kerja bagus, semuanya. Terutama, untuk Putri Purbamanik. Dialah yang paling bagus dalam mengerjakan semua pelajaran tata krama hari ini dengan sangat sempurna.”

Mendapatkan pujian yang berasal dari guru tata krama para putri yang tak lain adalah Ibu Ratu sendiri, Purbamanik, si putri berambut merah kejinggaan itu menengadahkan kepalanya dengan bangga, … di hadapan para putri yang duduk melingkar bersama ratu dalam latihan acara minum teh.

“Ini tidak seberapa, Gusti Ratu."

Tersenyum ramah dan merendahkan nada suara dalam ucapan manisnya yang penuh kesopanan, Purbamanik telah berhasil membuat Purbararang menatapnya dengan kesal akibat dari tindakannya yang sok rendah hati tersebut.

“Saat ini, Saya masih harus belajar dan mempelajari berbagai macam hal yang jauh lebih banyak lagi.”

“Luar biasa! Itu adalah suatu kemauan yang sangat bagus!”

Ibu Ratu kerajaan Pasir Batang, Sari Dewi Bunga Pamasti, yang penampilannya semacam bayangan akan perawakan Purbasari–jika bocah berumur 4 tahun sekarang telah besar–nanti, adalah seorang perempuan anggun yang telah menjadi idolanya Purbamanik.

Walau ibunya sebetulnya sangat membenci sang ratu sendiri karena posisinya yang memang patut untuk diirikan oleh seorang selir sepertinya, tetap saja Purbamanik masih mengaguminya sedari kecil sampai saat ini.

“Aku berharap banyak padamu, Putri Manik.”

Membuat Purbamanik–si putri yang tak selalu bisa jujur dalam mengekspresikan perasaannya–menjadi merona karena dielus pipinya dengan lembut juga ditatap dengan kasih sayang, … perlakuan dari sang ratu yang kini tengah memangku putri bungsunya, Purbasari, itu, … semakin disukai oleh para putri lain.

Terutama, sudah tentu si Putri Purbamanik sendiri.

Melirikkan mata kuning kejinggaannya ke arah Purbararang dengan senyuman yang sengaja diguratkan secara picik, Purbamanik berbicara mencebik.

“Saya harap, semoga Saya bisa menjadi seorang Putri yang layak untuk disegani semua orang. Sama seperti Anda … Gusti Ratu.”

Secara halus, putri sulung dari selir pertama raja itu menyindir Purbararang yang nilai dalam kelas pelajaran tata krama kebangsawanannya paling rendah dari putri yang lain.

Dia bahkan kalah anggun dari Purbakancana yang melakukan sesuatu dengan langkah tergesa-gesa, karena kekakuannya dalam bersikap feminin.

Tak menjawab sindiran itu meski telinganya terasa panas. Dengan santainya, Purbararang hanya mengulaskan senyuman tipis sambil melanjutkan aktivitasnya dalam meminum teh secara tenang.

“My apologies, Gusti Ratu.”

Pada saat itu, seorang Butler istana utama datang ke tengah-tengah acara perkumpulan latihan simulasi pesta minum teh, dan berakhir menarik perhatian dari semua.

“Maksud dari kedatangan Saya ke sini di waktu yang tidak tepat ini ialah … untuk menjemput Nyai Putri Purbararang, atas perintah langsung dari Gusti Raja.”

Purbararang yang di awalnya memang sudah mengulasi wajahnya dengan senyuman tipis, kini … semakin menarik sudut bibirnya secara lebar, mendelik Purbamanik yang sekarang memandanginya dengan tatapan horor, … dengan mata bermanik hitamnya yang menyipit membentuk bulan sabit.

“Mulai hari ini, Nyai Putri Purbararang akan menerima pembelajaran khusus yang akan secara langsung digurui oleh Gusti Raja, setiap hari.”

Nilai pelajarannya dalam pelajaran tata krama sangat rendah? … Tidak masalah!

Toh, ujung-ujungnya, yang ditetapkan oleh raja untuk dijadikan penerusnya tanpa pandang-pandang pelajaran yang sudah dapat dikuasai itu saja sudah jelas, bukan?

Jika anak tertua seorang pemimpin negara yang akan ditakdirkan untuk mengemban segalanya sedari awal?

“Mohon maaf atas pengunduran diri Saya di acara ini, … Gusti Ratu."

Meminta ampun dengan perilakunya yang juga tak kalah merendah dari Purbamanik tadi, Purbararang menundukkan kepalanya dan beranjak dari kursi dengan badan yang dimundurkan … mendekati sang Butler.

“Sekali lagi, mohon maafkan Saya.”

“Tidak, tidak. Kamu tidak perlu meminta maaf, Rarang. Untuk belajar menjadi lebih baik, kamu tidak usah meminta maaf.”

Sang ratu menyanggah.

Dia enggan menerima permintaan maaf dari putri kandungnya yang sulung, … yang memang akan senantiasa berbicara secara formal terhadapnya karena sudah diharuskan sedari kecil, … membuat Purbararang yang diam-diam menggulirkan netra kelamnya ke arah si putri pencengkeram rok gaun sendiri di balik tabir meja, … tersenyum puas.

“Saya mengerti. Terima kasih atas perhatian Anda, ….”

Tidak ada hal lain lagi yang dapat membuatnya senang dan merasa superior seperti ini, selain dari melihat raut muka terpukulnya sang saingan.

Saingan alami Purbararang sedari bocah, yang tak lain dan tak bukan ialah, ….

“… Gusti Ratu.”

… Putri Purbamanik.

~•••~

“Jadi, bagaimana pelatihanmu bersama Gusti Raja, … Rarang?”

Duduk bersama di kursi memanjang yang bertempat pada pinggiran lapangan pelatihan untuk para ksatria kerajaan di bawah bimbingan Sir Batara, … Purbararang yang saat ini tengah menemui tunangannya, Indra Jaya, yang juga termasuk ke dalam salah satu garis pelatihan di tempat sini, … menceritakan semua aktivitas yang telah dilaluinya hari ini, sama seperti biasa.

Menangkup kedua sisi rahangnya dengan telapak tangan, Purbararang membalas pertanyaan. “Yah, itu … kebanyakan hanya aktivitas yang membuat mataku menjadi cepat lelah.”

“Ehh~?”

Dengan lemah lembut mengulurkan lengannya tuk mengusap kedua bawah pelupuk mata Purbararang menggunakan ibu jari, Indra Jaya menautkan alisnya khawatir … sekaligus juga merasa penasaran.

“Apa yang sudah dilihatmu sampai-sampai membuat matamu menjadi lelah, huh? Semoga saja, itu bukan terjadi karena kamu terus-menerus melihatku.”

“….”

Awalnya menatap sang tunangan dengan mata yang sama sekali tak berkedip, pada akhirnya … Purbararang melepaskan tangan Indra Jaya dari wajahnya, diselingi dengan suara tawa yang menggelak.

“Jangan konyol! Justru, obat penawar untuk menghilangkan segala rasa lelah yang terdapat pada mataku ini … hanya dengan melihatmu, Indra Jaya!”

Walau dirinya sudah mendapatkan rona merah yang kuat di cuping telinganya selepas mendapatkan balasan berkalimat manis itu, tetap saja … Indra Jaya masih mencoba berusaha untuk memperkuat keyakinannya.

“Ya … itu bisa saja terjadi, bukan?”

Dia sangat takut, kalau apa yang sedang dirisaukannya saat ini … akan betul-betul berubah menjadi sebuah kenyataan.

“Tentu saja tidak.”

Seolah-olah paham akan hal mencemaskan yang masihlah diributkan Indra Jaya di dalam lubuk hatinya, Purbararang melirih lembut.

Gadis muda itu pun segera menyandarkan kepala berambut hitam mengkilap miliknya yang terasa lebih berat dari biasanya, … ke pundak Indra Jaya.

“Itu tidak akan pernah terjadi.”

Manik mata yang di mana warna hitam kelamnya seindah batu obsidian paling mahal, telah jatuh menyeluruh, … memusatkan seluruh arah pandang tuk menatap punggung tangan sendiri, yang dilingkari oleh sebuah cincin pertunangan di jari manis lengan kiri.

“Aku akan memastikannya. Ingatlah, aku tak akan pernah merasa bosan untuk terus melihatmu. Mau itu di masa lalu, masa kini, atau juga masa mendatang, … aku akan tetap memandangimu, … lagi dan lagi."

Merasakan angin lalu yang berembus dengan lembut, membelai seluruh tubuhnya dengan hawanya yang dingin-dingin menyejukkan, … perlahan tapi pasti, kelopak mata si putri sulungnya kerajaan Pasir Batang ini, mulai memaksanya untuk segera terpejam.

“Karena sebagian dari impian besarku di atas bentangan luasnya dunia yang tengah aku tuju, ….”

Mungkin, karena merasa capek setelah seharian menjalani segala aktivitas yang lebih banyak hari ini, … kesadaran Purbararang di alam nyata, kian menipis.

Mereka tengah bersikeras untuk menculiknya agar bisa segera pergi menuju ke buaian alam mimpi.

“… Ada pada kamu.”

Dan, pada akhirnya … ia pun benar-benar tertidur dengan cepat.

Tertidur dengan nyenyak di pundak si putra Duke Jaya, Indra, yang dulunya semacam boneka polos tanpa ekspresi.

Namun, kini … ia telah sukses untuk mengubah dirinya dalam menjelma menjadi patung kaku berwajah merah menyala.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status