Share

Chapter 6 - Mendadak Rindu

“Teteh Lalang! Teteh Lalang!”

Anak bungsunya Raja Tapa Agung, Putri Purbasari.

Sang balita yang sebentar lagi akan segera memasuki masa usia lima tahun, berlari dengan kaki-kaki kecilnya yang lucu tuk menghampiri sang kakak kandung, Purbararang, ….yang baru saja keluar dari ruang kelas berdansa.

“Purbasari!”

Membentangkan tangannya dengan lebar-lebar, refleks saja Purbararang langsung menangkap Purbasari yang melompat pada arah jangkauannya tuk masuk ke dalam dekapan.

Mereka berdua berpelukan dengan tawa bahagia yang masing-masing keluar dari mulut secara sendiri.

Seolah-olah, mereka berdua, … hanya dapat mengenal kata untuk tersenyum dan memancarkan keceriaan bersama-sama, di sepanjang hari.

“Tceh.”

Berdecih di balik rentangan kipas tangan yang menutupi setengah bagian muka, Purbamanik berujar tidak suka.

“Dasar kekanak-kanakan,” ejeknya, yang sayangnya tak dipedulikan oleh para putri yang lain.

“Ututu! Purbasari, pipimu ingin aku gigit!”

“Kyaak, hentikan!”

Mengelik merasa gemas akan tingkah lucu dari Purbasari, Purbakancana mencomot pipi yang putih kemerahan seperti buah persik itu, … sampai-sampai membuat sang empu mengelik merasa geli.

“Ana~ hentikan itu."

Muncul untuk datang dan melerai Purbakancana, akan mencoba melepaskan tangan nakal tersebut dari mencomot pipi Purbasari, … si putri yang kebiasaannya adalah mengucapkan sesuatu dengan tutur kata yang benar-benar terdengar begitu halus itu, mulai menggerutu.

“Nanti, pipi Purbasari jadi ada bekasnya cubitannya," jelasnya, seraya mengusap bekas cubitan pada pipi Purbasari dengan lembut lagi penuh perhatian ekstrak.

Senang dengan perbuatan penuh perhatian dari mereka, cepat-cepat saja, … Purbasari membalasnya dengan memeluk serta mencium pipi kedua kakak yang berlaku baik kepadanya barusan.

Hal itu, telah sukses membuat orang yang ia cium sebagai pemberian hadiah tersebut, mendadak terdiam karena tersipu malu.

“Sari sayang Teteh Ana! Sari sayang Teteh Endah!”

Juga, hal itu pulalah ….

“Akh-akhem! Pur-purbasari. A-apa kamu mau coklat?”

“Coklat tidak enak! Mending permen saja!”

… Telah mendorong si putri kembar yang dilanda rasa iri terhadap peluk dan kecup yang kedua saudari tiri mereka dapatkan barusan, untuk menggoda Purbasari supaya memberikan mereka hadiah juga.

Sepasang manik matanya menatap secara berbinar-binar akan kudapan manis di hadapan, tak berlangsung lama, raut muka si putri bungsu yang masihlah seorang bocah itu pun, … mendadak berubah menjadi suram.

“Uh, Teteh Lalang bilang, coklat tidak baik untuk gigi Sali. Pelmen juga sama.”

“… Ah.”

Secara bersamaan melirihkan ucapan singkat terkait menunjukkan bahwa mereka mengerti, pada akhirnya, si putri kembar itu pun ikut menundukkan wajah mereka sendu.

“Yah, itu dapat dimengerti. Habisnya, dulu, … Teteh Rarang saja giginya bolong-bolong semua karena makan permen dan cokla—!”

—BHAK!

“—Ackk?!”

Belum juga Purbakancana menyelesaikan kata-katanya terkait memberitahukan Purbasari perihal aib Purbararang, si orang yang tengah ia bicarakan sendiri malahan, … langsung menggeplak punggungnya dalam upaya untuk menyuruhnya segera diam.

Dan hal itu memang sangat efektif.

Karena Purbakancana hanya memedulikan rasa sakit yang berdenyut-denyut di bagian punggung, ia jadi tak memedulikan tujuan awalnya tuk membongkar cerita memalukan milik Purbararang lagi.

“Tetapi, ke depannya ….”

Kembali ke topik awal yang menyoroti si putri bungsu, … bocah kecil pemilik nama Purbasari itu. Kali ini, ia terlihat bersikeras untuk berjinjit setinggi mungkin, … agar tubuh pendeknya dapat meraih dan melingkarkan lengan di bahu Purbadewata juga Purbaleuih.

“… Walau Teteh Dewata dan Teteh Leuih tidak mengasihi Sali hadiah, Sali akan tetap membagikan kalian hadiah!”

Menjatuhkan kecupan bolak-balik di masing-masing pipi kakak tirinya yang tidak banyak bicara, Purbasari tersenyum lebar dengan hati yang polos.

“Sali sayang kalian beldua!”

Lagi dan lagi, berkat ketulusannya itu, Purbasari dengan mudahnya berhasil membakar pipi kedua putri yang terlahir dari selir ketiga raja dengan serangan rona merah!

Menarik lengannya kembali untuk segera menjauh dari si putri kembar, … Purbasari lekas membalikkan badannya dan menggerakkan kembali kaki-kakinya yang melangkah dengan ringan, … tuk berlari-lari kecil dan berakhir menerjang seorang putri lain, yang saat ini tengah mencoba menyembunyikan raut muka bercampur aduknya di balik kipas.

“Ap—? Apa yang …?!”

“Sali sayang Teteh Manik juga!”

Si putri yang baru saja tersentak sejenak, yakini Purbamanik, mendadak langsung terdiam dan senyap dikala ia menunduk, … karena ia tengah mendapati Purbasari sedang menengadahkan wajah kepadanya dengan ekspresi yang polos.

Tidak hanya itu, tangan-tangan kecilnya yang pendek itu pun ikut berpartisipasi dalam aksinya yang menggemaskan ini, … dengan cara melingkarkan kedua lengan tuk mengunci pinggang Purbamanik.

“….”

Canggung dengan Purbasari yang menatapnya dalam diam secara terus-menerus seperti itu, telah membuat Purbamanik agak sedikit kurang nyaman.

Sehingga, selepas ia menggigit bibir bawahnya sejenak, juga melipat kipas kertas ditangan tuk menunjukkan wajahnya yang sudah tampak dirias oleh sedikit rona merah, … Purbamanik mengeluarkan suara.

“Terima kasih, ….”

Dengan memaksakan ego juga rasa gengsinya yang besar untuk mengalah pada sebuah kemauan kecil, Purbamanik mengangkat tangan yang kosong.

Dia langsung menempatkannya dengan gerakan yang ringan di atas kepala berambut lembut milik Purbasari.

Segera saja, ia langsung membelainya dengan hati-hati bersama wajah yang sengaja dipalingkan tuk menghadap ke samping lain.

Dengan alasan, … supaya ia tak berkontak mata dengan putri mana pun.

“… Karena telah menyayangiku.”

***

“Nyai Teteh. Apa kamu sudah memesan gaun untuk debutan nanti?”

Tak terasa, tahun telah banyak berganti dalam menyeret Purbararang untuk mulai keluar dari usia remaja, … dan menuju ke dalam luang lingkup usia dewasa.

“Kalau belum, bagaimana jika Teteh memesannya bersama denganku saja?”

Dengan tenangnya mendengarkan semua celoteh remeh dari Purbaendah yang saat ini tengah asyik bermain dengan rambut hitamnya yang sepanjang pinggang, untuk di sisir dan dibentuk berbagai macam-macam model gaya rambut yang saat ini sedang populer, … Purbararang yang sebentar lagi akan mengadakan debutannya di dunia sosial secara resmi, menjawab secara berkenan.

“Ide bagus. Dengan begitu, kita bisa memesan gaun yang sepasang juga. Biar tampak serasi.”

Anak sulung Raja Prabu Tapa Agung, Putri pertama kerajaannya Pasir Batang, Purbararang, … kini telah tumbuh dengan baik menjadi seorang gadis muda berusia akhir 14 tahun.

Hanya tinggal menunggu beberapa hari lagi saja, untuk menuju ke hari debutan yang akan senantiasa diselenggarakan setiap setahun sekali, … bertepatan dengan hari ulang tahun Purbararang yang ke-15 nanti.

“Ehhh? Jangan begitu!”

Tanpa diduga-duga oleh Purbararang sepenuhnya, … menolak tawaran dengan kikuk, Purbaendah telah berhasil mendorong sang kakak tiri tertuanya ini untuk segera membalikkan badan dan menghadapnya dengan wajah yang tertuju lurus.

“Aku kan hanya mengajak Teteh untuk memesan gaunnya bersama-sama supaya datangnya nanti juga bersamaan.”

“Yah, … jadi?”

“Aku tidak mengajak Teteh untuk memesan gaun yang serupa denganku. Apalagi yang tampak serasi!”

Mengangkat satu alisnya penasaran, Purbararang melontarkan pertanyaan. “Kenapa begitu?”

“Karena …!”

Seolah-olah berlaku secara sengaja untuk semakin membuat sang kakak tirinya tersebut menjadi larut akan rasa penasaran yang begitu mendalam, … Purbaendah lekas menutupi mukanya dengan kedua telapak tangan.

Dikarenakan saat ini, sebisa mungkin yang ia mampu, dirinya yang gampang tersipu itu ingin sedikitnya dapat mengurangi rasa malu yang tak tertahankan sekarang.

“Tentu saja karena Teteh akan berpakaian secara berpasangan dengan tunangannya Teteh, … bukan?”

"… Oh …?"

… Ah. Sial.

Untuk sesaat, Purbararang melupakannya.

“Ingat, Teteh kan punya tunangan. Putra tunggalnya Duke Jaya, Pangeran Indra Jaya! Ada rumor yang telah mengatakan kalau dia sudah pulang dan tengah beristirahat di Duchy!”

Sekarang, setelah diingatkan oleh Purbaendah, … sontak saja wajahnya Purbararang langsung dibakar oleh banyaknya semburat merah secara segera, … bersamaan dengan hati yang seperti sedang menyanyikan irama gendang jantung yang berdebar-debar.

“Untuk membuatnya terlihat jelas sebagai pasangannya Teteh, aku yakin sekali, kalau dia akan berpakaian yang tampak serasi dengan pakaianmu!”

Ah, pada akhirnya, … Purbararang telah sadar.

Dia menyadari memiliki sosok tunangan yang hampir 5 tahun ke belakang ini tak ia temui secara langsung seperti waktu-waktu awalan hubungan, … karena Indra Jaya harus melakukan studi ke akademi khusus bangsawan di kerajaan lain.

Dia tidak pulang selama bertahun-tahun.

Di tahun-tahun pesta debutan sebelum-sebelumnya pun, ia tak datang.

Jadi, karena itulah, sebelum di beritahu Purbaendah, … Purbararang tidak kepikiran kalau Indra Jaya akan datang juga di debutan kali ini.

“Dan yang paling penting, aku sangat yakin sekali … kalau dia pasti sangat ingin mendapatkan tarian pertama Teteh lebih dari siapa pun!”

Begitu membayangkan dirinya akan segera menemui orang yang sudah lama tak ia jumpa. Terlebih lagi itu adalah sesosok tambatan hatinya, … benar-benar membuat Purbararang merasa bahwa dirinya ini mungkin saja akan langsung tak sadarkan diri seketika.

Ini menjadikannya penasaran.

Seperti apa ya, … sosok Indra Jaya yang sekarang?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status