Share

Chapter 4 - Semoga Saja

“Hei, … Indra."

"Uh, y-ya?"

"Aku tahu kamu ini tak banyak berbicara. Tetapi, terkadang, … sekalinya kamu berbicara, kamu malah mengatakan sesuatu yang sangat aneh."

Menceletuk. Purbararang, menyorotkan pandangannya yang didominasi oleh sorot mata heran, lagi menyiratkan segala kebingungan.

“Eh? Apa maksud Anda?”

Mula-mula menempatkan telapak tangannya tuk menutupi mulut dari mengendalikan diri untuk sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara tawa yang sekiranya dapat membuat tunangannya sakit hati nanti, Purbararang cepat-cepat berbicara kembali.

“Apa aku harus membuatmu botak terlebih dahulu, untuk kemudian bisa mengambil rambutmu dan menjadikannya milikku?” tanyanya, dengan mata yang mengerling nakal.

“….”

Senyap sejenak karena otaknya masih memproses informasi yang di dapat dari sang tunangan, Indra Jaya yang membayangkan di dalam angan-angan tentang penampilannya jika ia menjadi orang berkepala plontos, … mendadak langsung merasa merinding.

Dia menggeleng-gelengkan kepalanya secara cepat, untuk menghilangkan pikirannya yang kebanyakan absurd di dalam benak.

“Baguslah. Maksudku, aku tidak perlu membuatmu menjadi orang botak hanya karena menginginkan rambutmu ini. Bukankah ada pilihan lain?”

Menarik Indra Jaya ke depan cermin untuk segera menunjukkan hasil karyanya kepada orang yang ia dandani sambil bersebelahan dengannya ini, yang di mana tingginya sendiri hanya sebatas pangkal hidung si anak laki-laki itu, … Purbararang berceloteh ringan.

“Kamu tinggal tumbuh dengan baik dan selalu berada di sampingku saja."

Tak berlangsung lama, Purbararang juga menggerakkan tangannya untuk menangkup wajah Indra Jaya.

Dia memaksakan tunangannya ini untuk melihat pantulan diri mereka di cermin, karena si empu pemilik mata merah itu sendiri malah lebih tertarik untuk melirik anak gadis di sampingnya terus-menerus.

“Dengan begitu, secara tidak langsung, … aku akan menjadi pemilik rambut indahmu.”

Pada akhirnya tetap menyerah untuk melihatkan arah pandangnya ke pantulan cermin di depan, … Indra Jaya menggulirkan netra yang menyala oleh kilauan kebahagiaannya itu tuk terfokus ke pantulan Purbararang, yang sama sekali tak memiliki niatan untuk berhenti tersenyum ke arahnya dengan menyorotkan pandangan cinta.

Meneguk ludahnya gugup, diam-diam, Indra Jaya bergumam di dalam hati.

“Bukan hanya rambutku. Aku akan memberikan seluruh tubuh, harta, dan cintaku hanya untukmu.”

Menolehkan kepalanya lurus menuju Purbararang yang memandanginya dengan wajah menengadah, Indra Jaya … menarik sudut bibirnya dalam memberikan sang tunangan sebuah senyuman yang betul-betul samar.

“Aku milikmu, dan kamu pemilikku, … Putri Purbararang.”

~•••~

“Wah, lihat! Siapa yang dari hari ke hari semakin tumbuh dengan cantik?”

Seperti biasa, di balik wajah yang memiliki ekspresi dingin nan kaku, Indra Jaya yang semakin lama semakin ingin menghabiskan setiap detik di sepanjang hari-harinya tuk bersama-sama Purbararang, … ikut merasa bahagia tatkala melihat tunangannya dengan ceria memeluk juga menciumi adik bungsunya, yang baru saja merayakan ulang tahun ke tiga di beberapa bulan kemarin.

“Ugyaaa~ Teteh! Wepas! Wepas~”

Adik Purbararang, yakni Purbasari, yang sudah dapat berbicara dengan lancar meskipun ucapannya ada yang masih tidak dapat dimengerti, … mengeluarkan tawa cekikikan khas balita, dan malah menjadikan Purbararang semakin merasa gemas.

Menggulirkan sepasang bongkahan manik kelam obsidian miliknya dari sudut ekor mata, menuju ke arah diamnya sang tunangan yang berdiri di pojok ruang kamarnya Purbasari seperti patung, … Purbararang cepat-cepat memanggil.

“Kenapa hanya diam di sana? Ayo duduk sini,” ajaknya, menepuk-nepuk tempat kosong di dekatnya supaya ditempati oleh Indra Jaya dengan segera.

Delapan bulan bertunangan, Purbararang dan Indra Jaya sudah sepakat untuk berbicara dengan bahasa non-formal saat mereka berdua sedang tidak berada di depan keramaian.

Kikuk dan juga canggung dengan Purbasari yang memfokuskan mata bulatnya ke setiap langkah yang ia ambil, … Indra Jaya langsung mengucapkan kata syukur di dalam hati, begitu dirinya telah berhasil menempatkan posisi di samping Purbararang.

“Pfft, sepertinya Purbasari masih merasa waspada terhadapmu.”

Berkata demikian ketika melihat Purbasari di dekapannya masih menolehkan kepala ke arah Indra Jaya dengan wajah polosnya yang memandangi si Duke kecil itu seolah-olah mencari letak kesalahan, … Purbararang semakin sengaja ingin melakukan sesuatu yang sekiranya dapat membuat hubungan di antara adik dan tunangannya ini menjadi jauh lebih akrab.

“Indra, coba pegang tangannya. Kamu juga harus dekat dengan adikku.”

“Uhh, tapi ….”

“Bukankah nantinya kamu akan menjadi suamiku?”

BLUSH!

Memalingkan muka tersipunya tatkala mendengar kata “Suami”, Indra Jaya yang tetap saja akan mendapatkan cuping telinga yang memerah begitu merasa malu itu pun, … lekas memandang secara hati-hati tangan mungil Purbasari, yang sengaja diasongkan Purbararang ke arahnya.

"Dengan begitu, adikku bakal menjadi adikmu juga."

Purbararang tidak dapat menyadarinya, tetapi, … selaku orang yang tengah merasakannya langsung, Indra Jaya dapat melihat kalau tangannya yang saat ini mulai berani terulur tuk menggenggam tangan putri bungsu kerajaan Pasir Batang, tampak sangat-sangat gemetaran!

Keringat dingin mulai terasa bercucuran di punggungnya, dan Indra Jaya merasa bahwa ekspresi kaku miliknya telah di gantikan oleh raut muka yang begitu tegang.

Apakah Purbasari akan menolaknya dan menangis karena takut kepadanya?

Bagaimana jika itu terjadi, ia benar-benar akan membuat tunangannya yang sangat ia suka … menjadi kecewa terhadapnya?

“Wyahaha.”

“Ah …?”

Semua pemikirannya yang didominasi oleh rasa kecemasan berlebih, mendadak saja lenyap tanpa meninggalkan jejak, … begitu mata merah Indra Jaya menangkap reaksi Purbasari yang menggenggam jari telunjuknya dan menggoyang-goyangkannya sambil tertawa kecil.

“Wah, lihat. Tawanya lucu sekali ya?”

Bukan itu yang Indra Jaya pedulikan.

Melirik diam-diam tunangannya dengan hati yang menggebu-gebu, merasa tidak kuat untuk terus-menerus menampung semua gelora dari rasa bahagia, … Indra Jaya mengguratkan senyuman tipis.

Purbasari yang di hari sebelum-sebelum ini biasanya akan langsung menangis walau belum di dekati, telah benar-benar menerimanya sekarang!

Ini adalah kemajuan yang begitu pesat dalam mengambil langkah dekat untuk menjadi bagian dari keluarga Purbararang.

Untuk menjadi, … akhem! … Menjadi suaminya.

“Hari ini cuacanya sangat bagus. Bagaimana jika kita jalan-jalan ke taman?”

Beranjak dari duduknya sembari menuntun Purbasari di tangan kanan, Purbararang mengulurkan tangan kirinya untuk mengajak Indra Jaya berdiri.

Mengikuti apa yang Purbararang lakukan, Indra Jaya yang telah usai membangkitkan dirinya dan datang menghampiri Purbasari dari samping, lekas menuntun tangan si bocah mungil itu sama seperti apa yang tengah tunangannya perbuat.

Mereka bertiga bersama-sama berjalan dengan tangan yang saling menggenggam, menuju ke taman istana yang dipenuhi oleh banyak bunga hias.

Di tengah perjalanan, Purbararang dan Purbasari begitu sibuk mengoceh dan melarikan pandangan mereka … tuk tertuju kepada kupu-kupu bersayap indah yang terbang di sekitar.

Sedangkan, untuk Indra Jaya sendiri, … dia malah sibuk mengkhayal tanpa lupa menambahkan rona merah pada cuping telinganya dengan semburat yang lumayan parah.

Di dalam benaknya, ia berimajinasi.

Ingin sekali, waktu datang dengan cepat supaya tahun-tahun baru lekas berganti.

Anak laki-laki itu, ingin sekali menjadi orang yang sudah tumbuh dewasa dalam waktu yang segera.

Dia ingin tumbuh tinggi, tumbuh kuat, tumbuh kaya, juga tumbuh tampan, … untuk kemudian bisa segera meminang Purbararang tuk menjadi istrinya dengan hati yang lugas.

Setelah mereka menikah nanti, Indra Jaya berpikir, akan lebih membahagiakan jika ia dan Purbararang memiliki sepasang anak kembar!

Anak laki-laki berambut hitam dan bermata merah, bersama anak perempuan berambut pirang dan bermata merah juga!

Di saat anak-anak mereka sudah sebesar anak balita, Indra Jaya menginginkan mengajak mereka untuk berjalan-jalan bersama dengan Purbararang, sama persis seperti ini.

Berjalan saling bertautan tangan, menikmati suasana tenangnya pagi ditemani oleh sinar mentari yang menerpa kulit dengan halusnya akan aura kehangatan, … tuk kemudian berteduh di bawah pohon bunga musim semi, melakukan piknik keluarga yang penuh rasa cinta!

“Indra, ayo kita istirahat di bawah pohon sana!”

Semoga, hari yang Indra Jaya nanti-nantikan itu, … akan datang tanpa terasa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status