Makhluk-makhluk halus pun mulai bermunculan. Energi di tempat itu memang cukup besar untuk mereka gunakan. Akibatnya beberapa makhluk yang ada di atas pohon atau mereka yang berada di balik pepohonan, mengintip Aryanaga yang sedang berjalan dengan santai di kawasan mereka. Aryanaga adalah keturunan makhluk mistis, tentu saja ia bisa melihat makhluk-makhluk astral tersebut, bahkan sering kali sebagian di antara mereka menyukainya. Namun, ia lebih menyukai kesendirian dan menjauhi mereka. Dirinya lebih suka bergaul dengan manusia, tak aneh karena di dalam tubuhnya mengalir darah manusia yang berasal dari sang ibu.
Tubuh Aryanaga merendah saat ia kembali mendengar sesuatu yang tak asing. Dia tahu pasti akan terjadi seperti ini, kembali terlacak meskipun ia sudah bertindak lebih hati-hati. Perasaan was-wasnya mulai muncul. Dia akan kalah kalau terus bertahan. Ia juga bisa saja menyerang, tetapi itu sama saja makin menambah waktu bagi dia untuk sampai ke tempat tujuannya yang tinggal sedikit lagi.
Hembusan angin tiba-tiba menyeruak dari langit. Hembusan angin kencang ini bukanlah angin biasa, karena tiba-tiba saja ada bayangan hitam besar berkelebat di atasnya. Ada perasaan mengerikan di dalam dada Aryanaga. Sisik-sisik yang ada di tubuhnya mengeras, menandakan ada bahaya yang mengancam. Sepasang sayapnya juga bergerak-gerak, seperti merasakan sesuatu.
Merasakan ancaman itu segera saja Aryanaga berlari. Dia sedang berlari menuju tujuan akhir yang sudah bisa dia lihat dari kejauhan. Hawa di sekitarnya berubah menjadi lebih dingin daripada biasanya. Di kegelapan, ia bisa merasakan salju turun, meskipun saat ini ia berada di tanah tropis. Rerumputan membeku, pepohonan kering tertutup tumpukan salju. Tanah pun mulai berganti salju, meninggalkan jejak-jejak kakinya. Suara binatang malam pun berganti menjadi kesunyian akibat keadaan sekitar yang membeku. Aryanga seperti memasuki dunia yang berbeda daripada dunia yang biasanya ia lihat. Sementara itu bayangan di langit makin jelas terlihat. Aryanaga memekik saat bayangan itu makin mendekat dengan kecepatan tinggi.
Pemuda ini terjatuh, bukan karena terantuk batu, melainkan karena hembusan angin yang cukup kuat, sehingga menggoyahkan keseimbangannya. Dia berguling-guling di tanah beberapa kali hingga tubuhnya dicengkeram oleh cakar yang kokoh. Cakar raksasa itu menyeretnya hingga menghantam beberapa pohon-pohon kering yang tertutup salju. Salju-salju pun berhamburan ke sana kemari.
Dada Aryanaga mulai sesak. Paru-parunya menyempit karena tertimpa oleh cakar raksasa. Lebih tepatnya tubuhnya dihimpit oleh kekuatan cakar raksasa itu. Mata Aryanaga menatap nanar sosok berleher panjang, bermoncong dengan sulur-sulur di kepalanya, sementara matanya menyala dengan cahaya berwarna ungu ke merah-merahan. Sosok ini adalah sosok naga dengan sayap lebar, siap untuk menerkam Aryanga dalam sekali terkam.
“Kau harusnya tidak ceroboh, Pangeran. Berlari di atas salju itu hal yang ceroboh. Kita tidak berlomba untuk sampai di tempat ini, tetapi bagaimana caranya agar kau bisa sampai di sini tanpa terdeteksi. Kau melupakan dasar sebagai seorang pemburu,” ucap naga tersebut dengan suara beratnya.
“Uhuk-uhuk!! Bandi, lepaskan. Aku bisa mati kalau kau cengkeram seperti ini,” pinta Aryanaga.
Naga tersebut melepaskan cengkeramannya. Wujud raksasanya cukup mengerikan dengan kulit sisik dominan berwarna hijau, serta di sekitar lengan dan kakinya sisik berwarna coklat. Kepalanya bertanduk runcing, dengan rambut putih di sekitar kepala hingga lehernya. Siapapun yang baru pertama kali melihatnya pasti ketakutan. Memang Bandi bukan naga biasa. Dia adalah orang kepercayaan Raja Primdigda dan siapapun yang menjadi kepercayaan Primadigda maka sudah pastilah mereka bukanlah orang-orang biasa.
Aryanaga perlahan-lahan berdiri sambil memijat-mijat dadanya yang sakit akibat cengkeraman Bandi. Dia melihat bagaimana Bandi perlahan-lahan menjadi wujud manusia. Tubuhnya menyusut, lehernya, kepalanya pun seperti terhisap ke satu titik hingga menjadi wujud manusia bertanduk, setelah itu perlahan-lahan wujud setengah manusianya lenyap menjadi manusia seutuhnya dengan rambut berwarna keperakan. Wajah Bandi adalah seperti pria paruh baya berjenggot tipis dengan rambut berwarna keperakan, iris matanya berwarna hijau, sebagaimana iris matanya ketika menjadi naga. Aryanaga masih takjub dengan perubahan wujud tersebut. Dia menyesalkan karena sayapnya tak bisa dia gunakan untuk terbang karena terlalu kecil.
“Kau masih perlu banyak berlatih,” ucap Bandi dengan suara berat. Meskipun sudah menjadi wujud manusia, suaranya masih berat di dengar.
“Ya, ya, ya. Aku tahu. Tapi melawan wujud nagamu itu susah. Kau selalu mengetahui gerak-gerikku. Kau ada di atas sana terbang ke sana kemari sedangkan aku di tanah bersembunyi seperti kelinci dari semak-semak ke semak-semak yang lain,” gerutu Aryanaga sambil mengerucutkan bibirnya.
Bandi mengamati anak didiknya yang perlahan-lahan mulai menyembunyikan tanduk naganya. Tanduk kecil itu masuk lagi ke dalam kepalanya, menyisakan wajah seorang pria tampan umur dua puluhan. Kedua sayap di punggung pemuda itu pun menyusut, bersembunyi di punggungnya.
“Anda istimewa pangeran, berbeda seperti kami yang memiliki tubuh avatar. Semenjak Kebijaksanaan Tertinggi menolong kita untuk bersembunyi dari manusia dengan tubuh ini, kita bisa berbaur dengan manusia, tetapi kau berbeda. Kau lahir dari rahim seorang manusia. Makanya itu tubuhmu sekarang sedang berada di antara dua sisi. Kau memilih jalan naga atau jalan manusia,” ujar Bandi menjelaskan tentang apa sejatinya diri mereka. “Ya, ya, ya. Kau sudah menjelaskannya berkali-kali. Aku campuran manusia dan naga,” ucap Aryanaga yang sudah bosan dinasihati berkali-kali oleh Bandi.
Malang kota yang sibuk. Sibuk bagi pekerja kantoran, penjual sayur, kuli proyek, dan juga tak kalah sibuknya adalah mahasiswa. Kota yang dijuluki sebagai kota pelajar ini makin banyak dikunjungi para pendatang dari manapun. Dari luar kota, luar propinsi hingga manca negara. Perkuliahan adalah salah satu cara berbaurnya berbagai komunitas, mulai dari kalangan atas hingga kalangan bawah. Salah satu orang yang berada di antara kesibukan itu adalah Raden Ayu Asri Kusuma Wardhani. Tentu saja nama Raden Ayu di depannya ini bukanlah tanpa sebab, dia memang putra bangsawan. Setidaknya masih ada hubungan dengan orang-orang keraton. Asri berparas cantik, berkulit kuning langsat, rambutnya sebahu, memakai kacamata minus. Dia sangat rajin untuk ukuran mahasiswi seperti dia. Targetny
Sore hari Asri pulang ke kos. Nyaris jantungnya copot saat ada amplop ditempel dengan menggunakan selotip di pintu kamarnya. Asri menoleh kiri kanan, perasaannya tak enak. Dia langsung saja mengambil amplop tersebut lalu masuk ke dalam kamar kosnya. Kamar kosnya berada di lantai dua dengan tangga yang langsung menuju akses ke parkiran. Maka dari itu siapa saja bisa masuk dan langsung mengetuk pintu kamarnya. Apalagi terkadang pagar kos dibuka kalau siang hari. Setelah memastikan pintu dikunci, Asri lalu membuka amplop tersebut. Ada secarik surat di dalamnya dengan tulisan latin yang sangat indah. Langsung saja Asri tahu tulisan siapa itu. Asri membaca cepat, setelah itu ia mendengus kesal. Dia mengambil ponsel yang ada di saku celananya untuk menghubungi seseorang.
“Rumahnya besar. Kira-kira penghuni kosnya banyak nggak?” gumam Asri. “Kayaknya sih enggak. Buktinya sudah dipencet bel nggak ada yang keluar,” jawab Tyas. “Lagian orang bego mana yang buka tempat kos di daerah terpencil seperti ini? Jauh pula dari kampus. Tapi apa boleh buat, aku memang ingin nggak bisa dilacak oleh keluargaku,” ujar Asri. “Iya, tempat ini cocok untuk persembunyian,” kata Tyas setuju dengan pendapat Asri.“
Asri terbangun. Hawa dingin menusuk tulang. Kamarnya masih berantakan karena tadi malam ia sekadar memasukkan saja tanpa menatanya. Dia langsung tidur begitu saja setelah barang-barangnya dimasukkan. Sementara itu Tyas sudah pergi, walaupun tak rela meninggalkan Asri seorang diri. Asri baru tahu kalau hawanya cukup dingin, lebih dingin daripada saat dia masih tinggal di daerah Sumbersari. Untuk sesaat ia nyaris panik saat terbangun di tempat yang asing, tetapi ia langsung sadar kalau dia sudah pindah. Memang bikin kesal. Dia tak ingin keluarganya tahu dia tinggal di mana sekarang. Maka dari itulah keputusannya untuk pindah sudah tepat, meskipun mungkin membuat dia lebih lelah dari biasanya. Asri melihat jam di layar pon
“Bwahahahahahaha,” suara tawa Tyas langsung pecah setelah Asri menceritakan apa yang terjadi. Untungnya mereka berada di tempat sepi sehingga tak ada orang yang melihat. “Aku malu, anjir!” Asri mengerucutkan bibirnya. “Aku lupa kalau ini bukan kosku yang lama. Kan kosku yang lama kos cewek. Kalau pun seharian mondar-mandir nggak pake bra juga nggak masalah, kan tamu cowok hanya diterima di depan, nggak sampai masuk kamar. Lha ini? Aduh, benar-benar memalukan.”“Kalau aku jadi kau, aku nggak mau lagi ketemu ama dia,” ujar Tyas. “Gimana nggak ketemu coba. Itu kamu kan nyaris telenji!”
“Wong edan, nyari di mana?” tanya Tyas saat Asri membujuknya untuk mencarikan tempat kos baru. “Tempat kosmu itu sudah cukup bagus loh, bahkan letaknya nggak mudah dilacak orang. Baru juga satu malam kamu nginep situ.”Asri sedari tadi menutupi wajah dengan kedua lengannya. Mereka sedang berada di salah satu gazebo yang ada di area kampus. “Aku kan cuma penasaran saja tadi. Soalnya aku itu paling gatel kalau lihat ada cowok mau baca buku, semacam seksi gitu,” ujar Asri jujur.“Sompret! Kadang aku nggak ngerti sih jalan pikiranmu,” ucap Tyas sambil memutar bola matanya.
Jam 00.00 Asri baru keluar dari kantor. Shift sore, pulang tengah malam. Ini adalah rutinitas dia sehari-hari. Mau bagaimana lagi, kalau dia tidak bekerja seperti ini ia tidak akan survive. Uang yang dia hasilkan dari pekerjaannya ini bisa dia gunakan untuk membayar perkuliahan, juga untuk makan dia sehari-hari. Asri sudah pantang meminta bantuan keluarganya meskipun harta keluarganya tidak akan habis hingga tujuh turunan maupun tujuh tanjakan. Dia ingin membuktikan kepada keluarganya kalau ia bisa mandiri tanpa bantuan mereka. Asri masih berada di teras kantornya, duduk di bangku menunggu jemputan taksi online. Dari layar ponselnya, posisi kendaraan tersebut terlihat merambat cukup pelan tapi pasti. Lima menit lagi mobil itu sampai di kantornya.